BAB IV. PERKEMBANGAN IPM. 4.1 Perkembangan IPM pada Masa Pemerintahan Orde Baru

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V. PERKEMBANGAN KEMISKINAN. 5.1 Perkembangan Kemiskinan pada Masa Pemerintahan Orde Baru

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

EVALUASI PEMBANGUNAN PENDIDIKAN (Indikator Makro)

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB III METODE PENELITIAN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH

PROFIL PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA TENGAH

PENEMPATAN TENAGA KERJA

INFORMASI UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR) TAHUN 2010, 2011, 2012

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi

GUBERNUR JAWA TENGAH,

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961

BERITA RESMI STATISTIK

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG

BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN PERILAKU PEMBENTUKAN HARGA PRODUK MANUFAKTUR DI JAWA TENGAH

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

digilib.uns.ac.id BAB IV. PERKEMBANGAN IPM 4.1 Perkembangan IPM pada Masa Pemerintahan Orde Baru Pada masa pemerintahan Orde Baru (tahun 1966-1998), Indonesia telah mengambil langkah besar dalam pembangunan yang memfokuskan manusia sebagai sasaran pembangunan di samping pertumbuhan ekonomi. Pelaksanaan pembangunan nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Tiga poin pertama dari delapan jalur pemerataan tersebut yaitu: a) pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan, b) pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan, dan c) pemerataan pembagian pendapatan. Strategi itu telah menaikkan derajat manusia secara signifikan. Angka kematian bayi (AKB) turun drastis dari 159 per 1000 kelahiran, menjadi 49 per 1000 kelahiran pada tahun 1996 (BPS-BAPPENA-UNDP, 2001). Angka buta huruf (ABH) juga berkurang meyakinkan dari 60 persen menjadi 14% pada tahun 1996 (BPS-BAPPENA-UNDP, 2001). Begitu pula dengan angka harapan hidup (AHH) yang terus membaik dari 41 pada tahun 1960 menjadi 64,4 pada tahun 1996. Kondisi tersebut juga tergambar dalam kenaikan nilai IPM dari tahun 1975 hingga tahun 1996 seperti terlihat pada grafik 4.1 dan kenaikan komponenkomponennya pada grafik 4.2.

digilib.uns.ac.id 39 70 Grafik 4.1 Perkembangan Nilai IPM Indonesia Tahun 1975-1996 67,7 65 60 55 52,6 57,8 61,9 50 45 40 46,5 1975 1985 1990 1995 1996 Sumber : Digambar dari BPS-BAPPENAS-UNDP, 2001 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Grafik 4.2 Perkembangan Beberapa Nilai Komponen IPM Tahun 1960-1996 1960 1990 1996 1990 1996 1960 1960 1990 1996 Angka Harapan Hidup Angka Kematian Bayi Buta Huruf Sumber : Digambar dari BPS-BAPPENAS-UNDP, 2001 Selama 21 tahun (1975-1996) nilai IPM Indonesia meningkat sebesar 21,2 poin, yaitu dari 46,5 pada tahun 1975 menjadi 67,7 pada tahun 1996. Meskipun hingga tahun 1996 belum ada kabupaten/kota yang mempunyai nilai di atas 80 (berkategori tinggi).

digilib.uns.ac.id 40 Seperti diketahui, pemerintahan Orde Baru bercirikan sentralistis. Pemerintah pusat menempatkan dirinya sebagai penggerak utama dalam upaya akselerasi pembangunan di seluruh pelosok tanah air. Berbagai kebijakan pembangunan diputuskan secara terpusat dengan instrumen utamanya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Namun, sentralisasi berbagai keputusan pada pemerintah pusat itu semakin memperbesar inefisiensi. Banyak proyek yang dilakukan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh daerah. Proses pembangunan yang sentralistik tersebut membuat ketimpangan wilayah yang sangat mencolok antara Kawasan Indonesia Barat dengan Kawasan Indonesia Timur, antara Pulau Jawa dengan Luar Pulau Jawa, bahkan di dalam Pulau Jawa sendiri ada ketimpangan wilayah antara kota dengan kabupaten, antara Jakarta dengan Luar Jakarta (Sjafrizal dalam Harun dan Maski, 2003). Dengan mengklasifikasikan nilai IPM kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 1996 menjadi 3 kategori yaitu rendah (IPM kurang dari 50), menengah bawah (50 IPM <66), dan menengah atas (IPM 66), terlihat bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera mempunyai nilai IPM berkategori menengah atas. Dari 189 kabupaten/kota yang ada, sebanyak 132 daerah mempunyai nilai IPM berkategori menengah atas, 56 berkategori menengah bawah, dan satu kabupaten yaitu Kabupaten Sampang berkategori rendah dengan nilai 48,2. Kondisi yang berbeda terjadi di luar pulau-pulau tersebut. Dari 102 kabupaten/kota yang ada, 61 di antaranya mempunyai nilai IPM berkategori

digilib.uns.ac.id 41 menengah bawah dan dua daerah berkategori rendah yaitu Kabupaten Jaya Wijaya (43,9) dan Kabupaten Paniai (48,9). Sedangkan daerah dengan kategori nilai menengah atas hanya sebanyak 39. Hal tersebut menunjukkan secara jelas bahwa ada disparitas pencapaian pembangunan wilayah antara wilayah Indonesia Bagian Barat dan wilayah Indonesia Bagian Timur. Gambaran lebih jelas terlihat pada grafik 4.3. Grafik 4.3 Disparitas Pencapaian Pembangunan Manusia Antar Wilayah di Indonesia, Tahun 1996 140 Menengah Atas 120 Banyaknya kabupaten/kota 100 80 60 40 Menengah Bawah Menengah Bawah Menengah Atas 20 0 Rendah Jawa-Bali-Sumatera Rendah Lainnya Sumber : Digambar dari BPS-BAPPENAS-UNDP, 2001, diolah Kondisi yang sama juga terjadi pada perkembangan nilai IPM Provinsi Jawa Tengah dan komponen-komponen penyusunnya. Pada tahun 1970 nilai IPM provinsi ini sebesar 60,2, sedangkan pada tahun 1996 menjadi 67. Di tingkat kabupaten/kota terlihat bahwa terjadi disparitas nilai antara kota dan kabupaten. Sejak tahun 1980 hingga tahun1996, nilai IPM kota jauh lebih tinggi

digilib.uns.ac.id 42 dibandingkan dengan nilai IPM kabupaten. Dari enam kota yang ada di wilayah ini, sebanyak empat kota mempunyai nilai IPM jauh di atas nilai provinsi. Keempat kota itu adalah Kota Salatiga, Magelang, Surakarta, dan Semarang. Sedangkan Pekalongan dan Tegal berada di bawahnya. Hal ini bisa dicermati dalam grafik 4.4. Grafik 4.4 Perkembangan Nilai IPM Enam Kota di Jawa Tengah Tahun 1980-1996 75 74 73 72 71 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 1980 1985 1990 1995 1996 72 74 71 73 75 76 Prop. Jateng 71 : Kota Magelang 72 : Kota Surakarta 73 : Kota Salatiga 74 : Kota Semarang 75 : Kota Pekalongan 76 : Kota Tegal Sumber : Digambar dari BPS, 2014 Di sisi lain, dari 29 kabupaten yang ada, sebagian besar mempunyai nilai IPM di bawah atau di sekitar nilai IPM Provinsi. Secara ringkas perkembangan nilai IPM kabupaten/kota dari tahun 1980 ke tahun 1996 serta posisi relatifnya terhadap nilai IPM provinsi digambarkan pada grafik 4.5. Dengan berpedoman nilai IPM provinsi sebagai titik pusat sumbu perpencaran nilai IPM kabupaten/kota, maka daerah sebaran commit nilai to user IPM tersebut dapat dibagi menjadi

digilib.uns.ac.id 43 empat kuadran. Perkembangan nilai IPM kabuapten/kota yang terletak dalam setiap kuadran yang sama secara rinci ditunjukkan dalam lampiran 1. Grafik 4.5 Perkembangan Nilai IPM Kabupaten/Kota Tahun 1980-1996 76 74 72 Nilai IPM Tahun 1996 72 70 68 66 64 62 60 58 29 Kuadran II 26 3 4 1 28 16 14 27 Kuadran IV 11 Provinsi 2 10 21 75 9 19 20 18 76 15 25 7 8 17 5 12 24 22 23 13 6 Kuadran I Kuadran III 73 71 74 56 56 58 60 62 64 66 68 70 Nilai IPM Tahun 1980 1:Kab. Cilacap 2:Kab. Banyumas 3:Kab. Purbalingga 4:Kab. Banjarnegara 5:Kab. Kebumen 6:Kab. Purworejo 7:Kab. Wonosobo 8::Kab. Magelang 9:Kab. Boyolali 10:Kab. Klaten 11:Kab. Sukoharjo 12:Kab. Wonogiri 13:Kab. Karanganyar 14:Kab. Sragen 15:Kab. Grobogan 16:Kab. Blora 17:Kab. Rembang 18:Kab. Pati 19:Kab. Kudus 20:Kab. Jepara 21:Kab. Demak 22:Kab. Semarang 23:Kab. Temanggung 24:Kab. Kendal 25:Kab. Batang Sumber 26:Kab. : Pekalongan Digambar dari 27:Kab. BPS, Pemalang 2014 28:Kab. Tegal 29:Kab. Brebes 71:Kota Magelang 72:Kota Surakarta 73:Kota Salatiga 74:Kota Semarang 75:Kota Pekalongan 76:Kota Tegal Kuadran I menggambarkan daerah sebaran kabupaten/kota yang relatif lebih baik hasil pencapaian pembangunan manusianya dibandingkan dengan kabupaten/kota lain. Nilai IPM kabupaten/kota yang ada pada kuadran I berada di atas nilai IPM provinsi baik untuk tahun 1980 maupun tahun 1996. Lima kota dan delapan kabupaten berada pada kuadran tersebut. Lima kota itu adalah Magelang, Salatiga, Surakarta, Semarang, dan Pekalongan. Kecuali Kota Peakalongan, empat kota tersebut pada tahun 1980 dan tahun 1996 mempunyai nilai IPM jauh di atas nilai IPM provinsi. Sedangkan delapan kabupaten itu adalah Banyumas, Sukoharjo, Karanganyar, Pati, Temanggung, Klaten, Wonogiri, dan Demak.

digilib.uns.ac.id 44 Kuadran II menggambarkan daerah sebaran kabupaten/kota dengan nilai IPM tahun 1980 lebih rendah dari nilai IPM provinsi akan tetapi pada tahun 1996 mempunyai nilai IPM yang lebih tinggi dari nilai IPM provinsi. Dengan demikian ada lompatan pencapaian hasil pembangunan manusia pada kabupaten tersebut. Meskipun dengan nilai IPM tahun 1996 yang sedikit di atas nilai provinsi, namun Kabupaten Kudus merupakan satu-satunya daerah yang berada pada kuadran tersebut. Kuadran III merupakan daerah sebaran kabupaten/kota dengan nilai IPM pada tahun 1980 lebih tinggi daripada nilai IPM provinsi namun pada tahun 1996 nilainya lebih rendah. Oleh karenanya bisa dikatakan bahwa peningkatan pencapaian hasil pembangunan manusia di kabupaten/kota yang berada pada kuadran tersebut relatif lebih lambat dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Tiga daerah yang menghuni kuadran ini adalah Kabupaten Magelang, dan Batang, serta Kota Tegal. Kabupaten/kota yang berada pada kuadran IV merupakan kabupaten/kota yang pencapaian pembangunan manusianya relatif tertinggal. Nilai IPM pada tahun 1980 maupun tahun 1996 di bawah nilai IPM provinsi. Peningkatan nilai IPM pada kabupaten/kota di kuadran tersebut belum cukup untuk mengejar ketertinggalan dari kabupaten/kota lain. Ada 13 kabupaten yang berada pada kuadran ini, yaitu Pemalang, Kendal, Sragen, Blora, Tegal, Banyumas, Cilacap, Pekalongan, Purbalingga, Kebumen, Grobogan, Rembang, dan Wonosobo.

digilib.uns.ac.id 45 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa empat kota yaitu Magelang, Salatiga, Surakarta dan Semarang pada tahun 1980 memiliki nilai IPM yang jauh lebih tinggi dari kabupaten/kota lainnya. Tingginya nilai tersebut dikarenakan tingginya nilai komponen penyusun indeks pendidikan yaitu angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah serta nilai komponen rata-rata pengeluaran riil per kapita. Secara jelas gambaran tersebut terlihat pada grafik 4.6. 90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Grafik 4.6 Nilai Komponen Penyusun IPM di Empat Kota dan Provinsi Tahun 1980 71 72 73 74 33 71 72 73 74 33 71 72 73 74 33 71 72 73 74 33 AHH (th) RLS (th) AMH (%) PPP (0.000 rp.) 71 : Kota Magelang AHH : Angka Harapan Hidup 72 : Kota Surakarta RLS : Rata-rata Lama Sekolah 73 : Kota Salatiga AMH : Angka Melek Huruf 74 : Kota Semarang PPP : Pengeluaran Per kapita 33 : Provinsi Jateng Sumber : Digambar dari BPS, 2014 Kondisi ini bisa dimaklumi, mengingat bahwa daerah tersebut merupakan kota kolonial yang telah dikembangkan pada masa jauh sebelum Indonesia merdeka. Kota Magelang, Salatiga dan Semarang merupakan tiga dari beberapa kota yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda berstatus gementee (kota

digilib.uns.ac.id 46 praja). Ketiga daerah tersebut merupakan kota otonom yang memiliki pemerintahan sendiri yang terpisah dari pemerintah pusat, walaupun dalam praktik pemerintahannya tetap bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Dasar pembentukan gemeente adalah undang-undang Decentralitatie wet 1903, yang pada awalnya bertujuan untuk melayani warga berkebangsaan Eropa utamanya adalah orang-orang Belanda. Sebagian besar kota yang memperoleh status sebagai gemeente adalah ibukota karesidenan, dan di dalam kota-kota tersebut terdapat banyak penduduk berkebangsaan Eropa (Rindayanti dan Budi, tanpa tahun). Sedangkan Kota Surakarta merupakan daerah swapraja kerajaan (vorstenland) yang berdiri sendiri. Pembangunan di empat kota tersebut tentu berkembang dengan pesat, termasuk pembangunan fasilitas publik seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan. Kabupaten dengan pencapaian pembangunan manusia yang relatif jauh lebih baik adalah kabupaten/kota yang berada di sekitar keempat kota tersebut, yaitu Kabupaten Semarang, Sukoharjo, Karanganyar, dan Purowrejo, serta Banyumas yang merupakan kota kolonial berstatus gewesten pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Sedangkan Daerah yang relatif tertinggal adalah kabupaten di pesisir pantai utara yaitu Brebes, Tegal, dan Pemalang. 4.2 Perkembangan IPM Pasca Reformasi Krisis ekonomi Asia yang berawal di Thailand pada tahun 1997 juga berdampak terhadap perekonomian Indonesia, meskipun Furman dan Stiglitz (1998) mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling tidak diperkirakan akan terkena krisis di antara 34 negara bermasalah yang diambil sebagai sampel penelitian. Ketika Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan

digilib.uns.ac.id 47 bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejutan eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand (Putra, 2009). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US $) pada saat itu sangat jatuh, yaitu sebesar 14.800 pada Bulan Januari 1998 dan meningkat menjadi 16.800 Bulan Juni 1998. Padahal di Bulan Desember 1997 kurs tercatat masih sebesar 5.915 (Wikipedia, 2014). Inflasi saat itu (1998) tercatat begitu tinggi, yaitu mencapai 77,6 persen yang disebabkan oleh peningkatan besar harga bahan makanan (BPS, 2014). Kondisi tersebut tentu sangat berdampak terhadap turunnya daya beli masyarakat yang merupakan salah satu komponen penyusun IPM. Di sisi lain sebagai penyesuaian terhadap krisis, pada penghitungan IPM Tahun 1999 BPS melakukan perubahan terhadap batas nilai minimum dalam penghitungan indeks standar hidup layak, yaitu dari 300.000 menjadi 360.000 (BPS, 2014). Krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 dan perubahan standar hidup layak pada tahun 1999 berdampak pada menurunnya nilai IPM secara signifikan pada tahun 1999. Nilai IPM Nasional pada tahun 1996 sebesar 67,7 dan pada tahun 1999 turun menjadi 64,3. Kondisi yang sama terjadi di semua provinsi di Indonesia termasuk Jawa Tengah. Meskipun penurunan nilai IPMnya relatif paling kecil, yaitu turun sebesar 2,4 poin (dari nilai sebesar 67 pada tahun 1996 menjadi 64,6 pada tahun 1999). Menurunnya nilai IPM ini lebih dikarenakan oleh turunnya nilai indeks standar hidup layak yang disebabkan oleh turunnya nilai komponen pengeluaran riil per kapita. Meskipun ada beberapa provinsi yang mengalami kenaikan pada nilai komponen pengeluaran riil per kapita, namun mereka tetap mengalami penurunan pada nilai IPM dikarenakan besaran kenaikan

digilib.uns.ac.id 48 komponen tersebut tidak sebanding dengan perubahan batas minimum dalam penghitungan indeks standar hidup layak. Beberapa provinsi itu adalah Riau, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya). Perkembangan nilai komponen-komponen IPM tingkat Provinsi ditampilkan dalam lampiran 2 dan penghitungan indeksnya selama tahun 1996 s/d tahun 1999 secara lengkap disajikan pada tabel 4.1. Di Provinsi Jawa Tengah, krisis juga mengakibatkan nilai IPM kabupaten/kota pada tahun 1999 mengalami penurunan dibandingkan tahun 1996. Penurunan terjadi di hampir semua kabupaten/kota seperti terlihat pada lampiran 1. Seperti fenomena yang terjadi pada tingkat provinsi, berkurangnya nilai IPM kabupaten lebih dikarenakan oleh penurunan nilai indeks standar hidup layak sebagai akibat turunnya nilai komponen pengeluaraan riil per kapita. Hal ini dialamai oleh 19 wilayah dari keseluruhan 29 kabupaten. Sedangkan penurunan nilai indeks standar hidup layak kota lebih dikarenakan penyesuaian batas minimum pada penghitungan indeks tersebut. Satu-satunya kota yang tidak mengalami penurunan nilai IPM pada tahun 1999 adalah Salatiga. Hal tesebut dikarenakan adanya kenaikan indeks harapan hidup yang cukup tinggi pada daerah tersebut yaitu dari 68,3 pada tahun 1996 menjadi 74,2 pada tahun 1999 sehingga bisa mengompensasi penurunan nilai indeks standar hidup. Perkembangan nilai komponen IPM kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah bisa dilihat dalam tabel 4.2, sedangkan penghitungan indeksnya secara lebih lengkap ditampilkan pada lampiran 3.

digilib.uns.ac.id 49 Tabel 4.1. Perkembangan IPM dan Indeks Penyusunnya menurut Provinsi Tahun 1996-1999 Provinsi Indeks Harapan Hidup Indeks Pendidikan Indeks Standar Hidup Layak 1996 1999 +/- 1996 1999 +/- 1996 1999 +/- 1996 1999 +/- (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) 11 Aceh 69,0 71,0 2,0 75,6 78,1 2,4 63,9 46,9-17,0 69,4 65,3-4,1 12 Sumatera Utara 67,8 70,2 2,3 79,7 81,6 1,9 64 48,2-15,8 70,5 66,7-3,8 13 Sumatera Barat 64,7 67,5 2,8 76,5 79,6 3,0 66,4 50,2-16,2 69,2 65,8-3,4 14 Riau 69,8 71,3 1,5 77,6 79,9 2,3 64,4 50,7-13,6 70,6 67,3-3,3 15 Jambi 67,5 69,3 1,8 75,6 77,6 1,9 64,8 49,5-15,3 69,3 65,5-3,8 16 Sumatera Selatan 65,2 67,5 2,3 73,8 76,9 3,1 65 47,3-17,8 68,0 63,9-4,1 17 Bengkulu 64,7 67,0 2,3 75,7 77,4 1,7 64,9 50,1-14,8 68,4 64,8-3,6 18 Lampung 65,8 68,2 2,3 73,0 75,4 2,4 63,9 47,8-16,1 67,6 63,8-3,8 31 Jakarta 75,3 76,8 1,5 85,6 86,8 1,1 67,4 53,9-13,5 76,1 72,5-3,6 32 Jawa Barat 63,2 65,5 2,3 74,0 76,5 2,5 67,4 51,8-15,6 68,2 64,6-3,6 33 Jaw Tengah 66,3 72,2 5,8 66,4 69,9 3,4 68,1 51,7-16,3 67,0 64,6-2,4 34 DIY 74,8 76,5 1,7 68,5 74,6 6,0 72,2 55,0-17,2 71,8 68,7-3,1 35 Jawa Timur 64,7 67,5 2,8 64,0 67,3 3,3 68 50,6-17,4 65,5 61,8-3,7 51 Bali 71,8 74,2 2,3 66,9 70,2 3,3 71,4 52,7-18,7 70,1 65,7-4,4 52 Nusatenggara Barat 49,8 54,7 4,8 55,6 60,1 4,5 64,6 47,6-17,1 56,7 54,1-2,6 53 Nusatenggara Timur 62,0 64,3 2,3 64,2 66,8 2,6 56,5 50,1-6,3 60,9 60,4-0,5 61 Kalimantan Barat 63,2 65,2 2,0 65,2 67,9 2,8 62,6 48,8-13,8 63,6 60,6-3,0 62 Kalimantan Tengah 72,2 73,7 1,5 77,1 79,0 1,8 64,5 47,5-17,0 71,3 66,7-4,6 63 Kalimantan Selatan 58,8 60,0 1,2 73,8 76,5 2,8 66,3 50,1-16,2 66,3 62,2-4,1 64 Kalimantan Timur 71,8 73,3 1,5 76,2 79,7 3,5 66,1 50,4-15,7 71,4 67,8-3,6 71 Sulawesi Utara 69,3 71,8 2,5 80,8 81,7 0,9 65,3 50,4-14,8 71,8 68,0-3,8 72 SulawesiTengah 59,3 62,8 3,5 74,9 77,3 2,4 65 48,3-16,7 66,4 62,8-3,6 73 Suawesi Selatan 66,7 72,2 5,5 66,6 69,9 3,3 64,8 48,8-16,1 66,0 63,6-2,4 74 Sulawesi Tenggara 64,3 66,7 2,3 72,2 73,2 1,0 62,1 48,9-13,2 66,2 62,9-3,3 81 Maluku 63,5 70,7 7,2 77,9 80,8 2,8 63,2 50,1-13,1 68,2 67,2-1,0 82 Irian Jaya 62,8 65,8 3,0 56,0 59,9 3,9 61,7 50,8-10,9 60,2 58,9-1,3 Indonesia 65,7 68,7 3,0 71,0 73,8 2,8 66,4 50,6-15,9 67,7 64,4-3,3 Sumber : BPS-BAPPENAS-UNPD,2011: diolah IPM

digilib.uns.ac.id 50 Tabel 4.2 Perkembangan Komponen IPM Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996-1999 Kabupaten/kota Angka Harapan Hidup (th) Angka Melek Huruf (%) Rata-rata Lama Sekolah (th) Pengeluaran Perkapita Disesuaikan (ribuan rupiah) 1996 1999 +/- 1996 1999 +/- 1996 1999 +/- 1996 1999 +/- (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) 1 Kab. Cilacap 63,7 67,2 3,5 80,7 84,2 3,5 4,9 5,4 0,5 582,4 579,9-2,5 2 Kab. Banyumas 64,6 68,1 3,5 89,8 91,2 1,4 5,8 6,4 0,6 585,8 581,0-4,8 3 Kab. Purbalingga 63,9 67,4 3,5 81,4 86,2 4,8 5,1 5,3 0,2 586,8 572,2-14,6 4 Kab. Banjarnegara 63,9 67,4 3,5 78,4 85,9 7,5 5,1 5,6 0,5 580,5 577,9-2,6 5 Kab. Kebumen 63,7 67,2 3,5 81,3 87,2 5,9 5,2 5,9 0,7 581,3 590,1 8,8 6 Kab. Purworejo 64,1 67,7 3,6 86,2 86,3 0,1 6,1 6,3 0,2 590,9 590,5-0,4 7 Kab. Wonosobo 64,1 67,7 3,6 83,5 86,5 3,0 4,9 5,4 0,5 583,0 580,4-2,6 8 Kab. Magelang 64,5 68,0 3,5 81,6 86,2 4,6 5,9 6,3 0,4 584,4 585,9 1,5 9 Kab. Boyolali 67,3 69,4 2,1 78,6 81,4 2,8 5,7 6,2 0,5 586,3 582,0-4,3 10 Kab. Klaten 65,6 69,1 3,5 79,1 81,1 2,0 6,2 6,7 0,5 595,0 589,0-6,0 11 Kab. Sukoharjo 68,8 69,1 0,3 80,3 84,0 3,7 6,5 7,4 0,9 590,2 591,8 1,6 12 Kab. Wonogiri 70,6 71,1 0,5 71,6 76,4 4,8 4,8 5,6 0,8 588,2 584,2-4,0 13 Kab. Karanganyar 69,5 70,1 0,6 78,4 78,3-0,1 5,7 6,1 0,4 584,7 587,6 2,9 14 Kab. Sragen 67,3 70,8 3,5 68,6 71,6 3,0 4,8 5,3 0,5 577,9 581,3 3,4 15 Kab. Grobogan 64,3 67,8 3,5 81,9 85,6 3,7 5,1 5,6 0,5 584,3 585,0 0,7 16 Kab. Blora 66,4 69,9 3,5 72,0 74,1 2,1 4,5 4,8 0,3 577,7 576,4-1,3 17 Kab. Rembang 64,5 68,0 3,5 83,2 84,8 1,6 5,6 5,9 0,3 581,4 588,6 7,2 18 Kab. Pati 68,1 71,6 3,5 77,9 80,0 2,1 5,1 5,6 0,5 591,8 584,8-7,0 19 Kab. Kudus 64,8 67,8 3,0 82,9 88,8 5,9 6,0 6,9 0,9 587,7 586,7-1,0 20 Kab. Jepara 66,1 69,6 3,5 82,4 83,1 0,7 5,4 6,0 0,6 586,8 589,5 2,7 21 Kab. Demak 65,2 68,7 3,5 84,9 89,2 4,3 5,6 6,1 0,5 589,1 583,6-5,5 22 Kab. Semarang 67,6 70,6 3,0 87,3 89,4 2,1 6,3 6,6 0,3 588,4 591,0 2,6 23 Kab. Temanggung 67,2 70,7 3,5 88,9 91,0 2,1 5,3 5,6 0,3 586,8 584,6-2,2 24 Kab. Kendal 62,3 64,7 2,4 78,2 84,3 6,1 4,7 5,4 0,7 580,0 584,9 4,9 25 Kab. Batang 64,6 68,1 3,5 83,9 85,8 1,9 4,7 5,1 0,4 587,3 579,5-7,8 26 Kab. Pekalongan 63,0 66,5 3,5 83,0 84,2 1,2 4,9 5,3 0,4 583,5 568,9-14,6 27 Kab. Pemalang 61,0 64,5 3,5 77,6 82,3 4,7 4,6 5,2 0,6 577,5 575,8-1,7 28 Kab. Tegal 61,6 65,2 3,6 79,4 83,5 4,1 5,0 5,6 0,6 586,1 583,1-3,0 29 Kab. Brebes 59,8 63,3 3,5 72,8 83,0 10,2 4,3 4,8 0,5 583,1 580,2-2,9 71 Kota Magelang 66,8 69,1 2,3 92,5 93,4 0,9 8,3 9,0 0,7 589,9 597,5 7,6 72 Kota Surakarta 70,3 70,9 0,6 92,6 92,9 0,3 8,7 8,8 0,1 587,2 591,9 4,7 73 Kota Salatiga 66,0 69,5 3,5 95,2 95,7 0,5 8,7 9,2 0,5 572,3 602,7 30,4 74 Kota Semarang 69,9 70,2 0,3 90,3 93,6 3,3 8,1 8,7 0,6 584,0 591,5 7,5 75 Kota Pekalongan 64,6 68,1 3,5 88,6 89,8 1,2 6,6 7,1 0,5 576,1 577,2 1,1 76 Kota Tegal 63,1 66,6 3,5 86,2 86,5 0,3 6,4 6,6 0,2 582,7 594,5 11,8 Jawa Tengah 64,8 68,3 3,5 81,3 84,8 3,5 5,5 6,0 0,5 594,5 583,8-10,7 Sumber : BPS-BAPPENAS-UNPD,2011:, diolah Seiring dengan perekonomian Indonesia yang membaik pasca krisis, nilai IPM mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, baik di tingkat nasional hingga tingkat kabupaten/kota. Begitu juga yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah, hingga

digilib.uns.ac.id 51 tahun 2013 nilai IPM kabupaten/kota semakin meningkat, seperti terlihat pada lampiran 4. Kenaikan nilai IPM tersebut tak terlepas dari implementasi Undangundang no: 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi dengan UU nomor 32 tahun 2004 dan Undang-undang no. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah. UU ini berimplikasi pada munculnya hak, wewenang, serta kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan penerapan kedua undang-undang tersebut, paradigma manajemen pemerintah daerah mengalami pergeseran dari sistem sentralistis menuju desentralistis. Setiawan dan Hakim (2013) yang memodelkan IPM Indonesia dengan beberapa variabel independen mengemukakan bahwa desentralisasi pemerintahan berpengaruh positif secara signifikan terhadap peningkatan nilai IPM Indonesia. Undang-undang no. 32 Tahun 2004 pasal 167 mengamanahkan bahwa belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah. Kewajiban itu diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan jaminan sosial dengan mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolok ukur kinerja dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Sekretaris Negara RI, 2004). Sehubungan dengan itu, Mirza (2012) melakukan penelitian tentang pengaruh kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan belanja modal terhadap indeks

digilib.uns.ac.id 52 pembangunan manusia di Jawa Tengah tahun 2006-2009. Studi itu menyimpulkan bahwa belanja modal berpengaruh positif dan signifikan dengan elastisitas positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Tengah. Kemudian, dengan disahkannya Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah kabupaten/kota diwajibkan untuk mengalokasikan anggaran di bidang pendidikan lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Pasal 49 Undang-undang tersebut mengamanahkan (Sekretaris Negara RI, 2003): Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal tersebut memberikan peluang bagi peningkatan derajat pendidikan masyarakat Indonesia yang berdampak terhadap kenaikan nilai indeks pendidikan dan nilai IPM. Anggaran belanja fungsi pendidikan di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan variasi peningkatan antar daerah yang cukup besar, seperti terlihat pada grafik 4.7. Dengan membuat sumbu baru dengan titik pusat adalah perpotongan antara batas minimum alokasi anggaran fungsi pendidikan 20 persen (sesuai amanah UU no 20/2003) tahun 2008 dan 2011, maka sebaran kabupaten/kota dapat dibuat menjadi empat kuadran.

digilib.uns.ac.id 53 Grafik 4.7 Perkembangan Persentase Anggaran Fungsi Pendidikan Terhadap Total Belanja Daerah Kabupaten/kota Tahun 2008-2011 2011 (%) 70 60 50 40 30 Kuadran II 10 1327 95 1825 1 14 2 2629 28 7 12 15 17 23 3 6 19 11 21 24 22 71 16 4 76 73 7274 75 Kuadran I 20 10 Kuadran IV 8 20 Kuadran III 0 0 10 20 30 40 50 60 70 2008 (%) 1:Kab. Cilacap 2:Kab. Banyumas 3:Kab. Purbalingga 4:Kab. Banjarnegara 5:Kab. Kebumen 6:Kab. Purworejo 7:Kab. Wonosobo 8::Kab. Magelang 9:Kab. Boyolali 10:Kab. Klaten 11:Kab. Sukoharjo 12:Kab. Wonogiri 13:Kab. Karanganyar 14:Kab. Sragen 15:Kab. Grobogan 16:Kab. Blora 17:Kab. Rembang 18:Kab. Pati 19:Kab. Kudus 20:Kab. Jepara 21:Kab. Demak 22:Kab. Semarang 23:Kab. Temanggung 24:Kab. Kendal 25:Kab. Batang 26:Kab. Pekalongan 27:Kab. Pemalang 28:Kab. Tegal 29:Kab. Brebes 71:Kota Magelang 72:Kota Surakarta 73:Kota Salatiga 74:Kota Semarang 75:Kota Pekalongan 76:Kota Tegal Sumber : BPS, 2014, Dirjen Perimbangan Keuangan dalam Amanda, 2010... : Batas minimum alokasi anggaran pendidikan ( UU 20/2003) Kuadran I menggambarkan sebaran daerah dengan persentase anggaran fungsi pendidikan tahun 2008 maupun 2011 di atas 20 persen. Sedangkan kuadran II menggambarkan sebaran daerah dengan persentase anggaran tahun 2011 di atas 20 persen meskipuan pada tahun 2008 belum memenuhi amanat UU 20/2003. Daerah yang masuk dalam kedua kuadran tersebut mengindikasikan sebagai daerah yang mempunyai komitmen kuat dalam upaya meningkatkan derajat pendidikan penduduknya. Terlihat bahwa sebagaian besar kabupaten/kota menghuni kedua kuadran tersebut. Kabupaten Magelang dan Jepara yang menghuni kuadran III bisa dikatakan commit merupakan to user daerah yang kurang konsisten

digilib.uns.ac.id 54 dalam memegang komitmen tersebut. Hal ini dikarenakan persentase anggaran pendidikan pada tahun 2011 di kedua daerah tersebut kurang dari 20 persen sedangkan pada tahun 2008 perentasenya di atas 20. Tidak satu daerahpun masuk dalam kuadran IV, yaitu kuadran yang menggambarakan sebaran daerah yang kurang berkomitmen dalam upaya peningkatan derajat pendidikan penduduk. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada komitmen yang kuat dari sebagaian besar daerah dalam upaya peningkatan pembagunan manusia melalui perbaikan derajat pendidikan yang ditandai dengan peningkatan anggaran fungsi pendidikan dari tahun ke tahun. Kemudian, pasal 171 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanahkan (Sekretariat Negara RI, 2009): 1) Besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji. 2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. 3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Implementasi undang-undang tersebut ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang pada akhirnya berdampak terhadap peningkatan nilai indeks harapan hidup dan nilai IPM. Komitmen pemerintah kabupaten/kota dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat ditunjukkan dengan meningkatkan anggaran belanja fungsi kesehatan dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu empat tahun (2008-2011)

digilib.uns.ac.id 55 terjadi peningkatan persentase anggaran belanja fungsi tersebut terhadap total belanja daerah, seperti terlihat pada grafik 4.8. Grafik 4.8 Perkembangan Persentase Anggaran Fungsi Kesehatan Terhadap Total Belanja Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2008-2011 25 2011(%) 20 15 10 5 Kuadran II Kuadran IV 8 72 2 28 14 1 6 7 1525 11 29 12 5 13 16 74 21 4 10 20 73 71 22 18 26 3 23 17 24 75 27 76 Kuadran I 19 Kuadran III 9 0 0 5 10 15 20 25 30 2008 (%) 1:Kab. Cilacap 2:Kab. Banyumas 3:Kab. Purbalingga 4:Kab. Banjarnegara 5:Kab. Kebumen 6:Kab. Purworejo 7:Kab. Wonosobo 8::Kab. Magelang 9:Kab. Boyolali 10:Kab. Klaten 11:Kab. Sukoharjo 12:Kab. Wonogiri 13:Kab. Karanganyar 14:Kab. Sragen 15:Kab. Grobogan 16:Kab. Blora 17:Kab. Rembang 18:Kab. Pati 19:Kab. Kudus 20:Kab. Jepara 21:Kab. Demak 22:Kab. Semarang 23:Kab. Temanggung 24:Kab. Kendal 25:Kab. Batang 26:Kab. Pekalongan 27:Kab. Pemalang 28:Kab. Tegal 29:Kab. Brebes 71:Kota Magelang 72:Kota Surakarta 73:Kota Salatiga 74:Kota Semarang 75:Kota Pekalongan 76:Kota Tegal Sumber : Digambar dari BPS, 2014... : Batas minimum alokasi anggaran kesahatan sesuai UU Kuadran I pada grafik 4.8 menggambarkan sebaran kabupaten/kota yang mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini terlihat dari persentase anggaran fungsi kesehatan terhadap total belanja daerah pada tahun 2008 dan 2011 di atas 10 persen (batas minimum alokasi anggaran fungsi tersebut sesuai UU 36/2009). Kota Magelang, Salatiga, dan Tegal serta 13 Kabupaten, yaitu Banyumas, Purbalingga, Magelang, Boyolali, Sragen, Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Semarang, Temanggung, Batang, dan Tegal merupakan daerah-daerah yang bearada pada kuadran tersebut.

digilib.uns.ac.id 56 Kota Surakarta merupakan satu-satunya daerah yang menempati kuadran II dengan persentase anggaran kesehatan tahun 2011 di atas 10 persen, meningkat dibandingkan tahun 2008 yang di bawah 10 persen dari total belanja daerah. Kondisi ini mencerminkan adanya peningkatan komitmen daerah dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Ketidak konsistenan komitmen pemerintah kabupaten/kota dalam upaya peningatan derajat kesehatan masyarakat terlihat pada empat kabupaten yang terletak dalam kuadran III. Daerah tersebut adalah Kabupaten Banyumas, Blora, Kendal, dan Pemalang. Persentase anggaran kesehatan tahun 2011 di bawah 10 persen sedangkan pada tahun 2008 di atas 10 persen. Kuadran IV menggambarkan sebaran daerah yang kurang mengimplementasikan UU 36/2009. Persentase anggaran kesehatan tahun 2008 dan 2011 pada daerah-daerah tersebut di bawah 10 persen. Lima kabupaten yaitu Kebumen, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, dan Dema serta Kota Semarang berada pada kuadran tersebut. PDRB per kapita menggambarkan tingkat pendapatan di suatu daerah. Semakin tinggi nilai tersebut mencerminkan semakin tinggi pula rata-rata pendapatan penduduk. Tingginya pendapatan akan memperbesar peluang penduduk dalam memenuhi kebutuhan standar hidup yang layak dan akses fasilitas publik termasuk fasilitas pendidikan dan kesehatan, yang pada akhirnya akan meningkatkan derajat kualitas penduduk itu sendiri.

digilib.uns.ac.id 57 Peluang penduduk untuk meningkatkan kualitas hidupnya dari tahun ke tahun semakin besar. Hal ini terlihat dari naiknya nilai PDRB per kapita dari tahun ke tahun, seperti terlihat pada grafik 4.9. Grafik 4.9 Perkembangan PDRB Perkapita (Tanpa Migas) Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2011 45.000 19 40.000 35.000 2011 (milyar rupiah) 30.000 25.000 20.000 71 72 1 74 15.000 10.000 5.000 11 75 24 13 22 96 10 76 73 29 14 12 17 20 26 25 3 18 2 4 5 8 15 16 28 23 27 21 7 0 10.000 20.000 30.000 40.000 2008 (milyar rupiah) 1:Kab. Cilacap 2:Kab. Banyumas 3:Kab. Purbalingga 4:Kab. Banjarnegara 5:Kab. Kebumen 6:Kab. Purworejo 7:Kab. Wonosobo 8::Kab. Magelang 9:Kab. Boyolali 10:Kab. Klaten 11:Kab. Sukoharjo 12:Kab. Wonogiri 13:Kab. Karanganyar 14:Kab. Sragen 15:Kab. Grobogan 16:Kab. Blora 17:Kab. Rembang 18:Kab. Pati 19:Kab. Kudus 20:Kab. Jepara 21:Kab. Demak 22:Kab. Semarang 23:Kab. Temanggung 24:Kab. Kendal 25:Kab. Batang 26:Kab. Pekalongan 27:Kab. Pemalang 28:Kab. Tegal 29:Kab. Brebes 71:Kota Magelang 72:Kota Surakarta 73:Kota Salatiga 74:Kota Semarang 75:Kota Pekalongan 76:Kota Tegal Sumber : Digambar dari BPS-BAPPEDA Prov. Jawa Tengah, 2013 Grafik 4.9 memperlihatkan kenaikan nilai PDRB pe rkapita kabupaten/kota pada tahun 2011 dibanding tahun 2008. Meskipun kenaikan terjadi di semua daerah namun pada umumnya nilai tersebut pada tahun 2011

digilib.uns.ac.id 58 belum mencapai 15.000. Terlihat hanya lima daerah yang mempunyai nilai relatif jauh di atas nilai tersebut. Kelima daerah itu terdiri tiga kota yaitu Magelang, Surakarta, dan Semarang dan dua kabupaten yaitu Cilacap dan Kudus. Sedangkan tiga kabupaten dengan nilai sekitar lima juta yang merupakan nilai terendah adalah Grobogan, Wonosobo, dan Blora. Untuk mengetahui perkembangan nilai IPM kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 1999-2013 dilakukan dengan membuat scater diagram antara nilai IPM tahun 1999 dan nilai IPM tahun 2013, seperti terlihat pada grafik 4.10. Nilai IPM Provinsi menjadi titik pusat sumbu, sedangkan nilai IPM kabupaten/kota tersebar ke dalam empat kuadran. Grafik 4.10 Perkembangan Nilai IPM Kabupaten/Kota Tahun 1999-2013 80 78 Kuadran II Kuadran I 72 74 71 73 Nilai IPM tahun 2013 76 74 72 70 29 27 13 75 76 10 11 Provinsi 18 6 19 20 3 21 26 1 12 17 8 2 14 15 16 25 28 5 24 7 9 4 Kuadran IV 22 23 Kuadran III 68 60 62 64 66 68 70 72 74 Nilai IPM tahun 1999 1:Kab. Cilacap 2:Kab. Banyumas 3:Kab. Purbalingga 4:Kab. Banjarnegara 5:Kab. Kebumen 6:Kab. Purworejo 7:Kab. Wonosobo 8::Kab. Magelang 9:Kab. Boyolali 10:Kab. Klaten 11:Kab. Sukoharjo 12:Kab. Wonogiri 13:Kab. Karanganyar 14:Kab. Sragen 15:Kab. Grobogan 16:Kab. Blora 17:Kab. Rembang 18:Kab. Pati 19:Kab. Kudus 20:Kab. Jepara 21:Kab. Demak 22:Kab. Semarang 23:Kab. Temanggung 24:Kab. Kendal 25:Kab. Batang 26:Kab. Pekalongan 27:Kab. Pemalang 28:Kab. Tegal 29:Kab. Brebes 71:Kota Magelang 72:Kota Surakarta 73:Kota Salatiga 74:Kota Semarang 75:Kota Pekalongan 76:Kota Tegal Sumber : Digambar dari BPS, 2014

digilib.uns.ac.id 59 Kuadran I merupakan daerah sebaran kabupaten/kota dengan nilai IPM tahun 1999 dan tahun 2013 di atas nilai IPM provinsi. Hal ini berarti pencapaian pembangunan manusia di kabupaten/kota tersebut relatif lebih baik dibandingkan kabupaten/kota lain. Kabupaten/kota yang masuk dalam kuadran I adalah semua kota, yaitu Kota Surakarta, Semarang, Magelang, Salatiga, Pekalongan, dan Tegal. Kabupaten yang ada di kuadran I bukan hanya terdiri dari kabupaten yang terletak di sekitar kota-kota tersebut, seperti Semarang, Sukoharjo dan Klaten, namun juga kabupaten-kabupaten yang relatif jauh dari kota-kota tersebut seperti Pati, Kudus, Purworejo, dan Temanggung. Nilai indeks pendidikan kabupaten/kota dalam kuadran ini hampir semua di atas nilai provinsi. Kabupaten Pati merupakan daerah dengan nilai indeks ini lebih rendah dari provinsi. Seluruh kota mempunyai niai indeks jauh di atas provinsi, sedangkan kabupaten yang ada di sekitar kota-kota tersebut meskipun nilai indeksnya di bawah kota namun masih di atas provinsi. Hal ini mengandung makna bahwa pencapaian pembangunan bidang pendidikan pada daerah tersebut relatif lebih baik dari kabupaten/kota lainnya. Kondisi yang sedikit berbeda terlihat pada nilai indeks standar hidup layak. Meskipun semua kota dan beberapa kabupaten yaitu Klaten, Sukoharjo, dan Pati mempunyai nilai indeks di atas nilai provinsi, namun ada empat kabupaten berada di sekitar provinsi dan bahkan Purworejo berada di bawah provinsi. Di sisi lain, pencapaian pembangunan bidang kesehatan relatif masih banyak yang tertinggal. Delapan dari empat belas daerah mempunyai nilai indeks harapan hidup di bawah nilai provinsi. Bahkan empat dari enam kota termasuk

digilib.uns.ac.id 60 dalam daerah tersebut. Kota Surakarta dan Semarang serta empat kabupaten yaitu Klaten, Pati, Semarang, dan Temanggung merupakan daerah dengan nilai indeks di atas provinsi. Gambaran lebih jelas kondisi tersebut terlihat pada grafik 4. 11. 100 Grafik 4.11 Perbandingan Nilai Indeks Penyusun IPM Kabupaten/Kota dalam Kuadran I dan Propinsi Jawa Tengah Tahun 2013 90 80 70 60 % 50 40 30 20 10 0 6 10 11 18 19 20 22 23 33 71 72 73 74 75 76 6 10 11 18 19 20 22 23 33 7172 73 7475 76 6 10 11 18 19 20 22 23 33 71 72 73 74 75 76 Indeks Harapan Hidup Indeks Pendidikan Indeks Standar Hidup Layak 6:Kab. Purworejo 10:Kab. Klaten 11:Kab. Sukoharjo 18:Kab. Pati 19:Kab. Kudus 20:Kab. Jepara 22:Kab. Semarang 23:Kab. Temanggung 71:Kota Magelang 72:Kota Surakarta 73:Kota Salatiga 74:Kota Semarang 75:Kota Pekalongan 76:Kota Tegal 33:Propinsi Sumber : Digambar dari BPS, 2014 Persentase anggaran bidang pendidikan sebagian besar daerah-daerah tersebut pada tahun 2013 di atas 20. Terjadi kenaikan dibanding tahun 2008, dimana beberapa kabupaten dan bahkan semua kota persentasenya di bawah 20. Kabuapaten Jepara merupakan satu-satunya daerah yang mengalami penurunan persentase tersebut, dengan nilai pada tahun 2011 di bawah 20 persen dan terendah se provinsi (grafik 4.7).

digilib.uns.ac.id 61 Berbeda dengan hal tersebut, perkembangan persentase anggaran kesehatan sangat bervariasi. Meskipun sebagian besar daerah berada pada kuadran I (persentase di atas 10 untuk tahun 2008 maupun 2011), namun tidak semuanya mengalami kenaikan nilai. Bahkan pada tahun 2011, Kabupaten Klaten mengalami penurunan persentase dibanding tahun 2008 dan selalu di bawah 10 (grafik 4.8). Di sisi lain, terlihat adanya perbedaan nilai PDRB perkapita yang sangat mencolok. Tiga kota yaitu Magelang, Surakarta, dan Semarang serta Kabupaten Kudus mempunyai nilai jauh di atas lima belas juta yang merupakan nilai maksimal daerah lainnya. Kabupaten Pati merupakan daerah dengan nilai yeng tergolong redah yaitu sekitar lima juta. Kuadran II merupakan daerah sebaran kabupaten/kota dengan perkembangan pencapaian pembangunan manusia relatif lebih cepat dibandingkan dengan kabupaten/kota lain. Nilai IPM tahun 1999 kabupaten/kota tersebut lebih rendah dari nilai IPM provinsi, tetapi di tahun 2013 nilainya lebih tinggi daripada nilai provinsi. Hanya satu daerah yang masuk dalam kuadran ini, yaitu Kabupaten Karanganyar. Nilai ketiga indeks penyusun IPM daerah tersebut pada tahun 2013 lebih tinggi daripada nilai provinsi, seperti terlihat pada grafik 4.12. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah kabupaten mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten dalam mendorong peningkatan kualitas penduduknya.

digilib.uns.ac.id 62 85 Grafik 4.12 Perbandingan Nilai Indeks Penyusun IPM Kabupaten Karanganyar dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 80 Krganyar Prop. Krganyar Prop. 75 70 65 Krganyar Prop. 60 55 Indeks Harapan Hidup Indeks Pendidikan Indeks Standar Hidup Layak Sumber : Digambar dari BPS, 2014 Persentase anggaran pendidikan daerah tersebut pada tahun 2008 dan 2011 selalu di atas 20 dan terjadi kenaikan yang tinggi pada tahun 2011 (grafik 4.7). Sedangkan persentase anggaran bidang kesehatan relatif tidak terjadi kenaikan yang berarti dan selalu di bawah 10 dari tahun ke tahun (grafik 4.8). Nilai PDB per kapita tergolong sedang, yaitu di sekitar 10 juta pada tahun 2008 dan 15 juta pada tahun 2011 (grafik 4.9). Kuadran III merupakan daerah sebaran kabupaten/kota dengan nilai IPM tahun 1999 di atas nilai IPM provinsi namun nilai IPM tahun 2013 lebih rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perkembangan pencapaian pembangunan manusia pada daerah-daerah tersebut relatif lebih lambat dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Pemerintah kabupaten/kota mungkin kurang konsisten dalam upaya untuk meningkatkan kualitas manusianya. Wilayah yang berada pada kuadran ini adalah Kabupaten Kebumen, Rembang, Magelang, Banyumas, dan

digilib.uns.ac.id 63 Demak. Tiga dari lima kabupaten yang berada pada kuadran tersebut memiliki nilai indeks pendidikan di atas nilai provinsi, yaitu Banyumas, Magelang, dan Demak. Nilai indeks standar hidup layak di lima daerah tersebut sedikit di bawah nilai provinsi, sedangkan nilai indeks harapan hidup jauh di bawah nilai provinsi. Oleh karenanya diperlukan upaya yang keras dan konsisten dari pemerintah kabupaten/kota tersebut dalam peningkatan hidup yang layak dan peningkatan derajat kesehatan penduduk. Gambaran lebih jelas terlihat pada grafik 4.13. 90 Grafik 4.13 Perbandingan Nilai Indeks Penyusun IPM Kabupaten/Kota dalam Kuadran III dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2 5 8 33 17 21 2 5 8 33 17 21 2 5 8 33 17 21 Indeks Harapan Hidup Indeks Pendidikan Indeks Standar Hidup Layak 2:Kab. Banyumas 5:Kab. Kebumen 8:Kab. Magelang 17:Kab. Rembang 21:Kab. Demak 33:Provinsi Sumber : Digambar dari korensponden pribadi (BPS), 2014 Pada tahun 2011 terjadi peningkatan persentase anggaran bidang pendidikan di hampir semua daerah. Meskipun pada tahun 2008 persentase anggaran untuk Kabupaten Banyumas dan Demak belum mencapai 10 namun nilai tersebut terpenuhi pada tahun 2011. Kabupaten Magelang merupakan satusatunya daerah dengan persentase commit yang relatif to user tetap, yaitu sekitar 20 (grafik 4.7).

digilib.uns.ac.id 64 Dua Kabupaten yaitu Kebumen dan Demak mengalokasikan anggaran bidang kesehatan untuk tahun 2008 dan 2011 dengan persentase di bawah 10. Sedangkan persentase anggaran pada daerah lainnya sudah di atas 10 untuk tahun 2011 (grafik 4.8). Empat daerah yaitu Kabupaten Banyumas, Kebumen, Magelang, dan Demak mempunyai nilai PDRB perkapita tergolong rendah (di sekitar 5 juta) untuk tahun 2008 dan 2011 (Grafik 4.9). Hal ini mencerminkan bahwa tingkat pendapatan penduduk daerah tersebut tidak banyak berubah. Kabupaten/kota yang terletak dalam kuadran IV mencerminkan sebagai daerah-daerah dengan perkembangan pencapaian pembangunan manusia relatif tertinggal dari daerah lainnya. Diperlukan usaha yang lebih keras dan konsisten dari pemerintah kabupaten/kota tersebut untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Nilai IPM tahun 1999 maupun 2013 untuk daerah-daerah tersebut lebih rendah dari pada nilai IPM provinsi. Kuadran ini didominasi oleh kabupaten/kota yang berada di pesisir utara Pulau Jawa, yaitu Kabupaten Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Kabupaten lain yang berada dalam kuadran III adalah Kabupaten Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Boyolali, Wonogiri, Sragen, Grobogan, dan Blora. Nilai ketiga indeks penyusun IPM daerah yang pada kuadran tersebut hampir semuanya di bawah nilai provinsi, seperti terlihat pada grafik 4.14.

digilib.uns.ac.id 65 Grafik 4.14 Perbandingan Nilai Indeks Penyusun IPM Kabupaten/Kota dalam Kuadran III dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 90 80 70 60 50 % 40 30 20 10 0 1 3 4 7 9 12 14 33 15 16 24 25 26 27 28 29 1 3 4 7 9 12 143315 16 24 25 26 27 28 29 1 3 4 7 9 12 143315 16 24 25 26 27 28 29 Indeks Harapan Hidup Indeks Pendidikan Indeks Standar Hidup Layak 1:Kab. Cilacap 3:Kab. Purbalingga 4:Kab. Banjarnegara 7:Kab. Wonosobo 9:Kab. Boyolali 12:Kab. Wonogiri 14:Kab. Sragen 15:Kab. Grobogan 16:Kab. Blora 24:Kab. Kendal 25:Kab. Batang 26:Kab. Pekalongan 27:Kab. Pemalang 28:Kab. Tegal 29:Kab. Brebes 33:Provinsi Sumber : Digambar dari BPS, 2014 Upaya peningkatan derajat pendidikan penduduk dengan meningkatkan anggaran belanja pendidikan telah dilakukan oleh seluruh pemerintah kabupaten tersebut. Berdasarkan grafik 4.7 di atas terlihat bahwa pada tahun 2008 dan 2011, persentase anggaran tersebut terhadap belanja daerah di atas 20. Bahkan pada tahun 2013, nilai persentase Kabupaten Pemalang, Sragen, dan Brebes mendekati 60. Hal yang berbeda untuk anggaran bidang kesehatan yang mengalami penurunan persentasenya pada tahun 2011 dibanding tahun 2008. Meskipun hal itu tidak terjadi di semua daerah dan sebagian besar masih di atas 10 persen. Kabupaten dengan persentase di bawah 10 pada tahun 2013 adalah Banjarnegara, Blora, Pemalang, Kendal, dan Brebes, seperti terlihat pada grafik 4.8.

digilib.uns.ac.id 66 Secara umum, pada tahun 2011 terjadi peningkatan persentase anggaran bidang pendidikan pada daerah-daerah tersebut dibanding tahun 2008, dengan nilai tahun 2011 nilainya jauh di atas 20 (grafik 4.7). Satu daerah dengan nilai persentase yang stagnan di sekitar 20 adalah Kabupaten Magelang. Meskipun persentase anggaran bidang kesehatan tahun 2011 untuk Kabupaten Kebumen dan Demak masih memprihatinkan (di bawah 10%), namun tiga kabupaten yang lainnya menunjukkan kondisi yang berbeda (grafik 4.8). Bahkan Kabupaten Magelang tercatat sebagai daerah dengan persentase tertinggi, yaitu sebesar 21,93%. Tingkat pendapatan penduduk daerah-daerah tersebut tergolong rendah dan cenderung tidak ada perubahan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari rendahnya nilai PDRB per kapita di hampir semua daerah. Daerah dengan nilai PDRB perkapita tergolong tinggi adalah Kabupaten Cilacap, yaitu sekitar 18,5 juta pada tahun 2008 dan 27 juta pada tahun 2011. Kabupaten Kendal mempunyai nilai yang tergolong sedang yaitu mendekati 10 juta pada tahun 2008 dan mendekati 15 juta pada tahun 2011. Sedangkan tiga belas daerah lainnya mempunyai nilai yang tergolong rendah atau kurang dari 10 juta. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kenaikan/tingginya nilai indeks Harapan Hidup dan Pendidikan sebagai penyusun IPM tidak sepenuhnya bergantung pada kenaikan/tingginya anggaran bidang pendidikan, anggaran bidang kesehatan, dan PDRB perkapita. Pengelolaan anggaran yang baik dan perencanaan program yang tepat sasaran serta kualitas pertumbuhan ekonomi kemungkinan merupakan penyebab utama terjadinya hal tersebut. Hal lain yang

digilib.uns.ac.id 67 kemungkianan menjadi penyebab adalah besaran proporsi belanja langsung (upah dan gaji) dan tak langsung/belanja publik dari kedua anggaran tersebut. Hasil analisis ini serupa dengan hasil beberapa penelitian sebelumnya. Astri, Nikensari, dan Kuncara (2013) misalnya, meneliti pengaruh pengeluaran pemerintah daerah pada sektor pendidikan dan kesehatan terhadap indeks pembangunan manusia di Indonesia. Mereka menemukan bahwa secara parsial tingkat pengeluaran pemerintah daerah di Indonesia pada sektor pendidikan memiliki pengaruh secara signifikan terhadap IPM sedangkan pengeluaran pemerintah daerah pada sektor kesehatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap IPM. Namun demikian pengeluaran pemerintah daerah pada sektor kesehatan dan pendidikan secara bersama-sama memberikan pengaruh yang positif terhadap IPM meskipun dengan tingkat pengaruh yang rendah. Demikian juga dengan Widodo, Waridin, dan Maria (2011), mereka menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan terhadap pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah. Studi mereka menyimpulkan bahwa alokasi pengeluaran pemerintah di dua sektor tersebut tidak berpengaruh secara langsung terhadap kenaikan nilai IPM.