BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak dan Farmakologi. dari instansi yang berwenang.

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasien dengan kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. register status pasien. Berdasarkan register pasien yang ada dapat diketahui status pasien

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Tahun 2006, World Health Organization melaporkan lebih dari seperempat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB IV METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini disiplin ilmu yang dipakai adalah ilmu Farmakologi,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif terhadap semua variabel yang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

KAJIAN RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM TERAPI DEMAM TYPHOID PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP DI RSUD Dr. M.M DUNDA LIMBOTO

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian non eksperimental dan

PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTIBIOTIK PADA TERAPI DEMAM TIFOID DI PUSKESMAS BANCAK KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. kuman Salmonella Typhi (Zulkoni, 2011). Demam tifoid banyak ditemukan. mendukung untuk hidup sehat (Nani dan Muzakir, 2014).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. PENGUMPULAN/PENYAJIAN DATA DASAR SECARA LENGKAP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien rawat jalan, yaitu sebanyak

ANALISIS KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK GOLONGAN SEFALOSPORIN DI RUMAH SAKIT X KUPANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. subtropis terutama di negara berkembang dengan kualitas sumber air yang tidak

Oleh: Sri Adi Sumiwi PENGGUNAAN OBAT RASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Obat-obat andalan

KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PNEUMONIA DENGAN METODE GYSSENS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN SKRIPSI

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. pada iklim, tetapi lebih banyak di jumpai pada negara-negara berkembang di

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN TENTANG PEMAKAIAN ANTIBIOTIKA AMOXICILLIN DI RUMAH SAKIT UMUM Dr. H. KOESNADI BONDOWOSO TAHUN 2014

ALUR GYSSEN Analisa Kualitatif pada penggunaan Antibiotik

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (World

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB 1 PENDAHULUAN. kesadaran (Rampengan, 2007). Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dengan diagnosa penyakit diare di bangsal rawat inap RSUD Dr. Moewardi tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada zat kimia yang dihasilkan oleh satu macam organisme, terutama fungi yang

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan obat didefinisikan oleh World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua yaitu, infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA KASUS DEMAM TIFOID ANAK DI RUMAH SAKIT UMUM BETHESDA SERUKAM BENGKAYANG PERIODE JANUARI 2013-DESEMBER 2015

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tiap tahunnya. Insiden tertinggi demam thypoid terdapat pada anakanak. kelompok umur 5 tahun (Handini, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi penyakit infeksi memiliki kecenderungan yang masih cukup

BAB I PENDAHULUAN. Masalah biaya kesehatan sejak beberapa tahun ini telah banyak menarik

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

EVALUASI POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK PENDERITA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RS X TAHUN NASKAH PUBLIKASI

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN LANSIA DENGAN PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP PROF. DR. R. D

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh nadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Jika ciprofloxacin tidak sesuai, Anda akan harus minum antibiotik lain untuk menghapuskan kuman meningokokus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. mempengaruhi kesembuhan penyakit dan komplikasi yang mungkin timbul.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Demam Typhoid (typhoid fever) merupakan salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. infeksi virus selain oleh bakteri, parasit, toksin dan obat- obatan. Penyakit

EVALUASI POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK PENDERITA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RS SLAMET RIYADI SURAKARTA TAHUN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan masyarakat maupun dalam lingkungan rumah sakit. Penggunaan

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella typhi, suatu bakteri gram-negative. Demam tifoid (typhoid fever atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi penyakit multisistemik yang disebabkan oleh kuman Salmonella

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol.1 No.2 Mei 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam tifoid merupakan suatu infeksi tropis yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan untuk melihat profil dan evaluasi penggunaan

INTISARI KESESUAIAN DOSIS CEFADROXIL SIRUP DAN AMOKSISILIN SIRUP PADA RESEP PASIEN ANAK DI DEPO UMUM RAWAT JALAN RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang tersebar hampir di beberapa Negara tropis dan subtropis saat

Transkripsi:

A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini telah dilakukan di RSU Puri Asih Salatiga pada tanggal 23-25 Januari 2017. Data penelitian diperoleh dari 67 rekam medis pasien yang dirawat pada periode Januari sampai dengan Agustus 2016 dan semua pasien diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik pasien yang didiagnosis menderita demam tifoid diambil 67 rekam medik pasien dewasa dari total 886 rekam medis anak dan dewasa yang menderita demam tifoid dari Januari sampai dengan Agustus 2016 secara random sampling. Pada penelitian ini peneliti menetapkan diagnosis demam tifoid melalui diagnosis yang diberikan oleh dokter dan tidak melihat bagaimana cara dokter mendiagnosis pasien. Dari 67 rekam medik pasien tidak terdapat pasien yang mengalami gangguan fungsi hati dan gangguan fungsi ginjal sehingga tidak ada penyesuaian dosis atau perpanjangan interval pemberian antibiotik untuk terapi. 1. Karakteristik Subyek Penelitian a. Jenis Kelamin dan Usia Berdasarkan 67 rekam medik yang telah diteliti didapatkan distribusi jenis kelamin 41,79% laki-laki dan 58,21% perempuan. Kelompok usia terbanyak ditemukan pada kelompok usia 26-35 tahun yaitu sebesar 68,66%. 39

40 Tabel. Karakteristik Pasien Demam Tifoid di Bangsal Penyakit Dalam RSU Puri Asih Salatiga Karakteristik Jumlah (%) Jenis Kelamin Laki-laki 28 (41,79%) Perempuan 39 (58,21%) Usia 26-35 tahun 46 (68,66%) 36-45 tahun 21 (31,34%) b. Gejala Penyerta Berdasarkan 67 rekam medik yang telah diteliti didapatkan gejala penyerta demam tifoid pada pasien meliputi: demam (89,55%), mual (61,19%), muntah (50,75%), pusing (50,75%), nyeri abdominal (26,87%), malaise (16,42%), mialgia (16,42%), disfagia (1,49%) dan epistaxis (1,49%). Tabel. Gejala-Gejala pada Pasien Demam Tifoid di Bangsal Penyakit Dalam RSU Puri Asih Salatiga Gejala Jumlah (%) Demam 60 (89,55%) Mual 41 (61,19%) Muntah 34 (50,75%) Pusing 34 (50,75%) Nyeri Abdominal 18 (26,87%) Malaise 11 (16,42%) Mialgia 11 (16,42%) Disfagia 1 (1,49%) Epistaxis 1 (1,49%) c. Lama Rawat Inap dan Kondisi Keluar Rumah Sakit Hasil penelitian menunjukkan pasien yang dirawat inap paling cepat adalah 2 hari dan paling lama adalah 7 hari. Pada penelitian ini

41 hanya terdapat pasien dengan kondisi keluar rumah sakit pulang berobat jalan dan tidak terdapat pasien yang di rujuk, pulang paksa atau meninggal. Tabel. Lama Rawat Inap dan Kondisi Keluar Rumah Sakit Kondisi Pasien Lama Rawat Jumlah Persentase Keluar Rumah Sakit Inap Pasien Pulang Berobat Jalan 2 hari 10 14,93% 3 hari 25 37,32% 4 hari 17 25,37% 5 hari 9 13,43% 6 hari 1 1,49% 7 hari 5 7,46% 2. Analisis Penggunaan Antibiotik a. Jenis Antibiotik Pada penelitian ini terdapat 3 jenis antibiotik yang diresepkan dokter pada pasien demam tifoid di bangsal penyakit dalam RS Puri Asih Salatiga yaitu cefixim, seftriakson dan siprofloksasin dengan persentase penggunaan sebagai berikut: Tabel. Jenis Penggunaan Antibiotik Pasien Demam Tifoid di Bangsal Penyakit Dalam RSU Puri Asih Salatiga Nama Antibiotik Jumlah (%) Seftriakson 47 (70,15%) Siprofloksasin 12 (17,91%) Cefixim 8 (11,94%) b. Lama Pemberian Antibiotik Pada penelitian ini didapatkan data bahwa penggunaan antibiotik seftriakson, siprofloksasin dan cefixim diberikan dengan lama pemberian

42 yang berbeda. Pemberian antibiotik paling singkat diberikan selama 2 hari sedangkan pemberian antibiotik paling lama diberikan selama 7 hari. Tabel. Lama Pemberian Antibiotik Pasien Demam Tifoid di Bangsal Penyakit Dalam RSU Puri Asih Salatiga Nama Antibiotik Lama Pemberian Jumlah (%) Seftriakson 2 hari 7 (10,46%) 3 hari 23 (34,33%) 4 hari 14 (20,90%) 5 hari 2 (2,98%) 7 hari 1 (1,49%) Siprofloksasin 4 hari 2 (2,98%) 5 hari 3 (4,47%) 6 hari 2 (2,98%) 7 hari 5 (7,47%) Cefixim 3 hari 1 (1,49%) 5 hari 6 (8,96%) 7 hari 1 (1,49%) c. Dosis Antibiotik Pada penelitian ini, peneliti menghitung dosis antibiotik yang diberikan menggunakan dosis per hari. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dosis per hari dari pemberian satu jenis antibiotik yang telah diberikan. Tabel. Dosis Antibiotik Pasien Demam Tifoid di Bangsal Penyakit Dalam RSU Puri Asih Salatiga Nama Antibiotik Dosis per Hari Jumlah (%) Seftriakson 2 gr 47 (70,15%) Siprofloksasin 1 gr 12 (17,91%) Cefixim 200 mg 8 (11,94%)

43 d. Interval Pemberian Antibiotik Pada penelitian ini didapatkan data bahwa antibiotik seftriakson diberikan dengan dua jenis interval pemberian yang berbeda yaitu langsung diberikan sekali sehari dengan dosis 2 gr dan diberikan 2 kali sehari dengan dosis 1 gr. Antibiotik lainnya seperti siprofloksasin dan cefixim diberikan dengan interval yang sama yaitu dua kali sehari. Tabel. Interval Pemberian Antibiotik Pasien Demam Tifoid di Bangsal Penyakit Dalam RSU Puri Asih Salatiga Nama Antibiotik Interval Pemberian Jumlah (%) Seftriakson 1 x 2 gr 28 (41,79%) 2 x 1 gr 19 (28,36%) Siprofloksasin 2 x 500mg 12 (17,91%) Cefixim 2 x 100 mg 8 (11,94%) e. Rute Pemberian Antibiotik Pada penelitian ini hanya terdapat satu jenis antibiotik yang diberikan melalui intravena yaitu antibiotik seftriakson sedangkan antibiotik cefixim dan siprofloksasin masing-masing diberikan secara per oral kepada pasien. Tabel. Rute Pemberian Antibiotik Pasien Demam Tifoid di Bangsal Penyakit Dalam RSU Puri Asih Salatiga Nama Antibiotik Rute Pemberian Jumlah (%) Seftriakson Intravena 47 (70,15%) Siprofloksasin Per Oral 12 (17,91%) Cefixim Per Oral 8 (11,94%)

44 B. Pembahasan 1. Karakteristik Subyek Penelitian a. Jenis Kelamin dan Usia Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa jumlah pasien perempuan lebih banyak terdiagnosis demam tifoid di bangsal penyakit dalam RSU Puri Asih Salatiga pada Januari-Agustus 2016 yaitu 39 pasien (58,21%) dari 67 pasien dibandingkan pasien laki-laki yaitu 28 (41,79%). Data ini sesuai dengan laporan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012) menjelaskan bahwa demam tifoid ditemukan lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki. Hasil penelitian lain juga menyebutkan bahwa pasien demam tifoid lebih banyak perempuan daripada laki-laki karena perempuan kemungkinan menjadi carrier 3 kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Setiap orang yang terkena infeksi Salmonella, mengekskresi kuman tersebut pada fases dan air kemih selama beberapa jangka waktu. Bila tidak terjadi keluhan atau gejala, orang tersebut dinamakan Symtompless Excretor. Bila ekskresi kuman berlangsung terus orang tersebut dinamakan carrier. Pernyataan ini terjadi pada pasien demam tifoid. Pasien demam tifoid berhenti mengekskresi Salmonella dalam 3 bulan. Pasien yang tetap mengekresi Salmonella setelah 3 bulan dinamakan carrier. Carrier didapatkan terutama pada usia menengah, lebih sering pada wanita dibandingkan pria dan jarang pada anak-anak. Pada faecal carrier kuman menetap dikandung empedu yang meradang

45 menahun dan menetap di saluran air kemih, biasanya disebabkan kelainan saluran air kemih yang sudah ada. (Mayasari, 2009). Kelompok usia terbanyak ditemukan pada kelompok usia 26-35 tahun yaitu sebesar 68,66%. Kelompok usia 26-35 merupakan kelompok usia dewasa awal (Depkes, 2009). Demam tifoid dapat terjadi pada semua kelompok umur dan semua jenis kelamin. Kelompok usia dewasa awal merupakan usia dewasa yang bebas mengkonsumsi makanan dan sering makan tanpa memperhatikan higiene tempat mengolah makan maupun higiene dirinya sendiri (Hadinegoro, 2011). b. Gejala Penyerta Berdasarkan Tabel 5 gejala penyerta demam tifoid pada pasien meliputi: demam (89,55%), mual (61,19%), muntah (50,75%), pusing (50,75%), nyeri abdominal (26,87%), malaise (16,42%), mialgia (16,42%), disfagia (1,49%) dan epistaxis (1,49%). Data ini sesuai dengan penelitian Brusch (2011) yang menjelaskan bahwa gejala demam tifoid dapat berupa demam tinggi, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, denyut nadi lemah, takipnea, perut kembung dan merasa tidak enak, diare dan sembelit. Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit tifoid pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tidak enak,

46 sedangkan diare dan sembelit dapat terjadi bergantian. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna (Brusch, 2011). c. Lama Rawat Inap dan Kondisi Keluar Rumah Sakit Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan pasien yang dirawat inap paling cepat adalah 2 hari dan paling lama adalah 7 hari. Lama perawatan demam tifoid sangat tergantung dari tingkat keparahan penyakitnya, ketaatan dan kedisiplinan pasien pada minum obat serta diet makanan. Pada umumnya lama perawatan demam tifoid adalah 7 hari, pasien dipulangkan setelah 10 hari bebas panas. Lama perawatan yang terlalu cepat dikhawatirkan dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi dan kekambuhan kembali (Hadisapoetro,1990). Pada penelitian ini hanya terdapat pasien dengan kondisi keluar rumah sakit pulang berobat jalan dan tidak terdapat pasien yang di rujuk, pulang paksa atau meninggal. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nainggolan (2009) yaitu kondisi keluar rumah sakit tertinggi pasien demam tifoid rawat inap adalah pulang berobat jalan. Penderita demam tifoid yang baru sembuh masih mengekskresikan Salmonella typhi dalam

47 waktu 3 bulan ataupun lebih dari 1 tahun, karena itu penderita demam tifoid yang dinyatakan sembuh harus tetap melakukan pemeriksaan bakteriologis sebulan sekali untuk mengetahui keberadaan Salmonella typhi dalam tubuh (Pratiwi, 2007). 2. Karakteristik Penggunaan Antibiotika a. Jenis Antibiotik Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa dokter di RSU Puri Asih Salatiga menggunakan 3 jenis antibiotik yaitu seftriakson, siprofloksasin dan cefixim untuk pengobatan demam tifoid. Seftriakson dan cefixim merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ke 3. Antibiotik sefalosporin termasuk kedalam golongan antibiotik beta laktam yang sebagian besar efektif terhadap bakteri gram positif dan negatif dan umumnya bersifat bakterisid. Mekanisme kerja antibiotik golongan betalaktam adalah dengan mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri. Siprofloksasin merupakan antibiotik golongan fluorokuinolon yang bekerja dengan cara mempengaruhi enzim DNA gyrase pada bakteri. Ciprofloxacon termasuk antibiotik yang sensitif terhadap bakteri gram positif dan negatif (Kemenkes, 2011). Salmonella thypi termasuk kedalam golongan bakteri gram negatif sehingga antibiotik golongan beta laktam yaitu seftriakson dan cefixim serta antibiotik golongan

48 fluorokuinolon yaitu siprofloksasin dapat diberikan untuk terapi demam tifoid. Pemberian antibiotik yang tidak memperhatikan jenis antibiotik, lama pemberian, dosis pemberian, interval pemberian dan rute pemberian dapat menimbulkan berbagai masalah. Salah pemilihan jenis antibiotik dapat meningkatkan risiko resistensi antibiotik yang akan menyebabkan terapi antibiotik menjadi tidak efektif pada pemberian berikutnya kepada pasien sehingga dokter harus mencari alternatif antibiotik lain yang lebih efektif untuk pengobatan pasien (Levy, 2002). b. Lama Pemberian Antibiotik Berdasarkan data pada tabel 8 ternyata didapatkan hasil bahwa lama pemberian antibiotik paling singkat adalah 2 hari dan pemberian paling lama adalah 7 hari. Menurut Kemenkes (2006) antibiotik seftriakson harus diberikan selama 3-5 hari sedangkan pada penelitian ini terdapat 8 antibiotik seftriakson yang diberikan kurang dari 3 hari atau lebih dari 5 hari pemberian. Antibiotik siprofloksasin harus diberikan selama 7 hari namun pada penelitian ini banyak antibiotik siprofloksasin yang diberikan kurang dari 7 hari yaitu sebanyak 7 antibiotik yang diresepkan. Antibiotik cefixim diberikan selama 10 hari namun pada penelitian ini terdapat 8 antibiotik cefixim yang diresepkan kurang dari 10 hari. Pemberian antibiotik yang tidak memperhatikan jenis antibiotik, lama pemberian, dosis pemberian, interval pemberian dan rute pemberian

49 dapat menimbulkan berbagai masalah. Pemberian yang terlalu singkat atau terlalu lama dapat meningkatkan risiko resistensi antibiotik yang akan menyebabkan terapi antibiotik menjadi tidak efektif pada pemberian berikutnya kepada pasien sehingga dokter harus mencari alternatif antibiotik lain yang lebih efektif untuk pengobatan pasien (Levy, 2002).. c. Dosis Antibiotik Berdasarkan tabel 9 diketahui bahwa tidak ada perbedaan dosis per hari dalam tiap jenis antibiotik yang diresepkan oleh dokter. Dosis yang ditetapkan oleh Kemenkes (2006) pada antibiotik yang diberikan untuk pasien demam tifoid untuk seftriakson 2-4gr per hari, siprofloksasin 1 gr per hari dan cefixim 15-20 mg/kgbb/hari. Berdasarkan tabel 9 diketahui bahwa hanya antibiotik cefixim yang tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan Kemenkes. Khusus untuk antibiotik cefixim dosis yang dianjurkan adalah dosis untuk anak karena menurut Kemenkes (2006) antibiotik cefixim lebih efektif diberikan untuk anak dengan demam tifoid sehingga jika penggunaannya diberikan kepada pasien dewasa maka dosis yang diberikan menjadi tidak efektif. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Grouzard et al. (2016) menyebutkan bahwa cefixim peroral selama 7 hari menjadi pengobatan alternatif pada anak dengan usia dibawah 15 tahun dengan dosis 20mg/kg/hari yang dibagi menjadi 2 dosis. Pemberian antibiotik yang tidak memperhatikan jenis antibiotik, lama pemberian, dosis pemberian, interval pemberian dan rute pemberian

50 dapat menimbulkan berbagai masalah. Pemberian dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan kadar antibiotik dalam plasma menjadi tidak adekuat sehingga dapat memperparah penyakit infeksi pasien atau jika berlebihan dapat menyebabkan efek toksik kepada pasien (Levy, 2002). d. Interval Pemberian Antibiotik Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel 10 dapat diketahui bahwa antibiotik seftriakson digunakan oleh dokter dengan interval pemberian yang berbeda sedangkan pada antibiotik cefixim dan siprofloksasin diberikan dengan interval pemberian yang sama. Menurut kemenkes (2006) interval pemberian untuk antibiotik siprofloksasin dan cefixim dibagi menjadi 2 dosis dalam sehari sedangkan untuk antibiotik seftriakson tidak terdapat aturan interval pemberian sehingga untuk antibiotik seftriakson dapat diberikan dosis tunggal atau dosis ganda dalam sehari. Pemberian antibiotik yang tidak memperhatikan jenis antibiotik, lama pemberian, dosis pemberian, interval pemberian dan rute pemberian dapat menimbulkan berbagai masalah. Interval pemberian yang tidak tepat dapat menyebabkan kadar antibiotik dalam plasma menjadi tidak adekuat sehingga dapat memperparah penyakit infeksi pasien atau jika berlebihan dapat menyebabkan efek toksik kepada pasien (Levy, 2002).

51 e. Rute Pemberian Antibiotik Pada tabel 11 dapat dilihat terdapat 2 cara pemberian antibiotik untuk pasien demam tifoid yaitu melaui intravena dan per oral. Antibiotik seftriakson diberikan melalui intravena sedangkan antibiotik siprofloksasin dan cefixim diberikan melalui per oral. Menurut kemenkes (2006) rute pemberian diatas sudah sesuai yaitu pada terapi demam tifoid pemeberian seftriakson diberikan melalui intravena, siprofloksasin dan cefixim diberikan memalui per oral. Rute pemberian oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi namun pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral (Kemenkes RI, 2011). Pemberian antibiotik yang tidak memperhatikan jenis antibiotik, lama pemberian, dosis pemberian, interval pemberian dan rute pemberian dapat menimbulkan berbagai masalah. Rute pemberian yang tidak tepat dapat menyebabkan kadar antibiotik dalam plasma menjadi tidak adekuat sehingga dapat memperparah penyakit infeksi pasien atau jika berlebihan dapat menyebabkan efek toksik kepada pasien (Levy, 2002). 3. Rasionalitas Penggunaan Antibiotika Menurut Gyssen Alur penelitian Gyssen dimulai dengan melihat data pada rekam medik pasien demam tifoid yang mendapat terapi antibiotik bila terdapat data yang hilang atau tidak lengkap maka peneliti tidak memasukkannya ke dalam sampel. Langkah selanjutnya untuk melihat apakah ada penyakit infeksi pada penelitian ini peneliti melihat berdasarkan diagnosis yang

52 diberikan dokter yaitu demam tifoid. Pada langkah selanjutnya untuk melihat keefektifan antibiotik yang digunakan oleh dokter peneliti melihat dari berbagai jurnal mengenai ketiga macam antibiotik yang digunakan oleh dokter. Antibiotik cefixim dinilai peneliti tidak efektif diberikan untuk anak berdasarkan peraturan kemenkes (2006) dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Grouzard et al. (2016) yang menyebutkan bahwa cefixim peroral selama 7 hari menjadi pengobatan alternatif pada anak dengan usia dibawah 15 tahun dengan dosis 20mg/kg/hari yang dibagi menjadi 2 dosis. Antibiotik seftriakson dinilai lebih efektif dari pada antibiotik siprofloksasin berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Butler (2011) yang dilakukan dengan desan penelitian RCT dengan tingkat cure rate seftriakson sebesar 72% dibandingkan dengan siprofloksasin dengan tingkat cure rate sebesar 62% sehingga semua peresepan antibiotik cefixim dan siprofloksasin pada penelitian ini masuk kedalam kategori IVA yaitu terdapat antibiotik yang lebih efektif untuk terapi yaitu seftriakson. Selanjutnya semua antibiotik seftriakson dianalisis kedalam kategori IV B. Menurut Pedoman Pelayanan Kefarmasian yang diterbitkan oleh Kemenkes tahun 2011 kategori untuk penilaian kategori IV B dapat dilihat apakah terdapat interaksi pemberian antibiotik dengan obat lain sehingga menimbulkan efek toksik atau tidak. Pada penelitian ini antibiotik seftriakson tidak diberikan dengan obat yang dapat menyebabkan efek toksik. Langkah selanjutkan pada kategori IV C untuk melihat biaya efektif penggunaan antibiotik peneliti melihat dari hasil penelitian Setiawan (2015) yang menyatakan bahwa antibiotik dikatakan

53 mahal apabila diatas Rp 100.000,- per satuan injeksi atau per satu strip antibiotik oral. Pada penelitian ini terdapat 3 pasien yang mendapat resep seftriakson pabrik yaitu terfacef yang memiliki harga lebih dari Rp 100.000,-. Selanjutnya pada kategori spetrum tidak didapatkan antibiotik lain yang memiliki spektrum lebih sempit untuk terapi demam tifoid. Untuk kategori III A yaitu pemberian antibiotik yang memiliki durasi terlalu panjang terdapat 1 pasien yang diberi seftriakson lebih dari 5 hari. Pada kategori III B yaitu pemberian antibiotik yang terlalu singkat terdapat 6 pasien yang diberi seftriakson kurang dari 3 hari. Selanjutnya tidak terdapat kesalah pemberian antibiotik seftriakson untuk kategori II A mengenai dosis, kategori II B mengenai rute pemberian dan ketegori I mengenai waktu pemberian. Tabel. Analisis Penggunaan Antibiotik Menurut Gyssen Klasifikasi Gyssen Keterangan Jumlah Antibiotik Persen tase Kategori 0 Penggunaan antibiotik rasional 37 55,22% Kategori I Waktu pemberian antibiotik tidak - - tepat Kategori IIA Dosis pemberian antibiotik tidak - - tepat Kategori IIB Interval pemberian antibiotik - - tidak tepat Kategori IIC Rute Pemberian Antibiotik tidak - - tepat Kategori IIIA Penggunaan antibiotik terlalu 1 1,49% lama Kategori IIIB Penggunaan antibiotik terlalu 6 8,96% singkat Kategori IVA Ada antibiotik yang lebih efektif 20 29,85% Kategori IVB Ada pilihan antibiotik yang lebih - - aman Kategori IVC Ada alternatif antibiotik yang lebih murah 3 4,48%

54 Kategori IVD Ada alternatif antibiotik dengan - - spektrum lebih sempit Kategori V Pemberian antibiotik tanpa - - indikasi Kategori VI Data tidak lengkap - - Dari hasil analisis data diatas dapat dilihat bahwa penggunaan antibiotik secara rasional masih lebih banyak dibandingkan dengan pemberian antibiotik yang tidak rasional pasien demam tifoid dewasa di RS Puri Asih Salatiga. Terlihat perbedaan hasil dari evaluasi rasionalitas pemberian antibiotika untuk pasien demam tifoid yang dilakukan di RS Puri Asih Salatiga dengan yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Hasil penelitian di RS Puri Asih Salatiga menunjukan penggunaan antibiotik yang tidak tepat untuk pasien demam tifoid dewasa didominasi oleh kategori IVA yaitu ada antibiotik lain yang lebih efektif sebanyak 20 (29,85%) antibiotik, sedangkan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang mendominasi adalah kategori IIA yaitu tidak tepat dosis sebanyak 29 (49,15%) antibiotik (Hapsari, 2014). Penelitian di RS Puri Asih Salatiga yang memiliki kategori rasional sebanyak 37 (55,22%) antibiotik sedangkan di RSUD Dr. Moewardi sebanyak 30 (50,85 %). Dari perbandingan 2 penelitian yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa pemberian antibiotik untuk untuk pasien demam tifoid di RS Puri Asih Salatiga yang dilakukan pada tahun 2016 lebih baik dibandingkan dengan pemberian antibiotik di RSUD Dr. Moewardi Surakarta karena tingkat ketepatan pemberian antibiotiknya lebih tinggi. Pemberian antibiotika yang tepat dan rasional memberikan manfaat yang besar bagi pasien. Pasien diuntungkan

55 karena terapi yang diberikan akan mencapai hasil yang maksimal dengan risiko terjadinya efek samping yang rendah, penyembuhan berlangsung cepat, dan biaya pengobatan menjadi lebih rendah. C. Kesulitan Penelitian Penelitian ini masih memiliki kelemahan dan keterbatasan antara lain: 1. Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam pengambilan sampel karena banyaknya rekam medis yang tidak ditulis lengkap.