BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang dapat merusak baik fisik, mental dan spiritual anak.

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kelangsungan hidup manusia dan merupakan kunci pokok keberlangsungan hidup bangsa dan negara. 1 Anak-anak yang cerdas, bertanggungjawab dan memiliki budi pekerti yang baik menjadi modal besar bagi terwujudnya cita-cita perjuangan bangsa. Maka dari itu, anak memerlukan suatu pembinaan dan bimbingan guna melindungi anak dari segala kemungkinan yang dapat merusak baik fisik, mental dan spiritual anak. Pada hakikatnya anak belum mampu melindungi diri sendiri dari berbagai tantangan kehidupan baik sosial ataupun hukum, sehingga tidak jarang tindakan anak berujung pada kenakalan atau bahkan tindak pidana. Anak dalam perkembangannya menuju kedewasaan ada kalanya melakukan perbuatan yang lepas kontrol sehingga dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa pertumbuhan, sikap dan mental anak belum stabil layaknya orang dewasa, dan tidak terlepas dari pengaruh buruk pergaulan serta lingkungan tempat anak tinggal. Sudah banyak terjadi karena lepas kendali, kenakalan anak berubah menjadi tindak pidana, sehingga perbuatan tersebut tidak dapat ditolerir lagi. Anak yang melakukan tindak pidana mau tidak mau harus 1 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak alinea pertama

2 2 berhadapan dengan aparat penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Huruf c Konsideran Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus citacita perjuangan bangsa, memiliki peran yang strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Di samping itu, Undang-undang Dasar 1945 Amandemen Keempat sebagai landasan konstitusional pun telah memberikan penegasan perlunya diberikan perlindungan pada anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 B ayat (2) bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Eksistensi dan urgensi anak dalam melanjutkan roda pembangunan dan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dipungkiri lagi, akan tetapi pada kenyataannya negara sampai saat ini belum mampu sepenuhnya memberikan perlindungan kepada anak terutama bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Mengingat upaya yang dapat dilakukan negara dalam konteks penanggulangan tindak pidana dapat berupa upaya non-penal (preventif) dan upaya penal (represif). Dalam hal telah terjadi suatu tindak pidana maka upaya yang ditempuh adalah upaya penal yakni dengan diterapkannya sanksi hukum pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana.

3 3 Permasalahan perlindungan anak di Indonesia sangat berat dan kompleks. Salah satu persoalan yang serius dan mendesak untuk memperoleh perhatian adalah penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. Perlu kita pahami bersama, bahwa persoalan pemidanaan anak adalah persoalan yang serius. Pertama, dalam proses peradilan cenderung terjadi pelanggaran hak asasi manusia bahkan terdapat praktek pemaksaan dan kekerasan terhadap anak yang masuk dalam lingkaran peradilan pidana. 2 Kedua, selama anak dalam proses peradilan, mereka kehilangan akses terhadap pemenuhan hak-hak dasarnya seperti hak berkomunikasi dengan orang tua terlebih jika dilakukan penahanan, kehilangan hak memperoleh pendidikan dan hak kesehatan.. 3 Ketiga, LAPAS yang menjadi tempat penghukuman bagi anak terbukti bukan merupakan tempat yang ideal dalam membina anak menjadi lebih baik. 4 Keempat, munculnya stigma dari masyarakat yang akan melekat pada seorang anak yang pernah berkonflik dengan hukum, stigma ini sangat merugikan masa depan anak karena stigma dapat melekat untuk jangka waktu yang sangat lama. 5 Seiring dengan perkembangan aturan internasional yang secara khusus mengatur tentang peradilan anak (Juvenile Justice), yakni United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice atau populer dengan sebutan The Beijing Rules, di dalamnya dinyatakan bahwa tujuan peradilan pidana anak sebagaimana dituangkan dalam Prinsip-Prinsip Umum butir ke- 5, sistem peradilan pidana bagi anak/remaja akan mengutamakan kesejahteraan anak/remaja dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum 2 Sri Sutatiek, 2015, Hukum Pidana Anak Di Indonesia, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, hlm Ibid. 4 Ibid, hlm.42 5 Ibid, hlm. 45

4 4 berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggarpelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya. Sehubungan dengan ciri khas tujuan dalam penyelenggaraan peradilan pidana anak ini, Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa penyelenggaraan peradilan anak memerlukam pendekatan khusus, perhatian khusus, pertimbangan khusus, pelayanan dan perlakuan khusus serta perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan peradilan. 6 Dengan adanya perlindungan khusus maka anak yang melakukan kejahatan dipandang sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang. selain itu mengutamakan pendekatan persuasifedukatif daripada pendekatan yuridis. Untuk itu sejauh mungkin menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, yang bersifat degradasi mental, dan penurunan semangat, serta menghindari proses stigmatissasi yang dapat menghambat proses perkembangan kematangan dan kemandirian anak. 7 Pada intinya tujuan peradilan pidana anak berbeda dengan peradilan pada umumnya yang digunakan untuk orang dewasa. Terkait dengan anak yang bermasalah dengan hukum, sejak tahun 1997 digunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Sudah banyak kritik yang ditujukan terhadap implementsi undang-undang ini, hingga pada tahun 2011 mulai dirancang peraturan mengenai peradilan anak yang lebih manusiawi dan lebih menghargai anak, lahirlah Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). 6 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm Ibid.

5 5 Perubahan mendasar dalam UU SPPA adalah mengenai paradigma pemidanaan dari yang bersifat menghukum (retributif) berubah menjadi paradigma merestorasi (restoratif justice) dan non-custodial system. Berangkat dari perubahan paradigma inilah yang kemudian banyak mengubah muatan-muatan pokok dari UU Pengadilan Anak, di dalamnya terdapat pembaharuan hukum berkenaan dengan ide/prinsip/asas baru yang digunakan. Dimulai dengan ide baru mengenai diversi, perubahan batasan usia anak, mengenai penahanan, sanksi pidana, dan satu asas baru yang juga merupakan muatan penting dalam SPPA yaitu diadopsinya asas rechterlijk pardon. Rechterlijk pardon diartikan sebagai asas permaafan hakim atau pengampunan hakim, yang mana di dalam UU SPPA dirumuskan dalam Pasal 70, yang berbunyi: ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. 8 Sebagai salah satu ide pembaharuan hukum pidana, asas permaafan hakim sangat penting untuk digali lebih lanjut guna penyempurnaan dari sisi teori dan praktik di pengadilan. Sebabnya, belum pernah hakim diberikan kewenangan yang sangat khusus dimana terdakwa dalam hal ini anak, di dalam persidangan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, tetapi hakim dapat memberikan permaafan tanpa menjatuhkan sanksi apapun. Peranan hakim anak sangatlah penting karena ujung tombak sanksi pidana berada dalam ketokan palu seorang hakim. Asas rechterlijk pardon ini sejalan dengan semangat Restoratif 8 Pasal 70 Undang-Undang Nomor 11 tahun 202 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

6 6 Justice, akan tetapi bunyi pasal hanya akan menjadi hiasan semata jika tidak bisa diimplementasikan oleh hakim, terlebih jika paradigma hakim masih berpatokan pada penghukuman terhadap anak. Sebagaimana hasil pra penelitian yang penulis laksanakan di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta, 9 hakim mengatakan bahwa permaafan hakim nampaknya tidak serta merta dipakai hakim dalam memutus perkara, hal ini tentu harus dengan mempertimbangan tindak pidana yang dilakukan dan usia anak. Hakim cenderung akan menjatuhkan pidana dengan syarat atau mengenakan tindakan supaya anak dapat menyadari kesalahan dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Selain ketidakcocokan antara teori dan praktek di pengadilan, permasalahan mengenai asas rechterlijk pardon juga berada pada tahap formulasinya itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan ada tumpang tindih kewenangan lembaga diversi dan rechterlijk pardon. Diversi yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Adanya kesepakatan diversi bertujuan untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Berarti dalam proses penyelesaian perkara Anak, telah ada penggunaan suatu lembaga diversi guna menyelesaikan berbagai tindak pidana ringan, sehingga perkara Anak tersebut tidak akan masuk ke tahap persidangan. Mengingat rechterlijk pardon berada pada wilayah pemidanaan maka dengan telah terwujudnya kesepakatan diversi, asas rechterlijk pardon menjadi tidak berfungsi. 9 Hasil Pra Penelitian di Pengadilan Negeri Yogyakarta tanggal 22 April 2015

7 7 Klausula ringannya perbuatan yang dimaksudkan dalam rumusan Pasal 70 UU SPPA tersebut perlu mendapatkan penjabaran lebih lanjut mengenai parameter ringannya perbuatan supaya dapat diketahui jenis tindak pidana apa saja yang kemudian akan diampuni oleh hakim seiring dengan kewajiban dilakukannya diversi dari tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan sekalipun. Rumusan pasal 70 UU SPPA tersebut yang secara eksplisit menyebutkan ringannya perbuatan, apabila kemudian dimaknai sebagai tindak pidana ringan (tipiring) maka melalui penafsiran acontrario, rechhterlijk pardon tidak mungkin diterapkan untuk tindak pidana diluar tipiring. Dalam hal ini terdapat tumpang tindih pengaturan hukum pidana sehingga lembaga Rechterlijk Pardon tidak dapat bekerja sebagai judicial correction of legality principle sebagaimana yang dimaksudkan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian hukum dalam rangka menyusun tesis dengan judul : ASAS RECHTERLIJK PARDON DALAM PENYELESAIAN PERKARA ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apa yang melatarbelakangi pengaturan asas / ide rechterlijk pardon ke dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

8 8 2. Bagaimanakah perspektif hakim mengenai asas rechterlijk pardon dalam penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum? 3. Bagaimanakah pengaturan asas rechterlijk pardon dalam sistem peradilan pidana anak untuk masa yang akan datang (ius constituendum)? C. Tujuan Penelitian Penelitian merupakan suatu bagian pokok dari ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mengetahui dan memperdalam segala segi kehidupan. 10 Abdulkadir mengatakan bahwa penelitian hukum bertujuan untuk mengembangkan hukum dan ilmu hukum sesuai dan seirama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi global. 11 Adapun tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Tujuan objektif Penelitian ini bertujuan untuk mendalami ilmu pengetahuan hukum pidana khusunya mengenai pengaturan dan pelaksanaan daripada asas rechtterlijk pardon dalam sistem peradilan pidana anak. Mengetahui, memahami dan menelaah ide dasar yang melatarbelakangi pengaturan rechterlijk pardon dalam UU SPPA dan mengetahui pandangan hakim serta pelaksanaan rechterlijk pardon oleh hakim guna menyelesaiakan perkara anak dikaitkan dengan adanya kewajiban diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia saat ini. Setelah mengetahui ide dasar pengaturannya dalam UU SPPA dan pelaksanaannya oleh hakim, tujuan selanjutnya adalah menganalisa asas rechterlijk pardon dalam konteks ius constituendum. 10 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 37.

9 9 2. Tujuan subjektif Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah dalam rangka memenuhi tugas akhir penyusunan thesis yang merupakan syarat akademis untuk memperoleh gelar Master di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada D. Manfaat Penelitian Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai pelaksanaan suatu asas hukum dalam penegakan hukum pidana anak yang dapat dikaji secara yuridis serta memberikan sumbangan pemikiran dalam pembaharuan hukum pidana. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat bagi kalangan praktisi hukum dan masyarakat luas demi terciptanya penegakan hukum yang lebih baik. E. Keaslian Penelitian Sepanjang penelusuran dan penelitian yang penulis lakukan, permasalahan yang penulis angkat ini belum pernah diteliti oleh peneliti terdahulu. Belum ada karya tulis yang berjudul Asas Rechterlijk Pardon dalam Penyelesaian Perkara Anak Menurut Undang - Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Akan tetapi, penulis menemukan beberapa penelitian hukum yang membahas mengenai rechterlijk pardon/ judicial pardon tersebut, antara lain:

10 10 1. Maya Satriani Ayuningtyas, 2015, Skripsi, Pemaafan Hakim (Judicial Pardon) sebagai Kewenangan Hakim dalam Sistem Pemidanan yang Berbasis Restoratif Justice di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 12 Skripsi ini termasuk skripsi yang masih sangat baru, terdapat pokok permasalahan yang mirip dengan pokok permasalahan yang penulis rumuskan. Dalam skripsinya, Maya Satriani merumuskan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana ide dasar yang melatarbelakangi konsep judicial pardon dalam Rancangan KUHP Nasional? b. Bagaimana relevansi judicial pardon dengan ketentuan hukum pidana dalam Rancangan KUHP Nasional? Pada rumusan masalah yang pertama, perbedaan terletak pada ruang lingkup pembahasan dan acuan. Ruang lingkup dalam skripsi ini lebih luas dan umum, menelaah rechterlijk pardon dalam RUU KUHP, dengan meninjau ketentuan pasal 55 ayat 2 RUU KUHP versi tahun Berbeda dengan rumusan masalah yang penulis fokuskan pada rechterlijk pardon dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, meskipun sebelumnya tetap meninjau rechterlijk pardon dalam RUU KUHP. Selain itu penulis juga mengkaji pandangan hakim anak perihal kapan dan bagaimana penerapan asas rechterlijk pardon dalam penyelesaian perkara anak serta menganalisa rechterlijk pardon dalam konteks ius constituendum. 12 Maya Satriani Ayuningtyas, 2015, Skripsi, Pemaafan Hakim (Judicial Pardon) sebagai Kewenangan Hakim dalam Sistem Pemidanan yang Berbasis Restoratif Justice di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

11 11 Kesimpulan penelitian Maya Satriani adalah sebagai berikut : a. Konsep judicial pardon ini dimunculkan dalam Rancangan KUHP Nasional sebagai bentuk judicial correction to legality principle atau koreksi judicial terhadap asas legalitas. Judicial pardon sebagai bentuk pemaafan hakim kepada pelaku tindak pidana sudah sesuai dengan ide dasar tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan yang diadopsi dalam RUU KUHP yaitu ide individualisasi pidana. b. Konsep judicial pardon sebagai kewenangan hakim sesungguhnya sesuai untuk KUHP Nasional yang baru. Teori pemidanaan dan teori syarat pemidanaan semuanya mendukung untuk dimasukkannya ketentuan judicial pardon ke dalam Rancangan KUHP Nasional. 2. Natangsa Surbakti, 2013, Tesis, Gagasan Lembaga Pemberian Maaf dalam Konteks Kebijakan Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Universitas Diponegoro. 13 Permasalahan yang diangkat oleh Natangsa Surbakti menekankan pada rechterlijk pardon dikaitkan dengan sistem peradilan pidana Indonesia, menjabarkan fakta empiris lembaga pemberian maaf di Indonesia dan rechterlijk pardon dalam konteks kebijakan pembaharuan hukum pidana nasional, penelitian ini tidak membahas mengenai ide dasar diadopsinya rechterlijk pardon serta urgensinya dalam sistem peradilan pidana anak. Kesimpulan penelitian Natangsa Surbakti adalah sebagai berikut: 13 Natangsa, Surbakti, Gagasan Lembaga Pemberian Maaf dalam Konteks Kebijakan Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia eprints.undip.ac.id/13395/ diakses pada 16 Oktober 2015.

12 12 a. Berkaitan dengan sistem peradilan pidana pada umumnya, lembaga pemberian maaf ini merupakan salah satu gagasan baru diantara sejumlah gagasan pembaharuan lain yang dicoba diakomodasikan ke dalam RUU KUHP Nasioanal. Lembaga pemberian maaf bukan ditujukan untuk melemahkan penegakan hukum, tetapi justru mampu meningkatkan kinerja hukum pidana. b. Dalam konteks Indonesia, lembaga Judicial Pardon sebenarnya telah dikenal dalam berbagai hukum adat daerah jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka. Dengan demikian sebenarnya terdapat landasan sosiologis yang kuat dalam mendukung politik pembaharuan hukum pidana nasional. Berdasarkan uraian di atas tidak diketemukan penelitian yang secara khusus membahas mengenai Asas Rechterlijk Pardon dalam Penyelesaian Perkara Anak menurut Undang- Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ada perbedaan mendasar antara penelitian hukum yang disebutkan di atas dengan penelitian yang akan dilakukan penulis yaitu mengenai pokok permasalahan yang telah ditetapkan dalam rumusan masalah. Hal ini merupakan variabel yang sekaligus menunjukkan keaslian/ otentisitas dari penelitian ini.