PENGARUH SOLAR PROTON EVENT JANUARI 2005 TERHADAP PENIPISAN OZON STRATOSFER DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 10 No. 2 Juni 2013 :

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG

PROFIL VERTIKAL OZON, ClO DAN TEMPERATUR DI BANDUNG DAN WATUKOSEK BERBASIS OBSERVASI SENSOR MLS SATELIT AURA

CUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu

MODEL SPEKTRUM ENERGI FLUENS PROTON PADA SIKLUS MATAHARI KE-23

LIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

KAJIAN PENGARUH UAP AIR TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

MATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA

EFEK RADIKAL HIDROXYL (OH) DAN NITRIC OXIDE (NO) DALAM REAKSI KIMIA OZON DI ATMOSFER

6massa udara yg terdapat pd seluas 1 cm 2 : 1,02 kg6. Massa total atmosfer : 1,02 kg x ( luas permukaan bumi) : kg

ATMOSFER BUMI A BAB. Komposisi Atmosfer Bumi

PENGAMATAN GAS RUMAH KACA MENGGUNAKAN WAHANA SATELIT

Atmosfer Bumi. Meteorologi. Peran Atmosfer Bumi dalam Kehidupan Kita. Atmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni.

ANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

KAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI

Keterkaitan Variasi Sinar Kosmik dengan Tutupan Awan Riza Adriat 1)

TUGAS PRESENTASI ILMU PENGETAHUAN BUMI & ANTARIKSA ATMOSFER BUMI

Atmosf s e f r e B umi

PENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Abstrak

PENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN TOTAL DAN AWAN ATAS WILAYAH INDONESIA DALAM PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan

Infeksi di lapisan ozon

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi

02. Jika laju fotosintesis (v) digambarkan terhadap suhu (T), maka grafik yang sesuai dengan bacaan di atas adalah (A) (C)

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.1. argon. oksigen. nitrogen. hidrogen

BAB III METODE PENELITIAN

DAN OZON STRATOSFER DI EQUATORIAL

STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF

2 BAB II TEORI DASAR

Jurnal Fisika Unand Vol. 3, No. 3, Juli 2014 ISSN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA

Atmosfer. 1. Bahan 2. Struktur 3. Peranan Atmosfer. Meteorology for better life

PENGARUH KARBON MONOKSIDA TERHADAP OZON PERMUKAAN

Atmosfer Bumi. Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. 800 km. 700 km. 600 km. 500 km. 400 km. Aurora bagian. atas Meteor 300 km. Aurora bagian. bawah.

DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23

Kebakaran Hutan dan Dampaknya Terhadap Penurunan radiasi Ultraviolet B ~ studi kasus kebakaran hutandi Pontianak bulan Juli September 1997 ~

IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN

KONDISI LINGKUNGAN ANTARIKSA Dl WILAYAH ORBIT SATELIT

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini dilakukan indentifikasi terhadap lubang korona, angin

Seputar ATMOSFER Asal katanya dari atmos dan shaira (bahasa Yunani), yang artinya atmos : uap, shaira : bulatan. Jadi, atmosfer adalah lapisan gas

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

STRUKTURISASI MATERI

STUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO

PENGARUH EL NINO 1997 TERHADAP VARIABILITAS OZON TOTAL INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Agro Klimatologi ~ 1

DISTRIBUSI ANOMALI SATELIT SELAMA SIKLUS MATAHARI KE-23 BERDASARKAN ORBITNYA

KD 3.9 kelas XI Tujuan Pembelajaran : Uraian Materi A. Penipisan Lapisan Ozon 1. Lapisan Ozon

PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T )

Variasi Pola Komponen H Medan Geomagnet Stasiun Biak Saat Kejadian Solar Energetic Particle (SEP) Kuat Pada Siklus Matahari Ke-23

BAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca

PENENTUAN POSISI LUBANG KORONA PENYEBAB BADAI MAGNET KUAT

LEDAKAN MATAHARI PEMICU ANOMALI DINAMIKA ATMOSFER BUMI

Hubungan Variasi Radiasi Ultraviolet Matahari Di Permukaan Bumi Dan Variasi Aktivitas Matahari Selama Fase Menurun Siklus Matahari Ke - 22

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA OZON DENGAN TEMPERATUR (STUDI KASUS DATA WATUKOSEK )

Fisika Umum (MA 301) Cahaya

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DAN GEOMAGNET TERHADAP KETINGGIAN ORBIT SATELIT

BAB I PENDAHULUAN. Angin bintang dapat difahami sebagai aliran materi/partikel-partikel

PEMBANGUNGAN SISTEM INFORMASI ANOMALI SATELIT (SIAS)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KONDISI ANTARIKSA DI ORBIT LAPAN A2 MENJELANG PUNCAK AKTIVITAS MATAHARI SIKLUS 24

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

VARIABILITAS TEMPERATUR UDARA PERMUKAAN WILAYAH INDONESIA BERDASARKAN DATA SATELIT AIRS

Oksigen memasuki udara melalui reaksi fotosintesis tanaman : CO 2 + H 2 O + hv {CH 2 O} + O 2 (g)

PENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM

PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN (DIURNAL)

ANALISIS ASOSIASI SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE III DENGAN FLARE SINAR-X DAN FREKUENSI MINIMUM IONOSFER

Bab IV Analisis dan Pembahasan

ANCAMAN BADAI MATAHARI

Nizam Ahmad 1 dan Neflia Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan. Diterima 6 Maret 2014; Disetujui 14 Mei 2014 ABSTRACT

PERTEMUAN KEEMPAT FISIKA MODERN TEORI KUANTUM TENTANG RADIASI ELEKTROMAGNET TEKNIK PERTAMBANGAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

ATMOSFER I. A. Pengertian, Kandungan Gas, Fungsi, dan Manfaat Penyelidikan Atmosfer 1. Pengertian Atmosfer. Tabel Kandungan Gas dalam Atmosfer

METODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24

indahbersamakimia.blogspot.com Soal Olimpiade Astronomi Tingkat Provinsi 2011, Waktu : 150 menit

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

DISTRIBUSI KARAKTERISTIK SUDDEN STORM COMMENCEMENT STASIUN BIAK BERKAITAN DENGAN BADAI GEOMAGNET ( )

Angin Meridional. Analisis Spektrum

Radio Aktivitas dan Reaksi Inti

VARIASI TEMPORAL KONSENTRASI KARBON DIOKSIDA (CO 2 ) DAN TEMPERATUR DI INDONESIA BERBASIS DATA OBSERVASI AQUA-AIRS

FLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Medan Magnet Benda Angkasa. Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP KENAIKAN TEMPERATUR GLOBAL

PENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI

Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

EKSPERIMEN SPEKTROSKOPI RADIASI ALFA

SIFAT BINTANG. Astronomi. Ilmu paling tua. Zodiac of Denderah

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.9. lithosfer. hidrosfer. atmosfer. biosfer

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

ANALYSISOFOZONECONCENTRATIONBEFOREANDAFTEROCCUR RINGOFLAPINDOMUDFLOWINPERIOD AND 2013

Transkripsi:

PENGARUH SOLAR PROTON EVENT JANUARI 2005 TERHADAP PENIPISAN OZON STRATOSFER DI INDONESIA Johan Muhamad *) dan Novita Ambarsari **) *) Peneliti Pusat Sains Antariksa, LAPAN **) Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN e-mail: johan_m@bdg.lapan.go.id Diterima 27 Juli 2011; Disetujui 16 November 2011 ABSTRACT Ozone data from Ozone Monitoring Instrument (OMI) and Microwave Limb Sounder (MLS) Aura satellite were used to investigate the impacts of the very intense Solar Proton Events (SPE) 15-25 January 2005 on the stratospheric ozone in Indonesia. From the ozone vertical profiles along the SPEs period, the decreasing of ozone concentration was observed after the peak of the SPEs. This ozone decrease was associated with the increase of NO 2 and HO 2 concentration which was produced due to the ionization by the energetic protons. The ozone decrease was also identified by analyzing the spatial column amount ozone in Indonesia. The ozone decrease after the SPEs was about 8 percent from the average of daily column amount ozone before the SPEs. The very high energetic protons from the SPEs were suspected to be responsible for the possibility of the proton precipitation into the low latitude regions. Keywords: Solar Proton Event, Stratospheric ozone depletion, Low latitude proton precipitation ABSTRAK Data dari instrumen Ozone Monitoring Instrument (OMI) dan Microwave Limb Sounder (MLS) satelit Aura digunakan untuk menyelidiki kemungkinan pengaruh Solar Proton Event (SPE) 15-25 Januari 2005 terhadap ozon stratosfer di wilayah Indonesia. Berdasarkan analisis profil vertikal ozon stratosfer sepanjang peristiwa SPE ditemukan adanya penurunan konsentrasi ozon setelah terjadinya puncak peristiwa SPE. Penurunan konsentrasi ozon ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi NO 2 dan HO 2 yang terbentuk akibat ionisasi oleh proton berenergi tinggi. Penurunan ozon juga terlihat pada analisis data total kolom ozon secara spasial untuk wilayah Indonesia. 53

Jurnal Sains Dirgantara Vol. 9 No. 1 Desember 2011 :53-69 Penurunan konsentrasi ozon setelah terjadinya SPE sebesar 8 persen dari rata-rata harian total kolom ozon sebelum terjadinya SPE. Tingginya tingkat energi proton pada peristiwa SPE Januari 2005 ini diduga sebagai penyebab mungkinnya presipitasi proton hingga dapat mencapai lintang rendah. Kata kunci: Solar Proton Event (SPE), Penipisan ozon stratosfer, Presipitasi proton ke lintang rendah 1 PENDAHULUAN Aktivitas Matahari diketahui memiliki dampak terhadap kondisi di Bumi. Pengaruh aktivitas Matahari tersebut dapat berasal dari radiasi gelombang elektromagnet maupun lontaran partikel yang dipancarkan Matahari saat aktivitas Matahari berlangsung. Radiasi gelombang elektromagnet yang dipancarkan Matahari berdampak secara langsung terhadap proses ionisasi dan peningkatan temperatur di Bumi. Sementara itu, presipitasi partikel ke Bumi menyebabkan meningkatnya aktivitas geomagnet dan juga ionisasi di atmosfer Bumi (Vazquez et al., 2006 dan Jackman et al., 2005). Salah satu peristiwa yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas Matahari adalah Solar Proton Event (SPE). SPE merupakan peningkatan fluks partikel proton yang mengarah ke Bumi akibat terjadinya peristiwa eruptif di Matahari. SPE dapat membawa proton berenergi tinggi (1-100 MeV) masuk ke dalam atmosfer hingga ketinggian tertentu yang bervariasi bergantung pada energi proton tersebut. Proton dengan energi 1 MeV dapat mencapai mesopause, 10 MeV dapat mencapai ketinggian hingga 65 km, dan proton dengan energi 100 MeV dapat mencapai ketinggian 30-35 km (Reid, 1986 dalam Rohen et al., 2005). Meskipun demikian, presipitasi proton ke Bumi hingga saat ini diyakini hanya terjadi di lintang tinggi saja. Hal ini dikarenakan masuknya proton ke Bumi dipandu oleh medan magnet Bumi sehingga proton masuk ke atmosfer Bumi terutama di daerah Polar Cap pada sekitar lintang geomagnet 60 (Jackman et al., 2005). SPE telah diketahui dapat mempengaruhi lapisan ozon yang ada di stratosfer. Tingginya energi yang dibawa oleh proton pada suatu peristiwa SPE menyebabkan terjadinya ionisasi di lapisan mesosfer dan stratofer. Presipitasi proton ke atmosfer Bumi dapat menyebabkan terjadinya aurora proton di sekitar daerah kutub atau daerah lintang tinggi. Namun, ada juga beberapa laporan ditemukannya peristiwa aurora yang terlihat di daerah lintang rendah (Vazquez et al., 2006). Adanya aurora hingga mencapai lintang rendah menunjukkan bahwa 54

presipitasi partikel pada saat Solar Energetic Particle terjadi dapat mencapai daerah lintang rendah. Matahari memicu terjadinya proses fotokimia di atmosfer dengan berbagai variasi radiasi sinar pada skala waktu yang berbeda. Siklus 11 tahunan Matahari telah diketahui mempengaruhi variasi konsentrasi total ozon. Matahari juga mempengaruhi atmosfer terrestrial dengan peristiwa ejeksi massa korona yang meningkatkan presipitasi partikel berenergi tinggi (proton, elektron, dan ion) pada mesosfer dan stratosfer atas. Selain tampak sebagai aurora, ionisasi di atmosfer akibat presipitasi proton berenergi tinggi juga dapat berdampak pada terbentuknya senyawa tertentu. Adanya partikel berenergi tinggi ini akan menghasilkan radikal Hidrogen (HO x) dan radikal Nitrogen (NO x) sebagaimana yang terjadi pada siklus HO x dan NO x. Adapun peningkatan HO x dan NO x pada lapisan stratosfer akan menyebabkan penipisan lapisan ozon (O 3). Pada saat terjadi Solar Proton Event (SPE), terjadi proses ionisasi konstituen utama atmosfer oleh proton N 2+ (58.5% partitioning of total ionization), N + (18.5%),O + (15.4%), and O 2+ (7.6%). Ion-ion ini kemudian bereaksi dengan molekul air menghasilkan bagian utama dari HO x yaitu H dan OH. NO dihasilkan dari proses disosiasi N 2 dan berbagai tahapan reaksi yang melibatkan nitrogen dan ion-ionnya. Ozon terurai melalui siklus HO x dan NO x. Siklus katalitik HO x sangat efisien di mesosfer dan stratosfer atas (di atas 40 km), sedangkan siklus NO x lebih efisien di stratosfer tengah (Rohen et al., 2005). Reaksi kimia: Siklus HO x: OH + O 3 HO 2 + O 2 (1-1) HO 2 + O OH + O 2 (1-2) Net: 2O x 2O 2 (1-3) Siklus NO x: 2(NO + O 3) 2(NO 2 + O 2) (1-4) NO 2 + hυ NO + O (1-5) NO 2 + O NO + O 2 (1-6) Net: 2O 3 3O 2 (1-7) Beberapa penelitian terhadap dampak SPE besar di siklus Matahari 23 telah dilakukan terutama dampaknya terhadap penipisan ozon di daerah kutub dan lintang tinggi. Penelitian seperti ini telah 55

Jurnal Sains Dirgantara Vol. 9 No. 1 Desember 2011 :53-69 mengidentifikasi dengan baik pengaruh ionisasi akibat masuknya partikel energi tinggi terhadap penipisan lapisan ozon saat terjadi peristiwa SPE besar pada Oktober 2003 (Hauchecorne et al., 2005; Rohen et al., 2005). Selain peristiwa SPE pada Oktober 2003, SPE yang besar yang juga banyak diselidiki pengaruhnya terhadap penipisan ozon di atmosfer adalah SPE pada Januari 2005 (Seppalla et al., 2006; Damiani et al., 2006). Penyelidikan ini mengkonfirmasikan bahwa SPE yang besar memiliki dampak yang signifikan pada kondisi ozon di lintang tinggi. Bahkan, Seppala dkk. menunjukkan bahwa proton dengan tingkat energi moderat sekalipun (>10MeV dengan flux >5000pfu) dapat menyebabkan penipisan ozon stratosfer hingga lebih dari 70% pada daerah lintang tinggi (Seppala et al., 2006). Terjadinya penipisan ozon di stratosfer setelah peristiwa SPE terdeteksi dapat menjadi indikator bagi presipitasi proton ke atmosfer Bumi. Meskipun kemungkinan terbesar presipitasi proton ini terjadi di lintang tinggi, tetapi besarnya energi yang dimiliki proton dan kompleksnya dinamika atmosfer memunculkan dugaan presipitasi proton yang bisa juga sampai ke lintang rendah. Ganguly et al. (2006) menunjukkan bahwa peristiwa SPE pada Januari 2005 berdampak pada penurunan konsentrasi ozon di India yang tergolong berada pada lintang yang relatif rendah. Peristiwa SPE pada pertengahan Januari 2005 merupakan salah satu peristiwa SPE yang sangat besar sehingga kemungkinan presipitasi protonnya hingga ke lintang rendah lebih besar daripada peristiwa SPE kecil. Besarnya energi proton pada peristiwa ini dikonfirmasikan oleh satelit Geostationary Operational Environmental Satellite (GOES) melalui peningkatan fluks proton di atas 100 MeV. Bahkan, tingginya energi proton pada peristiwa ini juga terdeteksi hingga permukaan Bumi oleh Aragats Multidirectional Muon Monitor (40.25 LU, 44.15 BT) yang mengidentifikasi muon yang berasosiasi dengan proton berenergi hingga 20 GeV (Bostanjyan et al., 2007). Dengan melakukan penyelidikan terhadap penipisan lapisan ozon di stratosfer di atas Indonesia, diharapkan dapat diketahui kemungkinan adanya presipitasi proton di lintang rendah saat terjadi peristiwa SPE besar. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan kemungkinan terjadinya presipitasi proton hingga ke lintang rendah pada suatu peristiwa SPE yang relatif besar. 2 DATA OBSERVASI Pada penelitian ini digunakan data flux proton yang diperoleh dari satelit GOES untuk menentukan terjadinya Solar Proton Event. 56

Berdasarkan data GOES ini (Gambar 2-1), diketahui bahwa peristiwa SPE terbesar di siklus Matahari 23 terjadi pada pertengahan Januari 2005 yang terdiri dari beberapa seri peristiwa SPE dengan fluks maksimal mencapai 5040 proton flux unit (pfu) untuk proton berenergi >10 MeV pada tanggal 17 Januari. Pada tanggal 20 Januari 2005 terjadi peristiwa SPE terbesar untuk proton berenergi sangat tinggi (>100 MeV) yang mencapai puncaknya hingga 652 pfu. Tingginya nilai fluks proton >100 MeV ini menjadikannya sebagai peristiwa SPE terbesar sepanjang siklus Matahari 23. Peristiwa SPE tanggal 17 dan 20 Januari 2005 ini merupakan dampak dari flare besar yang terjadi di Matahari. Pada tanggal 17 Januari terjadi peristiwa flare dengan kelas X3.8, sedangkan pada tanggal 20 Januari terjadi peristiwa flare kelas X7.1 (http://www. swpc.noaa.gov/data/goes.html). Gambar 2-1: Fluks proton dari Matahari yang terdeteksi oleh satelit GOES sepanjang 16 hingga 21 Januari 2005. http:// www.swpc.noaa.gov/ftpmenu/warehouse/2005/2005_plots. html Data ozon spasial atau yang berupa data total kolom ozon diperoleh dari instrumen Ozone Monitoring Instrument (OMI), sedangkan data ozon vertikal diperoleh dari instrumen Microwave Limb Sounder (MLS). Kedua instrumen ini ditempatkan pada satelit Aura milik NASA dengan akses data yang sangat mudah melalui website resmi NASA yaitu http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/giovanni dan http://mirador.gsfc. nasa.gov/. OMI adalah suatu instrumen pada satelit EOS Aura untuk memantau lapisan ozon. OMI merupakan suatu spektrometer infra merah dan ultraviolet-dekat yang mengukur radiasi Matahari yang dipancarkan kembali oleh Bumi pada rentang spektrum 270 dan 500 nm. Instrumen ini dilengkapi dengan dua saluran optik, saluran 57

Jurnal Sains Dirgantara Vol. 9 No. 1 Desember 2011 :53-69 pertama mencakup rentang radiasi ultraviolet antara 270 dan 383 nm, dan saluran yang lain mencakup radiasi sinar tampak pada panjang gelombang 349 dan 500 nm. Saluran ultraviolet kemudian dibagi lagi menjadi subsaluran UV1 dengan rentang panjang gelombang pada 270 dan 311 nm dengan resolusi spasial sebesar 13 x 8 km 2, dan subsaluran UV2 dengan rentang panjang gelombang pada 307 dan 383 nm dengan resolusi spasial 13 x 24 km 2 yang memungkinkan cakupan data global harian. Resolusi spektral dari OMI sangat baik mencapai sekitar 0,5 nm. Produk dari OMI adalah total kolom lapisan ozon, NO 2, HCHO, BrO, OCIO, SO 2 vulkanik, profil ozon, radiasi UV permukaan, fraksi dan tekanan awan (Migliorini et al., 2008). OMI mengukur radiasi yang dihamburkan kembali oleh Bumi dengan suatu teleskop yang berjarak pandang sangat lebar. Teleskop ini kemudian berhubungan dengan dua spektrometer yang masing-masing memiliki detektor Cloud Convective Differential (CCD) (Veefkind et al., 2009). EOS MLS mengukur radiasi panas dari spektrum radiasi dengan cakupan yang luas, terpusat pada frekuensi 118, 190, 240, 640 dan 2250 GHz yang diukur kontinyu (24 jam sehari) dengan dilengkapi radiometer penerima yang mampu mendeteksi spektrum senyawasenyawa kimia di atmosfer secara spesifik. MLS mengukur profil vertikal ozon dan komponen atmosfer lainnya dengan lebih akurat hingga ke lapisan stratosfer bawah. MLS/Aura memiliki resolusi vertikal mencapai 3 km di stratosfer dan resolusi spasial 200 km (http:// mls.jpl.nasa.gov/eos/instrument.php). Resolusi spasial ini menghasilkan cakupan wilayah observasi MLS meliputi 82 derajat lintang selatan dan 82 derajat lintang utara. MLS mengukur profil vertikal pada 3500 lokasi di dunia setiap 24 jam (Ahmad et.al., 2006). Nilai total kolom ozon dari instrumen MLS secara keseluruhan relatif lebih rendah dibandingkan instrumen OMI walaupun berasal dari satelit yang sama yaitu Aura. Data profil vertikal HO 2 diperoleh dari instrumen MLS dan data total kolom NO 2 diperoleh dari instrumen OMI satelit Aura. Sebagai sampel ozon di daerah ekuator digunakan data ozon di wilayah Indonesia yang terbentang mulai dari 6 Lintang Utara hingga 11 Lintang Selatan sehingga termasuk meliputi daerah yang dilewati garis ekuator. Sebagian wilayah Utara daerah ini juga termasuk dalam daerah ekuator geomagnet sehingga cukup dapat mewakili dampak Solar Proton Event terhadap kondisi ozon di ekuator geografis dan geomagnet. 58

Gambar 2-2: Satelit Aura dan empat instrumen yang ditempatkan termasuk MLS dan OMI. http://gmao.gsfc.nasa.gov/ operations/candp/instteamcust.php 3 METODOLOGI Dalam penelitian ini dipilih lokasi Indonesia (6 LU 11 LS, 95 BT 145 BT) sebagai daerah di sekitar ekuator untuk melihat pengaruh SPE pada pertengahan Januari 2005 terhadap lapisan ozon di atas Indonesia. Sebagai referensi, data rata-rata lapisan ozon pada saat sebelum terjadinya peristiwa SPE dapat digunakan sehingga perubahan yang mungkin terjadi setelah SPE dapat terdeteksi. Untuk referensi tersebut, maka nilai total kolom ozon yang digunakan adalah rata-rata ozon pada tanggal 10-14 Januari 2005. Pemilihan waktu referensi ini digunakan dengan mempertimbangkan kenaikan nilai fluks proton yang sudah mulai meningkat sejak tanggal 15 Januari 2005. Penipisan ozon akan terdeteksi sebagai perubahan negatif atas nilai referensi. Untuk keperluan membuat data ozon dalam deret waktu (time series), diperlukan data total kolom ozon yang lengkap antara tanggal 15-25 Januari 2005. Oleh karena itu, digunakan data total kolom ozon dari instrumen MLS satelit Aura yang dapat diperoleh pada paket data yang sama (dalam bentuk file Hdf) saat mengunduh data ozon vertikal. Hal ini disebabkan data total kolom ozon dari OMI pada tanggal 21 Januari 2005 tidak dapat diperoleh. Resolusi spasial data total kolom ozon dari MLS sebesar 200 km, lebih rendah dibandingkan data total kolom ozon dari OMI dengan resolusi 100 km. Walaupun demikian, 59

Jurnal Sains Dirgantara Vol. 9 No. 1 Desember 2011 :53-69 data total kolom ozon dari MLS ini hanya digunakan untuk membuat time series ozon total untuk melihat kecenderungan penurunan pada saat terjadi SPE sehingga tidak diperlukan data dengan resolusi spasial yang sangat tinggi. Untuk melihat pengaruh SPE terhadap reaksi ionisasi di atmosfer, diperlukan data HO x dan NO x yang mempercepat reaksi penguraian molekul ozon. Untuk mengetahui kemungkinan adanya pengaruh presipitasi proton berenergi tinggi sesaat setelah terjadi SPE, maka digunakan data ozon di daerah lintang rendah sebagai indikator adanya presipitasi proton. Untuk menunjukkan perubahan tersebut, dilakukan analisis temporal atas data total ozon rata-rata untuk seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 15-25 Januari 2005. Selain itu, dilakukan juga analisis data spasial total ozon untuk seluruh Indonesia sebagai petunjuk awal terjadinya penipisan ozon. Untuk melakukan analisis terhadap jangkauan penetrasi proton secara vertikal, maka dilakukan juga analisis profil ozon terhadap ketinggian untuk rata-rata wilayah Indonesia (6 LU-11 LS, 95 BT-145 BT) di daerah ekuator sebagai studi kasus spesifik dan analisis kondisi radikal HO 2 dan total kolom NO 2 pada tanggal 15-25 Januari 2005 untuk melihat pengaruh SPE terhadap reaksi ionisasi di atmosfer. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Temporal Ozon Total sebelum dan sesudah SPE 15-25 Januari 2005 Penurunan nilai ozon spasial di beberapa wilayah Indonesia pada saat terjadinya SPE sulit diketahui tanpa membandingkannya terhadap nilai ozon di hari-hari tenang lainnya. Untuk itu, nilai total ozon perlu juga dibandingkan secara temporal terutama pada waktu-waktu di mana aktivitas SPE relatif tinggi dengan menggunakan nilai total ozon rata-rata harian. Nilai total ozon rata-rata harian ini merupakan ratarata yang diperoleh dari data spasial instrumen MLS/Aura untuk wilayah Indonesia dalam satu hari. Nilai total ozon rata-rata harian pada tanggal 15-25 Januari 2005 ditampilkan sebagai deret waktu pada Gambar 4-1. Dari Gambar 4-1 dapat dilihat bahwa nilai total ozon berkurang pada tanggal 18 dan 20 Januari 2005. 60

Total Kolom Ozon di Wilayah Indonesia 15-25 Januari 2005 Total Kolom NO2 di Wilayah Indonesia 15-25 Januari 2005 Peristiwa SPE I Peristiwa SPE II Gambar 4-1: Variasi nilai total ozon rata-rata harian (atas) dari instrumen MLS/Aura dan total kolom rata-rata harian NO 2 (bawah) dari instrumen OMI/Aura sejak tanggal 15 hingga 25 Januari 2005 ditampilkan dalam deret waktu. Periode puncak terjadinya SPE pertama (17 Januari) dan kedua (20 Januari) ditandai dengan garis putus-putus merah, sedangkan garis putus-putus hijau menandakan batas akhir perubahan nilai ozon dan HO 2 61

Jurnal Sains Dirgantara Vol. 9 No. 1 Desember 2011 :53-69 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Gambar 4-2: Peningkatan flux proton (atas) serta variasi profil vertikal ozon (tengah) dan profil vertikal HO 2 (bawah) Indonesia 15-25 Januari 2005. Terlihat setelah terjadi SPE terjadi depresi ozon stratosfer yang ditandai dengan garis putusputus lingkaran putih. Pada saat yang bersamaan, tingkat rata-rata HO 2 di stratosfer mengalami peningkatan Pada akhir tanggal 17 Januari terjadi peningkatan SPE yang terdeteksi oleh satelit GOES, sedangkan peningkatan SPE yang sangat ekstrem juga terjadi tengah hari pada tanggal 20 Januari. Terjadinya 62

SPE berdampak pada penurunan nilai total ozon harian yang terlihat pada Gambar 4-1. Adanya penurunan nilai total ozon pada tanggal 18 Januari diperkirakan disebabkan oleh adanya peristiwa SPE di akhir tanggal 17 Januari. Terjadinya SPE di penghujung hari menyebabkan pengaruh SPE terhadap ozon lebih jelas terdeteksi pada nilai rata-rata ozon total hari berikutnya yaitu tanggal 18 Januari, sedangkan nilai rata-rata ozon harian tanggal 17 Januari hanya menunjukkan permulaan tren ozon total yang menurun. Hal ini terjadi karena nilai yang digunakan adalah nilai rata-rata ozon harian. Hal yang berbeda terjadi pada peristiwa penurunan ozon tanggal 20 Januari yang langsung menurun secara tajam. Ini bisa terjadi karena peristiwa SPE terjadi pada tengah hari sehingga pengaruhnya terhadap penurunan nilai ozon total dapat terdeteksi secara lebih efektif pada tanggal yang sama. Penurunan nilai rata-rata total kolom ozon akibat SPE seperti tampak pada Gambar 4-1 berkorespondensi dengan peningkatan total kolom NO 2. Adanya peningkatan NO 2 pada saat menurunnya total ozon menunjukkan bahwa besarnya kemungkinan seluruh proses ini berkaitan dengan peristiwa SPE yang terjadi sebelumnya. Peningkatan NO 2 diperkirakan terjadi akibat adanya ionisasi yang dihasilkan oleh penetrasi proton berenergi tinggi. Pengaruh SPE terhadap penipisan ozon melalui mekanisme ionisasi di stratosfer tampak lebih jelas pada Gambar 4-2. Terlihat selama periode peningkatan fluks proton baik tanggal 17 maupun 20 Januari, konsentrasi ozon cenderung berkurang sementara konsentrasi HO 2 cenderung meningkat. Kenaikan HO 2 dan penurunan ozon terlihat tidak terjadi secara persis bersamaan dengan waktu awal (epoch) peningkatan fluks proton, akan tetapi memiliki jeda waktu. Adanya jeda waktu yang tampak lebih jelas pada peristiwa SPE 20 Januari dapat menandakan berlangsungnya proses distribusi proton dari Matahari ke stratosfer di ekuator yang membutuhkan waktu beberapa saat. 4.2 Analisis Spasial Ozon Total sebelum dan sesudah SPE 15-25 Januari 2005 Hasil pengamatan satelit Aura untuk nilai total ozon secara spasial di wilayah Indonesia antara tanggal 15-25 Januari 2005 menunjukkan terjadi perubahan yang signifikan pada nilai ozon di beberapa wilayah terutama setelah tanggal 15 dan 17 Januari 2005 (Gambar 4-3). Adapun nilai ozon spasial setelah SPE 21 Januari tidak dapat diperoleh karena tidak tersedianya data Aura pada tanggal tersebut. 63

Jurnal Sains Dirgantara Vol. 9 No. 1 Desember 2011 :53-69 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 4-3: Deviasi nilai total ozon (dalam DU) di wilayah Indonesia pada saat terjadi Solar Proton Event (SPE) berturut-turut (a) 15 Januari, (b) 16 Januari, (c) 17 Januari), (d) 18 Januari, (e) 20 Januari, dan (f) 22 Januari. Nilai deviasi ozon ditetapkan atas rata-rata nilai total ozon sebelum terjadi SPE (10-14 Januari 2005) Nilai deviasi ozon di atas Indonesia terhadap nilai rata-rata ozon referensi (10-14 Januari 2005) mencapai lebih dari -20 DU (tampak 64

dalam kontur biru) di beberapa wilayah di Indonesia yang lebih luas dan lebih rapat terutama pada tanggal terjadinya SPE dan sehari setelahnya. Bila dibandingkan dengan deviasi ozon 25 Januari 2005, nilai deviasi lebih dari -20 DU terlihat lebih renggang di wilayah Indonesia yang menunjukkan nilai deviasi negatif hanya mencakup sedikit sekali wilayah Indonesia. Berdasarkan Deviasi ~-20 DU pada total ozon di wilayah Indonesia menunjukkan bahwa pengaruh SPE Januari 2005 berdampak terhadap penurunan total kolom ozon di wilayah Indonesia ~8% dengan rata-rata total ozon sebelum terjadinya SPE (10-14 Januari 2005) sebesar 245 DU. Nilai deviasi minimum sepanjang 15-25 Januari bervariasi antara -30 hingga -48 DU. Adanya tren negatif pada nilai total ozon di wilayah Indonesia pada rentang waktu 16-22 Januari menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh peristiwa SPE yang banyak terjadi pada waktu tersebut. Puncak penurunan nilai ozon yang terjadi pada tanggal 17 dan 20 Januari 2005 diduga berkaitan dengan puncak SPE yang juga terjadi pada tanggal 17 dan 20 Januari 2005 (Gambar 2-1). Dikarenakan data total ozon tanggal 21 Januari dari OMI tidak tersedia, pola penurunan konsentrasi ozon secara spasial sehari setelah terjadinya SPE tanggal 20 tidak dapat dibandingkan seperti halnya SPE 17 Januari dan peningkatan fluks proton 15 Januari. Penurunan konsentrasi ozon tidak langsung terjadi pada tanggal 17 dan 20 Januari 2005 sesaat setelah peristiwa SPE terdeteksi di Bumi. Akan tetapi, penurunan konsentrasi ozon baru terjadi beberapa jam atau bahkan sehari setelah SPE terdeteksi. Hal ini menunjukkan persebaran proton berenergi tinggi ke wilayah ekuator membutuhkan waktu sebelum akhirnya mempengaruhi ozon. Presipitasi proton ke Bumi yang dipandu oleh garis gaya magnet Bumi lebih dulu masuk ke daerah kutub sebelum tersebar ke daerah yang lebih luas di lintang yang lebih rendah. Mekanisme ini sesuai dengan proses presipitasi partikel berenergi tinggi dari Matahari saat terjadi badai geomagnet dan penurunan konsentrasi ozon di daerah kutub (Jackman et al, 2005). 4.3 Analisis Profil Vertikal Ozon sebelum dan sesudah SPE 15-25 Januari 2005 Hasil pengamatan instrumen MLS/Aura terhadap profil vertikal ozon di Indonesia yang menunjukkan terjadi penurunan miksing rasio ozon di level 10 hpa atau ketinggian 25 km saat terjadi SPE besar pada tanggal 20 Januari 2005 (Gambar 4-4) yang ditandai dengan garis putus-putus warna hitam, dengan deviasi sebesar 5x10-7 vmr atau -0,5 ppmv dan pada tanggal 17 Januari 2005 sebesar -2,5x10-7 vmr atau 65

Jurnal Sains Dirgantara Vol. 9 No. 1 Desember 2011 :53-69 -0,25 ppmv. Hal ini menunjukkan tingginya energi proton saat terjadi SPE terbesar pada tanggal 20 Januari 2005 sehingga memungkinkan penetrasi proton hingga ke lapisan stratosfer. Pengaruh SPE ini masih terasa hingga tanggal 25 Januari 2005 terlihat dari nilai deviasi negatif pada tanggal tersebut dengan nilai penurunan ozon sebesar -2,5x10-7 vmr atau -0,25 ppmv. Gambar 4-4: Deviasi profil vertikal ozon Indonesia sebelum dan saat terjadi SPE tanggal 15,17,20, dan 25 Januari 2005 terhadap nilai rata-rata hari tenang (10-14 Januari 2005) Penipisan lapisan ozon pada daerah lintang rendah pada tanggal 17 dan 20 Januari 2005 tidak sebesar yang terjadi pada daerah sekitar kutub (polar cap). Hal ini selain disebabkan oleh terbatasnya presipitasi partikel berenergi tinggi ke daerah ekuator, juga disebabkan oleh tingginya intensitas sinar Matahari yang mengenai daerah ekuator. Pada daerah sekitar kutub (polar cap), terutama saat musim dingin terjadi, wilayah ini kurang mendapatkan sinar Matahari. Sedikitnya sinar Matahari yang diterima atmosfer di daerah kutub akan mempengaruhi masa hidup senyawa HO x dan NO x. Dalam keadaan normal, HO x dan NO x memiliki masa hidup yang singkat disebabkan penguraian senyawa-senyawa ini sangat bergantung pada radiasi 66

Matahari. Namun, saat musim dingin terjadi di daerah kutub, maka senyawa ini dapat bertahan lama di atmosfer. Tidak demikian halnya dengan di daerah ekuator atau di lintang rendah dimana atmosfer banyak menerima sinar Matahari sepanjang tahun. Tingginya intensitas radiasi Matahari di daerah lintang rendah menyebabkan keberadaan HO x dan NO x relatif singkat sehingga penurunan ozon tidak berlangsung lama sebelum kembali ke nilai normalnya. 5 KESIMPULAN Pada tanggal 15-25 Januari 2005 terjadi peristiwa Solar Proton Event terbesar sepanjang siklus Matahari 23. Sepanjang terjadinya SPE ini, proton berenergi tinggi terpresipitasi ke atmosfer Bumi dengan dipandu oleh medan magnet Bumi dan mempengaruhi konsentrasi ozon. Pengamatan terhadap konsentrasi ozon di wilayah Indonesia sepanjang peristiwa Solar Proton Event 15-25 Januari 2005 menunjukkan adanya penurunan konsentrasi ozon sesaat setelah terjadinya SPE. Penurunan ozon ini terdeteksi oleh instrumen OMI dan MLS pada satelit Aura dan berkaitan dengan kenaikan konsentrasi HO 2 dan NO 2 yang terjadi pada waktu yang sama. Peningkatan HO 2 dan NO 2, serta penurunan konsentrasi ozon setelah SPE terjadi menunjukkan bahwa SPE Januari 2005 memberikan pengaruh terhadap konsentrasi ozon di wilayah ekuator. Penurunan konsentrasi ozon di wilayah Indonesia akibat SPE Januari 2005 ini sebesar 8% atau berkurang ~-20 DU dibandingkan dengan rata-rata ozon sebelum terjadinya SPE (10-14 Januari) yang mencapai 245 DU. Penurunan ozon sesaat setelah SPE menunjukkan adanya proses presipitasi proton akibat SPE ke daerah lintang rendah. Mekanisme ini sendiri belum diketahui dengan baik seperti halnya proses presipitasi proton di daerah kutub yang telah dimodelkan secara baik. Namun, kemungkinan mekanisme presipitasi proton ke lintang rendah ini dipicu oleh sangat besarnya energi proton saat SPE terjadi. Energi yang sangat besar ini sanggup menyebabkan proton terdistribusi hingga ke lintang rendah bahkan ekuator meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil dibandingkan yang terjadi di daerah kutub. DAFTAR RUJUKAN Ahmad, S. P., Waters, J. W., Johnson, J. E., Gerasimov, I. V., Leptoukh, G. G., & Kempler, S. J., 2006. Atmospheric Composition Data Products from the EOS Aura MLS, Proc. Amer. Meteorological Soc. 67

Jurnal Sains Dirgantara Vol. 9 No. 1 Desember 2011 :53-69 Eighth Conf. on Atmospheric Chemistry, Atlanta, Georgia, 2006 Jan 28 - Feb 3. Bostanjyan, N. Kh., Chilingarian, A. A., Eganov, V. S., Karapetyan, G. G., 2007. On the Production of Highest Energy Solar Protons at 20 January 2005, Advances in Space Research (39): 1454-1457. Damiani, A., Storini, M., Laurenza, M., Rafanelli, C., Piervitali, E., Cordaro, E. G., 2006. Southern Ozone Variations Induced by Solar Particle Events during 15 January-5 February 2005, Journal of Atmospheric and Solar Terrestrial Physics (68): 2042-2052. Ganguly, N. D., Iyer, K. N., 2006. Impacts of the 20 th January Solar Proton Event on the Ozone Concentration of Indian Cities, Indian J. Physics 80 (4): 335-339. Hauchecorne, A., Bertaux, J.-L., Lallement, R., 2006. Impact of Solar Activity on Stratospheric Ozone and NO 2 Observed by GOMOS/ ENVISAT, Space Science Reviews (125): 393-402. Jackman, C. H., DeLand, M. T., Labow, G. J., Fleming, E. L., Weisenstein, D. K., Ko, M. K. W., Sinnhuber, M., Anderson, J., Russell, J. M., 2005. The Influence of Several Very Large Solar Proton Events in Years 2000-2003 on the Neutral Middle Atmosphere, Advances in Space Research Vol. 35 p. 445-450. Migliorini, S., Brugge, R., O Neill, A., Dobber, M., Fioletov, V., Levelt, P., Mc. Peters, R., 2008. Evaluation of Ozone Total Column Measurements by the Ozone Monitoring Instrument using a Data Assimilation System, Journal of Geophysical Research Vol.113, D15S21. Reid, G. C., 1986. Solar Energetic Particles and Their Effects on the Terrestrial Environment, in Physics of the Sun, vol. 3, edited by P. A. Sturrock, pp. 251-278, chap. 12, Springer, New York. Rohen, G., von Savigny, C., Sinnhuber, M., Llewellyn, E. J., Kaiser, J. W., Jackman, C. H., Kallenrode, M. B., Schröter, J., Eichmann, K.-U., Bovensmann, H., and Burrows, J. P., 2005. Ozone Depletion During the Solar Proton Events of October/November 2003 as Seen by SCIAMACHY, Journal of Geophysical Research, Vol. 110, A09S39, doi:10.1029/2004ja010984. Seppala, A., Verronen, P. T., Sofieva, V. F., Tamminen, J., Kyrölä, E., Rodger, C. J., Clilverd, M. A., 2006. Destruction of the Tertiary Ozone maximum During a Solar Proton Event, Geophysical Research Letter, vol. 33 L07804, 4 pp. doi:10.1029/2005 GL 025571 68

Vazquez, M., Vaquero, J. M., Curto, J. J., 2006. On the Connection Between Solar Activity and Low-Latitude Aurorae in the Period 1716-1860, Solar Physics, Volume 238, Issue 2, pp.405-420. Veefkind J.P., Kroon M., Haan J.F., 2009. Validation Status of The OMI Ozone Profile Product OMO3PR. Issue 1.5 Draft, 25-06-2009. 69