RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN"

Transkripsi

1 RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (BIDANG HUKUM, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang : Masa Persidangan : III Rapat ke : Sifat : Terbuka Jenis Rapat : Rapat Panja Hari/tanggal : Senin, 7 Maret 2016 Waktu : Pukul s.d WIB Tempat : Ruang Rapat Komisi III DPR RI Acara : Penjelasan Pemerintah terhadap hasil rekonstruksi dan reformulasi rumusan pasal-pasal yang ada dalam Buku I RUU KUHP I. PENDAHULUAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN Rapat Panja dibuka pada pukul WIB, diskors pukul WIB, dan dilanjutkan kembali pukul WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, DR. Benny K. Harman, SH dengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas. II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN Pemerintah menyampaikan hasil rekonstruksi dan reformulasi rumusan pasalpasal yang ada dalam Buku I RUU KUHP, diantaranya sebagai berikut: 1. DIM No. 416 (Bagian Ketiga) Bagian Ketiga Tindakan 2. DIM No. 417 (Pasal 103 ayat (1)) Pasal 103 (1) Setiap orang yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, dapat dikenakan tindakan berupa: Fraksi GOLKAR mengusulkan Dalam hal khusus atau tertentu pengenaan tindakan ini tidak hanya berlaku kepada Pasal 42 dan 41 namun juga harus diperluas bagi korban penyalahguna narkotika dan psikotropika. Jenis

2 tindakan harus di tambah dengan tindakan rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga. perlu di perluas dan identifikasi jenis tindakan lainnya dengan tindakan rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga. Fraksi GERINDRA mengusulkan F-HANURA : perlu di perluas dan identifikasi jenis tindakan lainnya dengan tindakan rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga Dalam hal khusus atau tertentu pengenaan tindakan ini tidak hanya berlaku kepada Pasal 42 dan 41 namun juga harus diperluas bagi korban penyalahguna narkotika dan psikotropika. jenis tindakan harus di tambah dengan tindakan rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga rumusan baru penambahan dalam Pasal 103 huruf d rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga) Terhadap usul F-Golkar dan F-Hanura, Pemerintah berpendapat bahwa rehabilitasi dan/atau perawatan di lembaga dalam Pasal 103 merupakan bagian dari tindakan yang hanya dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok. Sedangkan tindskan rehabilitasi dan/atau perawatan di lembaga tidak bisa diberikan kepada korban penyalahguna narkotika dan psikotropika, karena tidak menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental atau disabilitas mental lainnya yang sulit untuk disembuhkan. Sehingga rumusan Pasal 103 ayat (1) tetap. 3. DIM No. 418 (Pasal 103 ayat (1) huruf a) a. perawatan di rumah sakit jiwa; Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 103 ayat (1) huruf a tetap. 4. DIM No. 418A F-GERINDRA mengusulkan ada tambahan huruf. Diadaptasi dari UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. a. konseling perubahan perilaku; Terhadap usulan baru dari F-Gerindra, Pemerintah bersedia membahas lebih lanjut di dalam PANJA dan TIMUS. 5. DIM No. 419 b. penyerahan kepada pemerintah; atau F-GERINDRA : Nomor huruf disesuaikan. Terhadap usulan F-Gerindra, Pemerintah berpendapat menunggu hasil kesepakatan dalam DIM No. 417 dan DIM No. 418A (Pasal 103 ayat (1)). 6. DIM No. 420 c. penyerahan kepada seseorang. 2

3 F-GERINDRA :. Nomor huruf disesuaikan. Terhadap usulan F-Gerindra, Pemerintah berpendapat menunggu hasil kesepakatan dalam DIM No. 417 dan DIM No. 418A (Pasal 103 ayat (1)). 7. DIM No. 420A F-NASDEM mengusulkan substansi baru, dalam hal khusus atau tertentu pengenaan tindakan ini hanya berlaku kepada Pasal 42 dan 41 namun juga harus diperluas bagi korban penyalahguna narkotika dan psikotropika. Jenis tindakan harus ditambah dengan tindakan rehabilitasi; dan/atau perawatan dilembaga. Rumusan baru, Penambahan dalam Pasal 103 huruf d rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga. Fraksi Golkar mengusulkan rumusan baru penambahan dalam pasal 103 huruf d rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga) 8. DIM No. 421 (Pasal 103 ayat ( 2)) (2) Tindakan yang dapat dikenakan bersama sama dengan pidana pokok berupa: F-PPP menjelaskan Jika penjatuhan putusan pengenaan tindakan ini juga hanya di kenakan dengan pidana pokok maka pengenaan tindakan ini masih sangat sempit ruang lingkupnya. ketentuan ini belum menjangkau konsep penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, bagaimana dengan nasib pasal-pasal tindak pidana terkait dengan rehablitasi narkotika dan psikotripika yang di atur dalam ketentuan Buku II atau UU narkotika bahkan dalam konteks narkotika seharusnya jenis tindakan ini bisa diberikan secara tunggal tanpa harus mengikuti pidana pokok lainnya F-HANURA : Jika penjatuhan putusan pengenaan tindakan ini juga hanya di kenakan dengan pidana pokok maka pengenaan tindakan ini masih sangat sempit ruang lingkupnya. ketentuan ini belum menjangkau konsep penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, Bagaimana dengan nasib pasal-pasal tindak pidana terkait dengan rehablitasi narkotika dan psikotripika yang di atur dalam ketentuan Buku II atau UU narkotika Dalam konteks narkotika seharusnya jenis tindakan ini bisa diberikan secara tunggal tanpa harus mengikuti pidana pokok lainnya Terhadap usul dari F-PPP dan F-Hanura, Pemerintah berpendapat bahwa untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif, kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Untuk dapat dikatakan bahwa seseorang mampu bertanggungjawab adalah faktor akal yang dapat membedakan 3

4 perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Konsep RUU KUHP membatasi penjatuhan tindakan secara tunggal hanya kepada orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga rumusan Pasal 103 ayat (2) tetap. 9. DIM No. 422 (Pasal 103 ayat ( 2) huruf a) a. pencabutan surat izin mengemudi; Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 103 ayat (2) huruf a tetap. 10. DIM No. 423 (Pasal 103 ayat ( 2) huruf b) b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 103 ayat (2) huruf b tetap. 11. DIM No. 424 (Pasal 103 ayat ( 2) huruf c) c. perbaikan akibat tindak pidana; Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 103 ayat (2) huruf c tetap. 12. DIM No. 425 (Pasal 103 ayat ( 2) huruf d) d. latihan kerja; Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 103 ayat (2) huruf d tetap. 13. DIM No. 426 (Pasal 103 ayat ( 2) huruf e) e. rehabilitasi; dan/atau Fraksi NASDEM mengusulkan dimasukkan dalam pasal 103 bagian d F-HANURA : di masukkan dalam pasal 103 bagian d, di pindahkan ke dalam pasal 103 bagian d. Pemerintah menyampaikan bahwa terhadap usul F-Nasdem dan F-Hanura, sudah dijelaskan pada DIM No. 417 (Pasal 103 ayat (1)). Sehingga rumusan Pasal 103 ayat (2) huruf e tetap. 14. DIM No. 427 (Pasal 103 ayat ( 2) huruf f) f. perawatan di lembaga. F-HANURA mengusulkan di masukkan dalam pasal 103 bagian d Pemerintah menyampaikan bahwa terhadap usul F-Hanura, sudah dijelaskan pada DIM No. 417 (Pasal 103 ayat (1)). Sehingga rumusan Pasal 103 ayat (2) huruf f tetap. 15. DIM No. 428 ( Pasal 104) Pasal 104 4

5 Dalam menjatuhkan putusan yang berupa pengenaan tindakan, wajib diperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 104 tetap. 16. DIM No. 429 ( Pasal 105 ayat (1)) Pasal 105 (1) Putusan tindakan berupa perawatan di rumah sakit jiwa dijatuhkan setelah pembuat tindak pidana dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan yang bersangkutan masih dianggap berbahaya berdasarkan surat keterangan dari dokter ahli rujukan pemerintah F-PKS mengusulkan substansi Dokter ahli rujukan pemerintah Terhadap usul dari F-PKS, Pemerintah setuju dengan usul tersebut dan bersedia membahas lebih dalam TIMUS dan TIMSIN. 17. DIM No. 430 (Pasal 105 ayat (2)) (2) Pembebasan dari tindakan perawatan di rumah sakit jiwa dikenakan, jika yang bersangkutan dianggap tidak berbahaya lagi dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut berdasarkan surat keterangan dari dokter ahli. 18. DIM No. 431 (Pasal 106 ayat (1)) Pasal 106 (1) Tindakan penyerahan kepada pemerintah, bagi orang dewasa dilakukan demi kepentingan masyarakat. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 106 ayat (1) tetap. 19. DIM No. 432 (Pasal 106 ayat (2)) (2) Dalam putusan hakim ditentukan tempat dan bagaimana tindakan harus dijalankan. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 106 ayat (2) tetap. 20. DIM No. 433 (Pasal 107 ayat (1)) Pasal 107 (1) Tindakan berupa penyerahan kepada seseorang, dapat dikenakan kepada pembuat tindak pidana dewasa. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 107 ayat (1) tetap. 21. DIM No. 434 (Pasal 107 ayat (2)) (2) Tindakan penyerahan kepada seseorang, bagi orang dewasa dilakukan demi kepentingan masyarakat. 5

6 Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 107 ayat (2) tetap. 22. DIM No. 435 (Pasal 107 ayat (3)) (3) Dalam putusan hakim ditentukan tempat dan bagaimana tindakan harus dijalankan. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 107 ayat (3) tetap. 23. DIM No. 436 (Pasal 108 ayat (1)) Pasal 108 (1) Tindakan berupa pencabutan surat izin mengemudi dikenakan setelah mempertimbangkan: Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 108 ayat (1) tetap. 24. DIM No. 437 (Pasal 108 ayat (1) huruf a) a. keadaan yang menyertai tindak pidana yang dilakukan Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 108 ayat (1) huruf a tetap. 25. DIM No. 438 (Pasal 108 ayat (1) huruf b) b. keadaan yang menyertai pembuat tindak pidana; atau Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 108 ayat (1) huruf b tetap. 26. DIM No. 439 (Pasal 108 ayat (1) huruf c) c. kaitan pemilikan surat izin mengemudi dengan usaha mencari nafkah. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 108 ayat (1) huruf c tetap 27. DIM No. 440 ( Pasal 108 ayat (2)) (2) Jika surat izin mengemudi dikeluarkan oleh negara lain maka pencabutan surat izin mengemudi dapat diganti dengan larangan menggunakan surat izin tersebut di wilayah negara Republik Indonesia. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 108 ayat (2) tetap. 28. DIM No. 441 ( Pasal 108 ayat (3)) (3) Jangka waktu pencabutan surat izin mengemudi berlaku antara 1 (satu) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun. F-DEMOKRAT mengusulkan Frase lima tahun terlalu lama. 6

7 Jangka waktu pencabutan surat izin mengemudi berlaku antara 1 (satu) tahun sampai dengan 2 (dua) tahun. Terhadap usul dari F-Demokrat, Pemerintah berpendapat bahwa rumusan ini mengenai jangka waktu minimum dan maksimum pencabutan tersebut, yang disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan. 29. DIM No. 442 ( Pasal 109 ayat (1)) Pasal 109 (1) Tindakan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dapat berupa uang, barang, atau keuntungan lain. SUBSTANSI F-DEMOKRAT mengusulkan sebaiknya mendapat Izin dari ketua pengadilan agar penyidik tidak bertindak sewenang-wenang. Pasal 109 (1) Tindakan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dapat berupa uang, barang, atau keuntungan lain harus mendapat izin dari ketua pengadilan Terhadap usul dari F-Demokrat, Pemerintah berpendapat mekanisme perampasan keuntungan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana tercantum dalam DIM No. 455 (Pasal 114). F-PAN mengusulkan Setelah frasa atau keuntungan lain ditambah frasa yang dapat disetarakan dengan uang Yang dapat disetarakan dengan uang misalnya; saham, Surat Utang Negara, voucher dan hadiah. Pasal 109 (1) Tindakan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dapat berupa uang, barang, atau keuntungan lain yang dapat disetarakan dengan uang. Terhadap usul dari F-PAN, Pemerintah berpendapat bahwa tidak perlu karena sudah dijabarkan di dalam DIM No. 443 (Pasal 109 ayat (2)). 30. DIM No. 443 ( Pasal 109 ayat (2)) (2) Jika hasil keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berupa uang maka pembuat tindak pidana dapat mengganti dengan sejumlah uang yang ditentukan oleh hakim. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 109 ayat (2) tetap. 31. DIM No. 444 ( Pasal 110) Pasal 110 Tindakan berupa perbaikan akibat tindak pidana dapat berupa penggantian atau pembayaran harga taksiran kerusakan sebagai akibat tindak pidana tersebut. F-PKS meminta Penentuan taksiran harga harus diperjelas. 7

8 Terhadap usul dari F-PKS, Pemerintah berpendapat bahwa penentuan harga taksiran akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana tercantum dalam DIM No. 455 (Pasal 114). 32. DIM No. 445 (Pasal 111 ayat (1)) Pasal 111 (1) Dalam mengenakan tindakan berupa latihan kerja, wajib dipertimbangkan: Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 101 ayat (1) tetap. 33. DIM No. 446 (Pasal 111 ayat (1) huruf a) a. kemanfaatan bagi pembuat tindak pidana; Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 111 ayat (1) huruf a tetap. 34. DIM No. 447 (Pasal 111 ayat (1) huruf b) b. kemampuan pembuat tindak pidana; dan Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 111 ayat (1) huruf b tetap. 35. DIM No. 448 (Pasal 111 ayat (1) huruf c) c. jenis latihan kerja. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 111 ayat (1) huruf c tetap. 36. DIM No. 449 (Pasal 111 ayat (2)) (2) Dalam menentukan jenis latihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, wajib diper hatikan latihan kerja atau pengalaman kerja yang pernah dilakukan dan tempat tinggal pembuat tindak pidana. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 111 ayat (2) tetap. 37. DIM No. 450 (Pasal 112 ayat (1)) Pasal Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang: Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 112 ayat (1) tetap. 38. DIM No. 451 (Pasal 112 ayat (1) huruf a) a. kecanduan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau F-PKS mengusulkan ditambahkan kecanduan pornografi. Kecanduan pornografi, alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau. 8

9 Terhadap usul F-PKS, Pemerintah perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut mengenai: 1. Parameter atau batasan kecanduan pornografi? 2. Apakah ada bentuk atau penanganan rehabilitasi kecanduan pornografi? 39. DIM No. 452 (Pasal 112 ayat (1) huruf b) b. mengidap kelainan seksual atau yang mengidap kelainan jiwa. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 112 ayat (1) huruf b tetap. 40. DIM No. 453 ( Pasal 112 ayat (2)) (2) Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial, baik milik pemerintah maupun swasta. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 112 ayat (2) tetap. 41. DIM No. 454 ( Pasal 113) Pasal 113 Tindakan perawatan di lembaga harus didasarkan atas sifat berbahayanya pembuat tindak pidana yang melakukan tindak pidana tersebut sebagai suatu kebiasaan. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 113 tetap. 42. DIM No. 455 (Pasal 114) Pasal 114 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 114 tetap. 43. DIM No. 456 (Bagian Keempat) Bagian Keempat Pidana dan Tindakan bagi Anak 44. DIM No. 457 (Paragraf 1) Paragraf 1 Pidana bagi Anak 45. DIM No. 458 (Pasal 115 ayat (1)) Pasal 115 (1) Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan. F-HANURA : Meskipun sesuai dengan UU SPPA, standar umur pidana anak di Indonesia terlalu rendah, sesuai dengan rekomendasi Komite Hak Anak PBB ke Indonesia, maka harusnya usia pertanggungjawaban anak dinaikkan menjadi minimal berusia 14 tahun. 9

10 (1) Anak yang belum mencapai umur 14 (empat belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan Terhadap usulan F-Hanura, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa rumusan dalam Pasal 115 ayat (1) tetap karena sudah disesuaikan dengan Pasal 1 angka 3 UU SPPA, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 1 Konvensi Hak Anak dan juga sudah dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 115 yang berbunyi: Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi seorang anak yang melakukan tindak pidana. Penentuan batas umur 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual, dan mental anak. Seorang anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penyelesaian kasusnya harus didasarkan pada ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. UU Nomor 3 Tahun 1997 ttg Pengadilan Anak mengatur usia pertanggungjawaban pidana adalah 8 tahun dan UU SPPA menaikannnya menjadi 12 tahun. Batas umur maksimum 18 (delapan belas) tahun untuk dapat diajukan ke pengadilan anak, adalah sesuai dengan umur kedewasaan anak, agar bagi mereka dapat diterapkan ketentuan mengenai anak. Penjelasan Pasal 115 Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi seorang anak yang melakukan tindak pidana. Penentuan batas umur 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual, dan mental anak. Seorang anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penyelesaian kasusnya harus didasarkan pada ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. 46. DIM No. 459 (Pasal 115 ayat (2)) (2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana. F-DEMOKRAT mengusulkan Frase dan tidak tepat, yang benar adalah sampai. Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana. F-HANURA : Harus juga dipertegas, bahwa kategori anak bertumpu pada usia. Sehingga tidak boleh ada kualifikasi lain seperti status perkawinan. 10

11 Ditambahkan Pasal Penjelasan Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 14 (empat belas) tahun dan 18 (delapan belas), meskipun sudah kawin berada dibawah usia 18 tahun, yang melakukan tindak pidana. 47. DIM No. 460 (Pasal 116 ayat (1)) Pasal 116 (1) Dengan memperhatikan ketentuan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56, demi kepentingan terbaik bagi anak, pemeriksaan di depan pengadilan dapat ditunda atau dihentikan setelah mendengar pertimbangan penyidik, penuntut umum, dan petugas kemasyarakatan. F-GERINDRA mengusulkan perubahan substansi Pasal 116 (1) Dengan memperhatikan ketentuan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55, demi kepentingan masa depan anak, penyidikan dan/atau pelimpahan berkas perkara ke pengadilan dapat dihentikan oleh penuntut umum dengan izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan, atau pemeriksaan di depan pengadilan dapat ditunda atau dihentikan setelah mendengar pertimbangan penyidik, penuntut umum, dan petugas kemasyarakatan. 48. DIM No. 461 (Pasal 116 ayat (2)) (2) Penundaan atau penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan syarat: F-GERINDRA mengusulkan perubahan substansi (2) Penyidikan dan/atau pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, penundaan atau penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan syarat: 49. DIM No. 462 (Pasal 116 ayat (2) huruf a) a. anak tidak akan melakukan tindak pidana; dan/atau 50. DIM No. 463 (Pasal 116 ayat (2) huruf b) b. anak dalam waktu tertentu harus mengganti semua atau sebagian kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan-nya. F-GERINDRA mengusulkan perubahan ditambahkan dan/atau orang tuanya atau walinya setelah anak. b. anak dan/atau orang tuanya atau walinya dalam waktu tertentu harus mengganti semua atau sebagian kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan nya. F-DEMOKRAT mengusulkan untuk dihapus Anak masih belum dianggap dewasa sehingga belum dapat bertanggung jawab secara maksimal. F-PKS mengusulkan menambah kata melalui orang tua atau wali. Lebih rasional jika wali atau orang tua yang bertanggung jawab. 11

12 anak melalui orang tua atau walinya dalam waktu tertentu harus mengganti semua atau sebagian kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan-nya. Pemerintah menyampaikan bahwa rumusan Pasal 116 dihapus dengan pertimbangan: 1. UU SPPA tidak mencantumkan mekanisme untuk menunda atau menghentikan perkara dalam pemeriksaan di depan pengadilan. 2. Mekanisme ini dapat diakomodasi dengan Diversi yang dapat dilaksanakan pada setiap tingkat proses peradilan pidana anak. 51. DIM No. 464 (Pasal 117 ayat (1)) Pasal 117 (1) Setiap penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam memeriksa anak wajib mengupayakan diversi. F-DEMOKRAT menjelaskan bahwa Merujuk pada Pasal 1 angka 7 UU 11 tahun 2012, pengertian diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Terhadap rumusan yang diatur dalam Bagian Keempat mengenai Pidana dan Tindakan bagi Anak, Pemerintah telah melakukan pengkajian kembali terhadap rumusan Bagian Keempat ini dengan mengelompokkan substansi yang diatur dalam 3 (tiga) kategori, yakni: a. diversi; b. tindakan; dan c. pidana. Pengelompokkan substansi ini menitikberatkan kepada jenis subtansi dari yang terendah hingga terberat yang dikenakan kepada anak. Pengelompokkan ini berimplikasi kepada perubahan urutan pasal-pasal yang tercantum. Sehingga Pemerintah mengusulkan rumusan dalam Bagian Keempat yang semula mengenai Pidana dan Tindakan bagi Anak diubah menjadi Diversi, Tindakan, dan Pidana bagi Anak. Pengelompokkan pasal-pasal dalam Bagian ini juga harus disesuaikan dengan urutan substansi dengan pengaturan diversi, tindakan, dan pidana. Oleh karena itu Pemerintah mengusulkan reformulasi ulang rumusan dalam Bagian Keempat yang berbunyi sebagai berikut: Paragraf 1 Umum Pasal 115 (1) Diversi dilaksanakan pada anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulanggan tindak pidana. (berasal dari Pasal 117) 52. DIM No. 465 (Pasal 117 ayat (2)) (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan. 12

13 Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 116 ayat (2) huruf a tetap. 53. DIM No. 466 (Pasal 117 ayat (2) huruf a) a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan F-HANURA menjelaskan Pasal ini dirinci, tidak hanya secara umum tindak pidana yang diancam di bawah 7 tahun penjara saja, namun untuk semua tidak pidana dan dibuat pengecualiannya untuk beberapa tindak pidana seperti tindak pidana yang diancam dengan pidana 15 tahun penjara atau seumur hidup atau pidana mati, atau tindak pidana lain yang tergolong mendapatkan perhatian publik seperti pembunuhan, pemerkosaan dan lain sebagainya. Meningkatnya seluruh ancaman pidana di berbagai Undang-undang di Indonesia telah mengakibatkan banyak tindak pidana yang ancamannya juga meningkat, hal ini mendorong perlu dilakukannya kategorisasi tindak pidana mana saja yang sebetulnya tidak dapat dilakukan diversi. Pengaturan seperti ini akan mempersempit ruang Diversi bagi anak. Data yang dihimpun ICJR, angka tertinggi tindak pidana yang dilakukan anak adalah pidana pencurian. Terutama Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP merupakan pasal yang paling sering digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum, dimana pasal ini diancam dengan pidana penjara 7 Tahun, oleh karena apabila syarat Diversi akan dikaitkan dengan syarat dibawah 7 tahun maka potensi angka anak yang tidak dapat dilakukan Diversi akan tinggi. Selain itu tindak pidana lain seperti narkotika yang juga menempati urutan teratas tindak pidana yang paling sering dilakukan anak rata-rata ancaman pidananya diatas 7 tahun, sehingga perlu dirunut ulang, tindak pidana apa saja yang baiknya menjadi tindak pidana yang mana anak tidak dapat dihadapkan pada proses diversi. Perlu juga diingat, untuk kejahatan yang bersifat terorganisir, maka anak harus ditempatkan sebagai korban, seperti dalam tindak pidana narkotika. Terhadap usulan F-Hanura, Pemerintah berpendapat syarat untuk dapat diversi dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA hanya dibatasi untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara paling lama 7 tahun. Apabila ancaman pidana tidak dibatasi dikhawatirkan tujuan pemidaan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 RUU KUHP tidak tercapai (khususnya berkaitan dengan rasa keadilan masyarakat). 54. DIM No. 467 b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. F-HANURA mengusulkan dihapus Ketentuan ini tidak konsisten dengan tujuan sistem peradilan pidana anak, bahwa meskipun melakukan pengulangan tindak pidana, maka anak harus dihindarkan dari proses peradilan pidana, sehingga ketentuan ini tidak lagi relevan. Terhadap usulan F-Hanura, Pemerintah berpendapat bahwa tujuan diberikannya Diversi adalah untuk menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak dan ketentuan ini sudah sejalan dengan Pasal 7 UU SPPA. 13

14 (2) Tindakan bagi anak hanya berlaku bagi anak yang berumur antara 12 (empat belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun. (3) Pidana bagi anak hanya berlaku bagi anak yang berumur antara 14 (empat belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun. Catatan: Perubahan penempatan ayat dengan perbaikan redaksional. 55. DIM No. 468 (Pasal 118 ayat (1)) Pasal 118 (1) Pelaksanaan diversi wajib memperhatikan: F-DEMOKRAT menjelaskan Politik hukum pemerintah dalam RUU KUHP ini jangan sampai bertentangan dengan politik hukum yang terkandung di dalam UU Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tersebut merupakan lex specialis dari KUHP, dengan demikian, perlu dipertimbangkan pula, apakah ketentuan yang mengatur anak di dalam RUU KUHP ini perlu diatur atau tidak. Bila memang diatur di dalam RUU KUHP, maka berlaku asas aturan yang baru mengenyampingkan Undang-Undang yang lama (Asas lex posterior derogat legi priori). Di satu sisi, Undang-Undang No.11 Tahun 2012 merupakan lex specialis dari KUHP. Jadi dalam penerapannya bila ada ketentuan yang bersifat kontradiktif menimbulkan kerancuan. Namun, apakah ketentuan menyangkut anak ini akan diberlakukan atau tidak sepenuhnya menjadi kewenangan legislator. F-HANURA menjelaskan Dalam konsep awal Diversi anak, harusnya yang menjadi perhatian paling dasar adalah kepentingan Anak. Diversi secara prinsipil adalah untuk menghindarkan anak dari proses peradilan. Artinya Diversi secara mendasar mengutamakan kepentingan anak agar tidak berhadapan dengan proses peradilan, barulah berbicara mengenai kepentingan korban, meskipun dapat dilakukan secara pararel. a. Kepentingan Anak b. Kepentingan Korban c. Dst d. Dst Terhadap catatan dari F-Hanura, Pemerintah berpendapat bahwa RUU KUHP menganut asas keseimbangan tanpa membedakan Anak sebagai pelaku maupun korban. Untuk itu Pemerintah berpendapat tidak perlu menambahkan frasa Kepentingan Anak sehingga substansi tetap dengan perbaikan redaksional mengapus kata pelaksanaan kata Diversi pada ayat (1) dan menghapus kata Kesepakatan sebelum kata Diversi pada ayat (2) sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 118 (1) Diversi wajib memperhatikan: a. kepentingan korban; b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak; c. penghindaran stigma negatif; d. penghindaran pembalasan; e. keharmonisan masyarakat; dan 14

15 f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. (2) Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk: a. tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I; a. tindak pidana ringan; b. tindak pidana tanpa korban; atau c. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Penjelasan Pasal 118 Cukup jelas. 56. DIM No. 468A F-PKS mengusulkan dihapus Pada hakekatnya, pelaksanaan diversi ditujukan untuk mengalihkan proses peradilan pidana kepada proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Hal ini ditujukan semata-mata untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak untuk keluar dari sistem peradilan pidana. (1) Pelaksanaan diversi wajib memerhatikan a. Kepentingan Anak (pelaku) b. Kepentingan korban Dst..., F-NASDEM menanggapi untuk itu didalam pelaksanaan diversi patut kiranya menambahkan kepentingan anak (pelaku itu sendiri) kedalam halhal yang bersifat wajib untuk dilaksanakannya upaya diversi tersebut, mengingat pelaksanaan diversi ditujukan untuk menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatan sistem peradilan. Penambahan di huruf a. Kepentingan Anak. Dalam konsep awal Diversi anak, harusnya yang menjadi perhatian paling dasar adalah kepentingan Anak. Diversi secara prinsipil adalah untuk menghindarkan anak dari proses peradilan. Artinya Diversi secara mendasar mengutamakan kepentingan anak agar tidak berhadapan dengan proses peradilan, barulah berbicara mengenai kepentingan korban, meskipun dapat dilakukan secara pararel. kepentingan anak F-PG menanggapi dalam konsep awal Diversi anak, harusnya yang menjadi perhatian paling dasar adalah kepentingan Anak. Diversi secara prinsipil adalah untuk menghindarkan anak dari proses peradilan. Artinya Diversi secara mendasar mengutamakan kepentingan anak agar tidak berhadapan dengan proses peradilan, barulah berbicara mengenai kepentingan korban, meskipun dapat dilakukan secara pararel. 57. DIM No. 469 (Pasal 118 ayat (1) huruf a) a. kepentingan korban; 58. DIM No. 470 (Pasal 118 ayat (1) huruf b) b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak; 15

16 59. DIM No. 471 (Pasal 118 ayat (1) huruf c) c. penghindaran stigma negatif; 60. DIM No. 472 (Pasal 118 ayat (1) huruf d) d. penghindaran pembalasan; 61. DIM No. 473 (Pasal 118 ayat (1) huruf e) e. keharmonisan masyarakat; dan 62. DIM No. 474 (Pasal 118 ayat (1) huruf f) f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. 63. DIM No. 475 (Pasal 118 ayat (2)) (2) Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk: F-GOLKAR mengusulkan konsep persetujuan korban memang menjadi hal yang sangat penting mengingat prinsip restorative justice, namun dalam kondisi yang sama, porsi korban sangat besar dan cenderung timpang dengan pelaku, karena kesepakatan pasti tidak tercapai apabila korban menolaknya. Proses yang timpang ini pada dasarnya akan terjadi dalam setiap tingkatan peradilan. Dengan konsep ini bisa dipastikan bahwa posisi tersangka atau terdakwa anak ada di posisi tawar yang rendah, sehingga saja tidak menjamin anak untuk dapat menyelesaikan permasalahannya di luar peradilan. Ketentuan ini juga belum mencakup ketentuan yang harus melindungi anak dari kejahatan kejahatan terorganisir dan transnasional crime, dalam dua kejahatan tersebut, anak harus dimaknai sebagai korban. Dibuat interval tindak pidana apa saja yang membutuhkan persetujuan korban, memperhatikan kepentingan korban, dan tanpa persetujuan korban. Misalnya tindak pidana penganiayaan ringan atau pencurian harusnya hanya memperhatikan kepentingan korban tanpa harus meminta persetujuan korban. Penambahan Pasal : a. Tindak pidana anak sebagai korban kejahatan terorganisir dan trans nasionalcrime, b. Tindak pidana anak sebagai Justice Collaborator 64. DIM No. 476 (Pasal 118 ayat (2) huruf a) a. tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I; F-GOLKAR : Harus diperjelas apakah makna dari pasal ini adalah semua kejahatan yang hanya diancam dengan denda kategori I atau semua tidan pidana yang juga dipidana dengan kategori I. Untuk meningkatkan efektifitas Diversi maka baiknya dipakai pengertian bahwa semua kejahatan yang juga dipidana dengan kategori I dan juga tindak pidana-tindak pidana yang hanya dipidana dengan denda. a. tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I; dan atau hanya dengan pidana denda. F-HANURA : Harus diperjelas apakah makna dari pasal ini adalah semua kejahatan yang hanya diancam dengan denda kategori I atau semua tidan 16

17 pidana yang juga dipidana dengan kategori I. Untuk meningkatkan efektifitas Diversi maka baiknya dipakai pengertian bahwa semua kejahatan yang juga dipidana dengan kategori I. Dan juga tindak pidana-tindak pidana yang hanya dipidana dengan denda.tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I; dan atau hanya dengan pidana denda. 65. DIM No. 477 (Pasal 118 ayat (2) huruf b) b. tindak pidana ringan; 66. DIM No. 478 (Pasal 118 ayat (2) huruf c) c. tindak pidana tanpa korban; atau 67. DIM No. 479 (Pasal 118 ayat (2) huruf d) d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. F-GOLKAR mengusulkan Pembedaan kerugian berdasarkan nilai upah minimum provinsi akan mengakibatkan perbedaan perlakuan terhadap anak berdasarkan provinsi. Dan lagi, akan terdapat beberapa permasalahan tehknis penentuan kerugian, misalnya dalam hal anak melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian di lebih dari satu provinsi. Atas dasar kepentingan anak maka standar yang dipakai baiknya standar tertinggi upah minimum tertinggi provinsi di Indonesia, bukan berdasarkan masing-masing provinsi d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum tertinggi provinsi di Indonesia. F-PPP mengusulkan perubahan rumusan, Pembedaan kerugian berdasarkan nilai upah minimum provinsi akan mengakibatkan perbedaan perlakuan terhadap anak berdasarkan provinsi. Dan lagi, akan terdapat beberapa permasalahan tehknis penentuan kerugian, misalnya dalam hal anak melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian di lebih dari satu provinsi. Atas dasar kepentingan anak maka standar yang dipakai baiknya standar tertinggi upah minimum tertinggi provinsi di Indonesia, bukan berdasarkan masing-masing provinsi. d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum tertinggi provinsi di Indonesia. F-HANURA mengusulkan Pembedaan kerugian berdasarkan nilai upah minimum provinsi akan mengakibatkan perbedaan perlakuan terhadap anak berdasarkan provinsi. Dan lagi, akan terdapat beberapa permasalahan tehknis penentuan kerugian, misalnya dalam hal anak melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian di lebih dari satu provinsi. Atas dasar kepentingan anak maka standar yang dipakai baiknya standar tertinggi upah minimum tertinggi provinsi di Indonesia, bukan berdasarkan masing-masing provinsi e. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum tertinggi provinsi di Indonesia. 68. DIM No. 479A F-HANURA mengusulkan penambahan ayat (2) huruf f f. Tindak pidana anak sebagai korban kejahatan terorganisir dan trans nasional crime, 17

18 Ditambahkan penjelasan dalam hal Tindak pidana anak sebagai korban kejahatan terorganisir : Dalam hal anak sebagai pelaku dalam kejahatan terorganisir, anak harus ditempatkan sebagai korban. Misalnya sebagai kurir narkotik dll. 69. DIM No. 479B F-HANURA mengusulkan penambahan ayat (2) huruf g g. Tindak pidana anak sebagai Justice Collaborator. Juga perlu ditambahkan ketentuan dalam hal anak menjadi Justice Collaborator 70. DIM No. 480 ( Pasal 119) Pasal 119 Ketentuan mengenai pemberatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 dan Pasal 142, tidak berlaku terhadap anak yang melakukan pengulangan tindak pidana. 71. DIM No. 481 ( Pasal 120 ) Pasal 120 Dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk: 72. DIM No. 482 (Pasal 120 huruf a) a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau 73. DIM No. 483 (Pasal 120 huruf b) b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan. Pemerintah berpendapat bahwa penempatan substansi dalam Pasal 119 dan Pasal 120 tidk tepat dikelompokan dalam bagian mengenai Diversi, Tindakan, dan Pidana karena Pasal 119 mengatur mengenai pengecualian terhadap pengulangan tindak pidana, sehingga Pasal 119 diusulkan untuk dihapus dan Pasal 120 mengatur substansi pertanggungjawaban pidana bagi Anak sehingga akan direformulasi ulang oleh Pemerintah dan diusulkan untuk ditempatkan dalam ketentuan pertanggungjawaban pidana setelah Pasal DIM No 484 ( Pasal 121) Pasal 121 Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak berupa: sehingga rumusan dalam Pasal 121 tetap. 75. DIM No. 485 (Pasal 121 huruf a) a. pidana pokok; dan 18

19 Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 121 huruf a tetap. 76. DIM No. 486 (Pasal 121 huruf b) b. pidana tambahan. sehingga rumusan dalam Pasal 121 huruf b tetap. 77. DIM No. 487 ( Pasal 122) Pasal 122 Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 huruf a terdiri atas: sehingga rumusan dalam Pasal 122 tetap. 78. DIM No. 488 (Pasal 122 huruf a) a. pidana peringatan; sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf a tetap. 79. DIM No. 489 (Pasal huruf b) b. pidana dengan syarat: sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf b tetap. 80. DIM No. 490 (Pasal 122 huruf b angka 1) 1. pembinaan di luar lembaga; sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf b angka 1 tetap. 81. DIM No. 491 (Pasal 122 huruf angka 2) 2. pelayanan masyarakat; atau sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf b angka 2 tetap. 82. DIM No. 492 (Pasal 122 huruf b angka 3) 3. pengawasan. sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf b angka 3 tetap. 83. DIM No. 493 (Pasal 122 huruf c) c. pelatihan kerja; 19

20 sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf c tetap. 84. DIM No. 494 (Pasal 122 huruf d) d. pembinaan dalam lembaga; dan sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf d tetap. 85. DIM No. 495 (Pasal 122 huruf e) e. penjara. Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf e tetap. 86. DIM No. 496 ( Pasal 123) Pasal 123 Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 huruf b terdiri atas: sehingga rumusan dalam Pasal 123 tetap. 87. DIM No. 496A F-GERINDRA mengusulkan Penambahan ayat (a) baru. a. perampasan barang hasil tindak pidana; atau Terhadap usulan F-Gerindra, Pemerintah berpendapat bahwa perampasan barang hasil tindak pidana secara otomatis oleh aparat penegak hukum. Sehingga Pemerintah berpendapat usulam baru dari F-Gerindra tidak perlu dicantumkan. 88. DIM No. 497 (Pasal 123 huruf a) a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau sehingga rumusan dalam Pasal 123 tetap. 89. DIM No. 498 (Pasal 123 huruf b) b. pemenuhan kewajiban ada F-GOLKAR mengusulkan dihapus, kewajiban adat tidak dikenal dalam sistem pemidanaan di Indonesia, harus diperhatikan dengan sangat hati-hati karena bisa berakibat melanggar prinsip pemidaan untuk anak itu sendiri. Apabila tidak dapat dipastikan mengenai bentuk-bentuk dan batasan apa saja terkait kewajiban adat, maka lebih baik dihapus. F-GERINDRA mengusulakn untuk diubah Lihat Pasal 68 ayat (1) huruf e. b. pemenuhan kewajiban adat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. F-DEMOKRAT mengusulkan dihapus 20

21 Pemenuhan kewajiban adat patut untuk dihapuskan karena di samping pelaku pidana adalah anak, diperlukan kodivikasi lebih lanjut tentang pengaturan ketentuan mengenai hukum adat itu sendiri. F-PKS mengusulkan dihapus Dalam konteks indonesia, kewajiban adat perlu diperhatikan kelebihan dan kekurangan secara lebih seksama, hal ini dikarenakan terdapatnya perbedaan peraturan yang justru bisa saja memberikan ekses negatif kepada anak itu sendiri. Padahal tujuan dari sanksi adat tidak untuk memberikan penderitaan kepada seseorang, akan i lebih ditujukan kepada proses rehabilitasi dan upaya menetralisasi goncangan yang ditimbulkan karena pelanggaran hukum adat, namun tidak jarang ekses dari hukum adat memberikan perlakuan yang dapat menimbulkan rasa malu kepada pelaku sehingga apabila diterapkan pada kasus anak dapat menimbulkan efek yang lebih buruk. F-PPP mengusulkan dihapus F-NASDEM : Kewajiban adat tidak dikenal dalam sistem pemidanaan di Indonesia, harus diperhatikan dengan sangat hati-hati karena bisa berakibat melanggar prinsip pemidaan untuk anak itu sendiri. Apabila tidak dapat dipastikan mengenai bentuk-bentuk dan batasan apa saja terkait kewajiban adat, maka lebih baik dihapus. F-HANURA : Kewajiban adat tidak dikenal dalam sistem pemidanaan di Indonesia, harus diperhatikan dengan sangat hati-hati karena bisa berakibat melanggar prinsip pemidaan untuk anak itu sendiri. Apabila tidak dapat dipastikan mengenai bentuk-bentuk dan batasan apa saja terkait kewajiban adat, maka lebih baik dihapus. Terhadap usulan seluruh fraksi kecuali F-PDIP, Pemerintah mengusulkan pembahasan mengenai substansi ini menunggu hasil pembahasan pada DIM No. 13 (Pasal 2 RUU KUHP) dan DIM No. 57 (Pasal 12 RUU KUHP) yang dipending oleh PANJA. Namun Pemerintah mengusulkan penjelasan Pasal 124 yang berbunyi sebagai berikut: Penjelasan: Pasal 124 Pidana tambahan bagi Anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa karena ciri dan sifat serta kekhususan Anak yang harus di lindungi oleh negara. 90. DIM No. 499 (Pasal 124) Pasal 124 Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak. sehingga rumusan dalam Pasal 124 tetap. 21

22 91. DIM No. 500 ( Pasal 125 ayat (1)) Pasal 125 (1) Pidana dengan syarat merupakan pidana yang penerapannya dikaitkan dengan syarat khusus yang diten-tukan dalam putusan. F-DEMOKRAT menjelas bahwa ketentuan tentang pidana dengan syarat hanya diberlakukan terhadap anak dan tidak pada orang dewasa. Ketentuan yang tegas terkait pidana dengan syarat yang diberlakukan pada subjek hukum pidana yang sudah dewasa patut dikhawatirkan menimbulkan terjadinya pelanggaran terhadap asas kesamaan di hadapan hukum. Adanya potensi terjadinya penyalahgunaan dalam jabatan yang dilakukan aparat penegak hukum juga akan menjadi masalah tersendiri, terkait penerapan Pasal ini. Terkecuali, untuk kasus-kasus pidana yang menyangkut perkara narkotika dan anak yang pemidanaannya dilakukan di luar lembaga pemasyarakatan atau sebuah Panti. Pidana dengan syarat merupakan pidana yang penerapannya dikaitkan dengan syarat khusus yang ditentukan dalam putusan dalam perkara anak dan dalam perkara penyalahgunaan narkotika. pemerintah menyatakan menambahkan frasa dalam perkara anak seharusnya tidak perlu karena akan membatasi hakim dalam menangani perkara, pemerintah mengusulkan Terhadap usulan F-Golkar, Pemerintah berpendapat usulan untuk menambahkan frasa dalam perkara anak dan dalam perkara penyalahgunaan narkotika tidak perlu karena pengaturan ini khusus diberlakukan bagi anak. Selain itu penambahan frasa ini akan membatasi hakim dalam menjatuhkan pidana. Pidana dengan syarat ini dijatuhkan oleh hakim sebagai alternatif dari putusan pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 tahun dan sejalan dengan Pasal 73 ayat (1) UU SPPA. 92. DIM No. 501 ( Pasal 125 ayat (2)) (2) Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik. sehingga rumusan dalam Pasal 125 ayat (2) tetap. 93. DIM No. 502 ( Pasal 126 ayat (1)) Pasal 126 (1) Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan berupa pembinaan di luar lembaga. Pemerintah menjelaskan bahwa Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 126 ayat (1) tetap. 94. DIM No. 503 ( Pasal 126 ayat (2)) (2) Tempat pelaksanaan pembinaan di luar lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikan dalam putusan Hakim dengan memperhatikan kebutuhan anak 22

23 sehingga rumusan dalam Pasal 126 ayat (2) tetap. 95. DIM No. 504 (Pasal 126 ayat (3)) (3) Tempat pembinaan di luar lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan lembaga pendidikan dan pembinaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau panti tertentu yang ditunjuk dalam putusan hakim. sehingga rumusan dalam Pasal 127 ayat (1) tetap. 96. DIM No. 505 (Pasal 127 ayat (1)) Pasal 127 (1) Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan : sehingga rumusan dalam Pasal 127 ayat (1) tetap. 97. DIM No. 506 (Pasal 127 ayat (1) huruf a) a. mengikuti program bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina; F-DEMOKRAT : Pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan dalam pelaksanaannya perlu diawasi agar tidak terjadi penyimpangan prosedur, sehingga upaya pembinaan dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Di samping itu, pengawasan terhadap prosedur juga diperlukan sebagai bentuk bagian peran lembaga penegak hukum dalam menjalankan fungsinya berkaitan dengan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice sistem) a. mengikuti program bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina, dengan diawasi oleh hakim pengawas atau pejabat berwenang. Terhadap usulan F-Demokrat, Pemerintah berpendapat frasa dengan diawasi oleh hakim pengawas atau pejabat berwenang tidak perlu karena proses pengawasan terhadap pidana dengan syarat dilakukan oleh penuntut umum serta dilakukan pembimbingan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Pejabat pembina melaporkan secara hasil pelaksanaan pidana dengan syarat kepada Pembimbing Kemasyaratan. Selain itu pelaksanaan pidana bagi anak berdasarkan DIM No. 536 (Pasal 135 RUU KUHP) akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. 98. DIM No. 507 (Pasal 127 ayat (1) huruf b) b. mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau sehingga rumusan dalam Pasal 127 ayat (1) huruf b tetap. 99. DIM No. 508 (Pasal 127 ayat (1) huruf c) 23

24 c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. sehingga rumusan dalam Pasal 127 ayat (1) huruf c tetap DIM No. 509 (Pasal 127 ayat (2)) (2) Jika selama pembinaan, anak melanggar syarat syarat khusus seba gai mana dimaksud dalam Pasal 125, maka pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan. sehingga rumusan dalam Pasal 127 ayat (2) tetap DIM No. 510 (Pasal 128 ayat (1)) Pasal 128 (1) Dalam hal putusan hakim berupa pelayanan masyarakat, jaksa anak dan pembimbing kemasyarakatan menempatkannya dalam lembaga pelayanan publik, baik milik pemerintah maupun swasta yang telah dikan berdasarkan hasil penelitian kemasyarakatan yang diawali dengan asesmen resiko dan asesmen kebutuhan anak. Pemerintah menjelaskan bahwa Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 128 ayat (1) tetap DIM No. 511 (Pasal 128 ayat (2)) (2) Selama masa pemidanaan pelayanan masyarakat, anak berada dalam lingkungan keluarga, dengan ketentuan segala persyaratan pembinaan yang telah diputus oleh pengadilan wajib dilaksanakan oleh anak dengan pendampingan dari orang tua/walinya. sehingga rumusan dalam Pasal 128 ayat (2) tetap DIM No. 512 (Pasal 128 ayat (3)) (3) Pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak. sehingga rumusan dalam Pasal 128 ayat (3) tetap DIM No. 513 (Pasal 129 ayat (1)) Pasal 129 (1) Dalam hal putusan hakim berupa mengikuti pembinaan berupa pidana pengawasan, jaksa anak dan pembimbing kemasyarakatan menempatkan anak dalam lembaga pengawasan. 24

25 sehingga rumusan dalam Pasal 129 ayat (1) tetap DIM No. 514 (Pasal 129 ayat (2)) (2) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada anak paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. sehingga rumusan dalam Pasal 129 ayat (2) tetap DIM No. 515 (Pasal 130 ayat (1)) Pasal 130 (1) Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 huruf c diselenggarakan oleh: sehingga rumusan dalam Pasal 130 ayat (1) tetap DIM No. 516 (Pasal 130 ayat (1) huruf a) a. pemerintah; atau sehingga rumusan dalam Pasal 130 ayat (1) huruf a tetap DIM No. 517 (Pasal 130 ayat (1) huruf b) b. pemerintah bekerja sama dengan swasta. F-DEMOKRAT mengusulkan Pihak swasta yang diberikan kepercayaan harus benar-benar memiliki kompetensi dan secara sah memiliki kewenangan dalam menjalankan tugasnya tersebut berdasarkan ketentuan yang berlaku Pemerintah bekerja sama dengan swasta yang secara sah ditunjuk berdasarkan prosedur ketentuan peraturan atau undang-undang yang berlaku Keterangan Pemerintah penambahan frase yang secara sah ditunjuk berdasarkan prosedur ketentuan peraturan sebaiknya tidak perlu dicantumkan karena apa yang diusulkan oleh F.Demokrat akan dicantumkan dalam PP Terhadap usul perubahan F-Demokrat, Pemerintah berpendapat bahwa penambahan frasa yang secara sah ditunjuk berdasarkan prosedur ketentuan peraturan atau undang-undang yang berlaku tidak diperlukan karena tata cara pelaksanaan pidana bagi anak berdasarkan DIM No. 536 (Pasal 135 RUU KUHP) akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah DIM No. 518 (Pasal 130 ayat (2)) (2) Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pad hari kerja dan tidak mengganggu hak belajar anak. 25

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN PEMERINTAH DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN PEMERINTAH DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN PEMERINTAH DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN)

LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIM PERUMUS RUU TENTANG KUHP KOMISI III DPR RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI --------------------------------------------------- (BIDANG

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 24 BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN 1 RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak 1. Indonesia Undang-undang yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

Eva Achjani Zulfa PUSANEV_BPHN

Eva Achjani Zulfa PUSANEV_BPHN Eva Achjani Zulfa Anak Pelaku tindak Pidana : Pelaku atau Korban; Dalam tindak pidana tertentu sebagaimana dalam TOR misalnya narkotika, terorisme, perdagangan orang adalah tindak pidana yang memiliki

Lebih terperinci

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI RUU Pengadilan Pidana Anak: Suatu Telaah Ringkas Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI Anak perlu perlindungan khusus karena Kebelum dewasaan anak baik secara jasmani

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA RUU TENTANG KUHP ------------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang : 2015-2016. Masa Persidangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku

RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Copyright@2017 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Barangsiapa

Lebih terperinci

RAKYAT REPUBLIK INDONESI

RAKYAT REPUBLIK INDONESI RAKYAT REPUBLIK INDONESI --------------------------------- LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI III DPR RI DENGAN MENTERI HUKUM DAN HAM DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR 51 BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR A. Analisis Terhadap Sanksi Aborsi yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur di Pengadilan Negeri Gresik Dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Bahan Panja Hasil Timus RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT BADAN LEGISLASI DALAM RANGKA PENGAMBILAN KEPUTUSAN TERHADAP PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI RUU TENTANG JASA KONSTRUKSI

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5332 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI) OLEH : PUTU ELVINA Komisioner KPAI

KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI) OLEH : PUTU ELVINA Komisioner KPAI KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI) OLEH : PUTU ELVINA Komisioner KPAI ANAK Adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan UU No. 23/2002 dan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan hukum pidana nasional Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI RANCANGAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI RANCANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI --------------------------------- RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA RUU TENTANG KUHP KOMISI III DPR RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

Rabu, 24 September 2014

Rabu, 24 September 2014 LAPORAN KOMISI III DPR RI TERHADAP PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI Assalamu

Lebih terperinci

OLEH ANAK BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

OLEH ANAK BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PROSES PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN Ependi Abstract The process of settlement of the criminal acts committed by the Child by Act No. 11 of 2012 is done by diversion (when criminal offenses

Lebih terperinci

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293) I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT KOMISI II (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan Reforma Agraria) ------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT Modul Penanganan ABH di Bapas merupakan bagian dari Modul Penyuluhan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum terkait diversi dan keadilan restoratif bagi petugas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci