BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB I PENDAHULUAN. dokumen RPJP Provinsi Riau tahun , Mewujudkan keseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dan potensi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang luas bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi di masa lalu telah mengubah struktur ekonomi secara

BAB I PENDAHULUAN. yang dilaksanakan oleh sejumlah negara miskin dan negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan, dan tingkat pengangguran (Todaro, 2000:93). Maka dari itu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Pembangunan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENDAHULUAN. Perdebatan tentang indikator pembangunan sosial-ekonomi sudah sejak

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan

BAB I PENDAHULUAN. riil atau pendapatan riil per kapita yang terjadi secara terus menerus (steady growth).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ini juga harus disertai

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan yang diharapkan itu adalah kemajuan yang merata antarsatu

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses untuk

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah itu sendiri maupun pemerintah pusat. Setiap Negara akan

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas keseluruhan dari pulau-pulau di

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. utama pembangunan. Salah satu target dari Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. Setiap wilayah umumnya mempunyai masalah di dalam proses. pembangunannya, masalah yang paling sering muncul di dalam wilayah

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di EB News: Trickle Down Effect dan Unbalanced Growth Thursday, 21 April :13

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. cara mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

BAB VIII PENUTUP. Pada bab pendahuluan sebelumnya telah dirumuskan bahwa ada empat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan adalah hal yang sangat penting. Pada tahun 1950an, orientasi

I. PENDAHULUAN. dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses yang terintgrasi dan komprehensif

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Ketimpangan pendapatan adalah sebuah realita yang ada di tengah-tengah

BAB I PENDAHULUAN. Asosiasi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada tanggal 8

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

I. PENDAHULUAN. Tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari

BAB III METODE PENELITIAN. struktur dan pertumbuhan ekonomi, tingkat ketimpangan pendapatan regional,

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan oleh masyarakat luas (Lincolin Arsyad, 1999).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang

I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

pendapatan yang semakin merata. Jadi salah satu indikator berhasilnya pembangunan adalah ditunjukkan oleh indikator kemiskinan.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. melihat perbedaan gender, etnisitas, agama, ras, dan golongan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena ketimpangan distribusi pendapatan memang dapat terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu daerah dalam jangka panjang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. orang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain, negara yang satu dengan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

BAB I PENDAHULUAN. nasional dimana keadaan ekonominya mula-mula relatif statis selama jangka

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya

BAB I PENDAHULUAN. modal manusia merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. sehingga dikatakan bahwa pembangunan ekonomi dapat mendorong

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. dan distribusi pendapatan yang merata tanpa adanya disparitas. Selain untuk

Nomor 16 Tahun. (PBB) mengenai. yang telah dilatih. Sensus Penduduk. yang diperoleh dari. dari. setinggi tingginya

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Disparitas antar Kabupate/kota di Provinsi Sulawesi Selatan :

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten induknya yaitu Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi ke

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk sesuatu masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, pokok

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

Kalimantan Selatan. Pasar Terapung Muara Kuin

Transkripsi:

BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada mulanya pembangunan selalu diidentikkan dengan upaya peningkatan pendapatan per kapita atau populer disebut sebagai strategi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010: 4). Dengan meningkatnya pendapatan per kapita secara otomatis permasalahan yang dihadapi terutama oleh negara sedang berkembang seperti ketimpangan distribusi pendapatan, kemiskinan dan pengangguran dapat dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down effect). Namun pada akhir dasawarsa 1960-an mulai disadari bahwa pertumbuhan (growth) tidak identik dengan pembanguan (development). Di banyak negara berkembang pertumbuhan memang berhasil dicapai tetapi disertai dengan munculnya masalah pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedangkan pembangunan ternyata berdimensi lebih luas dari sekedar pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010: 5). Dengan demikian pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan. Artinya, pertumbuhan hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor di mana penduduk miskin bekerja (seperti pertanian atau sektor yang padat karya). 1

2 Menurut Kuncoro (2006: 155) terdapat teori yang menyatakan ada semacam trade off antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan pemerataan pendapatan dalam suatu pembangunan ekonomi. Ketika pembangunan ekonomi lebih ditujukan untuk pemerataan pendapatan maka pertumbuhan ekonomi akan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi. Begitu pula sebaliknya, jika pembangunan lebih difokuskan untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi maka akan semakin besar kemungkinan terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan memerlukan pertumbuhan ekonomi. Namun persoalan dasarnya bukan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga siapakah yang berkontribusi dalam menumbuhkannya (Todaro, 2006: 231). Jika yang menumbuhkannya hanyalah orang-orang kaya yang berjumlah sedikit maka manfaat pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh orang kaya saja, sehingga ketimpangan pendapatan dan kemiskinan menjadi semakin parah. Sebaliknya jika pertumbuhan dihasilkan oleh orang banyak, maka pihak yang akan memperoleh manfaat terbesarnya adalah orang banyak dan kue pertumbuhan ekonomi akan terbagi secara merata. Hal yang sama juga berlaku bagi pembangunan ekonomi daerah sebagai suatu proses kerja antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya dalam mengelola sumber daya yang ada, dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 2005: 108). Bagi daerah keberhasilan pembangunan

3 dapat diukur dari pencapaian pertumbuhan ekonomi daerah yang tercermin dari angka pertumbuhan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), menurunnya angka kemiskinan, pengangguran dan makin tingginya pemerataan distribusi pendapatan di daerah. Permasalahan ketimpangan memiliki dua dimensi yaitu pertama, ketimpangan distribusi pendapatan antargolongan pendapatan masyarakat dan kedua, ketimpangan antardaerah. Ketimpangan antardaerah menjadi penting untuk menjadi bahan kajian karena kesenjangan atau disparitas pembangunan regional masih menjadi permasalahan di negara-negara berkembang. Hasil observasi menunjukkan bahwa secara umum disparitas regional di negara-negara yang kurang maju lebih lebar dari pada yang terjadi di negara-negara maju (Williamson, 1965:44). Sementara di Indonesia sendiri, gravitasi aktivitas ekonomi masih cenderung terkonsentrasi secara geografis ke Kawasan Barat Indonesia (KBI) selama lebih dari lima dasawarsa terakhir (Kuncoro, 2013: 262). Gambar 1.1 menunjukkan bahwa jika dilihat dari kategori PDRB provinsi di Indonesia maka provinsi di KBI cenderung memiliki nilai PDRB yang lebih tinggi daripada provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Struktur perekonomian Indonesia pada tahun 2011 secara spasial masih didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 61,22 persen, diikuti Pulau Sumatera sekitar 21,04 persen. Provinsi di luar Jawa dan Sumatera atau Kawasan Timur Indonesia (KTI) hanya kebagian sisanya, sekitar 17,74 persen. Seluruh provinsi di Pulau Jawa memiliki PDRB di atas rata-

4 rata nasional kecuali Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, bahkan tiga provinsi (Jawa Barat, Jawa Timur dan DKI Jakarta) menunjukkan gap yang sangat mencolok dibandingkan dengan provinsi lainnya. Khususnya untuk Provinsi Kalimantan Selatan termasuk pada daerah dengan katagori PDRB tingkat menengah (20-50 triliun) dan masih di bawah rata-rata nasional (Rp71.616.415.740.000). Dari paparan di atas maka dapat dinyatakan bahwa ketimpangan pendapatan antarwilayah dan pulau di Indonesia masih terus terjadi. Jika dilihat dari Gambar 1.2 tampak bahwa rata-rata pertumbuhan PDRB selama 1993-2011 pada provinsi di Pulau Sulawesi, kecuali Provinsi Sulawesi Utara menunjukkan tingkat yang tinggi. Provinsi di Pulau Jawa tingkat pertumbuhan PDRB nya pada kisaran 3-5 persen dan berada di bawah rata-rata nasional (5 persen). Provinsi Kalimantan Selatan termasuk pada daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi menengah atas (5,62 persen) dan berada di atas rata-rata pertumbuhan nasional. PDRB ADHK 2000 (Jutarupiah) 450.000.000,00 400.000.000,00 350.000.000,00 300.000.000,00 250.000.000,00 200.000.000,00 150.000.000,00 100.000.000,00 50.000.000,00 - < 10 triliun 10-20 triliun 20-50 triliun 50-200 triliun > 200 triliun Sumber: Badan Pusat Statistik (2013) Provinsi Gambar 1.1 Kategori PDRB Provinsi di Indonesia, 2011

Pertumbuhan (%) 5 Seperti halnya dengan ketimpangan antara KBI dan KTI serta antara Jawa dan luar Jawa hal serupa juga terjadi antarkabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Provinsi Kalimantan Selatan dengan luas wilayah 37.530,52 Km 2 merupakan provinsi yang terletak di tenggara Kalimantan. Daerah ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956. Dalam era otonomi daaerah telah terjadi pemekaran wilayah hingga pada akhirnya secara administratif Provinsi Kalimantan Selatan terdiri dari 11 (sebelas) kabupaten dan 2 (dua) kota. 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2-1 01-2 < 3 % 3-5 % 5-7 % > 7 % Provinsi Sumber: Badan Pusat Statistik (2013) Gambar 1.2 Rata-rata Pertumbuhan PDRB Provinsi di Indonesia, 1993-2011 Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.3 selama 1993 sampai 2011 terlihat bahwa rata-rata PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan terbesar terdapat di Kabupaten Kotabaru (Rp12.484.256,25), Kabupaten Balangan (Rp12.085.665,44), Kabupaten Tanah Bumbu (Rp11.796.739,80 ) dan Kabupaten Tabalong (Rp10.218.557,68). Kabupaten/kota dengan rata-rata PDRB

PDRB per Kapita 6 per kapita terkecil adalah Kabupaten Hulu Sungai Utara (Rp4.008,930,51), Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Rp3.854.867,02) dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Rp3.326.292,95). Semua kabupaten yang memiliki rata-rata PDRB per kapita selama 1993-2011di Provinsi Kalimantan Selatan adalah daerah yang kaya akan sumber daya alam. 13.000.000,00 12.000.000,00 11.000.000,00 10.000.000,00 9.000.000,00 8.000.000,00 7.000.000,00 6.000.000,00 5.000.000,00 4.000.000,00 3.000.000,00 2.000.000,00 1.000.000,00 - Kabupaten/Kota Keterangan: *) Pemekaran tahun 2000 **) Pemekaran tahun 2002 Sumber: Badan Pusat Statistik, berbagai terbitan Gambar 1.3 Rata-rata PDRB per Kapita ADHK 2000 Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan, 1993-2011 Ketimpangan juga dapat dilihat dari peranan PDRB per kapita kabupaten/kota terhadap pembentukan PDRB per kapita Provinsi Kalimantan Selatan. Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.4 selama 1993 sampai 2011 terlihat bahwa rata-rata Pangsa PDRB per kapita Kalimantan Selatan sebagian besar disumbangkan Kabupaten Kotabaru (15,88 persen), Kabupaten Tabalong (12,66 persen), Kabupaten Balangan (11,69 persen) dan Kabupaten Tanah Bumbu

7 (11,71 persen). Semua kabupaten yang memiliki pangsa terbesar PDRB per kapita Provinsi Kalimantan Selatan adalah daerah yang kaya akan sumber daya alam. Pangsa yang lebih kecil dimiliki oleh Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kota Banjarbaru, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, dan Kabupaten Tapin. Pangsa PDRB per kapita kabupaten/kota terhadap PDRB Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan tren yang fluktuatif selama tahun 1993-2001 terutama di Kabupaten Tabalong dan Kabupaten Barito Kuala. Tren yang stabil terjadi selama 2002 sampai 2011 yang ditunjukkan oleh tingkat prosentase yang relatif tidak banyak berubah selama tahun 2002 sampai 2011, kecuali Kabupaten Barito Kuala yang mengalami penurunan akibat pertumbuhan ekonomi negatif terutama pada tahun 1998, 2005 dan 2006. Selama periode 2001-2002 terjadi penurunan pangsa hampir di semua kabupaten/kota yang waktunya bersamaan dengan saat terjadinya pemekaran wilayah. Pemekaran dilakukan di dua kabupaten induk yaitu Kabupaten Kotabaru dimekarkan hingga terbentuk Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan yang terbentuk dari kabupaten induk yaitu Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Pangsa (%) 8 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00-1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 Tahun Keterangan: *) Pemekaran tahun 2000 **) Pemekaran tahun 2002 Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Selatan, berbagai terbitan Tanah laut Kotabaru Banjar Barito Kuala Tapin HSS HST HSU Tabalong Tanah Bumbu **) Balangan **) Banjarmasin Banjarbaru *) Gambar 1.4 Peranan Kabupaten/Kota dalam Pembentukan PDRB per Kapita ADHK 2000 di Provinsi Kalimantan Selatan, 1993 2011 Pertumbuhan PDRB per kapita di Provinsi Kalimantan Selatan periode 1993 2011 sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1.1 didominasi oleh beberapa kabupaten seperti Kabupaten Tabalong (7,68 persen), Kabupaten Kotabaru (4,75 persen), Kabupaten Hulu Sungai Utara (3,74 persen) dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah (3,73 persen). Daerah lain yang ekonominya tumbuh lebih lambat adalah Kabupaten Barito Kuala, Kota Banjarbaru, Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Tanah Bumbu.

9 Tabel 1.1 Pertumbuhan PDRB per Kapita ADHK 2000 Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan, 1993 2011 PDRB per Kapita (Rp) Rata-rata Pertumbuhan No Kabupaten/Kota 1993 2011 PDRB per Kapita 1993-2011 (%) 1 Tanah laut 5.674.711,67 7.952.239,50 2,11 2 Kotabaru 7.984.976,65 17.691.919,44 4,75 3 Banjar 4.299.521,38 6.874.032,92 2,70 4 Barito Kuala 6.934.843,07 7.372.479,03 0,63 5 Tapin 3.663.486,21 6.322.480,05 3,12 6 Hulu Sungai Selatan 2.953.935,14 5.370.037,66 3,41 7 Hulu Sungai Tengah 2.539.881,25 4.751.095,31 3,72 8 Hulu Sungai Utara 3.134.525,63 4.408.664,10 3,74 9 Tabalong 4.027.680,64 14.336.645,19 7,66 10 Tanah Bumbu - 12.453.396,68 2,26 11 Balangan - 13.787.626,42 3,53 12 Banjarmasin 5.132.841,61 8.300.362,37 2,92 13 Banjarbaru - 4.826.017,46 0,68 Rata-Rata 4.634.640,33 8.803.615,09 3,17 Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Selatan, berbagai terbitan Dari uraian di atas maka diketahui terdapat ketimpangan PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Selain itu terdapat kabupaten/kota yang pangsa PDRB per kapita terhadap PDRB per kapita provinsi relatif tinggi dan pertumbuhannya lebih tinggi daripada rata-rata provinsi (Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tabalong) dan terdapat Kabupaten/kota yang pangsa PDRB per kapita terhadap PDRB per kapita provinsi relatif rendah namun pertumbuhannya lebih tinggi daripada rata-rata provinsi (Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan). Berdasarkan perumusan masalah tersebut, pertanyaan penelitian yang hendak dijawab adalah:

10 1. Bagaimana tren ketimpangan PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan indeks Williamson, indeks Entropi Theil dan indeks Jaime Bonet selama periode 1993-2011? 2. Apakah terjadi konvergensi atau divergensi PDRB per kapita antar Kabupaten kota di Provinsi Kalimantan Selatan selama periode 1993-2011? 3. Sejauh mana hipotesis Kuznets berlaku di Provinsi Kalimantan Selatan? 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian tentang pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di daerah telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Sebagai acuan dan pembanding maka perlu diuaraikan penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan topik ini dapat dilihat dalam Tabel 1.2 berikut ini. Tabel 1.2 Hasil Penelitian Tentang Ketimpangan Pendapatan Antardaerah No Peneliti 1. Barro dan Sala-i- Martin (1991) Lokasi Penelitian Amerika Serikat (48 negara bagian) Periode Metode Hasil 1960-1985 1. Laju pertumbuhan PDB riil per kapita secara positif berkaitan dengan sumber daya manusia awal (tahun 1960 ) dan berhubungan negatif dengan tingkat GDP riil per kapita awal (tahun 1960). 2. Negara-negara dengan sumber daya manusia yang lebih tinggi juga memiliki tingkat kesuburan (fertilitas) yang lebih rendah dan rasio yang lebih tinggi dari investasi fisik terhadap PDB. 3. Pertumbuhan PDB per kapita berbanding terbalik dengan pangsa konsumsi pemerintah dalam PDB, namun tidak signifikan dengan saham investasi publik. 4. Tingkat pertumbuhan PDB per kapita berhubungan positif

11 2. Michelis dan Neaime (2004) 3. Arifin (2008) 4 Heriqbaldi (2009) Negara Asia Pasific dan ASEAN Kalimantan Selatan Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur 1960-1990 dan 1960-1999 Estimasi data panel. 1994-2005 Tipologi Klassen, Indeks Williamson, Regresi Data Panel. 2004-2007 Pool Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). dengan tingkat stabilitas politik dan berbanding terbalik dengan adanya distorsi pasar. 1. Pada periode pertama, ditemukan adanya kondisional β konvergen dalam kelompok 17 negara APEC dan di 10 negara Asia Timur. Tidak ada bukti konvergensi pendapatan yang ditemukan di negara ASEAN. 2. Pada periode kedua, ada bukti lemah kondisional β konvergen dalam kelompok 16 negara APEC, dan bukti jauh lebih lemah konvergensi pendapatan di negara Asia timur. 3. Stabilitas makroekonomi dan keterbukaan ekonomi menjadi faktor statistik penting dan memiliki diharapkan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara APEC. 4. Pertumbuhan penduduk memberi efek negatif pada pertumbuhan ekonomi 5. Belanja pemerintah memiliki efek negatif pada pertumbuhan ekonomi tetapi tidak signifikan secara statistik. 1. Berdasarkan tipologi Klassen terjadi perubahan pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah. 2. Pemerataan pembangunan antarkabupaten/kota sebelum otonomi lebih baik daripada sesudah otonomi. 3. Investasi swasta, modal manusia, dan sumbangan sektor primer berhubungan positif dengan pertumbuhan PDRB per kapita. 1. Tidak terdapat -convergence maupun -convergence. 2. Setiap peningkatan PDRB Kabupaten selalu disertai dengan peningkatan pertumbuhan PDRB dan peningkatan gap tingkat pendapatan antara satu Kabupaten dengan Kabupaten

12 5. Kalbasi (2010) 6. Akita, Kurniawan dan Miyata (2011) Negara Timur Tengah Indonesia (26 Provinsi) 1995-2005 Estimasi data panel dengan model fixed effect dan teknik Hausman 1983-2004 Analisis dekomposisi bidimensional dan Weightened Cooficient Variation. lainnya. (terjadi divergensi antarkabupaten). 1. Ada kecenderungan konvergensi antara negaranegara Timur Tengah. 2. Perbedaan struktur ekonomi negara penghasil minyak diekspektsikan membawa akibat yang berbeda jika terjadi shock (guncangan) perekonomian. 1. Dengan dan tanpa memasukkan sektor pertambangan, ketimpangan secara keseluruhan menunjukkan kecenderungan menurun. 2. Telah terjadi absolut konvergen yang signifikan dalam PDRB per kapita ketika sektor pertambangan dimasukkan. Pada periode setelah krisis keuangan, tidak ada bukti adanya absolut konvergen. 3. Adanya absolut konvergen sebelum krisis keuangan dikarenakan kinerja ekonomi provinsi yang lebih miskin lebih baik daripada provinsi yang kaya sumber daya alam. Penelitian ini menganalisis ketimpangan dan konvergensi PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Persamaan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam hal penggunaan alat analisis indeks Williamson, indeks Entropi Theil, (sigma) konvergen dan β (beta) konvergen. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah penggunaan alat analisis indeks Jaime Bonet, korelasi Pearson dan estimasi hubungan antara indeks ketimpangan dan logaritma PDRB per kapita untuk mengetahui berlaku atau tidaknya hipotesis Kuznets. Perbedaan lainnya adalah mengenai lokasi, unit analisis dan periode pengamatan. Penelitian ini berlokasi di Provinsi Kalimantan Selatan dengan

13 unit analisis kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan selama periode 1993-2011. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan di atas, penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu: 1. menganalisis tren ketimpangan PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan selama periode 1993-2011; 2. menganalisis apakah terjadi konvergensi atau divergensi PDRB per kapita antar Kabupaten kota di Provinsi Kalimantan Selatan selama periode 1993-2011; 3. menganalisis hubungan antara ketimpangan PDRB per kapita antarkabupaten/kota dengan logaritma PDRB per kapita untuk mengetahui berlaku atau tidaknya hipotesis Kuznets di Provinsi Kalimantan Selatan. 1.3.2 Manfaat penelitian Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, berupa sumbangan pemikiran kepada: 1. pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sebagai salah satu referensi untuk pengambilan kebijakan dalam pengembangan ekonomi daerah dan mengurangi ketimpangan antarkabupaten/kota; 2. penulis sebagai sarana memperkaya pengetahuan dan bagi peneliti lain sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.

14 1.4 Sistematika Penulisan Penelitian mengenai disparitas dan konvergensi produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita antarkabupaten kota di Provinsi Kalimantan Selatan ini disusun menjadi 4 (empat) bab. Bab I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis menguraikan mengenai landasan teori, studi empiris dan alat analisis. Bab III Analis Data menguraikan tentang cara penelitian, perkembangan variabel yang diamati, hasil analisis data dan pembahasan. Bab IV Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan, menguraikan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang bisa diambil berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan.