NOTULENSI DISKUSI PHARM-C

dokumen-dokumen yang mirip
Telaah Kritis Penelitian Farmakoekonomi. Dra. Yulia Trisna, Apt., M.Pharm

COST EFFECTIVE ANALYSIS DALAM PEMILIHAN BARANG FARMASI. Oleh: Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS

NOTULENSI DISKUSI PHARM-C. Hari, tanggal : Sabtu, 23 Juli 2017 : WIB Tempat : Online (LINE Grup Pharm-C Kloter 1)

BAB I PENDAHULUAN. orang yang dijamin dalam Undang Undang Dasar

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIDIABETIK ORAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN PESERTA BPJS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR

EVALUASI EKONOMI PADA PELAYANAN KESEHATAN

PERTIMBANGAN FARMAKOEKONOMIK PADA PEMILIHAN TERAPI

BAB I. PENDAHULUAN. Pada tahun 2012, diperkirakan sebanyak 17,5 juta orang di dunia

olahraga secara teratur, diet pada pasien obesitas, menjaga pola makan, berhenti merokok dan mengurangi asupan garam (Tedjasukmana, 2012).

CURICULUM VITAE. : Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt.,MARS Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 20 September :

BAB III METODE PENELITIAN

EKONOMI KESEHATAN (HEALTH ECONOMICS) )

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI KOMBINASI DUA OBAT PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

ANALISIS EFEKTIVITAS-BIAYA AMLODIPIN DIBANDINGKAN NIFEDIPIN PADA PASIEN HIPERTENSI DI PUSKESMAS JAGIR SURABAYA LINDA INDRIANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia yang kondisi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING...ii. HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI...iii. HALAMAN PERNYATAAN...iv. KATA PENGANTAR...v

BAB I PENDAHULUAN. 90 mmhg.penyakit hipertensi telah menjadi masalah utama dalam masyarakat

ANALISIS EFFEKTIVITAS BIAYA PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN PESERTA ASURANSI KESEHATAN DI RUMAH SAKIT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian. promotif dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang

ANALISIS EFEKTIVITAS-BIAYA LISINOPRIL DIBANDINGKAN CAPTOPRIL PADA PASIEN HIPERTENSI DENGAN DIABETES MELITUS DI PUSKESMAS JAGIR SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang

ANALISIS BIAYA DAN EFEKTIVITAS TERAPI ASMA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

WORKSHOP. DISAMPAIKAN OLEH TIM Dr. Dra Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS Dra Yuri Pertamasari, Apt., MARS

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gagal jantung adalah tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan

Cost Effectiveness Analysis (CEA) Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

NOTULENSI DISKUSI PHARM-C

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyakit yang merusak nefron ginjal (Price dan Wilson, 2006).

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Perwujudan komitmen tentang

darah. Kerusakan glomerulus menyebabkan protein (albumin) dapat melewati glomerulus sehingga ditemukan dalam urin yang disebut mikroalbuminuria (Ritz

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut World Health Organization tahun 2011 stroke merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gaya hidup, mental, emosional dan lingkungan. Dimana perubahan tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan terhadap pemuas kebutuhan manusia semakin meningkat dan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktiftas pelayanan kesehatan baru dimulai pada akhir abad ke -19,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah

REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN Jaminan Kesehatan Nasional. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden yang digunakan untuk uji validitas sebanyak 30 tenaga

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. baik di negara maju maupun di negara berkembang. World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. melalui upaya peningkatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),

[ ] Peranan Farmakoekonomi dalam Penentuan Kebijakan yang Berkaitan dengan Obat-Obatan

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan berbagai faktor seperti perubahan pola penyakit dan pola pengobatan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. serta adanya gangguan fungsi psikososial (Sukandar dkk., 2013). Skizofrenia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS BIAYA DAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akhir-akhir ini prevalensinya meningkat. Beberapa penelitian epidemiologi

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, dan aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek ini saling berkaitan satu dengan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. meningkatnya potensi risiko untuk menderita penyakit kronis seperti diabetes

Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Ekonomi untuk Kesehatan. Heni Wahyuni FEB UGM

ANALISIS EFEKTIVITAS-BIAYA LISINOPRIL DIBANDINGKAN CAPTOPRIL PADA PASIEN HIPERTENSI DI PUSKESMAS JAGIR SURABAYA

BAB 1 PENDAHULUAN. cerebrovascular disease (CVD) yang membutuhkan pertolongan dan penanganan

Kebijakan Umum Prioritas Manfaat JKN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke menjadi masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian khusus.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan dengan berbasis

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SOP. KOTA dr. Lolita Riamawati NIP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh pasien, serta kondisi ekonomi dan finansial dari pasien, yang

Stara I pada K

Peran Farmakoekonomi dalam Penentuan Kebijakan yang Berkaitan dengan Obat-Obatan

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi terutama dalam proses penyembuhan penyakit atau kuratif (Isnaini,

BAB I PENDAHULUAN. Universal Health Coverage (UHC) yang telah disepakati oleh World

BAB I PENDAHULUAN. profesi medik disini adalah mencakup Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. jantung. Prevalensi juga akan meningkat karena pertambahan umur baik lakilaki

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya

PENGEMBANGAN MODEL DAN APLIKASI UNTUK PENGUKURAN KUALITAS HIDUP PENDERITA KANKER PAYUDARA OPERABLE DI RS KANKER DHARMAIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jumpai. Peningkatan tekanan arteri dapat mengakibatkan perubahan patologis

a OLEH: WINDA TRIANI NIM

Outline. Kondisi apoteker Indonesia saat ini. Menjadi Pharmapreneur. Esensi dasar BPJS. Sukses di era JKN

BAB I PENDAHULUAN. Asia, khususnya di Indonesia, setiap tahun diperkirakan 500 ribu orang

I. PENDAHULUAN. dilakukan rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu dua kali kontrol (Chobanian,

SKRIPSI. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian

Jumlah Pemenuhan dan Pola Penggunaan Obat Program Rujuk Balik di Apotek Wilayah Gedebage Kota Bandung

GAMBARAN PENGOBATAN DAN ANALISIS BIAYA TERAPI PADA PASIEN STROKE NON HEMORAGIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2011

JEMBER PERIODE 2012 SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dalam perkembangan selanjutnya berada di bawah control hormone-hormon

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Penelitian

(GSI), safe motherhood, program Jaminan Persalinan (Jampersal) hingga program

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta

Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI

Transkripsi:

NOTULENSI DISKUSI PHARM-C Hari, tanggal : Sabtu, 8 Juli 2017 Waktu : 19.00-22.00 WIB Tempat : Online (LINE Grup Pharm-C Kloter 1) Pembicara : David Wijaya Tema Diskusi : Pharmacoeconomy in ART : The Importance of Gonadotrophin Choice Jurnal dapat di akses pada bit.ly/diskusipharmc1 Moderator : Rosikh Ruhul Notulis : Hudiya Syadida Time Keeper : Ardhea Pramesti Jumlah Peserta : 30 orang Pokok Bahasan : 1. Pemaparan materi diskusi 2. Diskusi (2 termin) Isi Pemaparan Materi : Farmakoekonomi meupakan perpaduan ilmu farmasi dan ekonomi. Ilmu ini merupakan dasar awal seorang pharmacist bertindak sebagai decision maker, contoh singkatnya ketika kita menentukan

pengobatan atau perlakuan pengobatan yang akan kita tetapkan dengan didasari prinsip-prinsip ekonomi, selain itu seorang pharmacist juga memiliki andil dalam menentukan dan mengatur kebijakan obat yang rasional untuk digunakan dalam suatu negara khususnya saat ini Indonesia yang sedang menghadapi era JKN. Prosentase anggaran yang dikeluarkan dari pemerintah untuk tanggungan kesehatan yakni pemerintahan Amerika sebesar 16,9% dari GDP nya. GDP sendiri dapat diartikan sebagai total nilai penjualan barang dan jasa oleh negara dalam satu tahun, Indonesia tertinggal jauh yakni sebesar 3%. Menurut WHO normalnya suatu Negara mengaggarkan dana kesehatan sebesar 9,933% dari GDP, hal ini dapat menjawab pertanyaan yang cukup umum yakni mengapa pengobatan di Singapura lebih baik dibandingkan Indonesia? bukan hanya karena alasannya tekhnologi di Singapura lebih maju, tetapi ada alasan lain yakni kebijakan di Indonesia sendiri hanya memberikan sebesar 3% dari GDP untuk bidang kesehatan, sehingga hal itulah yang membatasi kemajuan pengembangan dunia kesehatan di Indonesia. Inputs/Costs Costs in health economic analyses are divided into three main group : 1. Direct Cost 2. Indirect Cost

3. Intangible Cost 4. Opportunity Cost Input dari Farmakoekonomi sendiri digolongkan menjadi empat grup, namun yang sering digunakan adalah tiga grup utama yang pertama direct cost yakni biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan secara langsung, contohnya kita membeli obat amoksisilin tapi kita harus pergi ke Apotek, sehingga mengeluarkan ongkos transportasi atau ada seorang ibu yang membawa anaknya ke dokter dimana anak tersebut ingin membeli jajan, maka hal ini termasuk dalam indirect cost. Yang kedua yakni intangible cost, contohnya ketika seseorang sakit maka akan kehilangan waktu atau merasakan rasa sakit yang meresahkan (suatu harga yang tidak dapat diukur dengan uang/angka). Outcomes/Benefits Type of outcomes: 1. Intermediate outcomes : such as controlling sugar levels, blood pressure and cholesterol levels 2. Final outcomes : would be measured as the reduction in the disease or events Outcomes/Benefits dari Farmakoekonomi digolongkan menjadi tiga grup. Pertama intermediate, contohnya dalam mengontrol gula darah atau mengontrol tekanan darah dan kolesterol. Kedua final outcomes, adalah saat hilangnya penyakit tersebut. Contohnya dalam menggunakan captropil, final outcomes adalah berapa lama pasien tersebut hidup, bila intermediate, berapa lama tekanan darah akan stabi. Kenyatannya lebih sering digunakan intermediate dikarenakan waktu yang digunakan lebih singkat, biayanya lebih murah dan parameternya yang lebih jelas.

Type of analyses : 1. Cost-Minimization Analysis (CMA) : Ketika kita mendapati pilhan dua obat yang memiliki efektifitas sama yakni menurukan tekarnan darah dan diharuskan mencari harga ter minimal, terdapat kriteria cost untuk persiapan, produksi, supply dan nantinya dilihat yang paling minim. Outcomes yakni perbedaan relatif antara obat satu dengan yang lainnnya. 2. Cost-Effectiveness Analysis (CEA) : Terdapat pilihan terapi dan akan ada perbandingan antara harga dan efektifitas obat. Outcomes yakni seberapa efektif penyembuhan yang dirasakan. Luarannya yakni natural unit (kuantitas hidup). 3. Cost-Benefit Analysis (CBA) : Ketika memiliki uang sebesar 100 juta, apakah akan digunakan untuk membuka apotek ataukah industri, apakah membayar dengan angsuran ataukah pertahun. Outcomes yakni berapa keuntungan yang bisa didapat dan bisa dihemat dari input yang dikeluarkan. 4. Cost-Utility Analysis (CUA) : Hampur mirip dengan CEA, namun CUA satuannya menggunakan quality. Terdapat rumus untuk menghitungnya yakni lama waktu hidup dikalikan dengan kualitas hidup, contohnya pasien yang hidup 5 tahun, tetapi tidak bisa bergerak atau lumpuh karena tidak bisa bergerak maka diberikan nilai 0,2 dan dikali waktu hidup 5 tahun jadi nilainya hanya sebesar 1. Sedangkan ada yang umurnya hanya 2 tahun namun sehat dapat beraktifitas sehingga dinilai 0,8 dan dikalikan 2 tahun yakni sebesar 1,6. Outcomes yakni besarnya kualitas yang didapat. (bukan hanya kuantitas namun juga kualitas hidup yang didapat). Keluaran utamanya tunggal, seberapa besar penurunan kadar gula darah dari metformin, apakah mempengaruhi kerja hati atau jantung. Besaran CEA dan CUA yakni dengan ICER (Instrumental Cost Effective Ratio). Kesimpulannya, saat menganalisis kesesuaian obat maka ketika harga semakin mahal efektifitas akan semakin bagus, dan kebalikannya bila harga semakin murah maka obat semakin tidak efektif.

ART merupakan suatu tekhnologi yang akan membantu terjadinya reproduksi / perkembangbiakan bagi manusia, sekarang sedang dipertimbangkan terapi mana yang cost-effective alasannya mengapa dilakukan penelitian ini adalah karena semakin lama tiap tahun terjadi peningkatan sekitar 5 sampai 10% di negaranegara yang sudah berkembang mengalami penurunan tingkat reproduksi, alasannya karena mereka akan berhubungan atau ingin mempunyai anak hanya ketika usia mereka diatas usia reproduktif. Karena semakin meningkatnya permintaan treatment dari ART dan yang kedua permasalahan adalah dari biaya yang dibutuhkan, ART sendiri cukup mahal, sehingga diperlukan analisis cost-effective, yang ketiga adalah Negara yang akan memberikan subsidi treatment ART dan perlu adanya pertimbangan lebih lanjut. Biaya dari treatment ART sendiri ada banyak dari simulasi ovarium, scanning ultrasonik dan sebagainya dan untuk IVF in Vitro fertilization atau bayi tabung ada 4 faktor yang menentukan, yang pertama experienced or estimated treatment success rate yang kedua usia dari ibu tersebut, ketiga multiple pregnancy dan yang terakhir cost treatment. Pada bayi tabung, biaya paling mahal dalam treatment ini adalah ketika fase stimulasi hormon. Ada dua jenis hormon yang digunakan, yang pertama adalah human hormone dan yang kedua menggunakan rekombinan. Disini kita akan menentukan mana yang paling cost effectiveness, disebutkan di jurnal bahwa perbandingan Birth Rate antara FSH dengan rekombinan FSH yakni sebesar 38,2% perbedaan angka kelahirannya dan juga di sini terjadi perbedaan harga otomatis yakni rekombinan yang jauh lebih mahal, bukan hanya dari harga obat namun juga biaya per ampulnya jauh lebih mahal. Dengan menggunakan ICER, setelah melewati perhitungan yang ada, maka human hormone jauh lebih efektif daripada rekombinan hormon.

Dilakukan marginal analisis, dibandingkan beberapa pilihan terapi yang mirip sehingga akan didapat alternatif biaya dan keluaran paling dekat (ICER). Bandingkan terapi B dan A C dan B D dan C E dan D. Setelah itu maka didapakan incremental cost dan incremental consequences. Symptom Free Days artinya misalnya dalam 2 minggu maka 4 hari kita tidak ada gejala penyakitnya pada tipe terapi B. ICER didapat dari incremental cost dibagi dengan incremental consequences. Saat ada nilai yang minus, maka dihilangkan karena sangat terlihat bila D lebih mahal dan symptmps free days nya lebih sedikit dibandingkan yang C. Opsi C nilai ICER nya jauh lebih besar dari 2 treatment lainna, sehingga dihilangkan. Maka didapat terapi B dan E. Di Negara yang berkembang misalnya Indonesia sudah memiliki nilai ICER sendiri, misalnya sebesar 100-200 maka akan memilih terapi B, sehingga ini juga merupakan suatu alasan mengapa pengobatan di negara yang maju misalnya Singapura jauh lebih baik, ini dikarenakan peraturan atau kebijakan dari pemerintah nya sendiri.

SESI DISKUSI Pertanyaan 1 (Anggun Nurus S.) Sudah berjalan optimalkah farmakoekonomik di Indonesia? yang kedua tadi dijelaskan mengenai outcomes PE yaitu salah satunya final outcomes, kondisi seperti apakah yang mengharuskan kita menggunakan final outcomes? Apakah pernah terjadi kondisi seperti itu (contohnya), yang ketiga, farmakoekonomi ini tadi dijelaskan pertimbangan obat yang dimasukkan dalam asuransi, apakah obat herbal juga termasuk pertimbangan untuk PE di klinik atau rumah sakit? Jawaban Pertanyaan 1 (David Wijaya) Faktanya sekarang farmakoekonomi ini sudah berjalan, bila optimal atau tidaknya tergantung penyelenggara dan misalnya untuk rumah sakit ada fomularium rumah sakit yang setiap tahunnya akan ada rapat membahas obat apa saja yang masuk dalam daftar formularium (tergantung kebijakan Rumah sakit tersebut dilakukan setiap tahun ataukah tidak), bila ada pergantian maka harus mengisi formulir alasan/evaluasi mengganti serta pertimbangan lainnya. Misalkan efektivitas obat B lebih aman daripada obat A dan dilakukanlah pergantian obat. Terkadang ada gratifikasi dari beberapa pihak, sehingga tidak bisa dikatakan benar-benar optimal, namun di Indonesia tetap dibutuhkan dan memang masih diterapkan. Tidak ada kebijakan harus menggunakan final outcomes atau tidak, misalnya yang meneliti ingin menggunakan untuk mengetahui lebih jelas apakah obat tersebut hanya sebentar memberikan efek samping ataukan memberikan hal yang lebih buruk yang akan berujung kematian, misalnya menggunakan obat hipertensi, dilihat sampai benar-benar dalam rentan normal dan stabil atau dalam pengobatan kanker apakah dia meninggal atau tidak. Hal ini digunakan namun tidak benarbenar menjadi patokan. Untuk jawaban pertanyaan terakhir mungkin disangkutpautkan dengan sistem BPJS di Indonesia yang merupakan contoh aplikasi farmakoekonomi di Indonesia, namun hal ini juga tergantung lagi dengan rumah sakit dan kebanyakan masih jarang digunakan di Indonesia.

Pertanyaan 2 (Suci Amalia) Saya ingin menanyakan mengenai jurnal yg kita bahas malam ini mengenai gonadotropin. Di jurnal itu ada 2 grafik yg belum begitu saya mengerti. Bisakan dijelaskan? Lalu bisa jelaskan kembali bagaimana penulis jurnal menentukan bahwa hfsh lebih efektif dibanding rfsh? Jurnal mencantumkan ICER 183,779 dan mengatakan bahwa hfsh tidak lebih efektif dibanding rfsh Jawaban Pertanyaan 2 (David Wijaya) Ada dua grafik, yang pertama one way dan yang kedua two way. Ini merupakan grafik probabililitik sensitivity analisis, yang meruapakan salah satu metode yang paling jeli untuk meneliti perbandingan beberapa obat. Di jurnal ini tidak ada data yang bisa kita hitung, hanya ditarik kesimpulan akhir, kesimpannya yakni rekombinan memang lebih efektif meningkatkan angka kelahiran, namun untuk yang paling cost effective adalah human hormone sendiri. Ingin meluruskan saja, rfsh itu berarti lebih efektif untuk peningkatan angka kelahiran dan hfsh lebih cost effective. Dalam pemilihannya disesuaikan dengan kemampuan masing masing pasien. Untuk mengetahui penjelasan grafik lebih jelasnya dapat mengakses link http://www.creconma.co.jp/english/essence/ Pertanyaan 3 (Armareza Putriyani L.) Bagaimana mengenai manfaat penerapan prinsip farmakoekonomi di Indonesia, contohnya dalam sifat yang real? Lalu, bagaimana penerapan farmakoekonomi bagi usaha kecil seperti apotek di desa-desa dengan mempertimbangkan kemudahan metode (cenderung simpel dan tidak ingin ribet) yang akan digunakan beserta manfaatnya. Jawaban Pertanyaan 3 (David Wijaya) Contohnya membuat formularium, BPJS membuat asuransi, industri saat membuat obat pada saat pengujian klinis fase 1. Lebih jelas dan lengkapnya bisa diakses pada link : https://www.ikatanapotekerindonesia.net/news/pharma-update/aplikasi-farmakoekonomi

Bukan hanya di pedesaan, namun di beberapa industri terkadang masih saja ada industri yang sekedar membuat obat, namun tidak memperhitungkan analisis farmakoekonominya karena sangat disayangkan bila obat yang dibuat nantinya tidak laku dipasaran. Pertanyaan 4 (Rudyanto B.) Yang saya tangkap itu dalam hal pemilihan 2 obat atau lebih, teori yang kak david jelaskan itu dipakai agar hasil yang didapat akurat, tapi kenyataanya kebanyakan dokter dan apoteker itu memiliki produk obat yang diunggulkan tersendiri (di lariskan agar mendapat keuntungan) bagaimana mengenai hal tersebut kak? dan juga apakah ada kasus-kasus tertentu yang membuat teori yang kakak jelaskan tidak dapat kita pakai? Pertanyaan 4 (David Wijaya) Rata- rata dokter atau apoteker memang masih memilih-milih karena bila mereka memberikan obat X maka mereka mendapat keuntungan tersendiri (gratifikasi), dengan mengatasi hal itu maka dibuatlah formularium pada RS. Cara menanganinya dengan membuat pedoman dan memberantas gratifikasi itu sendiri dan kembali lagi ke komitmen untuk menjadi tenaga kesehatan yang benar. Teori itu tidak akan terpakai jika tidak membutuhkan farmakoekonomi. Selama membutuhkan analisis (lihat income dan outcome diawal) ekonomi, pasti akan membutuhkan teori tersebut. Pertanyaan 5 (Anis Fitriani) Saya bermaksud menanyakan tentang pengujian farmakoekononi untuk obat herbal, metode analisis apa yang sebaiknya digunakan terlebih dahulu? Apakah perhitungannya bisa menggunakan ICER juga? Jawaban Pertanyaan 5 (David Wijaya) Iya, dapat menggunakan ICER. Analisis yang dapat dilakukan dengan cara : 1. Menentukan pembandingnya terlebih dahulu. 2. Mendapatkan hasil data dari semua treatment yg ingin dibandingkan (harga dan efektifitas). 3. Mulai dibandingkan dengan metode ICER