TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus Klasifikasi dan tata nama

dokumen-dokumen yang mirip
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata)

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

3. METODE PENELITIAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

II. TINJAUAN PUSTAKA

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012)

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.47/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA MERAH NILASA

3. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh.

3. METODE PENELITIAN

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang Klasifikasi dan deskripsi

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) Sumber: (a) dokumentasi pribadi; (b)

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

Aspek biologi reproduksi ikan layur, Trichiurus lepturus Linnaeus 1758 di Palabuhanratu

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

POLA PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus moluccensis Bleeker, 1855) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, JAKARTA UTARA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) (Dokumentasi pribadi)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TINJAUAN PUSTAKA. jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depth

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

Uji Organoleptik Ikan Mujair

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ASPEK REPRODUKSI IKAN KAPASAN (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT

Transkripsi:

3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut Richardson (1846) in Starnes (1988) taksonomi ikan swanggi Priacanthus tayenus (Gambar 1) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Percoidei Famili : Priacanthidae Genus : Priacanthus Spesies : Priacanthus tayenus Nama FAO : Purple-spotted bigeye Nama Lokal : Ikan Swanggi, Ikan Raja Gantang, Ikan Mata Goyang, Ikan Mata Besar Gambar 1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus, Richardson 1846) Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) atau yang dikenal dengan nama bigeye bullseye merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang memiliki potensi besar dalam mendukung pemenuhan kebutuhan pangan. Menurut Sivakami et al. (2001) ikan swanggi pada awalnya bukan merupakan ikan hasil tangkapan utama, namun

4 belakangan banyak didaratkan di pelabuhan perikanan sebagai salah satu hasil tangkapan yang bersifat komersial. CMFRI (1991) menyatakan bahwa kandungan gizi yang tinggi mengakibatkan permintaan akan ikan swanggi meningkat dan menjadikan ikan ini sebagai ikan komoditas ekspor. 2.1.2. Karakter biologi Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) merupakan ikan karang demersal dari famili Priacanthidae. Karakteristik ikan swanggi adalah mata besar dengan lapisan pemantul cahaya (Reflektif layer), memiliki sisik kasar (Powell 2000), dan bersifat diurnal (Gollani et al. 2011), badan agak tinggi, memanjang, dan tipis secara lateral, memiliki gigi kecil, dan panjang total maksimum mencapai 35 cm (FAO 1999). Tulang saring insang pada lengkung insang pertama berjumlah 21-24. Duri sirip punggung terdiri dari 10 jari-jari keras dan 11-13 jari- jari lemah. Duri sirip ekor terdiri dari 3 jari-jari keras dan 12-14 jari- jari lemah. Jari sirip dada berjumlah 17-19 jari-jari lemah. Sisik-sisik menutupi bagian badan, kepala, dan dasar sirip ekor (FAO 1999). Warna tubuh, kepala, dan iris mata adalah putih kemerah-merahan atau putih keperak-perakan, sirip berwarna merah muda, sedangkan ciri utama yang menjadi pembeda terhadap jenis Priacanthus lainnya adalah ikan swanggi (Priacanthus tayenus) memiliki sirip perut dengan bintik kecil ungu kehitamhitaman dalam membran dengan 1 atau 2 titik besar yang berada di dekat perut (FAO 1999). 2.1.3. Distribusi Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) merupakan ikan predator epibenthic (Starnes 1988 in Powell 2000) yang hidup di perairan pantai diantara bebatuan karang dan area terbuka pada kedalaman 20-200 m (FAO 1999). Ikan Priacanthidae tidak memiliki wilayah ruaya yang jauh misalnya Priacanthus saggitarius yang memiliki daerah ruaya hanya disekitar perairan Laut Merah (Golani et al. 2011). Demikian juga dengan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) yang terdapat di wilayah perairan Selat Sunda hanya memiliki ruaya di sekitar perairan tersebut saja. Ruaya ikan swanggi dapat berupa ruaya pemijahan ke daerah pesisir pantai, maupun ruaya pembesaran dan makanan di wilayah karang.

5 Distribusi ikan swanggi di dunia meliputi wilayah pesisir utara Samudera Hindia dari Teluk Persia bagian Timur serta wilayah Pasifik Barat dari Australia bagian Utara dan Pulau Solomon bagian utara sampai Provinsi Taiwan di China (FAO 1999). 2.2. Alat Tangkap 2.2.1. Jaring insang dasar (bottom gillnet) Jaring insang dasar (bottom gillnet) yaitu alat tangkap yang terbuat dari bahan jaring, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring yang sama atau dapat dikatakan bersifat selektif. Ukuran per pieces yaitu panjang 50 m sebelum diikat dan 37.50 m setelah diikat, lebar 2.94 m sebelum diikat dan 1.94 m setelah diikat. Kapal bottom gillnet termasuk ke dalam kelompok kapal dengan metode pengoperasian static gear. Ada dua jenis kapal yang digunakan dalam pengoperasian bottom gillnet, yaitu motor tempel (12-25 PK), dan kedua adalah motor dalam (6,5-18 PK) (Subani & Barus 1989). 2.2.2. Cantrang Cantrang dapat diklasifikasikan menurut cara pengoperasiannya, bentuk konstruksi, dan fungsinya. Cantrang mempunyai banyak kemiripan dengan pukat harimau. Menurut Subani & Barus (1989) cantrang, dogol, dan payang diklasifikasikan ke dalam alat tangkap Danish Seine berbentuk panjang dan digunakan untuk menangkap ikan-ikan demersal terutama udang-udangan. Daerah penangkapan (fishing ground) cantrang tidak jauh dari pantai. Berdasarkan Budiman (2006) alat tangkap cantrang bersifat non selektif karena memiliki kaki jaring dengan ukuran mata jaring yang berbeda-beda. Alat tangkap cantrang dioperasikan dengan kapal berukuran 8.50 11 m x 1.50 2.50 m x 1 1.50 m dengan kekuatan mesin 18 27 PK. 2.3. Aspek Biologi Reproduksi 2.3.1. Faktor kondisi Faktor kondisi adalah suatu keadaan yang menyatakan kemontokan ikan (Lagler 1961 in Effendie 1979). Penentuan faktor kondisi dilakukan untuk mendeteksi perubahan yang terjadi secara mendadak di suatu perairan yang

6 mempengaruhi kondisi ikan. Apabila faktor kondisi kurang baik dapat diindikasikan bahwa populasi terlalu padat, atau sebaliknya jika kondisi baik hal tersebut memungkinkan terjadi pengurangan populasi sehingga menyebabkan meningkatnya ketersediaan makanan (Effendie 1979). Faktor kondisi dapat mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain indeks relatif penting makanan (IP) dan indeks kematangan gonad (IKG). Berdasarkan Effendie (2002) peningkatan faktor kondisi dapat berhubungan dengan perubahan makanan ikan yang berasal dari ikan pemakan plankton menjadi ikan karnivora. Selain itu, khususnya pada ikan betina faktor kondisi yang tinggi dikarenakan ikan sedang mengisi gonadnya dengan cell sex dan mencapai puncak sebelum pemijahan selanjutnya energi yang diperoleh digunakan untuk pertumbuhan, maka IKG tinggi dapat mengindikasikan musim pemijahan (Harahap & Djamali 2005 in Triana 2011), namun pada saat makanan berkurang cadangan lemak digunakan oleh ikan sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga mengakibatkan penurunan faktor kondisi. 2.3.2. Nisbah kelamin Nisbah kelamin didefinisikan sebagai perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi (Effendie 2002). Suatu populasi ideal memiliki proporsi kelamin 1:1 artinya proporsi jantan sebanding dengan proporsi betina dengan persentase 50% jantan dan 50% betina (Ball & Rao 1984 in Adisti 2010). Nisbah kelamin bervariasi menurut jenis ikan di dalam kelompok umur dan ukuran, sehingga dapat mencerminkan hubungan antara jenis ikan tersebut dengan lingkungannya (Sulistiono et al. 2001a). Rahardjo (2006) menyatakan bahwa nisbah kelamin di daerah tropis seperti Indonesia bersifat variatif dan menyimpang dari 1:1. Kondisi ideal tersebut sering menyimpang kerena beberapa faktor, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Menurut Effendie (2002) faktor eksternal berupa ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan sedangkan faktor internal berupa tingkah laku ikan itu sendiri, perbedaan laju mortalitas, dan pertumbuhannya. Perbedaan jumlah ikan jantan dan betina yang tertangkap berkaitan dengan pola tingkah laku ruaya ikan, baik untuk memijah maupun mencari makan, pada

7 waktu melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina (Sulistiono et al. 2001b). Sebab menurut Nikolsky (1963) ikan betina lebih aktif mencari makanan untuk menutrisi tubuhnya agar perkembangan gonad dapat berkembang dengan baik dan menghasilkan telur yang baik pula. Namun pada suatu kondisi, intensitas ruaya dapat berkurang jika terjadi heterogenitas lingkungan sehingga yang terjadi adalah optimalisasi habitat (Jennings et al. 2001). Kelestarian suatu populasi dapat dipertahankan jika rasio antara ikan jantan dengan betina adalah sama atau ikan betina lebih banyak jumlahnya di perairan (Purwanto et al. 1986 in Sulistiono et al. 2001b). Sebab menurut Saputra et al. (2009) keseimbangan perbandingan jumlah individu antara jantan dan betina akan mengakibatkan peluang pembuahan sel telur oleh spermatozoa sampai menjadi individu baru akan semakin besar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) selama periode pengambilan contoh yang dilakukan dari bulan Januari sampai dengan Desember tahun 1996 sampai dengan 1999 diketahui bahwa dominasi Priacanthus hamrur betina melimpah pada setiap bulan pengambilan contoh kecuali April, Juli, dan Desember, sedangkan berdasarkan Premalatha (1997) nisbah kelamin dari ikan Priacanthus hamrur di pantai barat daya India didominasi oleh ikan betina setiap bulannya, kecuali Juli. 2.3.3. Tingkat kematangan gonad Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie 2002). Tingkat Kematangan Gonad ini diperlukan untuk beberapa tujuan antara lain menentukan perbandingan antara ikan yang masak gonadnya dengan yang belum dari stok yang di perairan, ukuran ikan matang gonad, waktu pemijahan, lama saat pemijahan, jumlah pemijahan dalam satu tahun dan sebagainya (Effendie 1979). Misalnya, ikan Priacanthus hamrur dewasa yang diteliti umumnya sekitar 80% telah matang gonad selama periode pengamatan bulan Maret sampai dengan April (Premalatha 1997). Tingkat kematangan gonad pada tiap waktu akan bervariasi, yang tertinggi umumnya didapatkan pada saat pemijahan akan tiba dan saat musim penghujan. Sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Pertambahan

8 gonad untuk ikan betina sekitar 5-10% dari bobot tubuh sedangkan ikan jantan sekitar 10-25% dari bobot tubuh (Effendie 2002). Persentase komposisi tingkat kematangan gonad pada setiap saat dapat digunakan untuk menduga waktu pemijahan. Ikan yang mempunyai satu musim pemijahan yang pendek dalam satu tahun akan memiliki persentase tingkat kematangan gonad yang tinggi pada setiap akan mendekati musim pemijahan, sedangkan ikan yang mempunyai musim pemijahan sepanjang tahun pada setiap pengambilan contoh akan memiliki persentase komposisi tingkat kematangan gonad yang tidak sama (Effendie 2002). Tingkat kematangan gonad memiliki hubungan dengan garis tengah telur, maupun waktu. Menurut Effendie (1979) semakin meningkat kematangan gonad, maka garis tengah telur yang ada dalam ovarium semakin besar pula. Menurut Keown & Brian (1984) perubahan kematangan gonad pada setiap spesies ikan berbeda-beda, hal tersebut sebanding dengan perubahan morfologi, tingkah laku maupun fisiologi ikan tersebut. Oleh karena itu menurut Yustina & Arnentis (2002) ikan dengan panjang dan bobot yang sama belum tentu mempunyai Tingkat Kematangan Gonad (TKG) yang sama. Ruaya pemijahan (spawning migration) terjadi lebih dahulu daripada kematangan gonadnya namun umumnya perkembangan secara seksual terjadi selama fase migrasi tersebut. Sistem endrokin memiliki peranan utama dalam kontrol secara fisiologi dan didukung oleh perubahan yang terjadi pada lingkungan (Keown & Brian 1984). Semakin tinggi TKG maka panjang dan bobot tubuhpun semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup (Yustina & Arnentis 2002). Berdasarkan Sivakami et al. (2001) in Sivakami et al. (2005) puncak rekruitmen Priacanthus hamrur terdapat pada bulan Mei dan Juni, sehingga pada bulan tersebut terdapat ikan-ikan baru di di daerah penangkapan yang sedang mengalami fase pematangan gonad. 2.3.4. Indeks kematangan gonad Indeks kematangan gonad (IKG) yaitu nilai dalam % (persen) sebagai hasil perbandingan bobot gonad dengan bobot tubuh ikan. Ikan betina pada umumnya memiliki IKG yang lebih besar daripada ikan jantan. IKG dapat digunakan untuk menduga musim pemijahan (Lio & Chang 2011).

9 Sejalan dengan pertumbuhan gonad, maka gonad yang dihasilkan akan semakin bertambah besar dan berat hingga batas maksimum ketika terjadi pemijahan (Effendie 2002), semakin bertambah panjang dan bobot tubuh maka TKG semakin besar, IKG meningkat dan fekunditas semakin besar (Yustina & Arnentis 2002). Indeks Kematangan Gonad (IKG) yang besarnya kurang dari 20% mengindikasikan bahwa ikan tersebut dapat memijah lebih dari satu kali setiap tahun (Pulungan et al. 1987 in Yustina & Arnentis 2002), dan ikan yang hidup di perairan tropis dapat memijah sepanjang tahun dengan IKG lebih kecil saat ikan tersebut matang gonad (Pulungan et al. 1994 in Yustina & Arnentis 2002). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) di India terhadap ikan satu genus Priacantus tayenus yaitu Priacanthus hamrur diketahui bahwa Indeks Kematangan Gonad (IKG) bernilai maksimum terdapat pada bulan Juni 3.07% untuk jantan dan 4.01% untuk betina. 2.3.5. Ukuran pertama kali matang gonad Ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu bagian penting dalam siklus reproduksi. Ikan dengan spesies sama dan tersebar pada lintang yang perbedaannya lebih dari lima derajat memiliki ukuran pertama kali matang gonad yang berbeda-beda (Effendie 2002). Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti pendugaan saat ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad dapat digunakan sebagai indikator ketersediaan stok reproduktif (Budimawan et al. 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertama kali matang gonad terdiri dari dua faktor yaitu yang bersifat eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu hubungan antara lamanya terang dan gelap (photoperiodicity), suhu, dan arus. Faktor internal yaitu perbedaan spesies, umur dan ukuran serta sifat-sifat fisiologis ikan tersebut seperti kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya (Novitriana et al. 2004). Menurut Sulistiono et al. (2001b) perbedaan umur pertama kali matang gonad antara jantan dengan betina dapat diakibatkan oleh parameter pertumbuhan yang berbeda sehingga dalam satu kelas umur dapat terjadi perbedaan umur matang gonad. Selain itu semakin tinggi intensitas penangkapan setiap bulannya mengakibatkan ikan-ikan

10 yang belum saatnya matang gonad akan mengalami matang gonad lebih awal (Jennings et al. 2001). Berdasarkan Sivakami et al. (2001) pada spesies satu genus dari Priacanthus tayenus yaitu Priacanthus hamrur yang diteliti disepanjang pantai India, diketahui bahwa umur ikan tersebut matang gonad pertama kali untuk ikan jantan sebanyak 53.50% berada pada selang kelas panjang 171-180 mm dan sebesar 58% berada pada selang kelas panjang 181-190 mm, sedangkan pada ikan betina diketahui umur ikan matang gonad pertama kali sebesar 47.57% berada pada selang kelas panjang 182-190 mm dan sekitar 50% berada pada selang kelas panjang 191-200 mm. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Premalatha pada tahun 1994 sampai 1996 di sepanjang pantai barat daya India ikan Priacanthus hamrur yang matang gonad memilki ukuran panjang rata-rata 175 mm untuk jantan dan 190 mm untuk betina. 2.3.6. Waktu pemijahan Perkembangan diameter telur semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kematangan gonad saat mendekati pemijahan (Suhono 2005). Waktu pemijahan ikan yang pendek ditunjukkan dari ovarium ikan yang mengandung telur ikan masak berukuran sama dan sebaliknya waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus diketahui dari ukuran telur ikan yang berbeda di dalam ovarium (Hoar 1957 in Suhono 2005). Menurut Sivakami et al. (2001) ikan Priacanthus hamrur yang diteliti disepanjang pantai India yaitu di wilayah Cochin mengalami musim pemijahan pada bulan April sampai Juli, dengan dominasi ikan yang ditemukan adalah ikan betina, sedangkan ikan Priacanthus macracanthus memiliki musim pemijahan pada bulan November sampai Februari. 2.3.7. Fekunditas Fekunditas adalah jumlah telur yang potensial dihasilkan didalam ovarium ikan pada suatu siklus reproduksi. Jumlah telur yang diproduksi dapat bervariasi (Hartman & Northcote 2004). Analisis fekunditas diperlukan untuk mengestimasi kelimpahan telur tahunan dan deskripsi life history (Jennnings et al. 2001). Variasi fekunditas dipengaruhi beberapa faktor antara lain kondisi lingkungan (Brojo et al. 2001), seperti makanan dan ukuran ikan (Yustina & Arnentis 2002).

11 Ikan yang hidup pada habitat dengan ancaman predator yang tinggi akan memiliki fekunditas tinggi sebagai bentuk upaya untuk mempertahankan regenerasi keturunannya, sedangkan ikan yang hidup di habitat yang sedikit predator maka telur yang dikeluarkan akan sedikit atau fekunditas rendah (Sjafei et al. 1993) in Novitriana et al. (2004). Warjono (1990) mengemukakan bahwa variasi fekunditas disebabkan oleh adanya kelompok ikan yang baru memijah dan sudah memijah, sehingga produksi telur cenderung lebih tinggi daripada ikan yang baru memijah. Selain itu, variasi fekunditas tersebut juga disebabkan adanya penyebaran produksi telur yang tidak merata. Sedangkan Nikolsky (1969) in Effendie (2002) menyatakan bahwa faktorfaktor yang dapat mempengaruhi fekunditas yaitu : (1) Kelompok umur atau ukuran yang menyebabkan fekunditas berfluktuasi, fekunditas relatif maksimum terjadi pada golongan ikan muda sedangkan ikan tua kadang-kadang tidak memijah sepanjang tahun. (2) Perbedaan makanan dan respon terhadap perbaikan makanan. (3) Pertumbuhan individu yang mengakibatkan fekunditas meningkat karena kematangan gonad yang lebih awal dari individu yang tumbuh lebih cepat. (4) Kandungan makanan dan predator. (5) Kondisi lingkungan, yaitu ikan yang bersifat migran memiliki fekunditas yang lebih tinggi dibandingkan ikan yang tidak beruaya. Fekunditas dibagi menjadi beberapa definisi antara lain fekunditas total dan fekunditas relatif. Fekunditas total adalah jumlah telur dari generasi tahun tersebut yang akan dikeluarkan tahun itu pula, sedangkan fekunditas relatif adalah jumlah telur per satuan bobot atau panjang (Effendie 2002). Jika dilakukan pendugaan hubungan antara fekunditas dengan panjang maupun bobot dapat dihasilkan dua kemungkinan yaitu koefisien korelasi positif yang kuat maupun yang rendah. Berdasarkan Dennison & Bulkley (1972) in Effendie (2002) rendahnya korelasi disebabkan oleh batas kisar yang ekstrim dari fekunditas pada ukuran yang sama serta menurut penelitian yang dilakukan oleh Batts (1972) in Effendie (2002) terhadap spesies Katsuwonus pelamis r (koefisien korelasi) yang rendah menunjukkan fekunditas yang bervariasi pada ukuran panjang yang sama. Nilai koefisien kolerasi yang rendah diduga karena model-model yang

12 digunakan tidak sesuai untuk menjelaskan hubungan fekunditas dengan panjang (Senta & Tan 1975 in Brojo & Sari 2002); (Rahardjo 2006). Oleh karena itu menurut Brojo et al. (2001) jika nilai koefisien keeratan rendah maka dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan erat antara fekunditas dengan panjang maupun dengan bobot. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sivakami et al. (2001) di sepanjang pantai India dari tahun 1996 sampai 1999 fekunditas Priacanthidae berkisar pada 155.800 722.313 butir. Serta berdasarkan Premalatha (1997) di pantai barat daya India fekunditas ikan Priacanthus dari spesies Priacanthus macracanthus rata-rata adalah 109.411 butir. 2.3.8. Pola pemijahan Pola pemijahan untuk setiap spesies ikan berbeda-beda. Pemijahan yang berlangsung dalam waktu singkat disebut pemijahan total (total spawner) sedangkan pemijahan yang berlangsung dalam waktu yang panjang disebut dengan pemijahan sebagian (partial spawner) (Effendie 2002). Menurut Phrabu (1959) in Effendie (2002) pemijahan pada spesies yang periodik dibagi menjadi empat macam pola pemijahan. Tipe A yaitu pemijahan hanya berlangsung satu kali dalam satu tahun dan dalam waktu yang pendek. Kelompok telur yang matang dalam ovari dapat dibedakan dalam kelompok telur stok. Tipe B dicirikan dengan pemijahan hanya berlangsung selama satu kali dalam setahun dalam waktu lama, lebih lama dari tipe A. Tipe C yaitu pemijahan berlangsung selama dua kali setahun, dan Tipe D yaitu pemijahan sepanjang tahun namun terputus-putus. Sivakami et al. (2001) memperlihatkan bahwa ikan Priacanthidae yaitu Priacanthus hamrur merupakan ikan yang memiliki pola pemijahan terputus-putus. De Jong (1940) in Effendie (2002) mengemukakan bahwa untuk pemijahan yang bersifat sebagian sebelum terjadi pemijahan didapatkan dua kelompok telur yang berpisah. Sesudah berpijah didapatkan selain kelompok stok telur yang umum ada pula sekelompok telur yang berukuran lebih besar yang sedang mengalami tahap pematangan dan akan dikeluarkan dalam pemijahan berikutnya. Berdasarkan Sivakami et al. (2001) ikan Priacanthus hamrur yang diteliti disepanjang pantai India yaitu di wilayah Cochin diketahui bahwa terdapat dua ukuran telur, dan bentuk pemijahan adalah pemijahan sebagian sehingga masa

13 pemijahannya dikategorikan masa pemijahan yang panjang atau lama, sedangkan ikan Priacanthus macracanthus yang diteliti memiliki masa pemijahan yang pendek atau singkat, hal ini diperlihatkan dengan ditemukannya satu ukuran telur atau dapat dikategorikan kedalam bentuk pemijahan total. 2.3.9. Potensi reproduksi Potensi reproduksi dapat diduga berdasarkan fekunditas (Effendie 2002). Pendugaan besar ataupun kecilnya fekunditas dapat dipengaruhi oleh ukuran diameter telur. Diameter telur berukuran 0.6-1.1 mm memiliki fekunditas berkisar 100.000-300.000 butir, dan dapat dikatakan memiliki fekunditas besar. Maka semakin banyak fekunditas yang dihasilkan dapat diprediksi potensi reproduksi dari suatu spesies semakin besar (Yustina & Arnentis 2002). 2.4. Karakteristik perairan Selat Sunda Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang unik karena dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudera Hindia dan sifat perairan dangkal Laut Jawa. Keberadaan Gunung Krakatau berpengaruh terhadap material pirokiastik. Topografi dasar laut Selat Sunda dengan sifat alamnya akan memberikan karakteristik jenis ikan yang hidup di dalamnya. Kondisi perairan sekitar Selat Sunda di Pasauran, Kabupaten Serang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kondisi fisik lingkungan disekitar perairan Selat Sunda Parameter Kisaran Keterangan Suhu 27-31 o C Umumnya 29 o C atau lebih Kecepatan arus air 3-25 m/menit Umumnya kurang dari 15 m/menit Salinitas 29-31 o / oo Umumnya 30 o / oo Kecerahan 3.50-13.0 m Kedalaman maksimum sechi disk dapat Sumber :Yusfiandani (2004) terlihat dari permukaan. Umumnya adalah 6-10 m. 2.5. Pengaruh Lingkungan Dalam Reproduksi Ikan Tujuan dari reproduksi adalah untuk keberlangsungan kehidupan individu maupun populasi. Oleh karena itu salah satu faktor utama agar terjadi keberlangsungan tersebut adalah kesesuaian lingkungan yang mendukung proses

14 reproduksi. Faktor lingkungan yang dimaksud adalah ketersediaan makanan dan kemampuan untuk menghasilkan energi saat ikan berada dalam fase menuju tahap kematangan gonad. Menurut Taylor & Francis (2009) reproduksi merupakan tahap yang kritis, maka tahap pematangan gonad merupakan sebuah proses yang kompleks bahwa pemijahan yang terjadi pada suatu musim tertentu harus memiliki ketersediaan makanan yang cukup sampai tahap pemijahan selesai. Selain ketersediaan makanan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap reproduksi ikan adalah lama pencahayaan, suhu, curah hujan, arus dan tekanan. Peningkatan kematangan gonad dipengaruhi kenaikan suhu yaitu suhu meningkat mempengaruhi perkembangan gonad, sedangkan pada suhu rendah gonad sulit berkembang. 2.6. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Menurut FAO (1995) in Sondita (2010), pengelolaan perikanan adalah suatu proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturanaturan di bidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Tujuan tersebut antara lain melestarikan sumberdaya hayati ikan dengan menjaga produktivitas sumberdaya hayati, dan memastikan keberadaan sumberdaya ikan karena kegiatan perikanan yang muncul sebagai akibat adanya sumberdaya ikan tersebut. Sutono (2003) menyebutkan beberapa pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu: (1) Pengaturan musim penangkapan Pengaturan musim penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya ikan untuk berkembang biak. Maka dibutuhkan pengetahuan tentang sifat biologi ikan misalnya pola reproduksi dan musim pemijahan. (2) Penutupan daerah penangkapan Penutupan daerah penangkapan dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada sumberdaya ikan yang mendekati kepunahan untuk berkembang kembali sehingga stoknya dapat bertambah. Penutupan daerah penangkapan dapat dilakukan terhadap daerah daerah yang merupakan habitat vital, yaitu lokasi

15 penting dari beberapa siklus hidup ikan antara lain daerah berpijah (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground). (3) Selektifitas alat tangkap Pendekatan selektifitas alat tangkap bertujuan untuk mempertahankan struktur umur atau ukuran ikan dalam suatu stok pada suatu daerah. (4) Pelarangan alat tangkap Pendekatan pelarangan alat tangkap didasarkan pada adanya penggunaan bahan atau alat berbahaya dalam menangkap ikan baik bagi ekosistem perairan maupun berbahaya bagi yang menggunakan. (5) Kuota penangkapan Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan kuota penangkapan adalah upaya pembatasan jumlah ikan yang boleh ditangkap (JTB). (6) Pengendalian upaya penangkapan Pendekatan pengendalian upaya penangkapan didasarkan pada hasil tangkapan maksimum agar dapat menjamin kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Pengendalian upaya penangkapan dapat dilakukan dengan membatasi jumlah alat tangkap, jumlah armada, maupun jumlah trip penangkapan. Maka dalam menentukan batas upaya penangkapan diperlukan data time series yang akurat tentang jumlah hasil tangkapan suatu jenis ikan dan jumlah upaya penangkapannya di suatu daerah penangkapan. Mekanisme pengendalian upaya penangkapan yang paling efektif adalah dengan membatasi izin usaha penangkapan ikan pada suatu daerah penangkapan.