HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Residu Antibiotik

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

FAKULTAS HEWAN BOGOR 20111

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. sumber protein fungsional maupun pertumbuhan, terutama pada anak-anak usia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengkajian Residu Tetrasiklin Dalam Daging Ayam Pedaging, Ayam Kampung Dan Ayam Petelur Afkir Yang Dijual Di Kota Kupang

DAFTAR ISI. ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR LAMPIRAN...v DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii PENDAHULUAN...

KAJIAN HASIL MONITORING DAN SURVEILANS CEMARAN MIKROBA DAN RESIDU OBAT HEWAN PADA PRODUK PANGAN ASAL HEWAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino

BAB I PENDAHULUAN.

BAB III BAHAN DAN METODE

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa

PENGUJIAN RESIDU ANTIBIOTIKA DALAM SUSU SEGAR DARI BEBERAPA PETERNAKAN SAPI PERAH DI PROVINSI JAWA BARAT MENGGUNAKAN METODE BIOASSAY

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

PENGARUH SUHU PEMANASAN TERHADAP KANDUNGAN RESIDU ANTIBIOTIK DALAM AIR SUSU SAPI

TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. tidak saja dapat tumbuh baik di air tawar, namun juga air payau dan laut. Sebagai

METODE PENELITIAN. Waktu Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan April Bahan dan Alat.

Analisa Mikroorganisme

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pendapatan perkapita masyarakat, kebutuhan bahan makanan semakin

ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pangsa yang besar bagi industri obat hewan (Palupi dkk., 2011).

I. PENDAHULUAN. cukup sempurna karena mengandung zat zat gizi yang lengkap dan mudah

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

DETEKSI RESIDU ANTIBIOTIK PADA HATI ITIK BERASAL DARI PETERNAKAN DI KABUPATEN BOGOR SUSAN FASELLA

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging

IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA

JURNAL ILMU TERNAK, JUNI 2016, VOL.16. NO.1

HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI RESIDU ANTIBIOTIK DAGING BROILER YANG BEREDAR DI PASAR TRADISIONAL KOTA KENDARI

TINJAUAN PUSTAKA Susu Pasteurisasi

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2011), dalam survey yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Perhitungan Kadar Kadar residu antibiotik golongan tetrasiklin dihitung dengan rumus:

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

Susu segar-bagian 1: Sapi

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

15 Penanganan telur yang dilakukan oleh para pedagang di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat tidak menyimpan telur dengan pendinginan. Semua peda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi,

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

membunuh menghambat pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

KEBERADAAN RESIDU ANTIBIOTIKA DALAM PRODUK PETERNAKAN (SUSU DAN DAGING)

RESIDU ANTIBIOTIKA PADA PANGAN ASAL HEWAN, DAMPAK DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

I. PENDAHULUAN. ayam broiler. Ayam broiler merupakan jenis unggas yang berkarakteristik diantara

I. PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat tentang gizi yang meningkat. Penduduk Indonesia

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 15/Permentan/OT.140/2/2008 TENTANG PEDOMAN MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK HEWAN

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

-2- yang optimal dengan tetap menjamin kelestarian Sumber Daya Ikan dan lingkungannya. Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerint

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

PEMAKAIAN ULANG FASA GERAK TETRASIKIAN DALAM ANALISIS ANTIBIOTIKA PADA ALAT KHROMATOGRAFI CAIRAN KINERJA TINGGI RINGKASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan protein hewani dapat

I. PENDAHULUAN. Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease) merupakan

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

BAB I PENGANTAR. alami Salmonella sp adalah di usus manusia dan hewan, sedangkan air dan

I. PENDAHULUAN. perunggasan merupakan salah satu penyumbang sumber pangan hewani yang

I. PENDAHULUAN. ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran gizi, dan perbaikan

Keamanan Pangan Asal Ternak: Situasi, Permasalahan dan Prioritas Penanganannya di Tingkat Hulu

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN

I. PENDAHULUAN. Secara alami hewan ternak, khususnya itik memiliki kekebalan alami. yang berfungsi menjaga kesehatan tubuhnya. Kekebalan alami ini

I. PENDAHULUAN. dan perkembangan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Tingkat konsumsi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Industri perunggasan di Indonesia terutama ayam pedaging (broiler) sangat

BAB I PENDAHULUAN. gizi yang tinggi seperti protein, lemak vitamin B (vitamin B 6 /pridoksin, vitamin

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Alat dan Bahan

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

BAB I PENDAHULUAN. energi, vitamin dan mineral untuk melengkapi hasil-hasil pertanian. Salah

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. anak ayam yang baru menetas yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. banyak diminati di kalangan masyarakat, hal ini disebabkan rasa

I. PENDAHULUAN. Ayam pedaging merupakan salah satu ternak penghasil daging yang. Ayam pedaging merupakan ternak yang paling ekonomis bila

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. nutrisi suatu bahan pakan, meningkatkan kecernaan karena ternak mempunyai

PENDAHULUAN. Latar Belakang. bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Peningkatan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. untuk memenuhi hampir semua keperluan zat-zat gizi manusia. Kandungan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

LABORATORIUM KESMAVET DALAM MENUNJANG KEAMANAN PANGAN ASAL HEWAN

KEAMANAN PANGAN HASIL TERNAK DITINJAU DARI CEMARAN LOGAM BERAT

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. banyak peternakan yang mengembangkan budidaya puyuh dalam pemenuhan produksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Residu Antibiotik Pengujian residu antibiotik pada daging ayam dan sapi dalam penelitian ini dilakukan dengan metode uji tapis (screening test) secara bioassay, sesuai dengan SNI 7424:2008 yang membahas mengenai metode uji tapis (screening test) residu antibiotik pada daging, telur, dan susu secara bioassay. Uji tapis (screening test) adalah suatu cara melakukan pengujian untuk mendeteksi kandungan residu antibiotik secara kualitatif sesuai dengan batas deteksi tertentu pada daging, telur, dan susu. Bioassay adalah suatu pengujian yang menggunakan mikroorganisme untuk mendeteksi senyawa antibiotik yang masih aktif. Prinsip dari pengujian, apabila terdapat residu antibiotik maka menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar. Penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan (zona bening) di sekitar kertas cakram. Besarnya diameter daerah hambat menunjukkan konsentrasi residu antibiotik (Pikkemaat et al. 2009). Keuntungan dari pengujian residu antibiotik dengan metode uji tapis (screening test) secara bioassay yaitu: (1) mudah digunakan dan ditangani, (2) biaya tidak terlalu mahal, (3) waktu pengerjaannya singkat dan cepat, (4) memungkinkan automatisasi, (5) memiliki sensitivitas dan spesifisitas baik, (6) deteksi capability (CCβ) dengan eror probability (β) < 5% (Reig & Toldra 2008). Berdasarkan hasil uji residu antibiotik bahwa semua sampel daging ayam negatif mengandung residu antibiotik baik dari golongan penisilin, makrolida, aminoglikosida, dan tetrasiklin. Tiga dari 24 Sampel daging sapi positif mengandung residu antibiotik dari golongan makrolida yaitu Kota Bandung (2) dan Kabupaten Tasikmalaya (1). Hasil pengujian dari kandungan residu antibiotik golongan penisilin, makrolida, aminoglikosida, dan tetrasiklin pada daging ayam dan daging sapi yang berasal dari beberapa pasar tradisional di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat dikelompokkan berdasarkan golongan antibiotik yang dapat dilihat pada Tabel 4-7.

Residu Penisilin Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu penisilin. Berdasarkan hasil pengujian tidak ditemukan residu penisilin dari semua sampel daging ayam maupun daging sapi. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Bacillus stearothermophilus pada media agar. Hasil pengujian residu penisilin disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil uji residu penisilin pada daging ayam dan sapi di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat No Kabupaten/Kota Positif penisilin Daging sapi (%) Daging ayam (%) 1. Kota Bekasi 0/2 0/3 2. Kabupaten Purwakarta 0/2 0/3 3. Kabupaten Bogor 0/2 0/3 4. Kota Bogor 0/2 0/3 5. Kota Sukabumi 0/2 0/3 6. Kabupaten Bandung 0/2 0/3 7. Kota Bandung 0/2 0/3 8. Kabupaten Cianjur 0/2 0/3 9. Kabupaten Sumedang 0/2 0/3 10. KabupatenTasikmalaya 0/2 0/3 11. Kota Cirebon 0/2 0/3 12. Kabupaten Indramayu 0/2 0/3 0/24 (0) 0/36 (0) Tidak ditemukannya keberadaan residu penisilin pada daging ayam dan sapi kemungkinan karena pemahaman peternak dalam penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat (Donkor et al. 2011). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti pensilin G yang diaplikasikan secara injeksi pada ayam adalah 5 hari, sedangkan pada sapi yang diaplikasikan secara injeksi adalah 30 hari. Antibiotik golongan β laktam yang sering digunakan sebagai obat pilihan pertama di peternakan adalah penisilin. Penisilin sering digunakan karena tidak menimbulkan efek samping yang toksik dan bersifat bakterisidal. Antibiotik tersebut di peternakan ayam dan sapi pedaging digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan dan pertumbuhan (Verdon et al. 2000). Batas maksimum residu antibiotik penisilin pada daging adalah 0.1 ppm sesuai petunjuk teknis SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan Residu Antibiotik.

Pensilin dapat digunakan untuk pengobatan penyakit aktinomikosis (lumpy jaw) yang disebabkan oleh Actinomyces bovis dan wooden tongue yang disebabkan oleh Actinobacillus lignieresi pada sapi. Penisilin setelah melewati proses absorbsi dan transportasi akan didistribusikan dengan cepat dari plasma ke dalam jaringan tubuh. Difusi penisilin terjadi saat konsentrasi plasma yang tidak terikat lebih tinggi dalam jaringan dan cairan. Rute utama ekskresi penisilin adalah melalui ginjal dan juga melalui susu (Vaden & Riviere 2001). Residu Makrolida Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu makrolida. Berdasarkan hasil pengujian ditemukan keberadaan residu makrolida pada sampel daging sapi yang berasal dari Kota Bandung dan Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Kocuria rizophila pada media agar. Hasil pengujian residu makrolida disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil uji residu makrolida pada daging ayam dan sapi di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat No Kabupaten/Kota Positif makrolida Daging sapi (%) Daging ayam (%) 1. Kota Bekasi 0/2 0/3 2. Kabupaten Purwakarta 0/2 0/3 3. Kabupaten Bogor 0/2 0/3 4. Kota Bogor 0/2 0/3 5. Kota Sukabumi 0/2 0/3 6. Kabupaten Bandung 0/2 0/3 7. Kota Bandung 2/2 0/3 8. Kabupaten Cianjur 0/2 0/3 9. Kabupaten Sumedang 0/2 0/3 10. KabupatenTasikmalaya ½ 0/3 11. Kota Cirebon 0/2 0/3 12. Kabupaten Indramayu 0/2 0/3 3/24 (12.5) 0/36 (0) Persentase residu makrolida pada sampel daging sapi di Kota Bandung sebesar 100% (2/2) sedangkan di Kabupaten Tasikmalaya sebesar 50% (1/2). Jumlah keseluruhan dari persentase residu makrolida pada daging sapi di Provinsi Jawa Barat sebesar 12.5% (3/24). Keberadaan residu makrolida yang ditemukan pada daging sapi dimungkinkan karena farmakokinetika antibiotik pada fase

farmakokinetika yaitu, absorpsi, transportasi, biotransformasi, distribusi, dan ekskresi (Martaleni 2007). Antibiotik makrolida setelah melewati proses absorbsi dan transportasi akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh termasuk otot, hati, dan ginjal. Pengeluaran antibiotik ini terjadi melalui proses biotransformasi yang cukup lama dimana tubuh akan merombak antibiotik menjadi metabolit tidak aktif dan bersifat hidrofil agar mudah diekskresikan melalui ginjal (Murtidjo 2007). Eritromisin merupakan obat pilihan untuk penyakit saluran pernafasan sedangkan tilosin digunakan untuk pencegahan mikoplasmosis, chronic respiratory disease (CRD), dan coryza pada sapi. Golongan makrolida sering ditambahkan dalam pakan (feed additives) untuk pemacu pertumbuhan (Yuningsih et al. 2005; Reig & Toldra 2009). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti makrolida (eritromisin) yang diaplikasikan secara injeksi pada sapi adalah 14 hari. Batas maksimum residu antibiotik golongan makrolida pada daging untuk eritromisin, linkomisin, dan tilosin 0.1 ppm, sedangkan spiramisin 0.05 ppm sesuai petunjuk teknis SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan Residu Antibiotik. Ditemukan keberadaan residu makrolida pada daging sapi dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain (1) peternak belum paham mengenai masa henti (withdrawal time) antibiotik makrolida artinya ternak dipotong sebelum masa henti antibiotik habis di dalam tubuh ternak dan belum diekskresikan secara sempurna, (2) penggunaan antibiotik tidak didasari peneguhan diagnosa yang benar dan tepat, (3) penggunaan jenis antibiotik tidak sesuai dengan spesies ternak (Donkor et al. 2011). Penyebab lainnya adalah kurangnya penyuluhan mengenai penggunaan antibiotik yang baik dan benar di peternakan Kota Bandung dan Kabupaten Tasikmalaya. Faktor lain yang tidak menutup kemungkinan karena desakan ekonomi yang berarti peternak memotong ternaknya dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhannya, padahal peternak itu mengetahui tentang ilmu dan cara penggunaan antibiotik (Murdiati 1999). Kejadian seperti ini sering ditemui karena peternak tidak berpikir panjang akan dampak yang terjadi pada kesehatan masyarakat apabila mengkonsumsi produk ternak yang mengandung residu antibiotik.

Residu Aminoglikosida Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu aminoglikosida. Berdasarkan hasil pengujian tidak ditemukan keberadaan residu aminoglikosida. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis pada media agar. Hasil pengujian residu aminoglikosida disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil uji residu aminoglikosida pada daging ayam dan sapi di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat No Kabupaten/Kota Positif aminoglikosida Daging sapi (%) Daging ayam (%) 1. Kota Bekasi 0/2 0/3 2. Kabupaten Purwakarta 0/2 0/3 3. Kabupaten Bogor 0/2 0/3 4. Kota Bogor 0/2 0/3 5. Kota Sukabumi 0/2 0/3 6. Kabupaten Bandung 0/2 0/3 7. Kota Bandung 0/2 0/3 8. Kabupaten Cianjur 0/2 0/3 9. Kabupaten Sumedang 0/2 0/3 10. KabupatenTasikmalaya 0/2 0/3 11. Kota Cirebon 0/2 0/3 12. Kabupaten Indramayu 0/2 0/3 0/24 (0) 0/36 (0) Tidak ditemukannya keberadaan residu aminoglikosida pada daging ayam dan sapi, kemungkinan disebabkan pemahaman peternak dalam penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat (Donkor et al. 2011). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti aminoglikosida (streptomisin) yang diaplikasikan secara per oral pada ayam adalah 4 hari, sedangkan pada sapi yang diaplikasikan secara per oral adalah 2 hari. Waktu henti obat dipengaruhi oleh proses absorbsi, distribusi, dan eliminasi dari obat yang bersangkutan. Proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain umur, jenis hewan, status kesehatan, nutrisi hewan, serta sifat kimia dan fisika dari obat seperti bobot molekul, kelarutan dalam air maupun lemak dan ikatannya dengan protein tubuh (Murdiati 1997). Neomisin merupakan golongan aminoglikosida yang digunakan untuk pengobatan infeksi saluran pencernaan pada sapi, kambing, domba, babi, dan unggas yang diaplikasikan

secara per oral (Wang et al. 2009). Batas maksimum residu antibiotik golongan aminoglikosida pada daging untuk streptomisin dan gentamisin 0.1 ppm, neomisin 0.05 ppm, dan spektomisin 0.4 ppm sesuai petunjuk teknis SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan Residu Antibiotik. Absorpsi aminoglikosida lebih baik melalui parenteral sehingga absorpsi terjadi sangat cepat dan tuntas. Distribusi aminoglikosida terjadi dalam waktu 1 jam setelah injeksi. Polikationik dari antibiotik ini menyebabkan penetrasi aminoglikosida melalui membran barrier dengan cara difusi sederhana sangat terbatas sehingga konsentrasi aminoglikosida yang ditemukan di cairan sekresi sangat sedikit. Rute ekskresi utama dari aminoglikosida adalah melalui ginjal (Riviere & Spoo 2001b). Residu Tetrasiklin Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu tetrasiklin. Berdasarkan hasil pengujian tidak ditemukan keberadaan residu tetrasiklin. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Bacillus cereus pada media agar. Hasil pengujian residu tetrasiklin disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil uji residu tetrasiklin pada daging ayam dan sapi di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat No Kabupaten/Kota Positif tetrasiklin Daging sapi (%) Daging ayam (%) 1. Kota Bekasi 0/2 0/3 2. Kabupaten Purwakarta 0/2 0/3 3. Kabupaten Bogor 0/2 0/3 4. Kota Bogor 0/2 0/3 5. Kota Sukabumi 0/2 0/3 6. Kabupaten Bandung 0/2 0/3 7. Kota Bandung 0/2 0/3 8. Kabupaten Cianjur 0/2 0/3 9. Kabupaten Sumedang 0/2 0/3 10. KabupatenTasikmalaya 0/2 0/3 11. Kota Cirebon 0/2 0/3 12. Kabupaten Indramayu 0/2 0/3 0/24 (0) 0/36 (0)

Tidak ditemukannya keberadaan residu antibiotik tetrasiklin pada daging ayam dan sapi, kemungkinan karena pemahaman peternak dalam penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat (Donkor et al. 2011). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti tetrasiklin yang diaplikasikan secara injeksi pada ayam adalah 15 hari, sedangkan pada sapi yang diaplikasikan secara per oral adalah 30 hari. Tetrasiklin dalam bidang peternakan digunakan untuk pengobatan penyakit pernafasan dan jika dosisnya rendah dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan (Reig & Toldra 2009). Batas maksimum residu antibiotik golongan tetrasiklin pada daging adalah 0.1 ppm sesuai petunjuk teknis SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan Residu Antibiotik. Golongan tetrasiklin secara umum diabsorbsi dalam saluran cerna. Semua golongan tetrasiklin diabsorbsi di dalam plasma dan diikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi. Tetrasiklin secara luas didistribusikan ke jaringan tubuh setelah diaplikasikan secara oral atau intravena. Tetrasiklin mampu berpenestrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh dengan cukup baik. Sekitar 60% antibiotik ini diekskresikan melalui ginjal dan 40% diekskresikan melalui feses (Riviere & Spoo 2001a). Keberadaan residu antibiotik pada daging ayam dan sapi yang diperoleh dalam penelitian ini sama dengan hasil uji Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP) pada tahun 2009 dan 2010 yaitu ditemukan residu makrolida pada sampel daging sapi. Data yang diperoleh dari hasil uji BPMPP pada tahun 2009 dan 2010, ditemukan keberadaan residu antibiotik golongan makrolida pada sampel daging sapi sebanyak 4 sampel atau 7.27% (4/55) dan tidak ditemukan keberadaan residu antibiotik golongan apapun pada sampel daging ayam. Hasil pengujian BPMPP terhadap residu antibiotik pada daging ayam dan sapi di Provinsi Jawa Barat tahun 2009 dan 2010 disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil pengujian BPMPP terhadap residu antibiotik pada daging ayam dan sapi di Provinsi Jawa Barat tahun 2009 dan 2010 Asal Sampel Tahun Jenis sampel Total sampel PC s TC s AG s ML s Jawa Barat Jawa Barat 2009 Daging ayam 76 0 0 0 0 Daging sapi 30 0 0 0 3 2010 Daging ayam 44 0 0 0 0 Daging sapi 25 0 0 0 1 Keterangan: PC s: Penisilin TC s: Tetrasiklin AG s: Aminoglikosida ML s: Makrolida Makrolida merupakan obat pilihan untuk penyakit saluran pernafasan dan digunakan untuk pencegahan mikoplasmosis, chronic respiratory disease (CRD), dan coryza pada sapi (Reig & Toldra 2009). Ditinjau dari segi kesehatan masyarakat veteriner keberadaan residu antibiotik dalam pangan asal hewan perlu mendapat perhatian serius mengingat bahaya yang ditimbulkannya terhadap konsumen. Bahaya yang dapat ditimbulkan dari produk pangan asal hewan yang mengandung residu antibiotik adalah reaksi alergi, resistensi mikroorganisme, menimbulkan gangguan pada sistem saraf dan kerusakan jaringan, dan mungkin keracunan (Verdon et al. 2000; Yuningsih et al. 2005; Donkor et al.2011). Disamping itu produk pangan asal hewan yang mengandung residu antibiotik akan sulit untuk di ekspor ke negara-negara yang sangat ketat dalam menerapkan batas maksimum residu (BMR) (Widiastuti & Murdiati 1999). Pencegahan dan Pengendalian Residu Antibiotik pada Daging Mengingat bahaya potensial yang akan diterima oleh masyarakat akibat mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung residu antibiotik, maka Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan daftar batas maksimum residu obat dalam produk pangan asal hewan dan masa henti beberapa obat yang beredar di Indonesia. Batas maksimum residu obat dalam produk pangan asal hewan disusun sebagai implementasi dari Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 91/Kpts/KP.150/2/1993 tanggal 3 Pebruari 1993 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Ambang Batas Cemaran Mikroba dan Residu di dalam Bahan Pangan

Asal Hewan. Tujuan dari standar tersebut adalah (1) untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan masyarakat terutama dalam aspek keamanan dan kesehatan, (2) mewujudkan jaminan mutu dari bahan pangan asal hewan, (3) mendukung perkembangan agroindustri dan agrobisnis (SNI 2000). Pencegahan residu antibiotik di Negara Amerika Serikat di bawah pengawasan National Residue Program (NRP) yang diatur oleh Food Safety and Inspection Service (FSIS). FSIS mempunyai dua program yaitu pengujian sampel residu produk domestik dan impor. Pengujian sampel residu produk domestik berfokus pada pencegahan terhadap keberadaan residu dalam produk pangan asal hewan. Pengujian sampel residu produk impor sebagian besar menentukan operativeness dan effectiveness untuk mencegah produk residu dari negara eksportir (Reig & Toldra 2009). Pencegahan residu antibiotik di Negara Eropa dilakukan secara komprehensif dengan menetapkan kerangka legislasi yang efektif. Hal tersebut telah disetujui oleh dokter hewan yang bergerak dalam bidang produk pangan asal hewan. Aktivitas yang dilakukan dengan menetapkan batas maksimum residu dan monitoring produk pangan asal hewan yang beredar di masyarakat (Pikkemaat et al. 2009). Cara lain yang dapat dilakukan untuk melakukan pencegahan dan pengendalian residu antibiotik yaitu (1) mengembangkan dan menerapkan kampanye pendidikan kepada masyarakat untuk mempublikasikan penggunaan antibiotik yang bijaksana sebagai prioritas kesehatan nasional, (2) bekerjasama dengan asosiasi profesional dan pemangku keputusan lainnya untuk mengembangkan, menyebarluaskan, dan mengevaluasi gejala klinis yang ditimbulkan dari penggunaan antibiotik secara tidak bijaksana, (3) konsultasi dengan pemangku keputusan, dalam mengembangkan dan menerapkan kerangka yang diusulkan oleh Food Drug Association (FDA) untuk persetujuan antibiotik baru yang digunakan pada hewan yang memproduksi produk pangan dan jika perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap antibiotik yang sudah disetujui, (4) mendukung proyek percontohan untuk mengevaluasi strategi yang komprehensif dengan menggunakan berbagai intervensi untuk mempublikasikan penggunaan antibiotik yang bijaksana dan mengurangi tingkat infeksi untuk menilai bagaimana intervensi ditemukan dalam studi penelitian sehingga efektif,

sistematis, dan ekonomis diterapkan pada skala besar (Woteki & Henney 2000). Pengendalian dan pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat terhadap keberadaan residu antibiotik pada produk pangan asal hewan khususnya daging ayam dan sapi di Provinsi Jawa Barat dapat mewujudkan jaminan keamanan pangan asal hewan di masyarakat.