ANALISIS DAYA SAING USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DAN USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU SILVIA HAYANDANI

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

III. METODE PENELITIAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

DAYA SAING USAHA BUDI DAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU ABSTRACT ABSTRAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan. air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

1. PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

BOKS : PENGEMBANGAN SUB SEKTOR PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR DI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN KAMPAR, PROVINSI RIAU

I. PENDAHULUAN. meningkat, rata-rata konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

1. PENDAHULUAN. sangat tinggi. Jumlah penduduk Indonesia di tahun 2008 diperkirakan sebesar

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

BAB IV METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN IMPOR SAPI TERHADAP PERKEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI DI NTB

III KERANGKA PEMIKIRAN

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

ANALISIS SENSITIVITAS

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

I. PENDAHULUAN * 2009 ** Kenaikan ratarata(%)

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

PENGERTIAN EKONOMI POLITIK

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi

PROSIDING ISSN: E-ISSN:

JURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FANNYTA YUDHISTIRA A

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

BAB I PENDAHULUAN. Daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang selama ini

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya)

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC)

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DALAM KONSEP MINAPOLITAN

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

ANALISIS DAYA SAING USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DAN USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU SILVIA HAYANDANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul : ANALISIS DAYA SAING USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DAN USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah menyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Januari 2013 Silvia Hayandani NRP. H151100251

ABSTRACT SILVIA HAYANDANI. An Analisys of Comparative Advantages of Beef Cattle and Catfish Business in Indragiri Hulu District, Riau (MUHAMMAD FIRDAUS as Chairman and WIWIK RINDAYATI is a Member of the Advisory of Committee) Indonesia still imports 30 percent of beef to meet domestic demand, while still importing catfish fillets from Vietnam amounted to 600 tons per month in 2011. Indragiri Hulu district of Riau province is one of the central areas of beef cattle and catfish business. There are several problem about beef cattle and catfish business in the region. Therefore it is necessary to study on competitiveness of both types of business. This study aims to analyze: (1) competitiveness beef cattle and catfish business in the District of Indragiri Hulu, (2) the impact of government s input-output policy on the competitiveness of beef cattle and catfish business. Policy Analysis Matrix (PAM) was employed in this study in order to measure level of competitive and comparative advantage and effect of government interventions on beef cattle and catfish business. The results showed that Beef cattle business is profitable and has competitive and comparative advantage. Catfish aquaculture that uses most of the feed from factories are uncompetitive, while the catfish aquaculture that use alternative feed has highly competitiveness. The impact of government policy on output of beef cattle and catfish business indicates positive result. It is means that the government intervention has been effective so the prices received by farmers is higher than international prices. Key words : Comparative Advantages, Beef Cattle and Catfish Business, Policy Analysis Matrix and Policy Impact

RINGKASAN SILVIA HAYANDANI. Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong dan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau (MUHAMMAD FIRDAUS sebagai Ketua dan WIWIEK RINDAYATI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2005 sektor pertanian menyumbang sebesar 13,1 persen terhadap PDB, sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 15,3 persen (BPS, 2012). Peningkatan kontribusi sektor pertanian ini disebabkan oleh meningkatnya kontribusi beberapa subsektor pertanian yaitu tanaman bahan makanan, perikanan dan peternakan. Peningkatan kontribusi ini juga tidak terlepas dari adanya program revilisasi pertanian yang telah dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 2005. Revitalisasi bidang peternakan adalah swasembada daging sapi tahun 2014, sedangkan salah satu program revitalisasi dibidang perikanan adalah minapolitan dengan pengembangan beberapa produk unggulan, salah satunya yaitu ikan patin. Seiring dengan berjalannya program revitalisasi tersebut, produksi dalam negeri telah menunjukkan peningkatan tetapi belum menjamin ketersediaan daging sapi dan ikan patin di dalam negeri. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri pemerintah masih mengimpor daging sapi sebesar 74.303 ton dan sapi bakalan 645.833 ekor atau setara dengan 30 persen kebutuhan dalam negeri pada tahun 2011 (Ditjennak 2011). Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan ikan patin dalam negeri Indonesia pada tahun 2011 masih mengimpor fillet ikan patin dari Vietnam rata-rata sebesar 600 ton per bulan (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2011). Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu daerah yang dijadikan sebagai sentra ternak sapi potong di Riau. Sektor perkebunan yang berkembang cukup pesat di daerah ini bisa menopang sektor peternakan terutama dari segi pakan baik hijauan maupun pakan tambahan dari limbah kelapa sawit. Subsektor peternakan dijadikan salah satu subsektor andalan di Kabupaten Indragiri Hulu. Disamping berbagai faktor pendukung yang ada, usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu juga menghadapi berbagai kendala seperti mahalnya harga bibit, pertumbuhan bobot sapi yang belum optimal, semakin berkurangnya lahan untuk kebutuhan pakan ternak khususnya hijauan, manajemen pemeliharaan yang relatif sederhana serta harus bersaing dengan sapi yang didatangkan dari daerah lain. Kabupaten Indragiri Hulu juga merupakan salah satu dari 7 kabupaten/kota yang ditetapkan sebagai kawasan minapolitan khususnya dalam pengembangan komoditas unggulan ikan patin. Namun usaha budidaya ikan air tawar khususnya patin mempunyai beberapa permasalahan antara lain harga yang cenderung tidak stabil, mahalnya harga pakan, kurangnya teknologi pembuatan pakan dan lain-lain. Permasalahan tersebut di atas akan berdampak terhadap eksistensi dan daya saing usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) tingkat daya saing usaha peternakan sapi potong dan budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu melalui keunggulan komparatif dan kompetitif. (2) pengaruh kebijakan input dan

output yang dilakukan oleh pemerintah terhadap daya saing usaha peternakan sapi potong dan budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu. Penelitian di lakukan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Pemillihan sampel dilakukan secara purposive. Daya saing pengusahaan ternak sapi potong dan budidaya patin dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Berdasarkan analisis PAM, usaha peternakan sapi potong baik untuk usaha penggemukan maupun usaha pembibitan di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki keunggulan kompetitif (PCR < 1) dan komparatif (DRC < 1). Nilai PCR sebesar 0.62 untuk usaha penggemukan dan 0,72 pada usaha pembibitan Dengan demikian usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu efesien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif. Sedangkan nilai DRC yang sebesar 0.90 pada usaha penggemukan dan 0,87 pada usaha pembibitan (DRC<1). Artinya setiap 1 satuan yang dibutuhkan untuk mengimpor daging dan sapi bibit/bakalan jika diproduksi di Kabupaten Indragiri Hulu hanya membutuhkan biaya input domestik sebesar 0.90 dan 0,87 satuan sehingga terjadi penghematan devisa sebesar 0.10 dan 0.13. Dengan demikian usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu efesien secara ekonomi atau memiliki keunggulan komparatif. Hasil analisis PAM pada usaha budidaya ikan patin menunjukkan nilai PCR untuk usaha budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan pelet sebesar 0,49 dan pada budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif sebesar 0,30. Dengan demikian usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki keunggulan kompetitif (PCR<1). Nilai DRC sebesar 1,07 untuk usaha dengan pakan pelet dan 0,47 untuk usaha dengan pakan alternatif. Artinya usaha budidaya patin yang menggunakan sebagian besar pakan pelet tidak memiliki keunggulan komparatif, sedangkan budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif memiliki keunggulan komparatif. Artinya lebih baik impor ikan patin dari pada memproduksi di dalam negeri pada kondisi budidaya dengan sebagian besar pakan pelet, sebaliknya pada kondisi budidaya dengan pakan alternatif lebih menguntungkan jika diproduksi di dalam negeri. Analisis dampak kebijakan pemerintah pada usaha peternakan sapi potong dalam tabel PAM dari sisi output ditunjukkan oleh Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) yang dihasilkan sebesar 1,29 untuk usaha penggemukan dan 1,18 pada usaha penggemukan (NPCO>1). Hasil ini menunjukkan bahwa peternak di Kabupaten Indragiri Hulu menerima harga lebih tinggi dari harga dunia atau pasar internasional. Pada usaha budidaya ikan patin, nilai NPCO adalah 1,60 baik untuk budidaya dengan pakan pelet maupun pakan alternatif. Hal ini terjadi karena adanya subsidi yang diberikan oleh pemerintah terhadap beberapa input produksi dan adanya kuota impor untuk sapi potong dan ikan patin. Kebijakan pemerintah dalam penggunaan input bisa dilihat dari nilai Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) merupakan rasio antara biaya input asing yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan harga input asing yang dihitung berdasarkan harga ekonomi. Nilai NPCI usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 1,01 pada usaha penggemukan dan 0,91 pada usaha pembibitan. Hal ini menunjukkan bahwa total biaya input tradable karena adanya kebijakan pemerintah tidak sama dengan biaya input tradable tanpa kebijakan pemerintah. Nilai yang lebih besar dari satu

mengindikasikan adanya susidi negatif sedangkan nilai yang kecil dari satu merupakan dampak dari subsidi positif. Nilai NPCI pada usaha budidaya ikan patin sebesar 1,26 pada usaha dengan pakan pelet dan 1,31 pada budidaya dengan pakan alternatif. Hal ini terjadi karena adanya pajak yang ditetapkan pemerintah salah satunya yaitu PPN terhadap pakan ikan. Dampak efektif dari insentif yang diberikan pemerintah pada output dan input secara keseluruhan terhadap usaha peternakan sapi potong maupun usaha budidaya ikan patin dapat dilihat dari nilai Effective Protection Coefficient (EPC). Nilai EPC pada usaha peternakan sapi potong adalah sebesar 1,47 pada penggemukan dan 1,23 pada pembibitan. Nilai EPC pada usaha budidaya ikan patin adalah sebesar 2,31 pada budidaya dengan pakan pelet dan 1,64 pada usaha budidaya dengan pakan alternatif. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output telah berjalan dengan efektif bagi peternak dan pembudidaya ikan patin untuk berproduksi. Kata Kunci : Sapi Potong, Ikan Patin, Keunggulan Kompetitif dan Komparatif, Dampak Kebijakan Pemerintah

Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISIS DAYA SAING USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DAN USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU SILVIA HAYANDANI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Alla Asmara, M.Si

Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Mayor : Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong dan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau : Silvia Hayandani : H151100251 : Ilmu Ekonomi Menyetujui, Komisi Pembimbing Muhammad Firdaus, SP,M.Si,Ph.D Ketua Dr.Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si Anggota Mengetahui, Kordinator Mayor Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir.R.Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah,MSc.Agr Tanggal Ujian Tesis : 30 Januari 2013 Tanggal Lulus :

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala karunia-nya penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong dan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Muhammad Firdaus,SP,M.Si,Ph.D sebagai ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si, sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Bapak Dr. Alla Asmara,M.Si selaku penguji luar komisi serta Dr.Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku penguji wakil Program Studi Ilmu Ekonomi atas saran perbaikan tesis. Bapak Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau yang telah memberikan beasiswa selama penyelesaian studi ini serta Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Riau yang telah memberikan izin penulis melanjutkan studi. Bapak Agus Rosadi, SP, M.Pd selaku Kepala Sekolah SMKN Pertanian Terpadu Provinsi Riau yang telah memberikan izin dan mendorong penulis dalam penyelesaian studi. Kepala dan staf Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu serta Kepala UPTD dan staf yang telah memberikan banyak bantuan dalam mengumpulkan data penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua Ibu Asniwarli, Ayah Kaismi (alm) dan Ayah Zainun yang selama ini telah memberikan dukungan semangat, materi, do a dan kasih sayang kepada penulis, juga saudariku tercinta Refnayulita atas dukungan semangat dan do anya.teman-teman IE angkatan 2010 terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Penulis berharap penelitian ini bisa bermanfaat dalam pengembangan pendidikan serta pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor peternakan dan perikanan di Provinsi Riau. Bogor, Januari 2013 Silvia Hayandani

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tebing Tinggi, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada tanggal 18 September 1982, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Kaismi (alm) dan Ibu Asniwarli. Tahun 2001 penulis menyelesaikan studi di SMK N 1 Payakumbuh dan pada tahun yang sama melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang (UNP) pada Program Studi Pendidikan Ekonomi Akuntansi melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi Riau. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 dengan beasisswa dari Dinas Pendidikan Provinsi Riau melalui Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...... I. PENDAHULUAN... 1 xvi xvii 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 8 1.3. Tujuan Penelitian...... 12 1.4. Ruang Lingkup Penelitian... 12 II. TINJAUAN PUSTAKA... 15 2.1. Tinjauan Teoritis... 15 2.1.1. Peternakan Sapi Potong...... 15 2.1.2. Budidaya Ikan Patin...... 17 2.1.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Sapi Potong dan Ikan Patin... 19 2.1.4. Keunggulan Komparatif..... 23 2.1.5. Keunggulan Kompetitif..... 24 2.1.6. Analisis Kebijakan Pemerintah... 25 2.1.7. Kebijakan Output... 28 2.1.8. Kebijakan Input... 30 2.1.9. Matriks Analisi Kebijakan (Policy Analysis Matrix/ PAM)... 33 2.2. Tinjauan Empiris... 35 2.2.1. Studi Daya Saing Sapi Potong...... 35 2.2.2. Studi Daya Saing Perikanan... 37 2.2.3. Studi Aspek Kebijakan... 38 2.3. Kerangka Pemikiran Operasional... 40 III. METODE PENELITIAN... 43 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 43 3.2. Jenis dan Sumber Data... 43 3.3. Metode Penentuan Sampel... 44 3.4. Metode Analisi Data... 44 3.4.1. Analisis Indikator Matriks Kebijakan... 45 3.4.2. Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing.. 49 3.4.3. Penentuan Harga Bayangan Input dan Output... 50 3.5. Analisis Sensitivitas... 55 IV. GAMBARAN UMUM... 57 4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian... 57 4.2. Keadaan Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu... 58

4.3. Karakteristik Responden Peternak Sapi Potong... 61 4.3.1. Umur Responden Peternak... 62 4.3.2. Tingkat Pendidikan Responden Peternak... 62 4.3.3. Pengalaman Responden Peternak63 4.4. Keadaan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu 63 4.5. Responden Pembudidaya Ikan Pati... 65 4.3.1. Umur Responden Pembudidaya... 65 4.3.2. Tingkat Pendidikan Responden Pembudidaya66 V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 67 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu... 67 5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu... 67 5.1.2. Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu... 70 5.1.2.1. Analisis Keunggulan Kompetitif... 71 5.1.2.2. Analisis Keunggulan Komparatif... 72 5.1.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu... 73 5.1.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output... 74 5.1.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input... 75 5.1.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output... 78 5.1.4. Analisis Sensitivitas Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu... 83 5.1.5. Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu 83 5.2. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu... 85 5.2.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu... 85 5.2.2. Analisis Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu... 89 5.2.2.1. Analisis Keunggulan Kompetitif... 89 5.2.2.2. Analisis Keunggulan Komparatif... 90 5.2.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu... 91 5.2.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output... 92 5.2.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input... 93 5.2.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output... 94 5.1.4. Analisis Sensitivitas Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu... 96

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN... 101 6.1. Kesimpulan... 101 6.2. Implikasi Kebijakan... 101 DAFTAR PUSTAKA... 103 LAMPIRAN... 107

Halaman ini sengaja dikosongkan

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Permintaan Daging Sapi di Indonesia tahun 2007-2011... 2 2. Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia 2006-2010... 6 3. Produksi Ikan Patin Menurut Wilayah Tahun 2007-2010... 7 4. Produksi Ikan Patin Budidaya di Pulau Sumatera Tahun 2007-2010... 7 5. Jumlah Ternak Sapi Potong Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Riau... 9 6. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditi... 26 7. Policy Analysis Matrix... 34 8. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi oleh Peternak Responden di Kabupaten Indaragiri Hulu tahun 2011... 59 9. Sebaran Umur Peternak Responden di Kabupaten Indragiri Hulu... 62 10. Sebaran Tingkat Pendidikan Peternak Responden... 62 11. Pengamalaman Peternak Responden... 63 12. Luas Kolam Responden Pembudidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu... 64 13. Sebaran Umur Pembudidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu... 65 14. Sebaran Tingkat Pendidikan Pembudidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu... 66 15. Rata-rata Penerimaan dan Komponen Biaya Privat Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2011... 68 16. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 70 17. Domestic Resources Cost Ratio (DRC) dan Privat Cost Ratio (PCR) Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 71

18. Output Transfer (OT) dan Nominal ProtectionCoeffocient on Output (NPCO) Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 74 19. Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 76 20. Nilai Indikator Kebijakan Input, Output Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 78 21. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 81 22. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 82 23. Simulasi Afirmatif Usaha Peternakan Sapi Potong Di Kabupaten Indragiri Hulu... 83 24. Rata-rata Penerimaan dan Komponen Biaya Privat Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2011... 86 25. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 88 26. Domestic Resources Cost Ratio (DRC) dan Privat Cost Ratio (PCR) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 89 27. Output Transfer (OT) dan Nominal ProtectionCoeffocient on Output (NPCO) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 92 28. Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 93 29. Nilai Indikator Kebijakan Input, Output Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 95 30. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 97 31. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 98 32. Simulasi Afirmatif Usaha Budidaya Ikan Patin Di Kabupaten Indragiri Hulu 99

DAFTAR GAMBAR Nomor halaman 1. Hasil Produksi Patin Indonesia 2006-2010... 5 2. Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor dan Barang Ekspor... 29 3. Subsidi dan Pajak Input Tradable... 31 4. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable... 32 5. Kerangka Pemikiran Operasional... 41

Halaman ini sengaja dikosongkan

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto (PDB) atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha (2007-2011)... 107 2. Alokasi Komponen Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik dan Asing...... 108 3. Perhitungan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2011... 109 4. Perhitungan Harga Paritas Impor Daging dan Sapi Bibit/Bakalan Tingkat Petani di Kabupaten Indragiri Hulu...... 110 5. Perhitungan Harga Paritas Impor Ikan Patin dan Harga Paritas Impor Garam Tingkat Petani di Kabupaten Indragiri Hulu...... 111 6. Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Urea... 112 7. Struktur Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu...... 113 8. Struktur Biaya Usaha Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu..... 113 9. Struktur Biaya Usaha Budidaya Ikan Patin dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Peletdi Kabupaten Indragiri Hulu.... 114 10. Struktur Biaya Usaha Budidaya Ikan Patin dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Alternatif di Kabupaten Indragiri Hulu.... 114 11. Biaya Privat dan Sosial Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.... 115 12. Biaya Privat dan Sosial Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.... 116 13. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Harga Sapi Potong Turun 15 Persen di Kabupaten Indragiri Hulu...... 117 14. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat BBM Naik 15 Persen di Kabupaten Indragiri Hulu.... 118 15. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Menggunakan Pakan dari Limbah Sawit di Kabupaten Indragiri Hulu.... 119

16. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Harga Ikan Patin Turun 25 Persen di Kabupaten Indragiri Hulu... 120 17. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Pada Saat PPN Pakan Ikan 10 Persen... 121 18. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Pada Saat Terjadi Depresiasi Nilai Tukar sebesar 5.5 Persen... 122

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor pertanian juga berperan besar dalam penyediaan pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat. Sektor pertanian yang dimaksud disini adalah sektor pertanian dalam arti luas yang mencakup pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan. Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia adalah sebesar 13,4 persen (Lampiran 1), dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 3,7 persen. Dari lima subsektor yang ada, peternakan dan perikanan merupakan subsektor pertanian yang mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan. Walaupun secara rata-rata pangsa subsektor peternakan terhadap total PDB hanya 1,70 persen dan subsektor perikanan 2,2 persen. Secara rata-rata dari tahun 2001-2010 subsektor perikanan tumbuh 5,22 persen, tertinggi dibanding subsektor lainnya. Sedangkan subsektor peternakan menempati urutan kedua dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,24 persen. Pada triwulan III 2011 pertumbuhan subsektor perikanan adalah 6,11 persen (Bank Indonesia, 2011). Oleh karena itu kedua subsektor ini berpotensi dijadikan sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian. Peningkatan pertumbuhan subsektor peternakan dan perikanan ini tidak terlepas dari agenda penting pembangunan ekonomi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 yang terkait dengan pembangunan pertanian yaitu revitalisasi pertanian. Program revitalisasi pertanian tersebut antara lain diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani (Departemen Pertanian, 2005). Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang di dalamnya termasuk peternakan, mengamanatkan salah satu kegiatan penting yaitu upaya swasembada daging sapi. Swasembada daging ini pada awalnya diharapkan tercapai pada tahun 2010 namun karena banyaknya tantangan dan permasalahan yang dihadapi maka program ini belum terlaksana secara optimal. Berdasarkan

kondisi ini maka pada tahun 2010 pemerintah kembali mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014. Pada tahun 2009 rata-rata konsumsi daging secara keseluruhan rakyat Indonesia masih cukup rendah yaitu sebesar 6,297 kg per kapita per tahun (Direktorat Jenderal Peternakan, 2011), sedangkan konsumsi rakyat Malaysia 46,87 kg per kapita per tahun dan Filiphina 24,96 kg per kapita pertahun (Daryanto, 2009 dalam BAPPENAS 2010). Pada tahun 2010 konsumsi daging mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya yaitu 6,953 kg per kapita per tahun. Khususnya untuk daging sapi, Asosiasi Importir Sapi dan para peneliti berbeda pendapat tentang kebutuhan daging sapi nasional. Meskipun terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah kebutuhan daging sapi nasional, saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 30 persen dari kebutuhan daging sapi nasional, ini mengindikasikan bahwa produksi dalam negeri belum mencukupi. Tabel 1. Permintaan Daging Sapi di Indonesia Tahun 2007-2011 (000 Ton) Uraian 2007 2008 2009 2010 2011 Produksi daging lokal 210,77 233,63 250,81 221,23 292,45 Impor 124,80 150,42 142,80 195,82 156,85 Total 335,57 384,05 390,61 417,04 449,31 Sumber: Kementerian Pertanian, 2012 Jika kesenjangan antara produksi dan konsumsi ini tidak diantisipasi dengan upaya peningkatan produksi di dalam negeri maka Indonesia akan selalu bergantung pada sapi impor. Hal ini disamping berdampak kurang baik bagi neraca perdagangan Indonesia juga merugikan peternak dalam negeri. Pencanangan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014 oleh pemerintah diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor daging sapi maupun sapi potong dengan cara meningkatkan produktivitas usaha sapi potong domestik secara lebih kompetitif. Suplai daging sapi dalam negeri bisa lebih kompetitif jika daya saingnya dapat ditingkatkan. Daya saing sangat terkait dengan input produksi seperti ketersediaan pakan, penggunaan bibit unggul, manajemen dan kesehatan hewan, inovasi teknologi serta faktor-faktor eksternal lainnya. Tersedianya sumberdaya lokal dan teknologi serta adanya dukungan

pemerintah diharapkan dapat dijadikan peluang untuk pengembangan usaha ternak sapi dalam negeri. Pemberlakuan pasar bebas (Free Trade Area/FTA) terutama persetujuan ASEAN-Australia Newzealand Free Trade Area (AANZ-FTA) akan berpengaruh pada usaha peternakan sapi dalam negeri. Indonesia selama ini sebagian besar mengimpor daging sapi dan sapi bibit maupun bakalan dari Australia dan New Zealand. Pada tahun 1990 tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun 2007 turun menjadi 20 persen, sedangkan dari tahun 2003 sampai sekarang menjadi 5 persen (Dirgantoro dalam Indrayani, 2011). Tarif ini akan diturunkan secara bertahap sehingga pada tahun 2020 menjadi nol persen. Akibatnya sapi potong impor yang selama ini harganya lebih murah akan semakin menekan daging sapi lokal. Untuk mengantisipasi kondisi ini pemerintah harus segera melakukan percepatan pembangunan peternakan khususnya sapi potong. Salah satu strategi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan produksi sapi potong adalah program integrasi tananaman sawit dengan ternak sapi potong. Salah satu daerah yang sangat potensial untuk pengembangan program tersebut adalah Provinsi Riau. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai 1,5 juta hektar, dimana hijauan dan limbahnya bila dimanfaatkan mampu mendukung pengembangan ternak sampai ratusan juta ekor. Provinsi Riau juga merupakan daerah yang kebutuhan dan konsumsi dagingnya terus tumbuh dengan pesat, tetapi saat ini hampir 70 persen kebutuhan masih sangat bergantung pada pasokan dari provinsi tetangga dan bahkan dari luar negeri. Pemerintah Provinsi Riau berkomitmen untuk melaksanakan program integrasi tanaman sawit sapi dalam rangka mendukung program swasembada daging sapi sekaligus peningkatan kesejahteraan petani. Disisi lain subsektor perikanan juga mempunyai peluang yang tidak kalah menjanjikan jika dilihat dari pertumbuhannya yang cukup pesat beberapa tahun terakhir. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar dengan luas laut sekitar 8,5 juta km2. Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi berdasarkan data FAO 2002 (DKP, 2005)

menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut oleh sebagian negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Oleh karena itu, alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya (akuakultur). Melihat fenomena tersebut, maka pada tahun 2005, pemerintah merencanakan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Program tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan hasil produksi salah satunya pada bidang perikanan. Upaya revitalisasi di bidang perikanan khususnya berupa pengembangan akuakultur. Dalam rangka untuk mencapai target visi mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP-RI) menggagas Revolusi Biru sebagai grand strategi. Revolusi Biru merupakan perubahan cara berpikir dan orientasi pembangunan dari daratan ke maritim yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Salah satu realisasi dari program revolusi biru yang digalakkan KKP-RI adalah program pengembangan Minapolitan, yang merupakan konsep pembangunan berbasis manajemen ekonomi kawasan dengan motor penggerak disektor kelautan dan perikanan. Sistem manajemen kawasan Minapolitan didasarkan pada prinsip integrasi, efisiensi, kualitas dan akselerasi tinggi. Program yang mulai dijalankan Pemerintah RI sejak 2009 ini merupakan upaya untuk merevitalisasi sentra produksi perikanan dan kelautan dengan penekanan pada peningkatan pendapatan rakyat. Melalui program ini akan dikembangkan beberapa komoditas yang telah unggul. Berdasarkan data tahun 2010 ada beberapa komoditas unggulan sektor perikanan dan kelautan Indonesia yang akan ditingkatkan produksi, yakni bandeng, patin, nila, lele, udang, gurame, kakap, kerapu, tuna dan rumput laut. Khusus untuk budidaya ikan patin pemerintah berkomitmen untuk terus meningkatkan produksi karena potensi pengembangannya masih cukup besar dan peluang pasar yang masih cukup tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Produksi ikan patin di Indonesia pada awalnya hanya ikan patin lokal tangkapan yang berasal dari perairan umum di beberapa provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Namun saat ini produksi ikan patin sebagian besar adalah hasil

budidaya, terutama sejak diperkenalkannya ikan patin jenis siam dari Thailand. Sampai saat ini, produksi ikan patin di Indonesia telah mengalami peningkatan tetapi masih belum mampun mencapai target yang diharapkan. Pada tahun 2006 produksi patin nasional 31.490 ton dan meningkat menjadi 144.056 ton pada tahun 2010 dengan pertumbuhan rata-rata 58,28 persen dari tahun 2006-2010 (Gambar 1). 160.000 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0 144.056 102.021 109.685 31.490 36.755 2006 2007 2008 2009 2010* Produksi Patin Tahun 2006-2010 (Ton) *) Angka Sementara Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya, 2011 Gambar 1. Hasil produksi Patin Indonesia 2006-2010 Meningkatnya jumlah produksi patin dalam negeri masih belum menjamin tercukupinya kebutuhan ikan patin dalam negeri. Pada tahun 2010, impor patin Indonesia mencapai 2.453,41 ton 1. Sampai dengan akhir tahun 2011 Indonesia masih mengimpor ikan patin dari Vietnam hampir sebesar 600 ton setiap bulannya. Harga patin impor dari Vietnam yang hanya berkisar Rp 9.000 per kg, membuat produk olahan perikanan tersebut mendominasi pasar Uni Eopa, Amerika, Asia tak terkecuali Indonesia. Harga murah ini bisa mematikan pasaran patin lokal yang harganya berada pada kisaran Rp 12.500 per kg. Dari segi kuantitas produksi Indonesia juga kalah jauh dengan Vietnam dimana produksinya melebihi 1 juta ton setiap tahun. Untuk menyelamatkan pasaran patin domestik, pemerintah pun melarang impor dory (fillet ikan patin dari Vietnam) untuk sementara. Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 15 1 Dirjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Saut Parulian Hutagalung

Tahun 2011, mulai Januari 2012 impor produk olahan patin tersebut dilarang dan pasar domestik akan diutamakan. Mahalnya harga ikan patin di Indonesia terjadi karena tingginya biaya produksi yang salah satunya disebabkan oleh tingginya harga pakan. Hal itu karena tepung ikan sebagai bahan baku pembuat pakan ikan (pelet) masih diimpor dari negara lain. Tabel 2. Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 Kenaikan Rata-rata (%) Volume (Ton) 88.852 55.685 68.275 65.601 57.010-7,93 Nilai (US $ 1.000) 76.527 49.925 44.387 39.945 38.303-4,11 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011 Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat penurunan volume impor tepung ikan di Indonesia dengan melihat perkembangannya yang negatif. Hal ini karena sepanjang 2007, sebanyak 70 persen dari kebutuhan tepung ikan sudah bisa dipenuhi oleh tepung ikan lokal. Para pengolah tepung ikan lokal telah mampu meningkatkan produksi dan kualitas tepung ikan yang dihasilkannya. Melihat fenomena ini dapat disimpulkan bahwa patin dalam negeri masih kalah saing dibandingkan dengan patin produksi Vietnam. Disisi lain pemerintah mempunyai target untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015. Patin sebagai salah satu komoditas andalan merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan, selain permintaannya tinggi di dalam negeri, patin juga merupakan salah satu komoditas budidaya air tawar yang mempunyai pasar yang sangat bagus di Uni Eropa, Amerika Serikat, Eropa Timur, dan Timur Tengah. Salah satu cara untuk mencapai target tersebut yaitu dengan meningkatkan daya saing komoditas patin. Daya saing tidak hanya berkaitan dengan industri hilir saja tetapi keseluruhan mata rantai usaha mulai dari industri hulu dan hilir terutama yang berkaitan dengan proses produksi. Untuk meningkatkan daya saing budidaya patin setidaknya ada dua hal yang berkaitan erat yaitu (1) ketersediaan bibit unggul dan berkualitas, (2) ketersediaan pakan yang murah dan berkualitas. Seiring dengan meningkatnya daya saing maka diharapkan target produksi yang diinginkan bisa tercapai.

Tabel 3. Produksi Ikan Patin Menurut Wilayah Tahun 2007-2010 (Ton) Wilayah 2007 2008 2009 2010 Sumatera 15.991 66.108 79.266 97.438 Jawa 11.532 23.159 14.167 22.287 Bali- Nusa Tenggara 3 7 50 168 Kalimantan 9.231 12.747 10.202 27.991 Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya, 2011 Jika dilihat produksi tiap wilayah di Indonesia maka Pulau Sumatera merupakan wilayah penghasil patin terbesar diikuti oleh Pulau Jawa dan Kalimantan (Tabel 3). Sedangkan untuk wilayah Sumatera sendiri Provinsi penghasil patin terbesar adalah Sumatera Selatan, Riau dan Jambi (Tabel 4). Kenaikan produksi ikan patin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kemudahan dalam membudidayanya dan masih terbukanya pasar dalam negeri. Disamping itu ikan patin seperti halnya ikan lele terutama di daerah Sumatera dan Kalimantan merupakan santapan yang sangat disukai (Ditjen Perikanan Budidaya, 2011). Tabel 4. Produksi Ikan Patin Budidaya di Pulau Sumatera Tahun 2007-2010 (Ton) Provinsi 2007 2008 2009 2010 Aceh 73 87 - - Sumatera Utara - - 94 72 Sumatera Barat 4 5 870 4.082 Riau 3.394 14.206 16.618 20.155 Jambi 8.086 10.077 10.907 12.429 Sumatera Selatan 1.631 38.543 47.265 55.582 Bangka Belitung 27 51 44 106 Bengkulu 238 195 105 230 Lampung 2.538 2.943 3.363 4.782 Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya, 2011 Dari Tabel 4 di atas bisa dilihat bahwa di wilayah Sumatera, Provinsi Riau merupakan daerah penghasil patin tertinggi kedua setelah Provinsi Sumatera Selatan. Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang menjadi sentra pengembangan komoditas perikanan terutama patin di Indonesia. Sektor ini merupakan salah satu sektor unggulan yang diharapkan dapat memberikan

kontribusi yang besar terutama peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian. Perkembangan subsektor perikanan di Provinsi Riau dan pangsanya terhadap PDRB pertanian mengalami peningkatan dari 9,13% pada tahun 2009 menjadi 9,35% pada tahun 2010 2. Potensi lahan untuk kegiatan budidaya tambak yang telah dimanfaatkan sebesar 262 ha dan luas potensial 22.733 ha dengan total keseluruhan sebesar 22.995 ha. Sedangkan untuk kegiatan budidaya air tawar yang terdiri dari budidaya kolam, perairan umum dan sawah, masing-masing tercatat memiliki potensi luas sebesar 8.200 ha, 400 ha dan 3.500 ha 3. 1.2. Perumusan Masalah Kabupaten Indragiri Hulu merupakan daerah yang dijadikan sebagai salah satu sentra ternak di Provinsi Riau bagian selatan. Hal itu disebabkan karena Kabupaten Indragiri Hulu memiliki potensi yang besar terutama pakan ternak. Sektor perkebunan yang berkembang cukup pesat di daerah ini bisa menopang sektor peternakan. Dinas Peternakan Indragiri Hulu menargetkan dapat mengembangkan peternakan sapi dan kerbau yang terintegrasi dengan tanaman khususnya sawit. Ditargetkan setiap satu hektar sawit akan ada minimal dua ekor sapi. Pada perkebunan kelapa sawit, hijauan yang ada dilahan, pelepah sawit serta bungkil kelapa sawit bisa dijadikan pakan ternak. Saat ini populasi ternak sapi di Kabupaten Indragiri Hulu tertinggi di Provinsi Riau dan selalu menunjukkan peningkatan setiap tahunnya (Tabel 5). Berdasarkan potensi yang ada maka subsektor peternakan dijadikan salah satu subsektor andalan di Kabupaten Indragiri Hulu. Kabupaten Indragiri Hulu sebagai salah satu sentra produksi sapi potong memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan daging yang tinggi di Provinsi Riau. Dalam rangka pengembangan usaha peternakan sapi potong sebagai komoditi unggulan, maka pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu telah melakukan berbagai kebijakan diantaranya: (1) mengembangkan sentra-sentra baru pembibitan ternak pedesaan dan 2 www.bi.go.id 3 www.regionalinvestment.bkpm.go.id

pengembangan agribisnis komoditas unggulan ternak pada wilayah yang sesuai dengan agroklimat, pasar dan teknologi (2) mengembangkan pola kemitraan antara perusahaan peternakan besar dengan peternakan rakyat (3) pemberdayaan kelompok petani peternak (4) pengembangan pasar ternak dan lain lain. Tabel 5. Jumlah Ternak Sapi Potong Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Kabupaten/Kota 2009 2010 2011* Kuantan Singingi 25.043 26.307 22.560 Indragiri Hulu 37.490 39.023 28.418 Indragiri Hilir 6.090 6.334 5.378 Pelalawan 4.926 5.602 5.326 Siak 12.203 15.599 9.556 Kampar 17.291 19.875 23.154 Rokan Hulu 25.249 26.057 30.552 Bengkalis 13.310 11.047 10.517 Rokan Hilir 19.588 21.549 12.866 Kepulauan Meranti - 2.263 3.579 Pekanbaru 7.775 7.962 3.982 Dumai 3.429 7.070 3.967 *) Angka Sementara Sumber: BPS Provinsi Riau, 2012 Usaha peternakan sapi yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu pada umunya adalah peternakan rakyat dengan skala kepemilikan antara 3-10 ekor. Masyarakat menjadikan peternakan sapi sebagai usaha sampingan, pada umumnya mereka menjadikan sapi sebagai tabungan untuk keperluan-keperluan khusus seperti untuk biaya sekolah anak, biaya pesta dan lain sebagainya. Usaha ternak sapi dipilih oleh masyarakat karena kegiatannya mudah, tidak memakan banyak waktu serta pencarian pakan bisa dilakukan dikebun yang mereka miliki. Sistem pemeliharan yang dilakukan oleh masyarakat berupa ranch murni (sapi dibiarkan lepas di lapangan atau di kebun), semi intensif dan intensif (sapi dikandangkan secara terus menerus dan diberi pakan). Disamping berbagai faktor pendukung yang ada, usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu juga menghadapi berbagai kendala. Beberapa kendala yang dihadapi adalah mahalnya harga bibit, lahan hijauan untuk pakan yang semakin berkurang, belum tersedianya mesin untuk pembuatan mengolah pakan dari limbah sawit, pertumbuhan bobot sapi yang belum optimal serta manajemen pemeliharaan yang relatif sederhana. Permasalahan lain yang dihadapi

oleh peternak adalah adanya sapi potong impor maupun didatangkan dari daerah lain dengan harga yang lebih murah. Berdasarkan berbagai permasalahan yang ada maka perlu dikaji apakah usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki daya saing sehingga layak untuk dikembangkan lebih lanjut dalam rangka pencapaian swasembada daging 2014. Disamping itu perlu juga dikaji kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usaha sapi domestik. Sedangkan pada sektor perikanan Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu dari 7 kabupaten/kota di Provinsi Riau yang ditetapkan sebagai kawasan minapolitan. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Nomor KEP.39/MEN/2011 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Nomor Kep.32/MEN/2010 tentang penetapan kawasan minapolitan. Kabupaten Indragiri Hulu mempunyai potensi yang cukup besar untuk pengembangan perikanan dengan luas perairan umum sebesar 36.015 Ha, yang terdiri dari danau 1.449 Ha, sungai 9.095 Ha dan rawa-rawa 25.471 Ha (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab.Indragiri Hulu, 2011). Dengan kondisi perairan yang cukup luas produksi perikanan perairan umum di Kabupaten Indragiri Hulu mencapai lebih dari 500 ton per tahun. Komoditas perairan umum andalan di daerah ini adalah ikan patin dengan jumlah produksi 98,65 ton tahun 2009, menurun menjadi 87,80 ton pada tahun 2011(Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu, 2012). Produksi perairan umum seperti ikan patin cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya karena kegiatan penangkapan ikan tersebut telah melewati ambang batas yang diperbolehkan untuk ditangkap. Berdasarkan kondisi ini maka pemerintah mengarahkan pengembangan sektor perikanan di Kabupaten Indaragiri Hulu pada pengembangan usaha budidaya (akuakultur). Beberapa program yang telah dilakukan oleh pemerintah Indragiri Hulu dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas budidaya ikan patin adalah: (1) pengembangan atau perluasan areal kolam di kawasan minapolitan (2) pembentukan kelompok tani pembudidaya patin sehingga memudahkan dalam mengkoordinir kegiatan pembudidaya (3) memberikan bantuan mesin penepung pakan ikan untuk mengatasi kendala mahalnya harga pakan komersil (4)

menyediakan mesin pengasapan ikan patin dan program-program lainnya yang terkait dengan budidaya ikan patin. Usaha budidaya patin yang dilakukan oleh masyarakat Indragiri Hulu sebagian besar dilakukan di kolam. Luas kolam per unit milik pembudidaya bervariasi antara 100-10.000 m 2. Dari total 575 Ha potensi kolam yang ada di Indragiri Hulu, yang baru direalisasikan untuk budidaya ikan air tawar 154,80 Ha. Besarnya potensi kolam yang ada ditambah potensi perairan umum berupa sungai dan danau maka usaha budidaya ikan air tawar khususnya patin masih terbuka cukup luas. Dari 14 kecamatan yang ada, Kecamatan Pasir Penyu merupakan wilayah yang tingkat realisasi pemanfaatan potensi kolamnya paling tinggi sehingga direkomendasikan sebagai pusat kawasan minapolitan. Hal ini juga didukung oleh ketersediaan lahan, sumber air dan sarana produksi lainnya. Berdasarkan informasi di lokasi penelitian, usaha budidaya ikan air tawar khususnya patin mempunyai beberapa permasalahan yang dirasa cukup berat oleh petani pembudidaya. Beberapa permasalahan yang dihadapi pembudidaya antara lain kurangnya modal usaha, penanggulangan penyakit, sulitnya bahan baku pakan, harga yang tidak stabil dan kurangnya pembinaan SDM dilapangan. Dari segi pakan yang menjadi permasalahan adalah mahalnya harga pakan (pelet) yang didatangkan dari daerah luar seperti Surabaya dan Medan. Disamping itu produksi patin lokal juga harus bersaing dengan ikan yang datang dari kabupaten lain seperti Kampar bahkan dari provinsi lain seperti Sumatera Barat yang harganya lebih murah. Saat musim hujan produksi patin budidaya mengalami penurunan karena perubahan kadar air akibat banjir menyebabkan tingkat kematian patin cukup tinggi. Adanya bermacam permasalahan seperti di atas maka akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi dan daya saing usaha budidaya ikan patin di Indragiri Hulu. Oleh karena itu perlu dikembangkan kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usaha budidaya ikan patin sehingga program minapolitan yang akan dilakukan bisa berjalan sesuai harapan. Berdasarkan paparan tentang kondisi serta prospek sektor peternakan dan perikanan Kabupaten Indragiri Hulu di atas, maka ada beberapa permasalahan yang perlu diteliti lebih lanjut yaitu:

1. Apakah usaha usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif? 2. Apakah kebijakan pemerintah terhadap input dan output mempengaruhi daya saing usaha peternakan sapi potong dan budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis tingkat daya saing budidaya ikan air patin dan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu melalui keunggulan dan komparatif kompetitif. 2. Menganalisis pengaruh kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap daya saing udaha budidaya ikan patin dan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu. 1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Indragiri, yang merupakan salah satu daerah yang ditunjuk sebagai kawasan minapolitan serta merupakan salah satu daerah sentra ternak sapi potong di Provinsi Riau. Lokasi unit penelitian adalah Kecamatan Rengat dan Kecamatan Pasir Penyu, dimana kedua kecamatan ini termasuk wilayah basis budidaya patin dan peternakan sapi potong. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini meliputi analisis komparatif dan kompetitif usaha peternakan sapi potong dan budidaya patin. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Analisis ini juga akan memberikan informasi efesiensi ekonomi serta dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha budidaya patin dan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu. Terdapat beberapa batasan dari penelitian ini yaitu: 1. Usaha peternakan sapi potong yang dianalisis adalah usaha peternakan rakyat (penggemukan dan pembibitan) dengan skala kepemilikan rata-rata 6 ekor.

2. Pada usaha pembibitan sapi potong penghitungan analisis biaya usaha tani diasumsikan tanpa resiko. 3. Responden peternak dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan ternak sapi jenis peranakan simmental. 4. Usaha budidaya ikan patin yang dianalisis adalah usaha budidaya pembesaran di kolam dengan luas rata-rata 500 m 2. 5. Harga input dan harga output yang dihasilkan dalam usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya ikan patin ini menggunakan harga yang berlaku pada tahun 2011

Halaman ini sengaja dikosongkan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Peternakan Sapi Potong Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap daging setiap tahunnya maka usaha peternakan sapi potong juga mengalami perkembangan. Usaha peternakan sapi potong pada awalnya berkembang di beberapa daerah tertentu seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Bali. Dewasa ini usaha penggemukan sapi juga telah berkembang di Sumatera seperti di Lampung, Sumatera Barat dan Riau. Usaha peternakan sapi dilakukan secara perseorangan atau skala kecil maupun dalam skala besar yang dilakukan oleh perusahaan. Selama ini penyedia daging sapi di Indonesia adalah sebagian besar adalah peternak skala kecil karena peternak berskala menengah dan besar jumlahnya tidak banyak. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan dalam skala besar dan modern. Peternakan rakyat berskala kecil biasanya merupakan usaha sambilan dan mayoritas masih menggunakan pola tradisional. Ada berbagai jenis sapi yang diusahakan oleh peternak di Indonesia sebagai bakalan dalam usaha penggemukan diantaranya: Sapi Bali, Sapi Ongole, Sapi Brahman Cross, Sapi Madura, Sapi Peranakan Limousin. Bakalan merupakan faktor penting karena sangat menentukan hasil akhir usaha penggemukan. Ciri-ciri bakalan yang baik adalah: (1) berumur di atas 2,5 tahun, (2) jenis kelamin jantan (3) bentuk tubuh panjang, bulat dan lebar, panjang minimal 170 cm, tinggi pundak minimal 135 cm, lingkar dada 133 cm, (4) tubuh kurus, tulang menonjol tetapi tetap sehat (5) pandangan mata bersinar cerah dan bulu halus dan (6) kotoran normal (Prabowo, 2007). Ada beberapa sistem penggemukan yang digunakan untuk sapi, perbedaannya terletak pada teknik pemberian pakan, luas lahan yang tersedia, umur dan kondisi sapi yang akan digemukkan serta lama penggemukan (Siregar, 2009): a. Sistem Pasture Fattening Pasture Fattening merupakan suatu sistem penggemukan sapi yang dilakukan dengan cara menggembalakan sapi di padang pengembalaan. Teknik