3. KERANGKA PEMIKIRAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan ini

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan. merata berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar negara republik

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa,

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pusat kegiatan perekonomian, agar kegiatan sektor riil meningkat

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah serta kemungkinan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Transformasi sistem pemerintahan dari sentralisasi ke dalam desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

I. PENDAHULUAN. Kebijakan Otonomi Daerah yang saat ini sangat santer dibicarakan dimana-mana

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

Transkripsi:

3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Dilandasi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004. Indonesia secara resmi pada tahun 2001 memasuki era desentralisasi yang penekanannya pada pemerintah daerah kabupaten dan kota. Sebagai tahap awal penerapan desentralisasi banyak dihadapi berbagai permasalahan karena belum siapnya daerah baik dalam hal keuangan, kelembagaan maupun SDM yang memadai. Keuangan pemerintah daerah tidak saja mencerminkan arah dan pencapaian kebijakan fiskal dalam mendorong pembangunan di daerah secara umum, tetapi juga menggambarkan sejauh mana tugas dan kewajiban yang diembankan pada pemerintah daerah dalam konteks desentralisasi itu dilaksanakan. Oleh karena itu, kinerja keuangan daerah yang tidak saja merefleksikan kinerja keuangan dari sisi keuangan pemerintah daerah secara mikro tetapi juga secara makro, sehingga indikator-indikator untuk mengukur kinerja keuangan daerah tersebut terukur, berimbang, dan komprehensif. PDRB sebagai salah satu ukuran kesejahteraan, dari sisi demand salah satu pendukungnya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Meningkatnya APBD berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik. Dalam teori ekonomi pembangunan tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah mempunyai hubungan timbal balik yang positif (Mankiw 2007 dan Dornbusch et al 1987). Dengan adanya perubahan mendasar pada peraturan perundangan mengenai pelaksanaan pemerintahan di daerah tentu harus diiringi dengan perubahan dan ketentuan tentang tata cara pengelolaan keuangan daerah. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mengharmonisasikan pengelolaan keuangan daerah baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah dengan DPRD dan pemerintah daerah dengan masyarakat (Halim, 2007). Dengan demikian, daerah dapat mewujudkan pengelolaan keuangan secara efektif dan efisien. Bank Dunia (1998) dalam public expenditure management mengungkapkan bahwa kelemahan pada alokasi sumber daya adalah lemahnya perencanaan, tidak ada kaitan antara membuat kebijakan, perencanaan dan penganggaran serta tidak cukupnya pelaporan atas kinerja keuangan. Agar pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah dapat berjalan, maka diperlukan adanya kesesuaian, sinkronisasi, koordinasi, dan sinergi yang baik, adanya alokasi anggaran yang optimal serta perilaku pemerintah yang transparan dalam pengelolaan keuangan dengan memperhatikan asas-asas umum dalam kebijakan keuangan daerah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal mempunyai tujuan utama untuk mendukung pendanaan atas urusan-urusan yang telah diserahkan ke daerah, agar dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik sehingga diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga pada gilirannya akan mendorong perekonomian daerah melalui pembangunan ekonomi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin membaiknya nilai

indikator-indikator kinerja perekonomian daerah dan kinerja keuangan daerah yang menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi dan keuangan daerah. Peningkatan kinerja perekonomian daerah selain dapat dilihat dari pengelolaan keuangan daerah, dapat pula dilihat dari kondisi tata kelola ekonomi daerah, dikarenakan tata kelola ekonomi daerah yang baik akan meningkatkan kinerja perekonomian deerah. Menurut Mc Culloch dan Malesky (2010) adanya hubungan sebab akibat antara tata kelola ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah, namun bagi negara-negara berkembang, tata kelola ekonomi daerah terkadang tidak dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi akibat kualitas tata kelola ekonomi daerah yang jauh dibawah standar terutama kualitas infrastruktur. Tata kelola ekonomi daerah dapat berjalan dengan baik, maka akan mempengaruhi peningkatan investasi yang dapat mendorong terhadap peningkatan PDRB di daerah, sehingga kegiatan perekonomian daerah akan berkembang positif. Avinash Dixit (2001) telah mendefinisikan konsep tata kelola ekonomi sebagai berikut: Tata kelola ekonomi terdiri atas proses-proses yang mendukung aktivitas ekonomi dan transaksi ekonomi dengan cara melindungi hak-hak kepemilikan, menegakkan kontrak, dan mengambil langkah bersama dalam menyiapkan infrastruktur fisik dan organisasi yang sesuai. Proses-proses tersebut dilaksanakan pada kelembagaankelembagaan formal dan informal. Bidang tata kelola ekonomi mempelajari dan membandingkan kinerja berbagai kelembagaan yang berbeda pada berbagai kondisi yang berbeda, evolusi kelembagaan-kelembagaan tersebut, dan transisi dari satu set kelembagaan ke set kelembagaan yang lain. Berkaitan dengan tata kelola ekonomi tidak terlepas dari kebijakan PEMDA yang diharapkan mampu mendorong kegiatan berusaha ekonomi sehingga diharapkan tercipta sejumlah pemasukan ke daerah, selanjutnya tahap berikutnya adalah dalam proses pembangunan berkelanjutan diharapkan adanya penciptaan keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi daerah melalui investasi. Investasi pada hakekatnya merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi, karena adanya investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dinamika investasi akan mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, sehingga setiap negara berlomba untuk menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi (Dumairy, 1996). Sasaran yang dituju oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, bukan hanya penanaman modal dalam negeri, tetapi juga penanaman modal asing. Dengan adanya investasi, maka output yang dihasilkan suatu negara akan semakin meningkat. Peningkatan output akan meningkatkan pendapatan nasional sehingga kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan pembangunan dapat tercapai. Jumlah nominal investasi setiap tahunnya sangat berfluktuasi, dan berkontribusi pada gejolak produk domestik regional bruto yang besar (Blanchard, 2006). Investasi diartikan sebagai pengeluaran atau penanaman modal bagi perusahaan untuk membeli barang modal dan perlengkapan untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa dalam perekonomian. Dengan adanya investasi diharapkan output, baik barang dan jasa, akan bertambah dan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Investasi merupakan salah satu kunci utama dalam mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi, yang tercermin dari kemampuannya untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan tingkat pendapatan. Semakin besar investasi suatu negara, akan semakin besar pula tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi merupakan fungsi dari investasi (Haryanto, 2005). Desentralisasi sendiri diyakini sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hayek (1948), Tiebout (1956), dan Oates (1999) berpendapat bahwa desentralisasi akan mendorong penyediaan pelayanan publik melalui teori efisiensi alokasi, persaingan, dan preferensi. Oates (1999) berpendapat bahwa pemerintah daerah adalah yang

lebih dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat, memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi secara ekonomi. Aspirasi rakyat akan mudah dan cepat terekam, dan kemudian akan diterjemahkan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk memenuhi aspirasi rakyat tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Joko Waluyo tentang Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antar daerah di Indonesia Tahun 2000 2005. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi relatif lebih tinggi di daerah pusat bisnis dan daerah yang kaya sumber daya alam daripada daerah bukan pusat bisnis dan miskin sumber daya alam. Mekanisme transfer selama ini lebih menguntungkan bagi daerah yang kaya sumber daya alam melalui mekanisme bagi hasil SDA. Alokasi dana bagi hasil SDA untuk investasi sektor kunci dalam perekonomian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Mekanisme DBHP lebih menguntungkan daerah kota yang merupakan pusat bisnis dan industri, karena basis pajak daerahnya lebih tinggi. Sedangkan daerah-daerah yang miskin SDA dan bukan pusat bisnis dan industri mengandalkan penerimaan daerahnya dari DAU, dan DAK. Di samping itu, desentralisasi fiskal akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah terutama antara daerah-daerah di Pulau Jawa dengan Luar Pulau Jawa dan Antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Tidak banyaknya SDA (Minyak, gas, dan kehutanan) yang terdapat di Pulau Jawa berdampak terhadap penerimaan dana bagi hasil SDA Pulau Jawa relatif lebih kecil daripada daerah kaya SDA di luar Pulau Jawa. Salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemandirian keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, pembiayaan pemerintah dibagi menjadi dua yaitu pembiayaan rutin dan pembiayaan pembangunan. Semua pembiayaan tersebut dibiayai dari APBD yang bersumber dari PAD, APBN, bantuan luar negeri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, pengeluaran rutin dan pembangunan diubah menjadi belanja langsung dan belanja tidak langsung. belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal. Sedangkan belanja tidak langsung (belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil kepada provinsi/kab/kota dan pemerintahan desa, belanja bantuan keuangan kepada provinsi/kab/kota dan pemerintahan desa), belanja tidak terduga. Perbedaan terpenting konsep penganggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, adalah lebih ditekankannya kemandirian daerah dalam UU terbaru. Kemandirian daerah ditunjukkan dengan kontribusi PAD terhadap APBD. Konsekuensi fiskal atas pelaksanaan otonomi daerah yang terjadi di Indonesia ialah otonomi juga mengakibatkan setiap daerah yang terdesentralisasi memiliki tanggung jawab yang besar tidak diiringi dengan kapasitas fiskal yang memadai. Banyak pakar ekonomi menyatakan bahwa daerah memperoleh dana perimbangan yang lebih besar, namun hal ini dibarengi dengan merosotnya jumlah pendapatan asli daerah. Hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan bahwa pemerintah daerah memiliki respon belanja daerah yang lebih banyak terhadap transfer dari pemerintah pusat terutama yang berasal dari dana alokasi umum daripada pendapatan asli daerahnya sendiri yang memberikan indikasi anomali atau keganjilan karena terus bergantung pada suntikan dana alokasi umum dari pemerintah pusat sehingga pada prakteknya, transfer dari pemerintah pusat merupakan sumber dana utama pemerintah daerah untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari, yang oleh pemerintah daerah dilaporkan di perhitungan APBD (Febrian, 2011). Permasalahan yang terjadi saat ini adalah pemerintah daerah terlalu menggantungkan alokasi DAU untuk membiayai belanja modal dan pembangunan tanpa mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh daerah. Hal ini berarti pemerintah daerah akan lebih berhati-hati

dalam menggunakan dana yang digali dari masyarakat sendiri dibandingkan dengan dana transfer dari pemerintah pusat (Kuncoro, 2007:3). Di saat transfer DAU yang diperoleh besar, maka pemerintah daerah berusaha agar pada periode berikutnya DAU yang diperoleh tetap. Hal ini menyebabkan PAD tidak signifikan berpengaruh terhadap belanja daerah yang menyebabkan terjadinya flypaper effect atau dapat dikatakan bahwa pengaruh DAU terhadap belanja daerah lebih besar daripada pengaruh PAD terhadap belanja daerah. Dengan arti lain pemberian DAU yang seharusnya menjadi stimulus peningkatan kemandirian daerah, justru direspon berbeda oleh daerah. Daerah tidak menjadi lebih mandiri, malah semakin bergantung pada pemerintah pusat (Ndadari dan Adi. 2008:3). Dalam Kesit 2004, Studi Aaberge & Langorgen (1997) menganalisis perilaku fiskal dan Belanja Pemda dan menemukan adanya flypaper-effect dalam respon daerah terhadap perubahan pendapatan. Bagi PEMDA yang menjadi masalah dalam pembuatan keputusan alokasi sumberdaya adalah pemilihan kombinasi terbaik antara pajak daerah, surplus dan defisit anggaran, dan output dalam pelayanan publik, yang dibatasi oleh aturan bahwa pengeluaran daerah ditambah surplus anggaran tidak melebihi grants dari Pemerintah pusat, ditambah pajak daerah. Permasalahan yang perlu dipecahkan agar tidak terjadi flypaper effect yang tidak lain gambaran sikap ketergantungan pemerintah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat. Di sisi lain, efektifitas APBD juga perlu menjadi perhatian, karena bukan rahasia umum lagi setiap akhir tahun anggaran terjadi penghabisan anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah menunggu beberapa alokasi DAU yang diperolehnya sebelum menentukan berapa belanja yang akan dihabiskannya, seperti yang ditenggarai oleh Simanjuntak (dalam Sidik et al, 2002). Temuan empiris Martinez and Robert Mc.Nab (2001), Mahi (2000), Brodjonegoro (2002), Dartanto dan Brodjonegoro (2003). Desentralisasi mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi apabila desentralisasi fiskal dipusatkan pada pengeluaran/pembelanjaan publik. Desentralisasi fiskal yang diukur dengan pengeluaran pemerintah daerah menyebabkan pertumbuhan ekonom secara signifikan di daerah-daerah. Dalam era desentralisasi fiskal dengan transfer dana dari pemerintah pusat dan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Temuan studi ini juga mendukung hasil studi Mursinto di Jawa Timur (2004). Hasil studi disimpulkan bahwa, pengeluaran pembangunan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap produk domestik regional bruto kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Dari hasil itu diketahui bahwa pengeluaran pemerintah daerah yang semakin besar akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk meningkatkan produk domestik regional bruto tidak hanya peran pemerintah saja, tetapi diperlukan peran serta swasta dan masyarakat yang semakin besar. Dalam hitungan statistik peran swasta dan masyarakat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur mencapai 46,20 persen. Hasil studi ini sesuai dengan teori desentralisasi fiskal Oates (1993). Menurut Oates desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat karena pemerintah sub nasional/pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang-barang publik. Pengambilan keputusan pada level pemerintah lokal akan lebih didengarkan untuk menganekaragamkan pilihan lokal dan lebih berguna bagi efisensi alokasi. Desentralisasi fiskal di negara-negara berkembang apabila tidak berpegang pada standar teori desentralisasi, hasilnya mungkin akan merugikan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi. Oates juga menyatakan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan efisiensi ekonomi yang kemudian berkaitan dengan dinamika pertumbuhan ekonomi. Perbelanjaan infrastruktur dan sektor sosial oleh pemerintah daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi daripada kebijakan pemerintah pusat. Menurutnya, daerah memiliki kelebihan dalam membuat anggaran

pembelanjaan sehingga lebih efisien dengan memuaskan kebutuhan masyarakat karena lebih mengetahui keadaannya. Menurut Halim (2002:73), belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset dan kekayaan daerah. Belanja modal dibagi menjadi belanja publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum misalnya pembangunan jembatan dan jalan raya, pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans. Belanja aparatur yaitu belanja yang manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Misalnya pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pamerintahan, dan pembangunan rumah dinas. Penambahan aset atau kekayaan daerah akibat dan adanya belanja modal akan menambah biaya yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan. Belanja pemeliharaan merupakan pengeluaran pamerintah daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat disusun kerangka pemikiran dari Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah dan Keuangan Daerah terhadap Kinerja Perekonomian Daerah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah pada Gambar 7 berikut. Hubungan langsung Hubungan tidak langsung Ada hubungan tapi tidak dimasukan dalam model karena keterbatasan data Gambar 7 Kerangka Pemikiran

Hipotesis Tata kelola ekonomi daerah(tked) yang baik berpengaruh positif terhadap kinerja perekonomian daerah. Indikator akses lahan, infrastruktur, kapasitas dan integritas bupati, interaksi PEMDA dan pelaku usaha, PPUS, keamanan berpengaruh positif terhadap kinerja perekonomian daerah. Perizinan usaha, biaya transaksi berpengaruh negatif terhadap kinerja perekonomian daerah. Alokasi Belanja Modal diduga meningkatkan kinerja perekonomian Proses perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Donggala lebih baik dari proses perencanaan dan penganggaran di Kota Palu.