BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik.

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan perubahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Dokumen anggaran daerah disebut juga

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Empiris di Wilayah Karesidenan Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam menciptakan good governance sebagai prasyarat dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.otonomi

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otomoni daerah yang berlaku di Indonesia berdasarkan UU No.22 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDHULUAN. kebijakan otonomi daerah yang telah membawa perubahan sangat besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya otonomi daerah. Sebelum menerapkan otonomi daerah,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. melalui otonomidaerah.pemberian otonomi daerah tersebut bertujuan untuk

Abstrak. Kata kunci: Kinerja Keuangan, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Belanja Modal.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Terhadap Belanja Modal

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik provinsi maupun kabupaten dan kota. Proses penyusunan anggaran pasca UU 22/1999 dan UU 32/2004 melibatkan dua pihak : eksekutif dan legislatif yang masing-masing melalui sebuah tim atau panitia anggaran. Adapun eksekutif sebagai pelaksana operasionalisasi daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang diiplementasikan kalau sudah disahkan oleh DPRD dalam proses penyusunan anggaran. Penyusunan APBD diawali dengan membuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang kebijakan umum APBD dan prioritas & plafon anggaran yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan kebijakan umum APBD dan prioritas dan plafonanggaran yang kemudian akan diserahkan kepada legislatif sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda). Anggaran sektor publik pemerintah daerah dalam APBD sebenarnya merupakan ouput pengalokasian sumber daya. Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset, belanja merupakan upaya 1

2 logis yang dilaukan pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik hal ini ditujukkan dengan adanya peningkatan investasi modal dalam bentuk aset, yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik, karena aset tetap yang dimiliki sebagi akibat adanya belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah maupun untuk fasilitas publik. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik pemerintah daerah mengubah komposisi belanjanya. Selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif. Sarangih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk halhal produktif, misal untuk melakuakn aktivitas pembangunan, perbaikan jalan umum dan lain-lain. Sejalan dengan pendapat tersebut, Stine (1994) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program layanan publik. Kedua pendapat ini menyimpulkan bahwa pentingnya mengalokasikan belanja modal untuk berbagai kepentingan publik. Dalam era desentralisasi fiskal diharapkan terjadinya peningkatan pelayanan diberbagai sektor terutama sektor publik, peningkatan layanan publik ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka

3 usaha di daerah. Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila ada upaya serius dari pemerintah yaitu dengan memberikan berbagai fasilitas pendukung. Konsekuensinya, pemerintah perlu untuk memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini desentralisasi fiskal disatu sisi memberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan daerah, tetapi disisi lain memunculkan persoalan baru, dikarenakan tingkat kesiapan fiskal daerah yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan Adi (2005) menunjukkan terjadi disparitas pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi antar daerah (kabupaten dan kota) dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. Nanga (2005) mengindikasikan terjadinya ketimpangan fiskal antar daerah. Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah. Pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat (UU No. 32 tahun 2004). Kebijakan pelaksanaan desentralisasi fiskal dilakukan pada saat kurang tepat mengingat hampir seluruh daerah sedang berupaya untuk melepaskan diri dari krisis ekonomi yang dimulai pertengahan 1997 (Saragih, 2003). Akibatnya kebijakan ini memunculkan kesiapan fiskal daerah yang berbeda satu dengan yang lain. Kebijakan ini justru dilakukan pada saat terjadi disparitas pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam penciptaan kemandirian daerah, pemerintah daerah harus beradaptasi dan berupaya meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan dalam berbagai sektor yang berpotensi untuk di kembangkan menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah. Dalam upaya peningkatan kemandirian daerah,

4 pemerintah daerah juga dituntut untuk mengoptimalkan potensi pendapatan yang dimiliki dan salah satunya memberikan proporsi belanja modal yang lebih besar untuk pembagunan pada sektor sektor yang produktif di daerah. Wong (2004) menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur industri mempunyai dampak yang nyata terhadap kenaikan pajak daerah. Dengan terpenuhinya fasilitas publik maka masyarakat merasa nyaman dan dapat menjalankan usahanya dengan efisien dan efektif sehingga pada akhirnya akan meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (Mardiasmo, 2002). Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal dan adanya kebutuhan pendanaan daerah yang cukup besar, pemerintah memberikan dana perimbangan dan salah satu komponen dana ini yang memberikan kontribusi terbesar adalah Dana Alokasi Umum. Dalam beberapa tahun berjalan, proporsi Dana Alokasi Umum terhadap penerimaan daerah masih yang tertinggi dibanding dengan penerimaan daerah yang lain, termasuk Pendapatan Asli Daerah (Adi, 2006). Hal ini menunjukkan masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pasokan dana dari pemerintah pusat ini. Namun demikian, dalam jangka panjang, ketergantungan semacam ini harus menjadi semakin kecil. Berbagai investasi yang dilakukan pemerintah daerah diharapkan memberikan hasil positif yang tercermin dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Tuntutan untuk mengubah struktur

5 belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah (Halim, 2001). Rendahnya kapasitas ini mengindikasikan tingkat kemandirian daerah yang rendah. Daerah dituntut untuk mengotimalkan potensi pendapatan yang dimiliki dan salah satunya dengan memberikan porsi belanja daerah yang lebih besar untuk sektor-sektor produktif. APBD terkandung unsur pendapatan dan belanja, dimana pendapatan yang dimaksud adalah sumber-sumber penerimaan untuk daerah dikenal dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sedangkan belanja adalah pengeluaranpengeluaran yang dikeluarkan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sesuai dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, pemerintah daerah berhak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut azas otonomi daerah, diarahkan untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta semua masyarakat, serta juga meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem negara kesatuan republik indonesia. Undang-undang No. 33 tahun 2004 diterangkan untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan mentransfer dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi khusus, dana alokasi umum dan bagian daerah dari bagi hasil pajak dan bukan pajak. Dana Alokasi Umum memegang peranan yang sangat dominan dibandingkan sumber dana lain seperti dana alokasi khusus maupun dana kontijensi

6 (penyeimbangan) untuk itu diharapkan Dana Alokasi Umum dapat digunakan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat sebagai tujuan dari desentralisasi yaitu untuk mempercepat pembangunan. Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan dari desentralisasi yaitu untuk mempercepat pembangunan disamping tetap memaksimalkan potensi daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Dana Alokasi Umum memegang peranan yang sangat dominan dibandingkan sumber dana lain, untuk itu Dana Alokasi Umum diharapkan dapat digunakan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pemberian Dana Alokasi Umum diharapkan benar-benar dapat mengurangi disparitas fiskal horizontal daerah yang mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu mendorong adanya peningkatan investasi di daerah, dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan publik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kontribusi publik terhadap pajak. Kemandirian daerah menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah dan pada gilirannya tanggung jawab pemerintah untuk memberikan DAU bisa lebih dikurangi. Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda maka pemerintah

7 pusat tidak dapat lepas begitu saja terhadap kebijakan otonominya sehingga dalam perkembangannya, daerah tidak menunjukkan peningkatan kemandirian. Abdullah dan Halim (2003) memberikan bukti bahwa Dana Alokasi Umum mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap belanja daerah daripada pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap belanja modal. Daerah cenderung mempertahankan penerimaan Dana Alokasi Umum dikarenakan jumlahnya yang sangat besar daripada mengupayakan peningkatan pendapatan sendiri. Keberhasilan pengembangan otonomi daerah bisa dilihat dari derajat otonomi fiskal daerah yaitu perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah dengan total penerimaan APBD nya yang semakin meningkat, di harapkan dimasa yang akan datang ketergantungan daerah terhadap transfer dana pusat hendaknya diminimalisasi guna menumbuhkan kemandirian pemerintah daerah dalam pelayanan publik dan pembangunan. Lilik Khoirul Mala (2008) melakukan penelitian Pada Pemerintahan kabupaten/kota Jawa Tengah menunjukkan Pertumbuhan Ekonomi (Pdrb), Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum secara bersama sama berpengaruh signifikan kepada Belanja modal. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Asti Septiana (2008) pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia juga menunjukkan bahwa secara terpisah dan atau bersama-sama pendapatan asli daerah (PAD) berpengaruh secara signifikan terhadap belanja modal, dan terdapat perbedaan belanja modal (BM) dan belanja operasional dan pemeliharaan (BOP) antara aparatur dengan publik.

8 Penelitan ini bertujuan untuk meneliti pengaruh faktor-faktor fundamental yaitu pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum terhadap anggaran belanja modal. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada sampel yang diambil, penelitian sebelumnya menjadikan daerah se Jawa- Bali baik kabupaten dan kota dari tahun 2004-2005 sebagai sampelnya, sementara untuk penelitian ini sampel yang digunakan adalah kabupaten atau kota provinsi Sumatera dan periode yang digunakan tahun 2010. Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil penelitian dengan judul PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL.

9 B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Apakah pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. 2. Apakah dana alokasi umum berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menguji pengaruh pendapatan asli daerah terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. 2. Menguji pengaruh dana alokasi umum terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk meningkatkan kemampuan dan pemahaman bagi peneliti. 2. Untuk dijadikan informasi bagi pemerintah di Sumatera dalam pengalokasian anggaran belanja modal. 3. Dapat dijadikan referensi bagi peneliti berikutnya baik dari kalangan mahasiswa atau pihak-pihak lain yang berkepentingan.

10 4. Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu, terutama dalam bidang akuntansi sektor publik mengenai pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum terhadap belanja modal dan juga di harapkan dapat dipakai sebagai acuan untuk riset-riset mendatang. 5. Penelitian ini sebagai bahan masukan dan sumber acuan bagi pembaca atau peneliti lain untuk menjadikan perbandingan terhadap masalahmasalah yang sama yang sebagaimana terdapat di muka. E. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pemahaman isi dari penelitian ini, maka pembahasan dibagi menjadi beberapa bab, yaitu sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN. Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA. Dalam bab ini diuraikan teoriteori dasar yang berhubungan dengan judul penelitian dan topik permasalahan, yang mana teori tersebut akan digunakan sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah penelitian yan ada. BAB III: METODE PENELITIAN. Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang meliputi: jenis penelitian, populasi, sampel dan teknik pengambilan sampel, data dan sumber data, metode pengumpulan data, variabel-variabel penelitian, definisi operasional dan pengukuran variabel, model dan metode analisis data.

11 BAB IV: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. Bab ini berisi deskripsi hasil penelitian berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, pengujian, dan pembahasan hasil penelitian yang akan diuraikan. BAB V: PENUTUP. Dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya dan disertai dengan saran-saran yang diharapkan bisa digunakan sebagai dasar pertimbangan dan bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.