BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. LOD DIY sebagai invited space menggunakan formasi kuasa yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. langsung dalam pemelihan presiden dan kepala daerah, partisipasi. regulasi dalam menjamin terselenggaranya pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB VI PENUTUP. dapat mendorong proses penganggaran khususnya APBD Kota Padang tahun

MENGENAL KPMM SUMATERA BARAT

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB II LANDASAN TEORI

Partisipasi kelompok marginal dan perempuan

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 07 TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN

BAB VI SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Pada bagian akhir penelitian ini disajikan simpulan dari keseluruhan

TRANSFORMASI DESA PENGUATAN PARTISIPASI WARGA DALAM PEMBANGUNAN, PEMERINTAHAN DAN KELOLA DANA DESA. Arie Sujito

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR : 8 T AHUN 2008 T E N T A N G TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

PEMERINTAH KOTA SOLOK LAPORAN KINERJA TAHUN 2016

TINJAUAN PUSTAKA. A. Penetapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 050/200/II/BANGDA/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja

WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan. Yogyakarta, Juni 2010 MAKALAH. Otda & Konflik Tata Ruang Publik. Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM

TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KABUPATEN BANGKALAN TAHUN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan-perubahan yang terus. menerus ke arah yang dikehendaki. Menurut Rogers dikutif Zulkarimen

BAB 9 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.I Kesimpulan Hasil penelitian ini menjawab beberapa hal, sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian tesis ini,

BAB 8 PENUTUP. Interaksi aktor menghasilkan anggaran pendidikan tahun yang

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 1 Tahun 2009 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG

Oleh : Cahyono Susetyo

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan

Isu kesehatan ibu-anak dan Musrenbangdes: Pengalaman Plan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan digantikan dengan gerakan

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

GBPP PELATIHAN TINGKAT KOTA/KABUPATEN

BAB I PENDAHULUAN. karena didalamnya terdapat berbagai kepentingan negara dan masyarakat sipil

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. terjaganya kualitas kehidupan manusia kini dan nanti.

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Peran Komunitas dalam pencegahan korupsi di perusahaan

RKPD Tahun 2015 Pendahuluan I -1

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI BOMBANA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOMBANA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 3

BAB I PENDAHULUAN. Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN MODEL PENELITIAN

REPOSISI REPRESENTASI BPD MENUJU PELEMBAGAAN PROSES DEMOKRATISASI DESA

BAB I PENDAHULUAN. Beralihnya masa orde lama ke orde baru telah menimbulkan banyak. perubahan baik dalam segi pemerintahan, ekonomi dan politik.

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

I. PENDAHULUAN. dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak

I. PENDAHULUAN. suatu periode yang akan datang (Suraji, 2011: xiii). Pengertian anggaran

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

MENGEMBANGKAN DEMOKRATISASI DESA. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan gambaran pelaksanaan UU KIP oleh Pemkab Kediri selama

Ringkasan Eksekutif Kamis 2 Mei 2013, jam 9.00 s/d Kantor Sekretariat Pokja, Grand Kebon Sirih, Jakarta Pusat

WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON

GUBERNUR SULAWESI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi diawal 1998 dapat dikatakan tonggak perubahan bangsa Indonesia.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015

BUPATI PANDEGLANG PROVINSI BANTEN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 02 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BARRU

A. PENGANTAR Sekolah merupakan salah satu instansi tempat perwujudan cita-cita bangsa dalam rangka mencerdaskan anak bangsa sesuai amanat UUD 1945.

Bab I Pendahuluan Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SAMBUTAN KEPALA BAPPENAS Dr. Djunaedi Hadisumarto

BAB I PENDAHULUAN. politik yang sama sekali tidak demokratis. Di dalam masa transisi menuju

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG

Partisipasi dalam Mempengaruhi Kebijakan Desa. Novita Anggraeni

Membangun Organisasi Rakyat

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang

GOOD GOVERNANCE. Bahan Kuliah 10 Akuntabilitas Publik & Pengawasan 02 Mei 2007

SALINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR NOMOR 08 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PERENCANAANN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR

Kata Pengantar BAB 4 P E N U T U P. Laporan Kinerja Pemerintah Provinsi

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166,

4. BAB IV: REKOMENDASI. Berikut adalah rekomendasi yang diberikan untuk evaluasi model kelembagaan Sekertariat Bersama Kartamantul:

H. Afif Nurhidayat, S.Ag.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

B U P A T I N G A W I PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

LAMPIRAN PERATURAN GUBERNUR BALI TANGGAL 25 MEI 2015 NOMOR 26 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) PROVINSI BALI TAHUN 2016

Transkripsi:

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran kognitif dari proses membangun gerakan penyadaran melalui pendekatan personal dan munculnya kesadaran individu dan kelompok bahwa perempuan harus terlibat dalam pembangunan. Kedua faktor membuka akses dengan adanya pihak eksternal yaitu NGO dengan pengorganisasian kelompok, peningkatan kapasitas, ketiga memanfaatkan ruang partisipasi dengan terlibat dalam musrenbang dan kontrol dengan mempengaruhi kebijakan dalam musrenbang. Peran dan fungsi masing-masing aktor juga berpengaruh yaitu Informal leader cukup berpengaruh mendorong partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Aktor-aktor intermediary juga cukup kuat mempengaruhi partisipasi perempuan Desa Wonolelo. Kekuatan organisasi juga mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan Desa Wonolelo melalui peran dari FKKP Wonolelo. Proses-proses tersebut membawa partisipasi perempuan Desa Wonolelo ke dalam derajat citizen participation genuine information (konsultasi sejati), effective advisory board (badan penasehat yang efektif). Tahap partnership (kemitraan) dan delegated control (kendali yang terdelagasi) belum tercapai. Dalam proses inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan, mekanisme dan prosedur juga menjadi indikator keberhasilan proses pelembagaan. Prasyarat terkait dengan definisi yang jelas dan aturan yang jelas dalam proses perencanaan dan penganggaran, yaitu hal-hal apa saja yang harus didiskusikan, tahapan dan jangka waktu, aturan dalam pengambilan keputusan (skala prioritas), metode distribusi tanggungjawab, otoritas dan sumber daya yang dimiliki di masingmasing kabupaten/kota sudah dipenuhi. Di kabupaten Bantul, adanya Perda No.7 Tahun 2005 dan Perda No.24 Tahun 2008 dan adanya petunjuk tehnis 103

pelaksanaan musrenbang juga cukup memperkuat upaya pelembagaan partisipasi tersebut. Terkait dengan output dan outcome yang dihasilkan, adanya kemauan untuk membangun kapasitas masyarakat dan pejabat tentang penganggaran partisipatif dan ada kesepahaman untuk membangun kesepakatan tentang alokasi serta kehadiran dan ketertarikan dari organisasi masyarakat sipil dan warga negara secara umum untuk keberlanjutan partisipasi sudah terpenuhi. Proses ini berhasil meningkatkan alokasi anggaran untuk posyandu, dan pemberdayaan ekonomi. Keberhasilan pelembagaan partisipasi perempuan Desa Wonolelo bukan karena adanya Perda Partisipasi dan Transparansi Publik, Perda Perencanaan Daerah maupun mekanisme jaring asmara (penjaringan aspirasi masyarakat) DPRD atau adanya invited spaces, ataupun adanya popular spaces. Selama ini kita terjebak dalam kerangka pemahaman bahwa ketika partisipasi dilembagakan dalam bentuk perda maka secara otomatis partisipasi tersebut akan berjalan. Memahami partisipasi perempuan hanya dari sisi kerja-kerja prosedural dan manajerial atau tehnokratis tidak akan memberi makna dari partisipasi itu sendiri. (Cornwall dan Coeho,2007:5) mengatakan praktek partisipasi yang normatif mengasumsikan bahwa warganegara telah siap untuk terlibat dalam urusan publik dan begitu pula para birokrat yang dianggap bersedia untuk mendengarkan dan merespons tuntutan dari arus bawah. Aspek ini jelas menegasikan adanya perbedaan sumber daya (modal) yang dimiliki partisipan dan mengabaikan konteks budaya dan struktur dalam masyarakat. Bagi Cornwall dan Coelho (2007), partisipasi merupakan ruang atau arena yang sedemikian politis sehingga pertarungan kepentingan di dalamnya sudah tidak terhindarkan lagi. Di satu sisi, negara (state) mengupayakan ruang formal (invited space) agar partisipasi warga bisa terakomodasi, sesuai dengan kepentingan pemerintah yang berkuasa. Namun, hal itu juga akan dibarengi oleh usaha masyarakat (civil society) untuk menciptakan ruangnya sendiri (popular space), yang dibentuk guna menghindari campur tangan negara. Ruang partisipasi ini bukan ruang final, namun sebagai arena (politik) yang saling diperebutkan. Pelembagaan partisipasi perempuan Desa Wonolelo membuktikan teori dari Cornwall tersebut. Pada kurun waktu Tahun 2004-2006, partisipasi perempu- 104

an desa Wonolelo menggunakan arena popular spaces, namun praktek ini justru membuat warga dan negara berhadap-hadapan, bahkan antar warga juga berhadap-hadapan. Hadirnya invited spaces melalui Perda Transparansi dan Partisipasi Publik No.5 Tahun 2005 dan Perda No.24 tahun 2008 dimanfaatkan oleh FKKP Wonolelo untuk mendorong pelembagaan partisipasi perempuan Desa Wonolelo. Ruang partisipasi bukan hanya sekedar ruang yang disediakan negara dengan seperangkat aturan seperti peraturan daerah, peraturan bupati atau petunjuk tehnis pelaksanaan musrenbang, atau bahkan masa reses anggota DPRD dan sidang-sidang DPRD. Ruang yang disediakan oleh negara tersebut tidak cukup dibiarkan begitu saja, namun harus dibangun wahana popular spaces dan mempertemukannya dalam pelembagaan partisipasi perempuan. Temuan dalam penelitian ini sekaligus juga menkonfirmasi bahwa proses pelembagaan partisipasi dibutuhkan infusi nilai-nilai sehingga menjadi sesuatu yang normal dan terjadi dalam tubuh FKKP Wonolelo. Dari adanya inisiasi pihak eksternal membangun revitalisasi kelompok perempuan, sadar bahwa ada masalah dan mencari solusi melalui keterlibatan dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Pelembagaan diyakini mendapatkan pengaruh terbesar dari struktur dan kultur. Namun kemudian muncul keyakinan bahwa aktor individual juga memiliki kemampuan mempengaruhi institusi. Pengaruh terbesar dari struktur ditandai denga pengaruh dari kepala desa dan ketua LPMD Desa Wonolelo yang tidak hanya mengundang, namun juga mengawal, bersedia negosiasi. Aktor individual yang mempengaruhi organisasi juga muncul, baik di dalam masyarakat maupun di level negara. Individu dan organisasi diyakini tidak hanya pasrah terhadap struktur dan kultur, tetapi bisa juga berinovasi dan melakukan tindakan strategis untuk mempengaruhi perubahan. Dalam konteks pelembagaan partisipasi, instrumen aturan, regulasi dan instrumen yang lain tidak cukup tanpa ada upaya individu untuk mempengaruhi proses pelembagaan partisipasi. Mereka harus memiliki kemampuan untuk mempengaruhi institusi dan bisa berinovasi melakukan tindakan strategis untuk mempengaruhi perubahan dalam mendorong pelembagaan partisipasi. Munculnya informal leader dalam pelembagaan 105

partisipasi perempaun Desa Wonolelo yang sangat mempengaruhi pelembagaan partisipasi di level komunitas membuktikan teori tersebut. Pelembagaan partisipasi juga membutuhkan aktor-aktor negara untuk didorong membangun aliansi jangka panjang dengan masyarakat sipil. Efektifitas kegiatan pelembagaan sangat dipengaruhi oleh faktor keterlibatan partisipan yang ada dan bukan semata dorongan kebijakan. Munculnya aktor negara di level desa seperti kepala desa dan LPMD yang kuat mendorong pelembagaan partisipasi dan bu Ratna dari BKKPPB adalah salah satu bukti bahwa aktor negara juga bisa berkontribusi positif terhadap pelembagaan partisipasi perempuan. Pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah tidak bisa dikatakan gagal, namun dibutuhkan satu pemahaman tentang momentum yang tepat untuk memastikan bahwa pendekatan kebutuhan kebijakan tidak semata-mata dorongan kebijakan itu sendiri, tetapi karena adanya kebutuhan kelembagaan lokal. Peran keterlibatan partisipan juga penting karena pelembagaan sebagai sebuah strategi dilakukan justru untuk menghindari dominasi keputusan masyarakat oleh elit lokal, gagalnya pemberian ruang bagi kaum marginal, serta menghindari bias partisipasi. Dominasi keputusan masyarakat oleh elit dapat menyebabkan adanya perilaku mengambil untung secara berlebihan dan menggagalkan relasi timbal balik antara pemilik dengan wakilnya dalam mekanisme pendelegasian. Kegagalan pemberian ruang bagi kaum marginal menyebabkan partisipasi semu dan buruknya kolektifitas sebagai awal dari komitmen sosial. Kondisi ini terjadi ketika dalam forum refleksi partisipasi perempuan dalam musrenbang se Kabupaten Bantul menunjukkan bahwa ada proses kegagalan pemberian ruang dan pemanfaatan ruang kelompok perempuan dalam musrenbang. Berbagai hal yang berkembang terkait mendorong demokrasi yang didambakan terutama terkait partisipasi warga, setidaknya ada dua pandangan berbeda dalam menempatkan posisi warga dan pemerintahan daerah. Pertama yang memposisikan warga negara dan pemerintahan daerah dalam perspektif demokrasi representatif. Perspektif ini menempatkan peran warga yang terpenting adalah dalam memilih wakil yang akuntabel dalam pemerintahan lokal. Pandangan kedua menuntut peran warga lebih aktif melalui partisipasi langsung 106

dalam berbagai kegiatan publik. Pendekatan ini peduli pada transformasi pengetahuan yang melampaui pengetahuan tentang ruang publik (public sphere) dan demokrasi representatif, dan menentang batasan-batasan antara public dan privat yang memungkinkan bentuk-bentuk yang lebih langsung dari keterkaitan demokratik (Gaventa dan Valderama, 1999). Pelembagaan partisipasi perempuan Wonolelo dalam perencanaan dan penganggaran daerah dengan segala dinamikanya memberi bukti bahwa menguatkan warga dan mendorong warga terutama perempuan untuk terus menerus aktif dalam proses penganggaran menjadi keharusan. Aktor negara juga harus terus menerus secara aktif membuka ruang partisipasi dan memahami serta menyepakati kebutuhan warga atas anggaran daerah. Proses ini dibutuhkan enganging state (membangun komunikasi aktif) dengan negara. Di tengah-tengah pesimisme atas kegagalan negara mendorong pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah, maka cerita tentang pelembagaan partisipasi perempuan Desa Wonolelo dalam perencanaan dan penganggaran daerah menghadirkan praktek yang berbeda. Tidak lagi bicara soal partisipasi semu ataupun partisipasi prosedural, namun praktek tersebut membuka wacana bahwa state actor bisa memainkan peran positif mendorong pelembagaan partisipasi perempuan. perempuan memiliki kapasitas membangun kesadaran partisipasi adalah langkah untuk mengawal kebijakan. citizen control juga menjadi pekerjaan besar untuk mendorong kontrol warga atas sumberdaya publik. B. Rekomendasi Advokasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Pemerintah harus mempertimbangkan bahwa organisasi formal perempuan seperti PKK dan Dasawisma bukan sebagai keharusan organisasi yang harus dihadirkan dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Pemerintah dari mulai level desa sampai dengan kabupaten harus melibatkan kelompok-kelompok perempuan diluar organisasi formal perempuan yang telah ada dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. 107

2. Arena partisipasi warga dalam ruang-ruang yang sudah disediakan oleh negara harus terus menerus proaktif dimanfaatkan oleh kelompok perempuan untuk mendorong perbaikan proses perencanaan dan penganggaran daerah. 3. Aktor negara harus proaktif menyediakan mekanisme dan prosedur yang jelas dan detail tentang tahapan proses perencanaan dan penganggaran daerah serta mudah dipahami oleh kelompok perempuan. 4. Program dan kebijakan harus diinformasikan secara jelas dan mudah dipahami kepada kelompok perempuan dalam setiap tahapan proses perencanaan dan penganggaran daerah. Refleksi Teoritis Dalam teori ladder of citizen empowerment, untuk mencapai tahap delegated control tidak mudah, dan nampaknya citizen control tidak mungkin terjadi, karena pemegang kuasa anggaran atau implementasi tehnis pelaksanaan anggaran adalah pemerintah daerah. Peneliti sendiri berpendapat bahwa kendali warga ini bisa didefinisi ulang yaitu adanya peran serta warga untuk melakukan pengawasan atas implementasi APBD, bukan melaksanakan dan memegang dana APBD, karena memang yang seharusnya mengelola adalah negara. Dalam teori pelembagaan partisipasi, model invited spaces dan popular spaces tidak bisa dipisahkan dalam konteks partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Model populer spaces biasanya tidak bertahan lama ketika isu yang didesakkan sudah tidak relevan, namun model invited spaces memiliki kelebihan bahwa ruang ini memberi jaminan pelembagaan partisipasi dalam jangka panjang. Namun, Cornwall mengingatkan bahwa pelembagaan partisipasi adalah sebuah proses politik dimana ada aktoraktor yang bermain dalam arena partisipasi dan relasi kuasa negara dan warga harus dinegosiasikan. Dalam hal ini peneliti sepakat dengan konsep Cornwall tersebut berdasarkan hasil penelitian praktek partisipasi perempuan Desa Wonolelo dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah. 108