PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK

dokumen-dokumen yang mirip
RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI

BAB I PENDAHULUAN. serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam Pasal 28

Eva Achjani Zulfa PUSANEV_BPHN

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 ayat (1), Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Undang-

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal dengan Restorative Justice,

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

9/13/2012 8:29 AM Ngurah Suwarnatha 1

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

BAB V KESIMPULAN. hanya dapat dilakukan satu kali saja. 1 Hal itu berarti putusan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

HJ. DS. DEWI., S.H., MH Wakil Ketua Pengadilan Negeri Cibinong

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Anak adalah bagian warga Negara yang harus dilindungi karena mereka

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus


Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA

II.TINJAUAN PUSTAKA. sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri Anak. Untuk melakukan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

: TINJAUAN HUKUM DIVERSI PADA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAKSI

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi hak anak (United

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Tindak Kekerasan dan Pemidanaan Anak ditinjau dari Perspektif HAM

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Alinea ke-4 Pembukaan (Preamble) Undang-Undang

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dilakukan pembahasan dan analisis, penulis dapat. menyimpulkan:

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan hukum (Rechtstaats),

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. kemudian hari. Apabila mampu mendidik, merawat dan menjaga dengan baik,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

BAB I PENDAHULUAN. amanah Tuhan yang harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V PENUTUP. terdahulu, maka hasil penelitian dari penulisan skripsi ini, penulis dapat

Harkristuti Harkrisnowo KepalaBPSDM Kementerian Hukum & HAM PUSANEV_BPHN

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Institute for Criminal Justice Reform

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang dapat merusak baik fisik, mental dan spiritual anak.

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KOORDINASI KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) KEHUTANAN DAN PENYIDIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. proses evolusi kapasitas selaku insan manusia, tidak semestinya tumbuh sendiri

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Oleh Lily I. Rilantono (Ketua Umum YKAI)

SUDIHARTO NIM

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV PENUTUP. diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut :

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN (Putusan Perkara No.285/Pid.B/2005/Pn.Jr)

Efektivitas Penerapan Diversi Terhadap Penanganan...

Hj. D.S. DEWI, SH.MH Wakil Ketua PN Bale Bandung

PENERAPAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. (Studi Kasus Pengadilan Negeri Boyolali)

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PP 2/2002, TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN SAKSI DALAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi:

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Yolanda Kayadoe NIM : 312012052 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA Mei 2016

MOTTO Kerjakan bagianku dengan setia dan Ia akan mengerjakan bagiannya Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur (Filipi 4:6) Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya (Matius 21:22)

KATA PENGANTAR Dalam penelitian hukum ini Penulis menguraikan ada 2 (dua) isu hukum yakni diversi yang diatur dalam UU SPPA tidak memberikan diskresi bagi aparat penegak hukum. Tidak adanya diskresi yang diberikan bagi aparat penegak hukum, maka anak yang menjadi pelaku tindak pidana akan diproses ke dalam sistem peradilan pidana anak. Isu hukum yang kedua adalah dalam kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban. Frase harus disini lebih memberikan kewenangan yang besar bagi korban sehingga hal ini dirasa dapat memberatkan pelaku ketika korban tidak setuju dengan kesepakatan diversi maka pelaku anak dapat melanjutkan ke proses selanjutnya dan bisa saja diproses ke dalam sistem peradilan pidana anak. Sehingga kedua isu hukum ini tidak akan sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak. Sehingga thesis dari isu hukum ini adalah bahwa seharusnya UU SPPA yang mengatur diversi mencerminkan adanya diskresi berdasarkan perspektif kepentingan terbaik bagi anak. Untuk menguraikan thesis ini, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Kepentingan terbaik anak tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak- Hak Anak yang telah diratifikasi pada Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child yang berbunyi: dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang dilakukan oleh lembagalembaga kesejahteraan sosial, Pemerintah atau badan-badan legislatif, kepentingan terbaik dari anak-anak harus menjadi pertimbangan utama. implikasi dari adanya keputusan yang dibuat oleh Pemerintah, Legislator maupun badan-badan yang menangani perkara anak berdasarkan kepentingan terbaik anak hendaknya memastikan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan jaminan bahwa anak tidak terputus hubungan dengan orang tua, anak tetap mendapatkan pendidikannya, anak memperoleh kehidupan yang memadai untuk tumbuh dan berkembang, tidak adanya ancaman kekerasan, tidak menimbulkan stigma negatif yang dapat mengganggu pertumbuhannya.

Diversi hanya dilakukan untuk subyek yang adalah anak, tindak pidana yang dilakukan dengan ancaman pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun serta bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Pemberian diversi kepada anak perlu memperhatikan usia dan kategori tindak pidana. Untuk usia berkaitan dengan pertanggungjawaban sehingga dalam UU SPPA merumuskan usia minimum pertanggungjawaban seorang anak adalah 12 (dua belas) tahun sedangkan untuk kategori tindak pidana terbagi menjadi 2 (dua) yakni kategori tindak pidana tanpa korban dan tindak pidana dengan adanya korban. Untuk kategori tindak pidana tanpa korban ini hanya diberikan diskresi bagi Penyidik yang tertuang dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU SPPA sedangkan bagi Penuntut Umum dan Hakim tidak diberikan diskresi. Mengacu pada Pasal 139 KUHAP yang memberikan kewenangan menuntut atau tidak menuntut pada Penuntut Umum. Kewenangan menuntut ini didasarkan pada 2 (dua) aspek. Aspek pertama yaitu tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana dan batal demi hukum yang tertuang dalam Pasal 140 KUHAP. Aspek kedua adalah menerapkan asas oportunitas namun asas oportunitas hanya dimiliki oleh Jaksa Agung yang tertuang dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Penuntut Umum yang mempunyai tindakan diskresi diatur dalam Article 19 Guidelines on the Role of the Prosecutors khususnya dalam menangani perkara-perkara anak. Selanjutnya diskresi pada Hakim yakni bahwa Hakim merupakan salah satu aparat penegak hukum yang diberikan kewenangan atau kebebasan untuk memutus suatu perkara berdasarkan penilaiannya yang bersifat obyektif serta bebas dari pengaruh dalam maupun luar. Diskresi yang diatur dalalm UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Kehakiman maupun dalam KUHAP ini lebih bersifat umum, sedangkan dalam UU SPPA tidak diatur diskresi. Penulis berpendapat bahwa seharusnya UU SPPA juga mengatur diversi dikarenakan UU SPPA ini merupakan peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Ini merupakan peraturan yang bersifat khusus dikarenakan anak merupakan golongan yang rentan terhadap suatu situasi yang dapat mempengaruhi tumbuh dan kembangnya sehingga anak dapat melakukan suatu tindak pidana di luar kehendaknya. Dengan berlakunya asas lex specialis derogat legi generali yakni hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang

bersifat umum. Sehingga dengan adanya asas ini memberikan manfaat bagi aparat penegak hukum yang menerapkan UU SPPA untuk memberikan diskresinya tanpa harus mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Dampak dari penggunaan diskresi oleh aparat penegak hukum terhadap anak bahwa anak tidak akan masuk ke dalam sistem peradilan. Untuk kategorti tindak pidana dengan adanya korban diselesaikan melalui pendekatan restorative justice yang menekankan pemulihan dan bersama-sama mencari penyelesaian. Pada kategori tindak pidana ini, diskresi yang dimiliki oleh aparat penegak hukum relatif lebih kecil dikarenakan penyelesaian restorative justice menekankan secara bersama-sama penyelesaiannya. Kewenangan aparat penegak hukum sebagai aparatur yang menerapkan Undang-Undang. Secara spesifik kewenangan tersebut berupa memberikan keputusan secara proporsional terhadap pengekangan penggunaan sanksi-sanksi, kerugian yang ditimbulkan dengan tindak pidana yang telah dilakukan. Sehingga dalam kesepakatan diversi, pelaku dan korban memiliki kepentingan yang adil. Sekalipun nanti proses diversi maupun restorative justice tidak berhasil dan anak harus menjalani proses peradilan maka seharusnya keputusan Hakim dapat mencerminkan kepentingan terbaik bagi anak. Sehingga makna kepentingan terbaik bagi anak dapat terwujud dengan semestinya bahwa anak dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana merupakan hak asasi manusia yang perlu untuk dilindungi karena anak merupakan manusia yang bermartabat. Salatiga, 12 Mei 2016 Yolanda Kayadoe

ABSTRAK Diversi merupakan upaya untuk penanganan anak yang berhadapan dengan hukum berdasarkan perspektif kepentingan terbaik anak. Diversi diatur pada The Beijing Rules dan UU SPPA. Perbedaan kedua peraturan ini adalah adanya diskresi yang diberikan kepada aparat penegak hukum dalam The Beijing Rules, sedangkan dalam UU SPPA tidak adanya diskresi tersebut. Diskresi yang dimiliki oleh aparat penegak hukum dapat ditemukan pada UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Kehakiman maupun KUHAP. Hanya saja dalam peraturan perundangundangan tersebut lebih bersifat umum, sedangkan untuk penanganan anak yang berhadapan dengan hukum lebih bersifat khusus karena anak merupakan golongan yang rentan terhadap suatu situasi tertentu. Oleh sebab itu dengan adanya pemberian diskresi bagi aparat penegak hukum dalam UU SPPA maka berlaku asas lex specialis derogat legi generali yang artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingan hukum yang bersifat umum. Sehingga anak yang berhadapan dengan hukum tidak harus diproses ke dalam sistem peradilan pidana anak yang akan menggangu tumbuh kembangnya. Kata Kunci : Diversi, kepentingan terbaik anak, diskresi.

DAFTAR ISI Ucapan Terima Kasih... i Kata Pengantar... iv Daftar Peraturan... vii Abstrak... ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 7 C. Tujuan Penelitian... 8 D. Manfaat Penelitian... 8 E. Metode Penelitian... 8 BAB II KEPENTINGAN TERBAIK ANAK, RESTORATIVE JUSTICE, DIVERSI DAN HUBUNGAN ANTARA DIVERSI DENGAN DISKRESI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA A. Kepentingan Terbaik Anak... 10 B. Kebijakan Penal dan Non Penal... 13 C. Restorative Justice... 15 D. Diversi 1. Sejarah dan Pengertian Diversi... 22 2. Sumber- Sumber Pengertian Diversi a. The Beijing Rules 1) Latar Belakang... 24 2) Prinsip-Prinsip Sistem Peradilan Pidana Anak... 26 b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 1) Latar Belakang... 27 2) Prinsip-Prinsip Sistem Peradilan Pidana Anak... 28 3. Pengaturan Diversi a. The Beijing Rules

1) Pengertian dan Tujuan Diversi... 29 2) Subyek Diversi... 29 3) Syarat Diversi... 31 4) Pihak-Pihak yang Melakukan Diversi... 31 5) Prosedur Diversi... 31 b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 1) Pengertian dan Tujuan Diversi... 32 2) Subyek Diversi... 32 3) Syarat Diversi... 35 4) Pihak-Pihak yang Melakukan Diversi... 35 5) Prosedur Diversi i. Tingkat Penyidikan... 36 ii. Tingkat Penuntutan... 36 iii. Tingkat Pengadilan... 37 E. Hubungan Antara Diversi dan Diskresi Dalam Penegakan Hukum Pidana 1. Istilah dan Pengertian Diskresi... 38 2. Hubungan Antara Diversi Dengan Diskresi... 40 3. Pengaturan Diskresi Dalam Penegakan Hukum Pidana... 41 a. Tingkat Kepolisian... 42 b. Tingkat Kejaksaan... 47 c. Tingkat Kehakiman... 51 BAB III PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK A. Hubungan The Beijing Rules dengan UU SPPA... 54 B. Kelemahan UU SPPA dan Pengaturan Diversi yang Ideal... 57 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 62 B. Saran... 63