I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting di Indonesia yang berperan sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi. Peranan sektor ini di Indonesia masih dapat ditingkatkan lagi apabila dikelola dengan baik karena belum optimalnya penggarapannya sampai saat ini. Masa depan sektor ini akan terus menjadi sektor penting dalam upaya pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan nasional dan penerimaan ekspor serta berperan sebagai produsen bahan baku untuk penciptaan nilai tambah di sektor industri dan jasa. Pada sektor pertanian, subsektor perkebunan diharapkan tetap memainkan peran penting melalui kontribusinya dalam Produk Domestik Bruto, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan pembangunan wilayah terutama di luar pulau Jawa. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit antara lain memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, produksi yang menjadi bahan baku industri pengolahan yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri (produksi tahun 2008 sebanyak 18.31 juta ton), ekspor yang menghasilkan devisa (sebesar 12.37 miliar USD) dengan luas areal 7.02 juta Ha (Indonesian Palm Oil Statistic, 2008) Pengembangan kelapa sawit di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sejak tahun 1970 terutama periode 1980-an. Semula pelaku perkebunan kelapa sawit hanya terdiri dari Perkebunan Besar Negara (PBN)
namun pada tahun yang sama pula dibuka Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR) melalui pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan selanjutnya berkembang pola swadaya. Pada tahun 1980 luas areal kelapa sawit adalah 294 000 ha dan pada tahun 2008 luas areal perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 7.02 juta ha dimana 50.05 persen dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta, 41.48 persen dimiliki oleh Perkebuan Rayat, dan 8.48 persen dimiliki oleh Perkebuna Besar Negara. Produksi minyak sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau Sumatera diikuti oleh Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 24.32 persen dari produksi nasional pada tahun 2008 dan diikuti Sumatra Utara menyumbang minyak sawit sebesar 23.34 persen dari produksi nasional dengan luas lahan mencapai 40.11 persen dari luas lahan nasional. Minyak kelapa sawit atau crude palm oil merupakan bahan baku yang juga dapat diolah menjadi produk pangan dan non pangan. Beberapa produk non pangan hasil olahannya diantaranya minyak goreng, margarin, shortening, cocoa butter substitutes, vegetable ghee dan emulssifier. Sedangkan beberapa produk olahan non pangan yang dapat dihasilkan dari minyak kelapa sawit adalah asam lemak, alkohol lemak, gliserin, biodiesel dan surfaktan. Indonesia saat ini baru mampu memproduksi sekitar 23 jenis produk turunan kelapa sawit (Depperin, 2008). Melihat gambaran perkembangan produk turunan dan ekspor kelapa sawit, ditunjukan pada Tabel 1. yang menyatakan bahwa ekspor kelapa sawit dari tahun ke tahun selalu meningkat dari tahun 2004 sampai 2008 tapi tahun 2009
terjadi penurunan sedikit. Begitu juga Olein juga terjadi peningkatan hanya pada tahun 2009 terjadi penurunan sedikit. Untuk Stearin mulai tahun 2006, 2008 dan 2009 hampir tetap hanya tahun 2007 terjadi penurunan. Tabel 1. Perkembangan Ekspor Crude Palm Oil dan Produk Turunannya (Juta US $) Produk 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Crude Palm Oil 1444.4 1593.3 2375.4 3787.7 6561.3 5702.1 Olein, Refined, bleached 0.0 0.0 1116.9 2525.9 0.0 0.0 deodor Crude Oil of Palm Kernel or 396.0 449.0 506.0 807.9 1172.2 919.6 babasssu Stearin, refined, bleached & 0.0 0.0 831.2 592.4 882.5 862.0 deodor ised (rbd) Palm Oil, refined, bleached & deodor ised (rbd) 0.0 0.0 380.2 562.2 724.5 480.7 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Perkembangan kemajuan teknologi dan industri telah memacu pertumbuhan konsumsi enerji yang cukup tinggi selama beberapa dasawarsa terakhir di dunia sehingga mempengaruhi tatanan ekonomi global, regional, maupun ekonomi suatu negara. Penggunaan energi yang berasal dari minyak mineral di dunia diperkirakan mencapai 91.6 million barrels per hari tahun 2010 (International Energy Outlook, 2006). Kebutuhan energi ke depan diperkirakan akan semakin meningkat, sedang faktor penyediaan relatif tetap atau cenderung menurun dengan faktor harga berfluktuasi atau sulit diprediksi. Masalah tersedianya energi yang terjadi di berbagai dunia mendorong banyak negara untuk terus mencari energi alternatif dalam rangka memenuhi kebutuhan energi mereka. Ketersediaan energi fosil yang terdapat di dalam perut bumi diprediksi semakin menipis, sementara itu konsumsi diperkirakan akan meningkat seiring dengan pertambahan industri. Akibat semakin menipisnya
persediaan energi yang tidak terbarukan seperti minyak bumi, akan berdampak pada kenaikan harga minyak dunia. Ketika harga minyak bumi melambung pada beberapa tahun yang lampau, semua berusaha membuka lembaran usang dari dokumen-dokumen mengenal energi alternatif untuk segera diimplementasikan sebagai pengganti bahan bakar minyak yang selama ini mendominasi kebutuhan energi sumberdaya angin, air, matahari sampai gelombang air laut mulai dikembangkan kembali. Namun, semua itu belum bisa memberi jawaban yang maksimal mengingat investasi yang diperlukan masih sangat mahal. Hal inilah yang membuat kita menoleh kepada sumber alam lain seperti tanaman untuk dijadikan alternatif penghasil energi, oleh karena itu mulai saatnya harus dipikirkan energi alternatif yang dapat dikembangkan sebagai substitusinya. Tabel 2. Kondisi Minyak Mentah Dunia (Juta barel) Kondisi Minyak 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Produksi 3612 3598 3673 3699 3864 3891 3908 3902 3928 Konsumsi 3551 3571 3605 3672 3810 3861 3894 3839 3927 Sumber : Asean Development Bank, 2009 Tabel 2 menunjukan produksi minyak bumi dari waktu ke waktu menunjukan kenaikan dari tahun 2000 sampai tahun 2008, hanya dari tahun 2000 ke 2001 menunjukan penurunan, dan juga tahun 2006 ke tahun 2007 terjadi penurunan. Begitu juga konsumsi minyak bumi dunia mulai tahun 2000 menunjukan kenaikan dari tahun ke tahun seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dan pemakaian kendaraan dan perkembangan industri yang membutuhkan energi.
Menurut Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2000, kebutuhan enerji yang berasal dari minyak mineral atau fosil nasional juga semakin meningkat, yang mengkibatkan disamping mengekspor, pemerintah masih harus mengimpor 200 000 bph minyak mentah dan 9 juta ton petroleum diesel. Sejak terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 sampai sekarang belum ada investasi baru di bidang eksplorasi minyak mineral. Jika hal ini terus berlanjut diperkirakan konsumsi dan produksi minyak mentah mineral di Indonesia akan mengalami titik impas pada tahun 2010. Harga bahan bakar yang berasal dari minyak mineral masih disubsidi menyebabkan tingginya beban pemerintah dan impor sebagian dari bahan bakar tersebut menyebabkan pengurangan devisa negara yang cukup besar. Dengan kondisi perminyakan di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir tidak lagi menjadi negara eksportir minyak, akan tetapi telah menjadi salah satu negara importir minyak dunia dan kondisi ini dipengaruhi oleh laju peningkatan konsumsi serta terbatasnya kapasitas kilang minyak nasional. Tabel 3. Kondisi Perminyakan di Indonesia (Juta barrel) Kondisi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Minyak Produksi 517.4 489.8 455.7 415.8 400.4 385.4 359.2 348.3 358.7 Konsumsi 383.9 375.6 358.8 373.1 375.4 357.4 349.8 321.3 248.1 Ekspor 225.8 239.9 216.9 211.1 180.2 156.7 114.1 127.1 104.1 Impor 79.2 118.3 121.2 129.7 148.4 120.1 113.5 111.1 48.8 Sumber : Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2009 Tabel 3 menunjukkan` bahwa produksi minyak mentah di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ketahun. Pada tahun 2000 cadangan minyak Indonesia sekitar 517.4 juta barel dan tahun 2008 menjadi sekitar 358.7 juta barel. Konsumsi minyak mentah dari tahun 2000 sebesar 383.9 juta barel minyak mentah terjadi penurunan dari waktu ke waktu sehingga tahun 2008 terdapat bahwa jumlah sebesar 248.1 juta barel. Sedangkan ekspor minyak Indonesia
terlihat bahwa jumlah ekspor juga terjadi penurunan mulai tahun 2000 sebesar 225.8 juta barel hingga tahun 2008 sebesar 104.1. Jumlah impor minyak Indonesia kenaikan mulai tahun 2000 sebesar 79.2 juta barel terjadi kenaikan hingga tahun 2005 sebesar 120.1 selanjutnya ketahun berikutnya terjadi penurunan sehingga pada tahun 2008 menjadi sebesar 48.8 juta barel minyak mentah. Penurunan produksi minyak mentah disebabkan oleh dua faktor utama yaitu eksploitasi minyak selama bertahun-tahun dan minimnya eksplorasi atau survei geologi untuk menemukan cadangan minyak terbaru. Tanpa ditemukan cadangan minyak baru, praktis persedian minyak di Indonesia hanya dapat dieksploritasi sampai sekitar 30 tahunan. Produksi minyak mentah Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun hingga tahun 2008 yaitu sebesar 358.7 juta barel. Penurunan ini disebabkan oleh sumur-sumur yang ada sudah tua, teknologi yang digunakan sudah ketinggalan dan iklim investasi disektor pertambangan minyak kurang kondusif sehingga tidak banyak perusahaan asing maupun nasional melakukan investasi disektor perminyakan. Sedangkan disisi konsumsi terhadap produk minyak/bahan Bakar Minyak terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sejak tahun 2004, jika hasil produksi minyak mentah Indonesia di semua kilang dihitung, maka hasilnya tetap tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sejak tahun 2004, Indonesia telah mengalami defisit sebesar 49.3 ribu barel/hari. Volume ekspor minyak mentah juga memperlihatkan kecenderungan yang semakin menurun, sebaliknya kegiatan impor minyak mengalami peningkatan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan minyak nasional yang mengalami
defisit. Kapasitas pengilangan menunjukan tidak adanya penambahan kilang minyak baru, kondisi ini terlihat kapasitas kilang yang tidak berubah selama kurun waktu lima tahun, sebesar 1 057 000 barel/hari. Besarnya dampak ketergantungan terhadap energi yang bersumber dari bahan bakar fosil terutama minyak bumi dan yang telah dilakukan oleh kesuksesan Brazil dalam pengembangan bioetanol telah membangkitkan banyak negara di dunia termasuk Indoenesia untuk memulai mengembangkan bahan bakar nabati. Untuk pengembangan energi alternatif menggunakan bahar baku nabati pemerintah Indonesia telah menerbitkan undang-undang dan peraturanperaturan pemerintah : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang mengatur mengenai energi mulai dari penguasaan dan peraturan sumberdaya energi sampai dengan penelitian dan pengembangan energi nasional. 2. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional untuk meningkatkan pernggunaan energi alternatif hingga 80 persen dan menurunkan penggunaan Bahan Bakar Minyak hingga kurang dari 20 persen pada tahun 2005. 3. Intruksi Presiden Nomor 1 Tanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain. 4. Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. 5. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pengembangan
Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengyurangan Kemiskinan dan Pengangguran. Bahan bakar nabati yang dapat dikembangkan di Indonesia salah satunya adalah biodiesel karena memiliki prospek yang cukup baik mengingat ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah. Bahan baku potensial yang dapat dimanfaatkan pada proses produksi biodiesel adalah minyak kelapa sawit. Hal ini mengingat Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia (Aprobi, 2009). Sebagai Negara yang berpotensi mengembangkan biodiesel terdapat 18 pabrik biodiesel di seluruh Indoenesia. Pabrik yang terbesar adalah PT Wilmar berlokasi di Dumai sebesar 1 206 897 dengan kapasitas produksi kiloleter per tahun. Diikuti pabrik PT Musim Mas dan PT Energi Perkasa di Batam dan Dumai dengan kapasitas sebesar 482 759 dan 459 770 kiloleter per tahun, sedangkan total kapasitas pertahun dari seluruh pabrik yang tersebar di seluruh Indonesia sebesar 3 184 311 kiloleter pertahun. Sebaran lokasi dan kapasitas berdasarkan tabel 4 menunjukan beberapa perusahaan berlokasi di Jakarta yaitu P.T. Energi Alternatif Indonsia dan P.T. asedana Biofuels Mandiri dan P.T. Prima Nusa Palma Energi dengan kapasitas masing-masing 8 046, 10 240 dan 24 000 kiloliter per tahun. Daerah Jawa Barat terletak di Bekasi yaitu P.T. Sumi Asih Aleo, PT Darmex Biofuels dan PT Multi Kimia dengan kapasitas 114 943, 172 414 dan 14 000,. sedangkan pabrik yang lain tersebar di Jawa Timur dengan lokasi Gresik dengan kapasitas yatu sebsar 45 977 kiloliter
Jumlah industri berdasarkan kapasitas ditunjukan pada tabel 5 yang menggambarkan wilayah menurut propinsi di Indonesia yang tersebar di 20 propinsi. Secara umumnya berada di Riau, Sumatra Utara dan Sumatra Selatan sebanyak 128, 87 dan 48 perusahaan. Tapi secara umum pabrik biodiesel tersebar provinsi di seluruh Indonesia. Tabel 4. Data Pabrik Biodiesel Indonesia, Tahun 2009 (kiloliter) Kapasitas No Perusahaan Lokasi Produksi 1 P.T. Energi Alternatif Indonesia Jakarta 8 046 2 P.T. Indo Biofuels Energi Merak Banten 68 966 3 P.T. Anugrah Inti Gemanusa Gresik Jawa Timur 45 977 4 P.T. Eterindo Nusa Graha Gresik Jawa Timur 45 977 5 P.T. Eternal Buana Chemical In Tangerang Banten 45 977 6 P.T. Wilmar Bio Energi Indo. Dumai Riau 1 206 897 7 P.T. Sumi Asih Oleo Chemical Bekasi Jawa Barat 114 943 8 P.T. Darmex Biofuels Bekasi Jawa Barat 172 414 9 P.T. Pelita Agung Agrindustri Sumatera Utara 229 885 10 P.T. Prima Nusa Palma Energi Jakarta 24 000 11 P.T. Sintong Abadi Sumatera Utara 35 000 12 P.T. Musim Mas Batam Kep Riau 482 759 13 P.T. Multi Kimia Inti Pelangi Bekasi Jawa Barat 14 000 14 P.T. Cemerlang Energi Perkasa Dumai Riau 459 770 15 P.T. Petro Andalan Nusantara Sumatera Utara 150 000 16 P.T. Bioenergi Pratama Jaya Dumai Riau 75 429 17 P.T. Pura Agung Mojokerto Jatim 10 500 18 P.T. Pasadena Biofuels Mandiri Jakarta 10 240 Jumlah yang tersedia 3 184 311 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Begitu banyaknya perusahaan yang begerak dalam industri biodiesel, menurut Miranti (2008) ada beberapa alasan yang merupakan peluang besar industri kelapa sawit di Indonesia. Diantaranya pertama, permintaan dunia yang semakin meningkat sejalan dengan meningk atnya permintaan di negara-negara importir seperti China, India, dan Uni Eropa. Kedua, semakin pentingnya posisi minyak sawit sebagai sumber minyak dari tahun ke tahun. Ketiga semakin berkembangnya industri biodiesel sebagai
bahan bakar alternatif yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan bakunya yang dapat mendorong peningkatan permintaan minyak sawit. Saat ini bahan bakar biodiesel telah digunakan secara luas di sejumlah negara sejalan dengan Tabel 5. Jumlah Industri dan Lokasi Per Propinsi Kapsitas Kelapa Sawit Berdasarkan No. Provinsi Jumlah Industri Pengolahan Kelapa Sawit (Ton Tandan Buah Segar/jam) Kapasitas 1 NAD 13 410 2 Sumatera Utara 87 3 030 3 Sumatera Barat 20 1 080 4 Riau 128 5 645 5 Jambi 31 1 503 6 Sumatera Selatan 48 2 290 7 Bangka Belitung 5 345 8 Bengkulu 12 540 9 Lampung 4 125 10 Jawa Barat 1 30 11 Banten 1 60 12 Kalimantan Barat 20 905 13 Kalimantan Tengah 24 1 290 14 Kalimantan Selatan 3 110 15 Kalimantan Timur 10 510 16 Sulawesi Tengah 3 90 17 Sulawesi Selatan 1 40 18 Sulawesi Barat 4 140 19 Papua 3 90 20 Irian Jaya Barat 2 110 Total 421 18 343 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan hidup yang berkelanjutan, seperti EU-27, AS, Brazil, Australia, Singapura, Malaysia, dan Thailand yang konsumsinya diperkirakan akan semakin meningkat di masa-masa yang akan datang sejalan dengan meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan hidup yang berkelanjutan, seperti EU-27, AS, Brazil, Australia, Singapura, Malaysia, dan
Thailand yang konsumsinya diperkirakan akan semakin meningkat di masa-masa yang akan datang sejalan dengan kebijakan pemerintah setempat. Sementara di dalam negeri sendiri, pemerintah melalui kebijakan energi nasional telah menargetkan penggunaan biodiesel sebesar 5 persen dari bauran energi nasional. Dengan sejumlah keunggulan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel seperti harga yang lebih murah, memberikan yield per ha yang lebih tinggi, dan tingkat emisi karbon yang lebih rendah dibanding minyak nabati lainnya, akan semakin mendorong penggunaan minyak sawit di industri ini yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan permintaan minyak sawit. Keempat, masih relatif rendahnya konsumsi minyak dan lemak per kapita di negara-negara pengkonsumsi kelapa sawit terbesar seperti China (22.7 kg per kapita), Indonesia (21.7 kg per kapita), dan India (12.5 kg per kapita) dibanding AS (57.3 kg per kapita), dan EU 27 (54.9 kg per kapita) memberi peluang peningkatan permintaan kelapa sawit di masa mendatang di ketiga negara tersebut terutama China dan India yang berpenduduk besar. Kelima, margin keuntungan agribisnis kelapa sawit yang relatif besar baik dari sisi net profit margin, Return Of Asset yang tercermin dari laporan keuangan beberapa perusahaan kelapa sawit besar yang tercatat di bursa seperti Astra Agro Lestari, Sampoerna Agro, Sinar Mas Agro dan Lonsum Sumatera Indonesia. Dalam menunjang pabrik biodiesel di Indonesia bisa dilihat sejauh mana ketersediaan bahan baku nabati yang bisa dimanfaatkan untuk memproduksi biodisel tersebut yang terdiri dari Jagung, Kelapa Sawit, Singkong dan Tebu digambarkan pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukan kenaikan produksi jagung, singkong, sawit dan tebu dari tahun 2000 sampai 2009, di mana singkong
yang tertinggi diikuti oleh sawit, jagung, dan tebu. Sebagai usaha dalam mendukung pengembangan energi alternatif biofuel beberapa perusahaan telah membangun kebun bibit dan kebun sumber untuk tumbuhan jarak pagar (Jatropha Cucus Linn.) sebagai salah satu bahan baku BBN. Ribu Ton 25000 20000 15000 10000 5000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 Jagung Singkong Sawit Tebu Gambar 1. Produksi Jagung, Singkong, Sawit dan Tebu, Tahun 2000 2009 Pengembangan tumbuhan jarak pagar tersebut bertujuan mengganti minyak tanah sebagai Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Salah satu keuntungan dari jarak pagar ini adalah ramah lingkungan dan bukan merupakan tumbuhan persaingan dengan kebutuhan pangan. Singkong juga merupakan tanaman yang sangat mungkin untuk dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia. Penanaman dan pemeliharaan singkong relatif mudah dan memilki tingkat produksi ang sangat tinggi. Tanaman ini mampu menghasilkan sekitar 30-60 ton per ha. Singkong merupakan jenis tanaman yang fleksibel karena dapat tumbuh dan berproduksi di daerah dataran
rendah maupun dataran tinggi. Hal tidak akan terjadi kompetisi atau perebutan lahan antara budidaya tanaman singkong dan budidaya tanaman singkong. Seiring dengan pemikiran pengembangan energi alternatif di dunia, muncul dampak negatif yang disebut dengan istilah silent tsunami yang akhir-akhir ini booming di skala internasional untuk mengambarkan adanya bahaya krisis pangan yang dialami hampir seluruh dunia. Berdasarkan informasi president Word Bank adapun salah satu penyebab utama kenaikan harga pangan pada tiga tahun terakhir secara potensial mengakibatkan 100 juta penduduk di negara berpendapatan rendah menjadi penduduk sangat miskin, ini disebabkan terjadinya permintaan etanol dan biofuel yang melonjak tinggi. Masalah pangan meningkat karena naiknya harga pangan. Satu fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia pertanian. Dalam beberapa tahun terakhir, harga beras naik dari $65 per ton sampai dengan tahun 2000, menjadi sekitar $330 per ton di tahun 2005 dan sekarang $700 per ton; harga gula naik dari $220, $550 dan $700 per ton pada tahun 2000, 2005 dan 2008; harga kedelai naik $320 tahun 2000, $600 per ton sampai satu tahun terakhir; begitu juga gandum naik dari $300 per ton menjadi $700 per ton, hanya kelapa sawit yang semula menunjukan kenaikan $ 220 per ton menjadi $ 1100 per ton dan pada tahun ini terjadi penurunan drastis. Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama karena penduduk dunia bertambah. Setiap 15 tahun, betambah 15 milyar jiwa. Kedua, karena sebagian komoditas pertanian yang tadinya hanya digunakan untuk keperluan pangan, seperti jagung, tebu dan kelapa sawit juga mulai digunakan secara besar-besaran sebagai energi alternative, biofuel. Amerika serikat di tahun 2007 menggunakan
48 juta ton jagung untuk bahan etanol. Brazil menggunakan tebu dan Indoensia memanfaatkan minyak kelapa sawit untuk memproduksi biofuel. Ketiga, meningkatnya komoditas pangan juga disebabkan kebutuhan ternak untuk memproduksi ternak yang lebih banyak. Produk pertanian untuk manusia juga digunakan untuk pakan ternak. Keempat, seiring dengan kemunduran di pasar modal dan pasar financial global, banyak investor yang mengalihkan ke sektor lain industri, transportasi. Kelima, disebabkan dinamika ekonomi internasional. Ekonomi Cina dan India yang berpopulasi raksasa tumbuh tinggi, juga menyebabkan orang Cina dan India lebih sejahtera dari sebelumnya. Penyebab lain peningkatan harga pangan dunia yang berdampak pada potensi gejolak sosial dan kerusuhan, merupakan tantangan globalisasi dan era makanan murah sudah berakhir, masalah tersebut utamanya disebabkan demand side bukan masalah kegagalan panen tetapi tekanan permintaan yang begitu tinggi dari beberapa negara seperti China, India. Salah satu cara yang dianjurkan adalah menghentian subsidi biofuel di negara kaya. Untuk menjadi alternatif bahan bakar fosil, biofuel harus menghasilkan keseimbangan energi positif, memiliki manfaat lingkungan, secara ekonomi yang layak, dan jumlah produksi kuantitas yang besar tanpa mempengaruhi pada keamanan pangan Produksi dan menggunakan biofuel memiliki potensi untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi dan meningkatkan kualitas lingkungan, menurunkan emisi rumah hijau, mengembangkan wilayah pedesaan dan menyediakan pekerjaan bagi para petani. Namun tidak ada jaminan bahwa tujuan akan dipenuhi seperti yang diharapkan.
Runge dan Huang (2007) menunjukkan bahwa produksi generasi pertama biofuel memiliki dampak negatif terhadap ketahanan pangan karena mengkonsumsi banyak makanan. Menggunakan tanaman pertanian non sebagai bahan baku, produksi biofuel generasi kedua tidak akan mempengaruhi ketahanan pangan dan akan meningkatkan lingkungan untuk menjadi lebih baik dari biofuel generasi pertama. Dalam rangka untuk memproduksi biofuel secara berkelanjutan, pergeseran dari produksi biofuel generasi pertama ke biofuels generasi kedua adalah dianjurkan Di dunia nyata, produksi dan penggunaan biofuel mungkin memiliki dampak positif terhadap lingkungan, tetapi tidak benar-benar hasilnya tergantung pada faktor-faktor tertentu seperti situs, teknologi produksi, pasar dan lainnya. Misalnya Farrel menyimpulkan bahwa untuk produksi dan penggunaan bioethanol membuat kontribusi terhadap kemandirian energi dan perbaikan lingkungan. Sementara Crutzen mengungkapkan bahwa hasil produksi biodiesel dalam peningkatan emisi gas rumah kaca karena penggunaan pupuk nitrogen dan Patzek dan Pemintal menemukan bahwa keseimbangan energi dalam memproduksi etanol dari jagung adalah negatif. Scharlerman dan Laurance menyatakan bahwa perbandingan dengan bahan bakar fosil ada 12 jenis biofuel memiliki dampak lingkungan yang lebih besar daripada bahan bakar fosil, termasuk bioetanol jagung di AS bioethanol tebu dan biodiesel kedelai di Brazil dan minyak sawit di Malaysia. Untuk menunjang diperlukan untuk mengakses kinerja ekonomi, lingkungan dan energi biodiesel sebelum industri biofuel dikembangkan dalam skala besar, sehingga untuk menghindari risiko dan memberikan dasar untuk
penentu kebijakan dalam pengembangan industri biofuel. Siklus hidup penilaian (LCA) adalah sebuah metode yang cocok untuk tujuan ini dan secara luas digunakan dalam penilaian dampak yang terkait dengan biofuel. Berdasarkan uraian di atas untuk mengatasi masalah energi di Indonesia perlu kebijakan yang diambil khususnya dalam pemilihan macam bahan bakar nabati yang sesuai dengan kondisi lahan tersedia. Berdasarkan rencana pemerintah maka akan dipilih sumber tumbuhan yang cocok untuk kondisi Indonesia yaitu tumbuhan singkong, tebu, sawit dan jarak pagar. Dalam penelitian ini sesuai dengan topik akan dipilih bahan baku nabati untuk pengembangan biodiesel adalah kelapa sawit. 1.2. Perumusan Masalah Dari latar belakang di atas, terlihat dengan adanya masalah energi dunia berdampak terhadap kebutuhan energi di Indonesia dan selanjutnya akan berimbas terhadap perkembangan industri turunan kelapa sawit nasional yang diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk dan berkembangnya sektor industri dan transportasi. Untuk menunjang pengembangan produksi biodiesel sudah saatnya aturan wajib menggunakan biofuel bagi industri, pembangkit listrik dan transpotasi umum untuk pasar domestik. Berkaitan dengan mengatasi ketersediaan energi di Indonesia dengan pendukung peraturan pemerintah tentang penggunaan biofuel maka pelaksanaan penelitian mengacu pada beberapa permasalahan : 1. Bagaimana keragaan pasar biodiesel dari industri turunan kelapa sawit di Indonesia?
2. Bagaimana dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap industri produk turunan kelapa sawit di Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis keragaan pasar biodiesel dari industri turunan kelapa sawit di Indonesia 2. Menganalisis dampak pengembangan industri biodiesel dari kelapa sawit terhadap industri turunan kelapa sawit di Indonesia 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan mikro-makro-ekonometrika, yang dikembangkan dengan menitikberatkan pada fungsi sisi permintaan dan penawaran komoditi yang digunakan. Sementara data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series tahunan dengan priode waktu dari tahun 1989 sampai 2009. Pemilihan komoditi energi alternatif dititikberatkan berdasarkan pada komoditi yang secara strategis berpengaruh terhadap perekonomian nasional dan tersedianya lahan. Untuk komoditi energi alternatif hanya dibatasi pada tanaman kelapa sawit. Hasil produksi yang diharapkan berdasarkan bahan baku yang digunakan berupa biodiesel sebagai produk turunan non pangan. Sedangkan produk turunan industri kelapa sawit berbasis pangan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan output yang dominan terdiri dari Minyak Goreng, Margarin. Sehubungan tidak tersedianya data biodiesel maka produksi biodiesel di proxi dari produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel (Hartoyo, 2009).