2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

dokumen-dokumen yang mirip
2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Perikanan

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus Klasifikasi dan tata nama

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI DINAMIKA STOK IKAN BIJI NANGKA

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

TINJAUAN PUSTAKA. adalah sekitar 220 mil laut dan berakhir pada ujung sebelah selatan yang

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber :

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber : dkp.co.id

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

3. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ASPEK BIOLOGI DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PPS NIZAM ZACHMAN JAKARTA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

Tujuan Pengelolaan Perikanan. Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

Febyansyah Nur Abdullah, Anhar Solichin*), Suradi Wijaya Saputra

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Lencam

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis

TINJAUAN PUSTAKA. : Euthynnus yaito, Thynnus affinis, Wanderer wallisi. Nama umum : Tongkol Komo, Kawakawa, Eastern Little Tuna, Black Skipjack,

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

POLA PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus moluccensis Bleeker, 1855) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, JAKARTA UTARA

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

2. METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam kelompok ikan berparuh, yang mana istilah tersebut digunakan untuk ikan

TINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak

PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN TAWES (Barbonymus gonionotus) DI DANAU SIDENRENG KABUPATEN SIDRAP Nuraeni L. Rapi 1) dan Mesalina Tri Hidayani 2)

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy,

Transkripsi:

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Percoidei Famili : Mullidae Genus : Upeneus Spesies : Upeneus sulphureus (Curvier, 1829) Nama Umum : Sulphur goatfish, yellow goatfish, beach goatfish Nama Lokal : Kuniran (Jakarta) Gambar 2. Ikan Kuniran (Upeneus sulphureus) Sumber : www.fishbase.org (1 Desember 2010)

5 2.1.2. Karakter biologi dan distribusi Kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan salah satu ikan demersal dengan bentuk badan yang memanjang hingga mencapai panjang maksimum 23 cm, memilliki dua garis kuning, dan agak pipih. Pada sirip dorsal terdapat 8 jari-jari keras dan 9 jari-jari lemah, sirip anal terdapat 1 jari-jari keras dan 7 jari-jari lemah, sirip pektoral terdapat 15-16 jari-jari lemah. Tubuh tertutup oleh sisik stenoid dengan jumlah sisik pada lateral line sebanyak 34-37 buah sisik (hingga pangkal ekor). Tinggi badan pada sirip pertama hingga sirip terakhir bagian dorsal kurang lebih 29-30% dari panjang standarnya (SL), tinggi pada bagian ekor hingga peduncle sekitar 11-12% dari panjang standarnya, dan tinggi maksimum kepala adalah 23-35% dari panjang standarnya. Ikan ini banyak ditemukan di kedalaman 10-90 meter yang dekat dengan perairan pantai. Hidupnya bergerombol dan tersebar pada iklim tropis yang berada antara 40 0 LU-30 0 LS (Cuvier 1829 in www.fishbase.org 2009). lkan kuniran (Upeneus sulphureus) termasuk dalam kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis penting dan tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia. Berdasarkan kedalaman, laju tangkap tertinggi ikan kuniran terdapat pada kedalaman perairan 30-40 meter. Secara ekologis mullidae menghuni habitat di dasar atau di dekat dasar perairan. Seperti diketahui, kelompok ikan demersal mempunyai ciri-ciri: bergerombol tidak terlalu besar, aktifitas relatif rendah dan gerak ruaya juga tidak terlalu jauh. Sehingga dari ciri-ciri yang dimiliki tersebut, kelompok ikan demersal cenderung relatif rendah daya tahannya terhadap tekanan penangkapan (Badrudin 2006 in Ernawati dan Sumiono 2006). 2.2. Alat Tangkap Ikan Kuniran Ikan kuniran dapat ditangkap menggunakan alat tangkap demersal seperti jaring arad, cantrang, jaring dogol, lampara dasar, jaring jogol, jaring insang, dan pukat pantai. Berdasarkan data yang diperoleh dari TPI Cilincing ikan kuniran ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring dogol. Alat penangkap ikan berdasarkan Undang-Undang No.9 Tahun 1985 adalah sarana dan perlengkapan atau benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan. Alat tangkap jaring dogol merupakan pukat kantong yang digunakan untuk

6 menangkap ikan dasar (demersal fish). Terdapat sedikit perbedaan antara jaring dogol dengan cantrang, yaitu pada bagian atas mulut jaring (dogol) agak lebih menonjol ke depan sehingga hampir menyerupai jaring trawl. Pada prinsipnya, alat tangkap ini terdiri dari bagian badan berbentuk seperti trapesium memanjang. Selanjutnya pada bagian-bagian tersebut ditautkan tali penguat dan dihubungkan dengan tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (foot rope) serta dilengkapi dengan pelampung dan pembobot (Subani dan Barus 1989 in Sari 2008). Gambar 3. Cara pengoperasian jaring dogol Sumber : www.beritanyata.blogspot.com Spesifikasi alat tangkap dogol adalah tali selambar sepanjang 8 m, jenis tali marlon dan jaring ukuran panjang 16 m, lebar 10 m. Memiliki ukuran mata jaring bagian kantong 1 inchi 3 inchi dan ukuran mata jaring bagian selambar 8 inchi. Jenis kapal yang dipakai untuk operasional alat tangkap ini adalah kapal motor dengan ukuran 5-6 GT. 2.3. Sebaran Frekuensi Panjang Metode pendugaan stok menggunakan masukan data komposisi umur. Data komposisi umur pada perairan beriklim sedang biasanya diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian keras ikan di tubuhnya, yaitu sisik dan otolith. Lingkaran-lingkaran ini terbentuk karena adanya fluktuasi yang kuat dalam berbagai kondisi dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya (Sparre dan Venema 1999).

7 Metode numerik mulai dikembangkan dan memungkinkan dilakukannya konveksi atas data frekuensi panjang dalam komposisi umur sehingga pendugaan stok spesies tropis adalah analisis frekuensi panjang total ikan. Tujuan analisis data berdasarkan sidik frekuensi panjang untuk menentukan umur terhadap kelompokkelompok panjang tertentu. Analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre dan Venema 1999). Fungsi analisis frekuensi panjang adalah untuk menentukan umur dan membandingkan pada metode lain yang menggunakan struktur lebih rumit (Pauly 1984). Penentuan umur harus menggunakan contoh yang banyak dengan selang waktu yang lebar, diperoleh dari hasil tangkapan awal sehingga dapat diketahui kelompok umur pertama. 2.4. Pertumbuhan Pertumbuhan individu merupakan suatu pertambahan ukuran panjang atau berat pada periode waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan populasi adalah pertambahan jumlah, yang kemudian sering disebut bahwa pertumbuhan merupakan proses biologi kompleks yang secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor yang berasal dari luar maupun dari dalam. Faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan berupa suhu air, kandungan oksigen terlarut, ammonia, salinitas, dan fotoperiod (panjang hari). Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan faktor lainnya seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makanan, umur, serta tingkat kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan. Faktor dalam yang umumnya sangat sulit dikontrol antara lain keturunan, umur, parasit, dan penyakit (Effendie 2002). Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya merupakan penentuan ukuran badan sebagai suatu fungsi umur. Penentuan umur ikan pada kawasan yang beriklim sedang dapat diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian-bagian keras ikan seperti sisik dan otolit (Sparre dan Venema 1999). Namun hal tersebut sangat sulit dilakukan pada wilayah beriklim tropis, sehingga untuk menduga pertumbuhan biasa menggunakan analisis kuantitatif.

8 2.5. Hubungan Panjang Bobot Dalam perhitungan untuk menduga suatu pertumbuhan terdapat dua model yang dapat digunakan yaitu model yang berhubungan dengan bobot dan model yang berhubungan dengan panjang (Effendie 1979). Model-model tersebut menggunakan persamaan matematik untuk menggambarkan suatu pertumbuhan Analisis pola pertumbuhan menggunakan data panjang bobot. Persamaan hubungan panjang bobot ikan dimanfaatkan untuk berat ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang (Effendie 1979). Effendie (2002) menjelaskan bahwa jika nilai panjang dan bobot dipltkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = al b. Hasil analisis hubungan panjang bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b) yaitu harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Ikan yang memiliki pola pertumbuhan isometrik (b=3), pertambahan panjangnya seimbang dengan pertumbuhan bobot. Sebaliknya pada ikan dengan pola pertumbuhan allometrik (b 3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot. Pertumbuhan allometrik positif (b>3) menyatakan pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan allometrik negatif (b<3) menyatakan pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot. 2.6. Faktor Kondisi Turunan penting dari pertumbuhan adalah faktor kondisi. Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dalam angka (Lagler 1961 in Effendie 1979). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi. Kondisi disini mempunyai arti dapat memberi keterangan baik secara biologis atau secara komersial. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot ikan (Effendie 2002). Effendie (1979) menyatakan bahwa nilai faktor kondisi suatu jenis ikan dipengaruhi oleh

9 umur, makanan, jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad (TKG). Tercapainya kematangan gonad untuk pertama kali akan menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan pertumbuhan karena sebagian dari makanan digunakan untuk perkembangan gonad. 2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas suatu kelompok ikan merupakan salah satu aspek dalam dinamika stok ikan. Suatu stok yang mengalami eksploitasi perlu dibedakan antara mortalitas alami dengan mortalitas penangkapan. Mortalitas dapat terjadi karena adanya aktivitas penangkapan yang dilakukan manusia dan alami yang terjadi kematian karena predasi, penyakit, dan umur (Sparre dan Venema 1999). Laju mortalitas total merupakan jumlah dari mortalitas penangkapan (F) dengan mortalitas alami (M). Secara matematis dapat dituliskan menjadi Z=F + M (Spare dan Venema 1999). Keterkaitan nilai laju mortalitas alami dan nilai parameter pertumbuhan Von Bartalanffy yaitu K dan L. Hal ini menyatakan bahwa ikan yang pertumbuhannya cepat yang dinyatakan dengan nilai koefisien yang tinggi mempunyai nilai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil, sedangkan,mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Spare dan Venema 1999). Laju eksploitasi didefinisikan sebagai jumlah ikan yang mati karena penangkapan dibagi dengan jumlah total ikan yang mati baik karena factor alami ataupun penangkapan (Spare dan Venema 1999). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa suatu stok yang dieksploitasi secara optimal maka laju mortalitas penagkapannya (F) akan setara dengan laju mortalitas alaminya (M) atau dapat dinyatakan bahwa laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Laju eksploitasi penting untuk diketahui sehingga dapat menduga kondisi dari perikanannya. 2.8. Nisbah Kelamin Reproduksi adalah kemampuan individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Reproduksi akan berlangsung pada sebagian besar individu yang hidup dengan cara yang berbedabeda tergantung kondisi lingkungan (Fujaya 2004).

10 Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi. Untuk beberapa spesies ikan, perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu ratio 1:1 (Bal dan Rao 1984 in Rizal 2009). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006). Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Ikan yang melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina. 2.9. Kondisi Lingkungan Perairan Dibutuhkan informasi lingkungan perairan yang berperan penting dalam menjelaskan hubungan antara spesies target dengan lingkungannya. Parameter yang perlu diketahui merupakan parameter yang secara langsung berpengaruh terhadap potensi perikanan tersebut. Suhu memberikan pengaruh yang besar terhadap proses fisika, kimia, dan biologi perairan yang mampu mengendalikan kondisi ekosistem. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai untuk menunjang pertumbuhannya. Peningkatan suhu akan meningkatkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik yang kemudian meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu 10 o C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 3-4 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut (Effendie 2002). Kelarutan oksigen dan gas-gas berkurang dengan meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan tawar (Effendie 2002).

11 2.10. Analisis Ketidakpastian Perikanan merupakan sistem yang kompleks dan saling terkait. Undangundang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan didefinisikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumber ketidakpastian dalam perikanan yang dijelaskan oleh FAO (2002) in Widodo dan Suadi (2006) muncul karena adanya keterbatasan, ketidaktersediaan, dan rendahnya kualitas data yang tersedia (seperti data hasil tangkapan, upaya, ekonomi, dan komunitas). Kondisi ini diperlemah oleh keterbatasan ilmu pengetahuan tentang sumberdaya ikan sehingga mendorong upaya pengelolaan sumberdaya ikan ke arah yang tidak berkelanjutan (unsustainable) (Widodo dan Suadi 2006). Sumber ketidakpastian cakupannya sangat luas, baik dari sisi alamiah maupun sisi manusia atau manajemennya (Tabel 1). Tabel 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam sistem perikanan Sumber yang bersifat alami Sumber yang bersifat dari manusia Ukuran stok dan struktur umur ikan Harga ikan dan struktur pasar Mortalitas alami Biaya operasional dan biaya korbanan Predator-prey Perubahan tekhnologi Heterogenitas ruang Sasaran pengelolaan Migrasi Sasaran nelayan Parameter "stock-assessment" Respon nelayan terhadap peraturan Hubungan "stock-recuitment" Perbedaan persepsi terhadap stok ikan Interaksi multispesies Perilaku konsumen Interksi ikan dengan lingkungan Sumber : Charles (2001) Permasalahan dan resiko yang terjadi dalam suatu sistem perikanan akibat dari ketidakpastian mempengaruhi keberlanjutan perikanan di masa yang akan datang. Apabila tidak diatasi, maka dapat mengancam sistem perikanan tersebut (Charles 2001). Oleh karena itu dilakukan pengelolaan yang tepat agar perikanan dapat tetap terjaga dan termanfaatkan secara optimum.

12 Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles (2001), yaitu: 1. Randomness Process Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random (acak). 2. Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam: a. Observation Uncertainty, ketidakpastian karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variabel perikanan yang dapat mengakibatkan terjadinya miss-management). b. Model Uncertainty, ketidakpastian memprediksi model sistem perikanan. c. Estimation Uncertainty, ketidakpastian akibat ketidakakuratan estimasi. 3. Structural Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan. a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi yang muncul akibat dari proses structural dalam pengelolaan perikanan. b. Instutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi atau ketidakpastian value system dalam perikanan. Pada dasarnya fluktuasi merupakan keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang ada, terutama apabila nilai yang dihasilkan lebih rendah dari sebelumnya (Charles 2001). Apabila dalam model prediksi nilai dari parameter tidak diketahui, maka keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut. Menurut Charles (2001) dalam pengelolaan perikanan sendiri, pemahaman mengenai resiko dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Risk Assessment (penaksiran resiko) Digunakan untuk menganalisis ketidakpastian, mengukur resiko, memprediksi hasil perikanan, serta dapat memberikan scenario pengelolaan. Tujuan dari Risk Assessment ada dua, yaitu:

13 a. Menentukan besarnya resiko ketidakpastian yang timbul dari adanya fluktuasi acak, pendugaan pengukuran parameter yang tidak tepat dan ketidakpastian yang berkenaan dengan keadaan alam. Hal ini dapat dicapai melalui analisis statistic dengan menggunakan time-series data. b. Memprediksi resiko secara kuantitatif dari hal-hal pasti yang akan terjadi akan tetapi kejadian tersebut tidak diinginkan. Hal ini dapat dianalisis dengan pendekatan simulasi stok untuk mengestimasi implikasi jangka panjang (risks) dari sebuah scenario pengelolaan. 2. Risk Management (pengelolaan resiko) Upaya untuk mengatur, mengurangi atau mengatasi resiko dalam sistem perikanan, melalui beberapa teknik analisis dengan merancang rencana pengelolaan yang optimal dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini dapat dicapai dengan prinsip adaptive management. Adapun ide dasar dari prinsip adaptive management adalah menghitung resiko dengan memanfaatkan bukan mencari informasi. Adaptive management terdiri dari tiga model, yaitu: a. Non-adaptive models; pengukuran ketidakpastian yang terlalu berlebihan. b. Passive adaptive models; memperbaharui pengukuran tanpa mempedulikan perubahan-perubahan yang terjadi di masa yang akan datang c. Active adaptive models; nilai-nilai informasi yang terdapat di masa yang akan datang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan. 2.11. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Besarnya sumberdaya ikan laut di Indonesia dapat menimbulkan persaingan dalam proses penangkapannya, karena sumberdaya ikan ini merupakan milik bersama (common property) yang setiap orang berhak memanfaatkannya (open access). Persaingan yang dilakukan pelaku perikanan terlihat dari usaha yang dilakukan menggunakan tekhnologi yang terus berkembang dan dieksploitasi secara terus-menerus hingga terjadi konflik antar pelaku perikanan saat sumberdaya ikan yang ada semakin menipis. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (DKP 2005), pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses terintegrasi pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,

14 alokasi sumberdaya, implementasi serta penegakkan hokum peraturan perundangan di bidang perikanan, dilakukan pemerintah dan otoritas lain diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati dan tujuan yang telah disepakati. UU Perikanan No. 45 Tahun 2009 pasal 2 menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia salah satunya dilakuka melalui asas pembangunan yang berkelanjutan, dimana pengelolaan perikanan yang dilakukan secara terencana dan mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang. Pengelolaan perikanan harus dilakukan dengan baik, dengan salah satu upaya dalam suatu pengelolaan adalah monitoring sehingga kondisi sumberdaya dapat terus terpantau dengan baik. Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanana adalah tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa, dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari (Boer dan Azis 2007).