BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM

BAB IV ESTIMASI SUMBER DAYA HIDROKARBON PADA FORMASI PARIGI

PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL ANGGOTA MAIN, FORMASI CIBULAKAN ATAS, DAERAH OSRAM, SUB-CEKUNGAN JATIBARANG, CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA TUGAS AKHIR B

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel...

BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN. lapangan minyak baru di Indonesia diyakini masih tinggi walaupun semakin sulit

Bab IV Prospect Generation pada Interval Anggota Main, Daerah Osram

II Kerogen II Kematangan II.2.2 Basin Modeling (Pemodelan Cekungan) II.3 Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN...

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN MAKSUD

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Geokimia Minyak & Gas Bumi

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Peta Kontur Isopach

HALAMAN PENGESAHAN...

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. Peta lokasi daerah penelitian yang berada di Cekungan Jawa Timur bagian barat (Satyana, 2005). Lokasi daerah penelitian

BAB IV TEKTONOSTRATIGRAFI DAN POLA SEDIMENTASI Tektonostratigrafi Formasi Talang Akar (Oligosen-Miosen Awal)

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan eksplorasi migas untuk mengetahui potensi sumber daya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan. Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak

Bab III Interpretasi Data Geokimia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kebutuhan energi terutama energi fosil yang semakin

I. PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara di dunia. Ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka konsumsi

Bab III Pengolahan Data

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB IV UNIT RESERVOIR

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses

Bab IV Hasil Analisis dan Diskusi

IV.5. Interpretasi Paleogeografi Sub-Cekungan Aman Utara Menggunakan Dekomposisi Spektral dan Ekstraksi Atribut Seismik

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki

BAB II TATANAN GEOLOGI

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv. SARI...v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI...

BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian

Bab I Pendahuluan. I.1 Maksud dan Tujuan

LEMBAR PENGESAHAN ESTIMASI SUMBERDAYA HIDROKARBON PADA INTERVAL FORMASI PARIGI, DAERAH ASGAR, SUB-CEKUNGAN JATIBARANG, CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA

PEMODELAN KEMATANGAN HIDROKARBON DAERAH KOTABUMI, KABUPATEN LAMPUNG UTARA, PROPINSI LAMPUNG

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR HALAMAN PERSEMBAHAN SARI

EVALUASI BATUAN INDUK SAMPLE BATUAN SEDIMEN FORMASI TALANG AKAR DI DAERAH LENGKITI, OGAN KOMERING ULU, SUMATERA SELATAN

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2011

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

UNIVERSITAS DIPONEGORO ANALISIS GEOKIMIA HIDROKARBON DAN ESTIMASI PERHITUNGAN VOLUME HIDROKARBON PADA BATUAN INDUK AKTIF, CEKUNGAN JAWA TIMUR UTARA

BAB IV KONDISI GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Cekungan Asri adalah salah satu cekungan sedimen penghasil hidrokarbon di

BAB I PENDAHULUAN. lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan X merupakan salah satu lapangan eksplorasi PT Saka Energy

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

BAB I PENDAHULUAN. di Sulawesi Tenggara. Formasi ini diendapkan selama Trias-Jura (Rusmana dkk.,

Analisis Persebaran Total Organic Carbon (TOC) pada Lapangan X Formasi Talang Akar Cekungan Sumatera Selatan menggunakan Atribut Impedansi Akustik

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

BAB I PENDAHULUAN. Pemodelan geologi atau lebih dikenal dengan nama geomodeling adalah peta

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

DAFTAR ISI. BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Pengumpulan Data viii

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

II. GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi permintaan akan energi yang terus meningkat, maka

II. TINJAUAN PUSTAKA. Oil Sumatera Inc. Secara administratif blok tersebut masuk ke dalam wilayah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Zona Kendeng memiliki sistem minyak dan gas bumi yang masih terus

a) b) Frekuensi Dominan ~22 hz

Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku

PETROLEUM SYSTEM CEKUNGAN KUTAI BAGIAN BAWAH, DAERAH BALIKPAPAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. usia produksi hidrokarbon dari lapangan-lapangannya. Untuk itulah, sebagai tinjauan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM 4.1 PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai Prospect Generation pada interval Anggota Main, Formasi Cibulakan Atas di Daerah Osram yang merupakan pembahasan inti dari tugas akhir ini. Prospect Generation ini diawali dengan melakukan identifikasi daerah tutupan (closure) pada interval penelitian. Setelah mengidentifikasi keberadaan prospekprospek berdasarkan bentuk daerah tutupan, langkah selanjutnya ialah melakukan pemeringkatan prospek (prospect rangking), yaitu proses yang mempertimbangkan semua aspek dalam sistem petroleum, seperti batuan induk (source rock), reservoir, migrasi (migration), batuan tudung (seal), dan mekanisme perangkap (trap). Sistem petroleum ini merupakan sistem alami yang meliputi suatu area batuan induk aktif dan semua yang berhubungan dengan minyak dan gas dan termasuk semua elemen dan proses geologi yang penting apabila terbentuk akumulasi hidrokarbon (Magoon dan Dow, 1994). Elemen-elemen penting tersebut diantaranya meliputi batuan induk (source rock), batuan reservoir, dan batuan tudung (seal rock), serta proses-proses geologi seperti pembentukan perangkap, generation, migrasi, dan akumulasi. Berikut akan dibahas mengenai identifikasi prospek dan analisis sistem petroleum yang bertujuan untuk melakukan pemeringkatan masing-masing prospek pada daerah penelitian. 4.2 IDENTIFIKASI PROSPEK Dalam suatu tahapan eksplorasi, perlu dilakukan pencarian perangkap-perangkap hidrokarbon yang ada pada suatu wilayah cekungan untuk menentukan daerah-daerah prospek. Prospek yang dimaksud merupakan suatu perangkap potensial yang mesti di evaluasi untuk dilihat apakah mengandung sejumlah hidrokarbon yang komersial 64

(Magoon dan Dow, 1994). Hanya setelah dilakukan pemboran dan percobaan (testing) baru dapat diketahui apakah perangkap tersebut mengandung minyak atau gas. Proses identifikasi ini berdasarkan beberapa faktor yaitu bentuk geometri dan pengaruh model perangkap di daerah tutupan. Berdasarkan hasil analisis tersebut, diperoleh tujuh buah daerah tutupan pada peta struktur kedalaman batas atas Interval Main di Daerah Osram (Gambar 4.1). Daerah tutupan tersebut disebabkan oleh hadirnya perangkap struktur yang dicirikan berdasarkan kehadiran bentuk kontur pada peta struktur kedalaman yang menutup ke arah sesar. Perangkap tersebut kemudian diasumsikan sebagai prospek yang akan dibahas pada bab ini. Penamaan prospek dalam penelitian ini sama dengan penamaan daerah tutupannya, yaitu daerah tutupan-1 merupakan Prospek-1, daerah tutupan-2 merupakan Prospek-2, dan selanjutnya hingga daerah tutupan-7 merupakan Prospek-7. Gambar 4.2 menunjukkan contoh hasil montage yang berisikan peta lokasi Prospek-4 pada peta struktur kedalaman dan bentuk penampang seismiknya. Hasil montage Prospek-1, Prospek-2, Prospek-3, Prospek-5, Prospek-6, dan Prospek-7 dapat dilihat pada Lampiran 25-30. 4.3 ANALISIS SISTEM PETROLEUM Pada pembahasan ini, analisis sistem petroleum merupakan bagian dari prospect generation yang bertujuan untuk melakukan pemeringkatan prospek pada daerah tutupan yang ada di interval penelitian. berikut akan dijelasan mengenai sistem petroleum pada daerah penelitian. 4.3.1 Batuan Induk (Source Rock) Batuan induk merupakan batuan sedimen berbutir halus yang mampu menghasilkan hidrokarbon. Waples, 1985 membagi batuan induk menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Effective source rock ialah batuan sedimen yang telah membentuk dan mengekspulsi hidrokarbon. 65

2. Potential source rock ialah batuan sedimen belum matang yang dapat membentuk dan mengekspulsi hidrokarbon apabila level kematangan termalnya lebih tinggi. 3. Possible source rock ialah batuan sedimen yang dianggap memiliki kemampuan sebagai effective atau potential source rock namun belum dapat ditentukan karena masih kurangnya data atau belum dievaluasi. Evaluasi batuan induk yang dilakukan pada penelitian ini diketahui berdasarkan laporan geokimia yang terdapat di Sumur Osram-1 dan Osram-2. Evaluasi batuan induk yang dilakukan mencakup tiga hal utama, yaitu: Kekayaan (Richness) Suatu batuan dikatakan berpotensi sebagai batuan induk apabila memiliki kekayaan kandungan material organik yang cukup. Kekayaan yang dimaksud merupakan kondisi apakah batuan sedimen tersebut memiliki jumlah material organik yang cukup untuk membentuk hidrokarbon. Kekayaan batuan induk dapat diketahui dengan melakukan pengukuran TOC (Total Organic Carbon) suatu batuan. Besar karbon organik yang terkandung dalam batuan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan kemampuan batuan agar dapat menghasilkan hidrokarbon. Tabel 4.1. menunjukkan implikasi batuan induk berdasarkan persen berat TOC menurut Waples (1985). Tabel 4.1. Indikasi potensi batuan induk berdasarkan TOC (Waples, 1985). TOC (% berat) Implikasi batuan induk <0.5 Potensi rendah 0.5-1.0 Kemungkinan sedikit berpotensi 1.0-2.0 Kemungkinan cukup berpotensi >2.0 Kemungkinan berpotensi baik sampai sangat baik 66

6 7 5 1 4 : Daerah tutupan 2 3 Gambar 4.1. Identifikasi daerah tutupan (closure) berdasarkan pola kontur pada peta struktur kedalaman batas atas Interval Main. 67

J Gambar 4.2. Contoh hasil montage pada Prospek-4 dengan tipe perangkap struktur three way dip fault dependent. 68

Berdasarkan laporan data geokimia yang dilakukan pada sumur Osram-1 dan Osram-2, diperoleh grafik hubungan antara TOC terhadap kedalaman yang dapat ditunjukkan pada Gambar 4.3 dan 4.4 di bawah ini. Formasi Baturaja Formasi Talang Akar Formasi Talang Akar dan Jatibarang Gambar 4.3. Grafik antara TOC terhadap kedalaman pada Sumur Osram-1 (modifikasi Laporan ARII, 1994) Suatu batuan dapat dikatakan berpotensi sebagai batuan induk yang baik, apabila memiliki kekayaan material organik yang dilihat berdasarkan kandungan TOC lebih dari satu. Oleh karena itu, secara keseluruhan berdasarkan Gambar 4.3 dan 4.4 dapat disimpulkan bahwa kandungaan TOC lebih dari satu terdapat pada Anggota Main, Formasi Baturaja bagian bawah, Formasi Talang Akar, dan Formasi Jatibarang yang 69

memiliki kemungkinan berpotensi baik hingga sangat baik menjadi batuan induk di Daerah Osram. Gambar 4.4. Grafik antara TOC terhadap kedalaman pada sumur Osram-2 (modifikasi Laporan ARII, 1994). Kematangan Material Organik Kematangan yang dimaksud ialah untuk mengetahui apakah material organik tersebut sudah matang. Tingkat kematangan merupakan hasil dari beberapa faktor, diantaranya sejarah pembebanan, tatanan tektonik, dan sejarah termal. Kematangan batuan induk dapat diketahui menggunakan beberapa metode, antara lain yaitu Tmaks 70

pirolisis, reflektansi vitrinit (Ro), SCI (Spore Colour Index), dan indek alterasi termal (thermal alteration index). Penelitian ini melakukan evaluasi kematangan pada batuan di Daerah Osram dengan menggunakan metode reflektansi vitrinit, Tmaks pirolisis, dan digabung dengan data SCI dan TAI. a) Reflektansi vitrinit (Ro) Reflektansi vitrinit merupakan pengukuran terhadap presentase sinar yang dipantulkan dari permukaan partikel dalam batuan sedimen. Untuk melakukan evaluasi kematangan suatu cekungan sedimenter berdasarkan data reflektansi vitrinit, sebaiknya dibuat profil Ro terhadap kedalaman. Waples (1985) menyatakan bahwa awal kematangan material organik umumnya terjadi pada saat nilai reflektansi vitrinit sebesar 0,6%. Berdasarkan laporan data geokimia yang dilakukan pada sumur Osram-2, diperoleh grafik hubungan antara Ro terhadap kedalaman yang dapat ditunjukkan pada Gambar 4.5. Dari Gambar 4.5, dapat ditunjukkan bahwa tahap awal pembentukan minyak pada saat nilai reflektansi vitrinit sebesar 0,6% yaitu, dimulai pada kedalaman 8900 kaki atau tepatnya pada Formasi Talang Akar Non-Marin. Berdasarkan laporan geokimia diketahui bahwa indeks hidrogen pada sekitar kedalaman 8900 kaki di Sumur Osram-2 ialah lebih dari 400 mg HC/g TOC. Tingginya nilai indeks hidrogen tersebut dapat menyebabkan pembacaan maseral vitrinit melalui mikroskop khusus menjadi terganggu. Hal ini karena semakin tinggi nilai indeks hidrogen menunjukkan bahwa adanya maseral alginit yang cukup banyak sehingga menyebabkan pantulan atau reflektansi sinar (fluorescence) vitrinit yang terlihat ketika di analisis menjadi lebih buram dan yang akan terbaca menjadi lebih rendah karena terhalang oleh tingginya kandungan maseral alginit tersebut. Hal ini dikenal pula sebagai supresi. Oleh karena terjadinya supresi tersebut, maka untuk melakukan analisis kematangan pada Daerah Osram diperlukan adanya data kematangan lain, seperti Tmaks pirolisis, indeks alterasi termal, atau SCI (Spore Colour Index). 71

Gambar 4.5. Skema reflektansi vitrinit terhadap kedalaman pada sumur Osram-2 (modifikasi Laporan ARII, 1994). b) Tmaks pirolisis Tmaks merupakan temperatur pada saat laju maksimum pirolisis tercapai (puncak S2) yang dapat dijadikan sebagai indikator kematangan. Semakin meningkatnya kematangan, maka nilai Tmaks akan semakin meningkat pula. Harga Tmaks ini diperoleh bersamaan dengan data pirolisis lain pada saat melakukan analisis Rock-Eval. Tabel 4.2 sebagai berikut merupakan indikasi kematangan berdasarkan data Tmaks yang 72

digunakan dalam penelitian ini. Gambar 4.6 menunjukkan plot hubungan antaratmaks pirolisis terhadap kedalaman pada Sumur Osram-2. Tabel 4.2. Indikasi kematangan batuan induk berdasarkan Tmaks pirolisis Rock-Eval (Waples, 1985). Tmaks Pirolisis (ºC) Indikasi Kematangan <435 C 435-460 C 460-475 C >475 C Belum matang Pembentukan jendela minyak Pembentukan jendela gas Material-material induk sisa Gambar 4.6. Plot harga Tmaks pirolisis terhadap kedalaman pada Sumur Osram-2 (modifikasi Laporan ARII, 1994). 73

Berdasarkan hasil plot antara Tmaks pirolisis terhadap kedalaman, dengan mengasumsi bahwa kematangan dapat tercapai pada Tmaks pirolisis 435ºC (Waples, 1985), maka kematangan di Daerah Osram mulai tercapai pada kedalaman 6200 kaki atau tepatnya pada Formasi Baturaja bagian bawah. c) SCI dan TAI Indeks alterasi termal (TAI) dan Spore Color Index (SCI) merupakan salah satu indikator kematangan berdasarkan analisis perubahan warna palinomorf. Pada TAI, bertambahnya gelap partikel kerogen seiiring dengan bertambahnya kematangan termal dapat digunakan sebgai indikator kematangan (Waples, 1985). Sporopollenin ialah komponen utama pada komplek dinding bagian luar butiran polen dan spora. Dengan bertambahnya temperatur, maka warna sporopollenin akan berubah dari krem-kuning-orange-coklat-coklat gelap-hitam (Sengupta, 1975 dalam Laporan ARII, 1993). Komponen ini cukup sensitif terhadap panas dan oksidasi, untuk itu sangat baik untuk analisis kematangan. Gambar 4.7 merupakan plot hubungan antara data SCI dan TAI terhadap kedalaman pada Sumur Osram-2 berdasarkan laporan geokimia di daerah penelitian. Berdasarkan grafik hubungan antara SCI dan TAI terhadap kedalaman pada Sumur Osram-2 (Gambar 4.7), dapat ditunjukkan bahwa awal kematangan di Daerah Osram tercapai di kedalaman 6200 kaki. Hal ini sesuai dengan analisis kematangan sebelumnya berdasarkan data Tmaks pirolisis. Berdasarkan analisis kekayaan dan kematangan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan Formasi yang berpotensi paling baik sebagai batuan induk ialah Formasi Baturaja, Talang Akar, dan Jatibarang. 74

6200 Gambar 4.7. Skema SCI dan TAI terhadap kedalaman pada sumur Osram-2 (modifikasi Laporan ARII, 1994). Tipe Kerogen Lingkungan pengendapan dan paleoekologi dimana sedimen tersebut diendapkan merupakan faktor yang mengontrol tipe material organik yang hadir dalam batuan. Adanya pengaruh dari temperatur dan tekanan seiiring berjalannya waktu dapat mengubah material organik menjadi suatu fragmen yang lebih kecil yang dikenal sebagai humin dan selanjutnya mengalami transformasi menjadi kerogen. 75

Pembentukan kerogen tipe I, II, atau III pada dasarnya tergantung pada jenis asal material organik penyusun seperti ganggang, kayuan, plankton, polen, dan spora. Tipe kerogen yang berada pada batuan akan sangat mempengaruhi tipe hidrokarbon yang dihasilkan pada batuan tersebut. Hidrogen yang terkandung dalam kerogen meupakan faktor pengontrol untuk menghasilkan minyak dan gas dari reaksi pembentukan hidrokarbon primer. Tabel 4.3 menjelaskan komposisi pembentuk tipe kerogen menurut Waples (1985). Analisis tipe kerogen bertujuan untuk mengetahui kualitas material organik dan potensi batuan induk, yaitu apakah cenderung membentuk minyak, cenderung membentuk gas, atau bahkan potensinya diabaikan. Tipe I kerogen memiliki kualitas tertinggi, sedangkan tipe III terendah. Tipe I memiliki kandungan hidrogen yang cukup besar dibandingkan tipe II dan tipe III. Tipe kerogen pada batuan induk dapat diketahui dengan menganalisis kandungan indeks hidrogen (hydrogen index) (Tabel 4.4) atau dengan mengeplot hubungan data indeks hidrogen dan oksigen (HI dan OI) pada diagram van Krevelen (Gambar 4.8). Tabel 4.3. Komposisi kerogen (Waples, 1985 dalam Subroto, 2004). Berdasarkan Gambar 4.8, dapat ditunjukkan bahwa sampel batuan sedimen (berupa batuan inti (core) dan batuan inti samping (side wall core)) dari sumur Osram-2 dominan memiliki tipe kerogen I dan II yang cenderung menghasilkan minyak bumi 76

dengan sumber material organik dominan berupa alga lakustrin dan marin dengan sedikit campuran dari material darat. Kerogen* (Kualitas) Tabel 4.4. Tipe kerogen berdasarkan indeks hidrogen (Waples, 1985). Indeks Hidrogen I >600 II 300-600 II/III 200-300 III 50-200 IV <50 *Berdasarkan batuan induk yang belum matang Indikasi Batuan induk yang cenderung membentuk minyak Batuan induk yang cenderung membentuk minyak Batuan induk yang cenderung dapat menghasilkan minyak atau gas Batuan induk yang cenderung menghasilkan gas Material batuan induk yang buruk Gambar 4.8. Overlay grafik antara indeks oksigen (HI) terhadap indeks oksigen (OI) dengan modifikasi diagram van Krevelen. 77

Kitchen Kitchen merupakan suatu area dengan kondisi material organik yang cukup baik dan memiliki sumber panas sebagai media untuk kematangan batuan. Berdasarkan evaluasi batuan induk sebelumnya, maka dapat dibuat peta kitchen pada daerah penelitian di batas atas kedalaman 6200 kaki atau tepatnya pada Formasi Baturaja bagian bawah (Gambar 4.9). Gambar 4.9. Peta kitchen daerah penelitian pada peta struktur kedalaman Formasi Talang Akar. 78

4.3.2 Batuan Reservoir (Reservoir Rock) Batuan reservoir yang merupakan salah satu elemen dasar dalam sistem petroleum ialah ruang penyimpanan dalam perangkap (Biddle dan Wielchowsky dalam Selley, 1998). Suatu reservoir mesti memiliki beberapa porperti fisik seperti porositas dan permeabilitas yang baik. Batuan reservoir non-marin dapat terendapkan pada lingkungan fluvial, eolian, dan lakustrin. Sedangkan reservoir marin dapat terendapkan pada lingkungan deltaik, laut dangkal (shallow marine), dan laut dalam (deep marine). Batuan reservoir sedimen silisiklastik memiliki stratigrafi yang beragam dan heterogenitas terhadap berbagai jenis lingkungan pengendapan dimana batuan tersebut diendapkan. Reservoir hidrokarbon ini terbentuk pada kondisi lingkungan yang berkisar dari pasir (sand) hingga kerikil yang berasal kontinental aluvial hingga kipas laut dalam (deep marine fan). Akumulasi hidrokarbon dalam reservoir silisiklastik tersebut biasanya terperangkap baik secara struktur, maupun stratigrafi. Fokus batuan reservoir yang ada di daerah penelitian adalah batuan reservoir silisiklastik berupa batupasir, hal ini berdasarkan analisis litologi pada interval penelitian. Analisis batuan reservoir ini pada penelitian ini dilakukan atas dasar hasil korelasi, peta struktur kedalaman, peta ketebalan (isopach), dan, data petrofisik yang telah diolah sebelumnya. Berdasarkan hasil korelasi, dapat diketahui bahwa batupasir pada interval penelitian terdapat pada dua fasa system tract, yaitu HST dan TST. Dari korelasi berarah utara-selatan (Gambar 3.7), dapat ditunjukkan bahwa lapisan reservoir pada interval penelitian semakin menipis ke arah selatan. Hal ini didukung oleh data net to gross yang umumnya sekitar 0,09-0,15 di bagian utara dan di bagian selatan bernilai 0,07 dan 0,07. Sedangkan pada korelasi penampang berarah baratlaut-tenggara (Gambar 3.6), lapisan reservoir ini cenderung memiliki ketebalan yang relatif sama, hal ini didukung pula oleh data petrofisik berupa net to gross yang berkisar dari 0,09 hingga 0,15. Hasil petrofisik lainnya juga digunakan untuk mengetahui besar porositas pada interval penelitian umumnya berkisar dari 0,11 hingga 0,34. 79

Peta struktur kedalaman pada batas atas Interval Main memperlihatkan bahwa semakin ke arah selatan maka akan semakin menuju ke cekungan atau daerah dalaman dan berdasarkan peta ketebalan (isopach) maka interval penelitian terlihat semakin menebal ke arah selatan. Berdasarkan kedua peta tersebut, dapat diketahui bahwa arah pengendapan pada Daerah Osram ialah dari utara menuju ke selatan. Hal ini juga ditunjukkan dari penampang korelasi berarah utara-selatan (Gambar 3.7) yang semakin tebal menuju ke Sumur Osram-1 dan Osram-2 yang ada di bagian selatan daerah penelitian. Proses sedimentasi yang berlangsung pada daerah penelitian sesuai dengan analisis batuan reservoir tersebut, yaitu dari daerah tinggian yang berada di bagian utara menuju ke daerah dalaman di bagian selatan. Untuk itu, lapisan reservoir atau dalam hal ini ialah batupasir di bagian utara akan lebih baik dibandingkan dengan yang ada di bagian selatan daerah penelitian karena semakin ke selatan batuan yang diendapkan akan cenderung berukuran lebih halus daripada yang di bagian utara atau yang dekat dengan sumber sedimentasi. 4.3.3 Migrasi Migrasi merupakan pergerakan minyak dan gas di dalam bawah permukaan dari batuan induk (source rock) hingga ke batuan reservoir (reservoir rock). Proses migrasi dalam suatu sistem petroleum dibagi menjadi dua, yaitu migrasi primer (primary migration) dan migrasi sekunder (secondary migration). Migrasi primer merupakan fasa pertama pada proses migrasi. Migrasi primer ini melibatkan proses ekspulsi hidrokarbon dari batuan induk (source rock) berbutir halus dan permeabilitas rendah menuju ke carrier bed yang memiliki permeabilitas lebih tinggi. Sedangkan migrasi sekunder merupakan pergerakan minyak dan gas dalam carrier bed dan reservoir hingga ke perangkap (trap) atau seepages. Migrasi hidrokarbon dari area batuan induk aktif menuju ke perangkap membutuhkan saluran yang dapat melibatkan migrasi vertikal, seperti sepanjang rekahan atau sesar, atau migrasi lateral dalam reservoir dengan kualitas carrier bed. Migrasi lateral memerlukan baik carrier bed yang kontinu dan batuan tudung (seal) diatasnya. 80

Pada penelitian ini, proses migrasi diasumsikan mulai berlangsung ketika pembentuk hidrokarbon (minyak) tersebut tidak tertampung sehingga akhirnya mengalami ekspulsi menuju ke lapisan reservoir. Hal ini berada pada tahap puncak pembentukan minyak atau dikenal sebagai peak of oil generation. Untuk mengetahui waktu kematangan dari masing-masing formasi yang memiliki pontesi sebagai batuan induk, diperlukan kurva sejarah pembebanan (burial history). Penelitian ini menggunakan kurva sejarah pembebanan yang dibuat oleh Wahab dan Martono pada tahun 1985 berdasarkan satu dimensi sumur di Daerah Gantar, yaitu sebelah barat dari Sub-Cekungan Jatibarang (Gambar 4.10). Kurva tersebut mengukur kematangan berdasarkan TTI (time temperature index). TTI ini juga memberikan gambaran kematangan yang baik, hal ini dikarenakan kematangan merupakan fungsi dari temperatur dan waktu. Oleh karena itu, untuk mengetahui waktu migrasi pada daerah penelitian, perlu dilakukan analisis berdasarkan kurva sejarah pembebanan tersebut terhadap kematangan. Dengan asusmsi bahwa TTI 15 merupakan awal pembentukan minyak, TTI 75 merupakan puncak pembentukan minyak, dan TTI 160 merupakan akhir pembentukan minyak atau awal pembentukan gas basah (wet gas). Berdasarkan hasil analisis kurva sejarah pembebanan (Gambar 4.10), dengan asusmsi TTI 75 merupakan awal migrasi, maka dapat diketahui bahwa waktu migrasi Formasi Jatibarang berada pada umur Miosen Akhir, sedangkan migrasi dari Formasi Talang Akar berada pada umur Pliosen Awal. Setelah diperoleh peta kitchen (Gambar 4.9), maka berikutnya perlu dibuat peta jalur migrasi (orthocontour) berdasarkan hasil identifikasi daerah tutupan (closure) yang ada pada interval penelitian (Gambar 4.11). Formasi Talang Akar dan Baturaja memiliki peran sebagai batuan induk yang cukup baik dan memiliki kandungan material oragnik yang cukup agar dapat terbentuk dan bermigrasi pada saat puncak pembentukan minyak. Hidrokarbon yang terbentuk tersebut termigrasi secara vertikal di sepanjang bidang sesar menuju ke interval penelitian atau secara lateral pada tinggian-tinggian struktur (dan blok sesar yang terangkat/uplifted fault block). 81

Keterangan: : Awal Migrasi Formasi Jatibarang : Awal Migrasi Formasi Talang Akar Gambar 4.10. Kurva sejarah pembebanan pada sumur GTR-1 di Daerah Gantar. Inset: peta lokasi sumur GTR-1 di sebelah barat Sub-Cekungan Jatbarang (modifikasi Wahab dan Martono, 1985). Berdasarkan Gambar 4.9, dapat ditunjukkan bahwa hampir sebagian besar daerah penelitian berada pada area kitchen. Untuk itu, proses migrasi hidrokarbon menuju daerah tutupan yang berada pada area kitchen akan cenderung lebih mudah, dibandingkan dengan yang daerah tutupan yang tidak berada di area kitchen. Oleh 82

Keterangan: : Daerah tutupan : Arah migrasi Gambar 4.11. Peta jalur migrasi hidrokarbon pada peta struktur kedalaman batas atas Interval Main. 83