BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Pakaian menjadi salah satu kebutuhan yang di rasa semakin meningkat sejak masuk ke bangku kuliah. Terutama bagi mahasiswi, pakaian menjadi salah satu penanda eksistensi diri di kampus dan dalam pergaulan dengan teman sebaya. Setiap bulan bahkan minggu mahasiswi didorong untuk terus mengkonsumsi sedangkan sebagai mahasiswi yang masih bergantung pada uang kiriman orang tua tentu harus jeli dalam mengatur pengeluaran agar tidak berlebih. Kebutuhan atas pakaian sering kali tidak diimbangi dengan ketersediaan uang yang cukup sehingga pakaian bekas menjadi salah satu alternatif bagi mahasiswi untuk memenuhi kebutuhan atas pakaian. Hasil penelitian ini menggambarkan beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa mahasiswi memutuskan untuk mengkonsumsi pakaian bekas sehingga membentuk pola konsumsi pakaian bekas. Selanjutnya bagaimana mahasiswi memaknai pentingnya konsumsi pakaian bagi statusnya sebagai mahasiswi. Di Yogyakarta sendiri terdapat beberapa pusat jual beli pakaian bekas, diantaranya yaitu, toko pakaian bekas impor atau biasa di sebut toko Sandang Murah, awul- awul di sekaten setiap tahunnya, kemudian yang akhir- akhir ini muncul yaitu bazar khusus garage sale serta kemunculan butik- butik second 121
diantaranya Green Loose dan Seken Ples. Setidaknya beberapa tempat ini yang disebut- sebut oleh mahasiswi sebagai tempat yang sering mereka kunjungi untuk hunting pakaian bekas. Butik second merupakan konsep baru dalam penjualan pakaian bekas seiring dengan semakin populernya pakain bekas di kalangan anak muda di Yogyakarta. Mahasiswi sebagai konsumen pakaian bekas kemudian dibagi berdasarkan kelas sosialnya yaitu mahasiswi kelas menengah dan mahasiswi kelas bawah. Menurut hasil wawancara diketahui bahwa terdapat perbedaan pola konsumsi antara mahaisiswi kelas menengah dan mahasiswi kelas bawah dilihat dari faktor utama yang melatar belakangi mengapa mereka menyukai pakaian bekas. bagi mahasiswi kelas menengah, harga pakaian bekas yang murah bukan menjadi alasan pertama mereka memilih pakaian bekas namun alasan lain seperti keunikan pakaian bekas, merek pakaian bekas, serta tren vintages yang mereka ikuti adalah faktor utama yang mendorong terbentuknya kebiasaan mengkonsumsi pakaian bekas. sedangkan bagi mahasiswi kelas bawah, harga menjadi faktor utama mengapa mereka menggemari pakaian bekas disamping keunikannya. Mahasiswi kelas menengah dengan uang saku yang cukup, mampu membeli pakaian baru dan harga pakaian bukan masalah bagi mereka. Bagi mahasiswi kelas bawah meningkatnya kebutuhan atas pakaian membuat mereka harus berpikir untuk memenuhinya dengan keterbatasan uang saku dari orang tua sehingga pakaian bekas menjadi salah satu jawabannya. Konsumsi pakaian bekas bagi mahasiswi kelas atas dilihat sebagai life styles, sebuah gaya hidup yang terbentuk karena peniruan atas fashion tertentu. Pakaian 122
bekas yang unik memunculkan eksklusifitas bagi dirinya dan mampu meningkatkan kepercayaan diri serta kebanggaan saat mengenakannya. Tren Vintages yang kembali populer juga dapat ditemui pada baju baru namun baju bekas yang limit menjadikannya lebih menarik dari pada baju baru dengan harga mahal sekalipun tetapi pasaran. Mahasiswi menunjukkan eksistensinya salah satunya melalui penampilan mereka. Pakaian sebagai penutup tubuh, tampak luar dari diri kita adalah hal pertama yang dilihat oleh orang lain di sekitar kita. Hal inilah yang menunjukkan pentingnya arti sebuah pakaian dan arti peniruan sebuah tren fashion. Meskipun beberapa mahasiswi mengaku bukan fashion mainstream namun mereka tetap meniru tren tertentu dengan caranya sendiri agar terlihat berbeda dari peniru- peniru lainnya. Bagi mahasiswi kelas bawah, harga pakaian yang semakin melambung tidak mampu diimbangi karena minimnya pemasukan. Pakaian bekas bila jeli dalam memilih maka akan diperoleh pakaian yang berkualitas dengan harga yang murah serta jumlahnya yang banyak. Pakaian bekas yang semula dinilai dapat memberikan citra buruk pada si pemakai ternyata dimaknai berbeda oleh mahaisiswi. Mereka secara terbuka mengakui adanya konsumsi pakaian bekas namun bukan perasaan malu yang mereka dapati justru perasaan bangga ketika memakai pakaian yang unik dan murah yang mereka rasakan. Komentar positif dari teman- teman dan tak jarang juga ikut menularkan kebiasaan mencari pakaian bekas pada teman lainnya memberikan pengalaman yang baik atas pakaian bekas sehingga mereka cenderung akan bertahan untuk tetap mengkonsumsi. Citra negatif pakaian bekas serta ketakutan 123
akan tertular penyakit tidak dirasakan lagi yang ada adalah perasaan kranjingan terhadap pakaian bekas. Mahaisiswi dari keluarga mampu maupun tidak memiliki cara mereka sendiri dalam memaknai pakaian bekas bagi mereka, pakaian bekas dijadikan media bagi pencapaian atas kebanggaan, prestise, serta peniruan atas mode. Pakaian bekas yang murah menjadi kebutuhan sedangkan keunikkannya dicari untuk memunculkan identitas gaya hidup masyarakat modern yang erat dengan fashion. Mengkonsumsi pakaian bekas bukan masalah bagi mahasiswi meskipun beberapa orang masih menganggapnya sebagai hal yang tidak wajar. Dukungan orang tua dan teman- teman menjadi salah satu faktor mengapa mahasiswi kembali mengkonsumsi pakaian bekas. peneliti ini menguak kenyataan bahwa masih banyak orang yang mengkonsumsi pakaian bekas tidak hanya mereka dari kelas bawah namun kelas atas juga mencari pakaian bekas. hal ini membuka pikiran kita bahwa pakaian tidak harus baru hingga dapat dipakai, membeli pakain bekas juga bisa dijadikan solusi atas kebutuhan terhadap sandang. Pentingnya pakaian bagi seseorang membuat mereka mengkonsumsi apa saja yang termasuk pakaian bekas. B. CATATAN KRITIS Mengkonsumsi pakaian bekas dilihat sebagai aktivitas konsumsi yang mengarah pada sikap boros. Meskipun baju di lemari telah penuh sesak namun mahasisiwi terdorong untuk terus mengkonsumsi sebagai cara mempertahankan eksistensi dirinya di kampus maupun di tengah pergaulan dengan teman sebayanya. 124
Lebih banyak baju yang diperoleh dengan jumlah uang yang sama, menjadi salah satu alasan mengapa mereka rela menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengaduk- aduk pakaian bekas di toko pakaian impor maupun stan pakaian bekas di awul- awul meskipun kondisi pakaian sangat berdebu. Tidak pernah merasa puas dengan pakaian yang dimiliki, sehingga sebagai besar dari mereka selalu datang disetiap pagelaran sekaten demi memburu pakaian bekas. Dari sepuluh pakiaan yang dibeli mungkin dua diantaranya ada yang tidak terpakai dan ini tidak membuat mereka merasa kecewa karena untuk mendapatkan pakiaan tersebut tidak dibutuhkan pengorbanan berupa uang yang banyak sehingga bila dibuang tentunya mereka tidak merasa rugi. Kepuasan justru mereka dapatkan ketika memperoleh pakaian dengan kualitas yang bagus dengan harga yang sangat murah. Merek pakaian bekas yang dibeli terkadang juga menjadi perhatian. Tak masalah ketika membeli dalam keadaan bekas asalkan dapat terlihat seperti baru. Orang lain tentu tidak dapat mengenali apakan pakaian yang digunakan baru atau bekas. Merek tertentu yang harganya mahal bila baru namun dalam kondisi bekas dapat diperoleh dengan harga yang sangat murah. Bermunculannya butik- butik second yang mampu mengemas pakaian bekas dengan lebih menarik dan terlihat baru menjadi mahasiswi lebih tertarik untuk mencari baju di butik- butik ini. Mahasiswi yang ingin menjual baju- bajunya yang masih layak pakai juga diberi kesempatan untuk menitipkan barangnya di butik- butik ini. Ide reduce, reuse, recycle menjadi gerakan anak muda yang cinta lingkungan salah satunya dengan mengurangi konsumsi pakaian baru dengan beralih pada pakaian bekas. Hal ini positif disamping 125
identitas anak muda sebagai kelompok usia yang dilihat paling konsumtif. Mengkonsumsi pakaian kini tidak harus baru namun alternatif lainnya yaitu membeli pakaian bekas. Pakaian bekas tetap terlihat gaya ketika kita mampu memadu padankan dengan tepat. Anak muda dengan kekuatannya sebagai aktor perubahan sosial terbukti mampu menggerakan minat akan muda lainnya untuk mengkonsumsi pakaian bekas. Ide- ide kreatif muncul dari anak muda. Pakaian bekas dilihat sebagai bisnis yang menguntungkan dengan memunculkan seleras pasar terhadap pakaian bekas. Selera ini didukung oleh tren vintage yang populer kembali sebagai mode berpakaian yang diikuti oleh anak muda. Image negatif atas pakaian bekas kemudia luntur seiring banyaknya orang yang memakai. Membeli dan menggunakan pakaian bekas tidak lagi ditutup- tutupi namun justru menjadi aktivitas kolektif dan muncul di muka publik dalam bentuk bazar. Pakaian bekas muncul sebagai alternatif bagi mahasiswi dalam memenuhi kebutuhannya atas pakaian yang semakin meningkat. Meskipun aktivitas membeli pakaian bekas tidak dilihat sebagai aktivitas yang baru bagi sekelompok anak muda, namun aktivitas ini semakin populer dengan adalanya garage sale dan butik second. Membuka pikiran anak muda lainnya yang memiliki pandangan buruk atas pakaian bekas kemudian memutuskan untuk mengkonsusmi. Mahasiswi kelas atas maupun kelas bawah dilihat dari penghasilan orang tua, nyatanya sama- sama mengkonsumsi pakaian bekas dan tidak merasa malu bila orang lain mengetahuinya. Mereka lebih terbuka bahkan menyebarkan hobi mengkonsumsi pakaian bekas ini kepada teman- teman lain yang juga menyukai pakaiannya. 126