BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Preparasi Sampel Sampel telur ayam yang digunakan berasal dari swalayan di daerah Surakarta diambil sebanyak 6 jenis sampel. Metode pengambilan sampel yaitu dengan metode purposive sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan hanya berdasarkan pertimbangan peneliti yang menganggap unsur-unsur yang dikehendaki ada dalam sampel yang diambil. Adapun kriteria sampel yang diambil adalah produk telur ayam negeri yang mencantumkan kandungan beta karoten maupun vitamin A pada kemasan yang beredar di swalayan daerah Surakarta. Prinsip metode ekstraksi menggunakan pelarut organik yaitu bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu kemudian diikuti dengan pemisahan dari bahan yang telah diekstrak (Houghton, 1998). Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Derajat polaritas tergantung pada tahapan dielektrik, makin besar tahapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut (Nur, 1989). Canthaxanthin pada kuning telur mudah terlarut dalam lipid, sedangkan lipid tidak larut dalam air akan tetapi larut dalam bahan pelarut organik. Pemilihan bahan pelarut yang paling sesuai untuk ekstraksi sampel 33
lipid adalah dengan menentukan derajat polaritasnya. Prinsip yang mendasari pemilihan pelarut pada proses like dissolve like yang artinya kepolaran senyawa yang dianalisis harus sama dengan kepolaran pelarutnya (Harvey, 2000). Petroleum eter merupakan pelarut non polar yang baik digunakan untuk menyari senyawa non polar yang terkandung dalam sampel lipid (Sudarmadji,2003). Etil asetat bersifat semipolar dan berkemampuan menyari senyawa semipolar. Metanol memiliki nilai konstanta dielektrik lebih besar sehingga bersifat polar dan sering digunakan utuk mengekstraksi senyawa polar. Penggunaan campuran pelarut tersebut bertujuan agar semua senyawa dalam sampel dapat tersari sempurna (Adijuwana, 1989). Maserasi sampel dilakukan selama 30 menit untuk memisahkan supernatant dari ampas kuning telur. Ekstraksi berjalan optimal ditandai dengan perubahan warna ampas kuning telur menjadi putih. Supernatan yang telah dipisahkan merupakan hasil ekstrak cair dari sampel kuning telur. Dalam penyimpanan ekstrak cair seminimal mungkin dihindarkan dari sinar cahaya langsung dengan melapisi flakon dengan alumunium dan disimpan dengan suhu rendah. Hal ini dilakukan karena senyawa karotenoid mudah teroksidasi, rusak pada cahaya langsung dan suhu tinggi. Ekstrak cair yang diperoleh merupakan fraksi campuran dari penambahan 3 pelarut yang memiliki sifat kepolaran berbeda. Pemisahan fraksi non polar dilakukan dengan ekstraksi fraksi polar dengan pelarut polar aquadest dan etanol. Senyawa yang memiliki polaritas yang tinggi akan
mudah larut dalam air. Air termasuk zat pelarut dan mempunyai polaritas terbesar karena konfigurasi elektron dan geometri molekulnya dapat menghasilkan dipol permanen yang sangat kuat dan memiliki nilai konstanta dielektrik paling besar (Houghton, 1998). Fraksi heksan diperoleh melalui penambahan metanol dan heksan pada residu sampel. Heksan memiliki konstanta dielektrik rendah sehingga memiliki sifat non polar. Metanol bersifat polar sehingga senyawa polar yang masih tersisa dapat tersari. Fraksi heksan merupakan bagian supernatan dari campuran, hal ini disebabkan pelarut non polar memiliki bobot jenis yang relatif kecil dibandingkan dengan pelarut polar. B. Hasil Identifikasi Ekstrak Kuning Telur Ayam dengan KLT Perbandingan fase gerak memiliki banyak variasi yang dapat digunakan dalam elusi pigmen karotenoid, sehingga perlu dilakukan penetapan fase gerak yang sesuai dalam metode KLT. Sifat paling penting yang harus dipertimbangkan dalam memilih fase gerak yaitu polaritas, viskositas, volatilitas, dan toksisitas. Banyak sistem pelarut telah diusulkan sebagai fase gerak karotenoid, tetapi pelarut utama adalah asetonitril dan metanol, dengan sebagian besar sistem menjadi sedikit modifikasi dari beberapa kombinasi dasar (Craft,1992). Beberapa penelitian menyebutkan fase gerak yang dapat digunakan dalam identifikasi pigmen karotenoid dengan metode KLT yaitu perbandingan diklorometana-etil asetan (95:5 v/v) (Lorquin, 1997), heksan-aseton (100:25
v/v) (Anonim, 1998) dan heksane-etil asetat-etanol-aseton (95:3:2:2 v/v) (Jeffrey, 2002). Penetapan fase gerak dilakukan dengan mengelusi larutan standar pada masing-masing fase gerak dan menghitung Rf dari spot yang telah didapatkan. Analisa faktor retardasi (Rf) perlu dilakukan untuk memperkuat identifikasi komposisi pigmen berdasarkan warna. Pada variasi fase gerak memiliki nilai Rf yang berbeda. Sehinnga penetapan fase gerak dilakukan dengan menyesuaikan hasil Rf standar dengan referensi. Fase gerak yang baik merupakan perbandingan pelarut yang menghasilkan nilai Rf 0,2-0,8 sehingga pemilihan fase gerak diharapkan dapat mempermudah analisa pada sampel (Rohman,2006). Penetapan fase gerak diperoleh fase gerak yang sesuai adalah variasi fase gerak heksan-etil asetat-etanol-aseton dengan perbandingan 95:3:2:2 v/v. Kemudian fase gerak tersebut diaplikasikan dalam identifikasi sampel menggunakan metode KLT. Identifikasi dilakukan dengan penotolan sampel pada plat silika gel kemudian dielusikan pada chamber yang jenuh akan fase gerak. Fase gerak yang digunakan pada identifikasi dengan KLT yaitu heksan/etil asetat/aseton/etanol (95:3:2:2 v/v). Identifikasi melalui warna spot dibantu dengan reagen anisaldehid-asam sulfat. Senyawa karotenoid akan menghasilkan warna kuning kecoklatan pada bercak/spot. Timbulnya warna kuning kecoklatan pada bercak merupakan hasil reaksi senyawa spesifik yang
terjadi antara terpenoid dan anisaldehid pada kondisi asam yaitu terbentuknya senyawa kompleks. Gambar 2. Pengamatan dibawah sinar tampak (kiri) dan pengamatan dibawah sinar UV 254 (kanan) pada fase diam silika gel dan fase gerak heksan/etil asetat/aseton/etanol (95:3:2:2 v/v). (a) standar canthaxanthin (b) sampel A (c) sampel B (d) sampel C (e) sampel D (f) sampel E (g)sampel F Nilai Rf spot : (1) 0,30 (2) 0,28 (3) 0,20 (4) 0,18 (5) 0,21(6) 0,17 (7) 0,19 (8) 0,24 Hasil menunjukkan bahwa 4 dari 6 sampel kuning telur yang dipilih mengandung pigment karotenoid (Gambar 2). Hal tersebut dapat dilihat dari warna spot yang dihasilkan masing-masing sampel. Warna yang ditunjukkan dalam pemisahan pigmen pada KLT dapat digunakan sebagai dasar untuk identifikasi pigmen. Pigmen karotenoid termasuk dalam golongan tetraterpen, sehingga reagen yang digunakan adalah anisaldehid-asam sulfat. Sampel positif akan membentuk warna kuning kecoklatan pada bercak. Dalam identifikasi ini diperoleh dua data yaitu pengamatan visual warna bercak dan data nilai Rf pada masing-masing sampel. Nilai Rf sampel diperoleh
berdasarkan ratio jarak spot yang muncul dengan jarak elusi eluen. Hasil perhitungan nilai Rf sampel kemudian dibandingakan dengan nilai Rf standar untuk penetapan sampel positif. Tabel III. Hasil Perhitungan nilai Rf sampel kuning telur Rf Spot Standar (±0,03) Sampel (±0,03) A B C D E 1 0,28 - - 0,18 0,21 0,30 2 0,20 - - - 0,20 F 0,24 0,19 Hasil pengamatan visual, semua bercak memiliki warna kuning kecoklatan setelah disemprot dengan reagen anisaldehid-asam sulfat. Nilai Rf pada masing-masing sampel dapat dilihat pada (Tabel III). Spot 1 pada sampel A memiliki nilai Rf yang paling mendekati dari Rf standar. Hasil tersebut menyatakan bahwa sampel A mengandung senyawa kerotenoid. Menurut Heftmann (1992) beberapa faktor yang mempengaruhi nilai Rf antara lain adalah suhu. Perubahan suhu ± 5 o C pada saat proses elusi dapat Hasil dinyatakan positif bila warna bercak antara sampel dan baku sama, serta harga Rf antara sampel dengan baku sama atau saling mendekati dengan selisih harga tersebut. C. Hasil Pembacaan Kurva Baku Canthaxanthin Fase gerak yang digunakan dalam identifikasi canthaxanthin dengan metode KCKT adalah methanol dan asetonitril. Kualitas fase gerak yang digunakan pro analisa karena analisa dengan KCKT mempunyai tingkat
ketelitian yang tinggi, sehingga membutuhkan eluen dengan kemurnian yang tinggi. Perbandingan fase gerak atau solven yang digunakan adalah asetonitrilmetanol (60:40 v/v). Asetonitril telah banyak digunakan karena viskositas rendah dan selektivitas lebih baik untuk xantofil pada kolom C 18 monomer yang digunakan (Khachik dkk. 1986). Pelarut berbasis metanol memberikan recovery yang lebih tinggi pada senyawa karotenoid dibandingkan pelarut lain di hampir semua dari 65 kolom diuji. Metanol juga lebih mudah ditemukan, lebih murah, dan kurang toksik dibandingkan asetonitril (Hart dan Scott 1995). Hasil penelitian Zhang (2007) menyatakan bahwa perbandingan fase gerak asetonitril-metanol (60:40 v/v) dapat digunakan unutuk analisa canthaxanthin dengan KCKT-DAD. Sebelum dimasukan ke dalam botol solven, fase gerak yang akan digunakan disaring terlebih dahulu menggunakan penyaring vakum yang dilengkapi dengan kertas milipore ukuran 0,45 dengan tujuan untuk membersihkan eluen dari pengotor-pengotor yang ada. Kurva baku ditentukan berdasarkan luas area puncak pada konsentrasi standar canthaxanthin. Luas area dari masing-masing seri konsentrasi larutan dimasukkan ke dalam kurva baku untuk mengetahui hubungan linearitas dan persamaan garis regresi antara luas area puncak dan konsentrasi standar canthaxanthin. Larutan standar yang akan diinjeksikan ke dalam instrument KCKT harus disaring menggunakan saringan millex 0,45 njeksian
larutan menggunakan microsyringe, volume larutan yang diinjeksikan adalah Gambar 4. Kromatogram Standar Canthaxanthin pada KCKT kolom C 18 dengan detektor UV panjang gelombang 474 nm, fase gerak asetonitril-metanol (60:40), tekanan pompa 4000 psi, kecepatan alir 2mL/menit dan waktu retensi 8 menit Hasil yang diperoleh adalah berupa kromatogram dengan keterangan luas area, tinggi puncak dan waktu retensi. Waktu retensi (tr) adalah waktu yang diperlukan oleh analit untuk bermigrasi dari awal kolom sampai ke detektor. Kromatogram standar yang diperoleh menunjukkan bahwa masih terdapat pengotor dalam kromatoram standar. Hal ini dapat disebabkan karena pelarut yang digunakan mempunyai kemurnian yang kurang dan terdapat pengotor dalam kolom yang digunakan untuk analisa sehingga pengotor yang ada terbaca pada detektor instrumen KCKT dan muncul ke dalam kromatogram.
Luas area peak yang diperoleh pada standar (Gambar 4.) merupakan hasil kromatogram standar pada kadar 4,48 ppm. Terlihat adanya peak utama yang muncul pada waktu retensi ke 5,03 menit. Gambar kromatogram standar pada kadar 6,72 ppm, 8,96 ppm, 11,2 ppm, dan 13,44 ppm dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel IV. Luas Area dan Waktu Retensi Kurva Baku Canthaxanthin No Kadar (ppm) Luas Area Waktu Retensi (menit) 1 4,48 1965895 5,03 2 6,72 2895725 4,97 3 8,96 3666619 4,96 4 11,20 4481514 4,97 5 13,44 5118918 4,89 Data yang diperoleh (Tabel IV) dimasukkan ke dalam kurva baku untuk menentukan hubungan linearitas dengan koefisien korelasi (r) dan persamaan garis regresi. Kurva baku diperoleh dari nilai x yaitu kadar(ppm) dan luas area puncak pada konsentrasi standar canthaxanthin sebagai nilai y (Gambar 5.) Luas Area (mau) 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 y = 352314x + 469000 R² = 0.9962 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Kadar (ppm) Gambar 5. Kurva baku Standar Canthaxanthin
Luas area yang diperoleh dari masing-masing konsentrasi kemudian dimasukkan ke dalam kurva baku untuk menentukan nilai r nya. Kurva baku tandar dinyatakan linier apabila nilai r hitung > r tabel. Nilai r hitung yang diperoleh merupakan hasil akar dari R 2 yaitu 0,997 dengan persamaan garis regresi y = 352314x + 469000. Menurut Sugiyono (2010) dalam buku Statistika untuk Penelitian menyatakan r tabel untuk 5 titik memiliki nilai r tabel 0,959 pada taraf kesalahan 1 % dan 0,878 pada taraf kesalahan 5%. Parameter tersebut dapat,menjadi acuan bahwa kurva baku canthaxanthin telah memenuhi kriteria dalam analisa. D. Hasil Identifikasi Fraksi Heksan Kuning Telur Ayam dengan KCKT Metode KCKT dipilih dalam identifikasi pada sampel karena metode ini memiliki nilai ketelitian yang tinggi dibanding dengan metode analisa yang lain. Sampel yang dibutuhkan pada metode KCKT relatif lebih sedikit. Penelitian yang telah dilakukan di Eropa mendapatkan kadar canthaxanthin kecil sehingga perlu digunakan metode dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Hasil identifikasi pigmen karotenoid dengan KLT dikonfirmasi dengan KCKT untuk meneliti lebih lanjut kandungan canthaxanthin pada sampel. Identifikasi adanya kandungan canthaxanthin dilakukan dengan cara membandingkan waktu retensi (tr) sampel yang diduga mengandung canthaxanthin dengan waktu retensi (tr) larutan baku canthaxanthin. Sampel yang dianalisa sebanyak 1 sampel yaitu sampel A (SIH) merupakan sampel
kuning telur ayam dalam negeri yang diperoleh dari swalayan. Pembacaan sampel dilakukan pada panjang gelombang 474 nm dengan tekanan pompa 4000 psi dan kecepatan aliran eluen 2mL/menit. Diperoleh hasil kromatogram sebagai berikut: Gambar 6. Pembacaan Kurva Sampel Kuning Telur Ayam Negeri dengan KCKT kolom C 18 dengan detektor UV pada panjang gelombang 474 nm, fase gerak asetonitril-metanol (60:40), tekanan pompa 4000 psi, kecepatan alir 2mL/menit dan waktu retensi 10 menit Hasil identifikasi dengan KCKT diperoleh satu peak yang muncul pada menit ke 2,1(Gambar 6). Sedangkan peak yang muncul pada kurva standar (Gambar 4) berada pada menit ke 5,03. Dari hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa pigmen karotenoid yang terdapat pada fraksi heksan kuning telur bukan merupakan pigmen canthaxanthin. Pada penelitian identifikasi canthaxanthin ini diperoleh perbedaan hasil dari metode KLT dan KCKT. Identifikasi menggunakan KLT menyatakan
bahwa sampel A positif megandung canthaxanthin. Pada hasil identifikasi meggunakan KCKT sampel dinyatakan bahwa pigmen canthaxanthin tidak ditemukan dalam fraksi heksan kuning telur ayam dalam negeri. Beberapa kesalahan yang mungkin bisa terjadi dalam identifikasi yaitu penanganan kurang tepat atau perubahan sampel selama penyimpanan. Proses kimia yang terjadi pada sampel antara waktu pengumpulan sampel dan analisis dapat membatalkan hasil analisis. Sampel yang disimpan untuk analisis harus disimpan dalam ruang gelap, dalam wadah kaca, dan dipertahankan pada suhu di bawah nol, karena kondisi ini cenderung menghambat terjadinya kerusakan. Pemisahan fraksi heksan yang kurang optimal dikarenakan fraksinasi dilakukakan hanya sekali dengan menggunakan flakon sehingga kemungkinan canthaxanthin masih tertinggal dalam sampel. Pengaruh penyimpanan sampel makanan saat proses maserasi dapat melepaskan enzim yang mampu mengubah komposisi sampel setelah penyimpanan. Sehingga penyimpanan senyawa dalam sampel makanan lebih baik untuk disimpan secara keseluruhan dalam keadaan beku di bawah nitrogen (Rodriguez-Amaya, 2001).