TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Produksi dan Teknologi Produksi Padi

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil,

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Tinggi tanaman padi akibat penambahan jenis dan dosis amelioran.

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya

I. PENDAHULUAN. pokok bagi sebagian besar rakyat di Indonesia. Keberadaan padi sulit untuk

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil

SEMINAR DAN EKSPOSE TEKNOLOGI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN JAWA TIMUR BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk menunjang pertumbuhannya, tananam memerlukan pasokan hara

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

TINJAUAN PUSTAKA Ratun Tanaman Padi

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. besar masyarakat Indonesia. Menurut Puslitbangtan (2004 dalam Brando,

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

TINJAUAN PUSTAKA. yang dikeringkan dengan membuat saluran-saluran drainase (Prasetyo dkk,

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sumber : Nurman S.P. (

BAB VI PEMBAHASAN. lambat dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman kacang tanah, penghanyutan

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

I. PENDAHULUAN. dalam pemenuhan gizi masyarakat Indonesia. Kebutuhan terhadap gizi ini dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

: Kasar pada sebelah bawah daun

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman

I. PENDAHULUAN. Konsumsi kedelai di Indonesia setiap tahun semakin meningkat, seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun

1.PENDAHULUAN. Salah satu pupuk organik yang dapat digunakan oleh petani

Latar Belakang. Produktivitas padi nasional Indonesia dalam skala regional cukup tinggi

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Varietas Unggul Padi Sawah

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN OMISSION PLOT Kajian Efektifitas Pengelolaan Lahan Sawah Irigasi Pada Kawasan Penambangan Nikel Di Wasile - Maluku Utara

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan

TEKNOLOGI PEMUPUKAN PADI SAWAH LAHAN IRIGASI DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

BUDIDAYA PADI RATUN. Marhaenis Budi Santoso

Lampiran 1. Deskripsi Padi Varietas Ciherang

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PETUNJUK LAPANGAN ( PETLAP ) PEMUPUKAN TEPAT JENIS dan DOSIS UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS PADI. Oleh :

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tomat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan bijibijian

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul)

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TENTANG REKOMENDASI PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA PADI SAWAH SPESIFIK LOKASI

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibudidayakan. Padi termasuk dalam suku padi-padian (Poaceae) dan

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kombinasi Pupuk Kimia dan Pupuk Organik terhadap Tanaman Jagung Manis

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

I. PENDAHULUAN. Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknologi BioFOB-HES (High Energy Soil)

I. PENDAHULUAN. atau jamu. Selain itu cabai juga memiliki kandungan gizi yang cukup

Imam Purwanto, Eti Suhaeti, dan Edi Sumantri Teknisi Litkaysa Penyelia Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah

PUPUK DAN PEMUPUKAN PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. sub tropis. Bukti sejarah menunjukkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina)

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

Komponen PTT Komponen teknologi yang telah diintroduksikan dalam pengembangan usahatani padi melalui pendekatan PTT padi rawa terdiri dari:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

PENGOMPOSAN JERAMI. Edisi Mei 2013 No.3508 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

7 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Produksi dan Teknologi Produksi Padi Perkembangan produksi padi banyak dicermati sejak tahun 1960, saat mulai berkembangnya teknologi revolusi hijau. Revolusi hijau ditandai dengan ditemukannya varietas unggul tanaman gandum dan padi, masing-msing oleh Norman Borlaug dan Peter Jenning bersama Hank Beachell (Dar dan Winslow 2000). Penemuan varietas berdaya hasil tinggi (high yielding varieties), tahan serangan organisme pengganggu, dan sangat responsif terhadap pemupukan telah meningkatkan produksi serealia (padi dan gandum) dunia secara dramatis. Produksi padi Indonesia meningkat sebesar 109% antara tahun 1960 hingga 1980, yaitu meningkat dari 18,4 juta ton menjadi 38,5 juta ton. Peningkatan produksi yang sangat besar tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas dan bukan oleh peningkatan luas tanam. Pada periode tersebut produktivitas rata-rata meningkat 70,6%, sedangkan luas tanam hanya meningkat 3,5% (Sudjadi et al. 1987). Namun, dua puluh tahun berikutnya (1980 2000) produksi padi hanya meningkat sebesar 35% yaitu dari 38,5 juta ton menjadi 51,9 juta ton (BPS 2002). Peningkatan yang tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan peningkatan pada dua puluh tahun sebelumnya disebabkan oleh penerapan teknologi produksi introduksi yang sudah merata. Produksi padi yang meningkat pesat tersebut telah mampu membuat Indonesia berswasembada beras pada tahun 1984. Dalam perkembangannya produksi padi di Indonesia mengalami beberapa kali kedataran peningkatan hasil (levelling off), yaitu pada tahun 1975 1977, 1986, dan akhir-akhir ini. Beberapa usaha penerapan teknologi produksi padi telah diterapkan untuk memacu terus pertumbuhan produksi padi. Introduksi teknologi produksi padi tersebut dimulai dengan adanya demonstrasi massal pada tahun 1964 dengan penerapan panca usaha (bibit unggul, pengolahan tanah, pemupukan, pengairan, dan pengendalian hama dan penyakit) dan lahirnya program Bimas (bimbingan massal) pada tahun 1965 yang meliputi sawah seluas 1.350.000 ha (Fakultas Pertanian Institut

8 Pertanian Bogor 1992). Beranjak dari program tersebut produksi padi Indonesia meningkat hingga 109% selama dua puluh tahun. Pada tahun 1979 dicanangkan program intensifikasi khusus (Insus) untuk mengatasi produksi padi yang mengalami kedataran peningkatan hasil pada tahun 1975-1977. Pada prinsipnya program Insus adalah penerapan panca usaha oleh petani sehamparan secara kelompok untuk memanfaatkan potensi lahan secara optimal. Pada tahun 1987 diluncurkan program Suprainsus untuk menanggulangi gejala kedataran peningkatan hasil yang terjadi pada tahun 1986. Dalam suprainsus pada prinsipnya diintroduksikan rekayasa teknologi dan rekayasa sosial. Rekayasa teknologi merupakan tambahan dari panca usaha seperti peningkatan populasi tanaman, penggunaan ZPT/PPC, dan penanganan pascapanen. Rekayasa sosial, di antaranya, adalah memperluas kerja sama hingga antarkelompok tani (Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor 1992). Keseluruhan teknologi yang dintroduksikan tersebut merupakan teknologi yang berbasis pada revolusi hijau. Setelah tahun 2000 teknologi produksi padi dirancang sebagai teknologi yang menghemat sarana produksi, ramah lingkungan dan sekaligus meningkatkan produksi padi. Dalam hal ini Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi mengeluarkan paket teknologi yang disebut sebagai Pengelolaan Tanaman Terpadu. Teknologi tersebut terdiri dari penggunaan benih bermutu, bibit muda satu bibit per rumpun, penggunaan bahan organik, penggunaan bagan warna daun, pemupukan P dan K berdasar status tanah, tanam dengan jarak tanam legowo, dan pengairan secara berkala (Balai Penelitian Tanaman Padi 2002). Paket teknologi tersebut mengarah pada usaha tani rasional dengan menekan penggunaan masukan luar seperlunya. Pola peningkatan produksi padi yang berawal dari revolusi hijau juga terjadi di negara-negara lain seperti di Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Thailand, dan Filipina. Pada awalnya (sekitar tahun 1960), umumnya, produksi dan produktivitas padi rendah dengan penerapan teknologi produksi tradisional. Selanjutnya produktivitas meningkat cepat dengan penggunaan varietas modern dan dosis pemupukan NPK yang tinggi. Di Korea Selatan misalnya, sebelum tahun 1930 produktivitas padi hanya sekitar 1,5 ton/ha dengan penerapan teknologi produksi

9 organik secara tradisional. Pada tahun 1930 mulai diintroduksikan pupuk kimia (pabrik) dengan dosis rendah (26 kg N, 34 kg P 2 O 5, dan 39 K 2 O per ha) sehingga produksi meningkat menjadi 2 ton/ha. Pada tahun 1970 dengan diintroduksikannya varietas modern (varietas berdaya hasil tinggi) serta rekomendasi pemupukan menjadi 150 kg N/ha, 90 kg P 2 O 5, dan 110 kg K 2 O per ha, produksi padi meningkat menjadi 4,5 ton/ha. Petani mulai memasukkan mekanisasi pada usaha taninya, penggunaan input kimia semakin tinggi dan sekitar tahun 1970 tercapai swasembada beras serta sekitar tahun 1980 Korea Selatan telah surplus beras. Setelah periode ini Korea Selatan mulai menerapkan pengelolaan tanah dengan memasukkan bahan organik, menekan penggunaan pupuk inorganik, dan melakukan analisis tanah petani secara besar-besaran untuk mengelola kesuburan tanah (Yoo dan Jung 1992). Peran Unsur Hara N, P, dan K pada Tanaman Padi Unsur hara N, P, dan K merupakan unsur hara makro atau diperlukan dalam jumlah besar oleh tanaman, termasuk padi. Hasil penelitian dari 2000 petani di China, India, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam antara tahun 1994 hingga tahun 1997 menunjukkan bahwa total hara yang diambil oleh tanaman padi untuk setiap ton gabah yang dihasilkan adalah 10-44 kg N, 0,9-9,9 kg P, dan 6-42 kg K. Hal ini menunjukkan bahwa untuk produksi padi hara N dan K diperlukan dalam jumlah yang hampir sama besarnya (Witt et al. 1999). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pada kondisi pertumbuhan tanaman yang tidak dibatasi oleh suplai air, masalah gulma, serta infestasi hama dan penyakit, produksi biomas padi sangat ditentukan oleh suplai unsur hara N. Kebutuhan unsur hara makro lainnya (P dan K) sangat bergantung pada suplai unsur hara N. Peran pupuk urea pada produksi padi sawah telah terbukti dalam sejarah produksi padi di Indonesia. Peningkatan produktivitas padi sawah sebesar 70,6% pada periode 1967-1980 sejalan dengan peningkatan penggunaan pupuk urea. Pada saat penggunaan pupuk N masih rendah, setiap peningkatan 1 kg N produktivitas meningkat sebesar 56,4 kg gabah. Namun, setelah penggunaan dosis pupuk N tinggi,

10 effisiensi pemupukan N menurun, yaitu menjadi 11,7 kg gabah untuk setiap penambahan 1 kg N (Sudjadi, Prawirasumantri, dan Wetselaar, 1987). Pupuk N telah diteliti dan nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, dan produksi gabah. Dari hasil penelitian terlihat pula bahwa efisiensi pemupukan N tidak meningkat setelah aplikasi dosis pupuk N mencapai 60 kg N/ha. Pada dosis pemupukan N 60 kg/ha diperoleh efisiensi pemupukan sebesar 34 kg gabah/kg N dengan hasil gabah 6,73 ton/ha, tetapi hasil gabah tidak meningkat lagi walaupun dosis dinaikkan hingga 180 kg N/ha (Tedjasarwana dan Permadi 1991). Penelitian di beberapa lokasi di Pulau Jawa menunjukkan hasil yang hampir sama, yaitu pemupukan N sampai dengan dosis 116 kg N/ha meningkatkan hasil gabah. Meskipun, peningkatan hasil tersebut tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan dosis pemupukan 87 kg N/ha (Darajat dan Utami 1993). Menurut Witt et al. (1999), efisiensi hara N pada padi sawah berkisar 23 100 kg gabah/kg N. Pada umumnya unsur hara N diserap padi dalam bentuk amonium (NH + 4 ). Hasil penelitian Liang (1987) menunjukkan bahwa amonium pada lahan sawah 25-29% diserap oleh tanaman padi, 17-25% tertahan di tanah, dan 50-54% hilang karena tercuci, menguap, atau terdenitrifikasi. Pada tanah masam diperoleh bahwa recovery unsur N dari pupuk urea, ZA, dan amonium nitrat masing-masing sebesar 40-59%, 27-40%, dan 24-34%, sedangkan yang hilang dari sistem tanah masing-masing sebesar 13-40%, 44-54%, dan 51-57%. Pada tanah yang tidak masam tingkat recovery masing-masing oleh tanaman sebesar 23-38%, 22-25%, dan 17%, sedangkan kehilangan N dari sistem tanah sebesar 42-52%, 47-48%, dan 70%. Sumber unsur hara N untuk tanaman padi tidak seluruhnya berasal dari pupuk. Menurut Yaacub dan Sulaiman (1992), hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa dari 34-98 kg N/ha yang diambil tanaman padi, 34-56 kg N/ha berasal dari tanah dan selebihnya baru dari pupuk. Dalam Riceweb (2003) dinyatakan bahwa input N dari fiksasi biologis pada lahan sawah irigasi sebesar 25-45 kg N/ha untuk setiap siklus pertanaman padi sawah. Sumbangan N tersebut sudah cukup untuk mendukung produksi 2-3 ton padi/ha. Namun, untuk memproduksi padi hingga 6 ton gabah/ha tanaman padi menyerap hingga 100 kg N/ha. Apabila efisiensi serapan N hanya 50

11 %, diperlukan tambahan pupuk N sekitar 150 kg N/ha. Menurut Ae (1997), di Jepang suplai N pada lahan sawah beririgasi 34 kg N/ha berasal dari fiksasi N, 29 kg N/ha dari air irigasi dan 6 kg N/ha berasal dari air hujan. Unsur hara P pada padi sawah di Indonesia selama ini dipenuhi dengan pupuk TSP (triple super phosphate) dengan kandungan unsur P sekitar 45% P 2 O 5 dan akhirakhir ini diganti dengan SP-36 dengan kandungan P 2 O 5 sebesar 36%. Pelaksanaan program intensifikasi dari tahun ke tahun telah menyebabkan terakumulasinya unsur P di sebagian besar lahan sawah di Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1,7 juta ha lahan sawah di Indonesia berstatus akumulasi P 2 O 5 sedang (20-40 mg P 2 O 5 /100 g tanah), 1,5 juta ha tergolong tinggi (>40 mg P 2 O 5 /100 g tanah) dan hanya 0,54 juta ha yang tingkat akumulasinya rendah (<20 mg P 2 O 5 /100 g) (Syam dan Hermanto 1995). Menurut Witt et al. (1998), untuk menghasilkan 3 ton gabah diperlukan sekitar 7,5 kg P/ha untuk diserap tanaman, sedangkan untuk menghasilkan 6 ton gabah diperlukan 15,6 kg P/ha untuk diserap tanaman. Dengan kondisi kandungan tersebut, berbagai penelitian dosis pupuk P pada padi sawah tidak memberikan hasil yang nyata. Unsur K bagi tanaman berfungsi sebagai osmoregulan, aktivasi enzim, pengatur ph di tingkat seluler, keseimbangan kation-anion tingkat sel, pengaturan transpirasi melalui pengaturan pembukaan stamata, dan transportasi asimilat. Selain itu, unsur K juga berperan memperkuat dinding sel tanaman dan terlibat dalam lignifikasi jaringan sklerenkhim yang dihubungkan dengan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000), pengaruh unsur K pada tanaman padi adalah meningkatkan luas daun dan kandungan khlorofil daun, serta menunda senesen daun sehingga secara keseluruhan dapat meningkatkan kapasitas fotosintesis dan pertumbuhan tanaman. Tidak seperti unsur N dan P, pada tanaman padi, unsur K tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan, tetapi berpengaruh terhadap jumlah gabah/malai, persen gabah isi, dan bobot 1000 butir gabah. Pada lahan sawah irigasi, unsur K dapat diperoleh dari air irigasi. Beberapa penelitian dosis pupuk K tidak memberikan pengaruh yang nyata. Walaupun demikian pada lahan dengan status K rendah, pemupukan K dapat meningkatkan

12 hasil. Hasil penelitian di Ngawi (Jawa Timur) memperlihatkan bahwa pemupukan K dengan dosis 100 kg KCl dapat meningkatkan hasil dari 3,84 ton gabah/ha menjadi 5,12 ton/ha. Di samping itu, aplikasi jerami padi sebanyak 5 ton/ha memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan pemupukan 100 kg KCl. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi pupuk KCl dapat disubstitusi dengan pengembalian jerami padi ke sawah (Syam dan Hermanto 1995). Peran Bahan Organik pada Tanaman Padi Peran bahan organik penting dalam suplai N tanah. Bahan organik tanah dapat dilihat sebagai kunci mekanistik untuk suplai hara N. Dengan biomas mikrobial yang segmen siklusnya sangat cepat, fase organik bertindak sebagai biokatalis untuk suplai unsur hara dan pool hara itu sendiri (Reichardt et al. 2003). Menurut Hesse (1984), sumber bahan organik untuk pertanian sangat beragam, yaitu kotoran hewan (pupuk kandang), kotoran manusia, sisa-sisa tanaman, pupuk hijau, dan limbah kota (urban wastes) tergatung pada bahannya. Kotoran hewan mengandung sekitar 1,5 % N, 0,4 % P, dan 0,4 % K. Jerami tanaman serealia mengandung sekitar 0,5 % N, 0,3 % P, dan 1,2 % K. Kotoran manusia mengandung 50 ppm N, 7 ppm P, dan 25 ppm K. Pupuk hijau Crotalaria spp, mengandung 4 % N, sampah organik kota sangat beragam, sebagai contoh mengandung 1,24 % N, 0,26 % P, dan 1,29 % K. Bahan organik yang paling potensial diterapkan secara luas adalah bahan organik yang dihasilkan oleh internal usaha tani dan sebagai resiklus bahan organik pada lahan tersebut. Untuk tanaman padi, jerami merupakan bahan organik yang paling potensial ketersediaannya bagi usaha tani padi sawah. Lee et al. (2002), menyatakan bahwa jerami padi merupakan bahan organik yang mudah dan ekonomis untuk dikembalikan ke lahan sawah. Dekomposisi jerami berjalan cukup cepat pada lahan sawah yang memiliki drainase sedang dan dilakukan pengolahan tanah intensif. Menurut Cho dan Kobata (2002), jerami padi merupakan sumber bahan organik utama yang dapat mengikat N pupuk selama dekomposisi dan melepas kembali secara perlahan. Jerami padi mengandung sekitar 0,6 % N, 0,1 % masing-masing P dan S, 1 % K, 5 % Si, dan 40 % C. Dalam satu siklus panen dihasilkan jerami padi berkisar dari 2 ton 10

13 ton/ha. Pemberian jerami dengan dosis N yang sama dengan ZA dihitung berdasarkan kandungannya memberikan hasil yang tidak nyata, sedangkan kombinasi antara bahan organik dan pupuk mineral memberikan hasil padi yang lebih tinggi (Hesse 1984). Penambahan 10,71 ton kompos dan 2,38 ton jerami dapat meningkatkan produksi padi sawah masing-masing 13 % dan 10 % (Huh 1994). Pemberian jerami yang dicacah dengan dosis 650 gram/m 2 dapat menggantikan pupuk dasar sebanyak 4 gram N/m 2 dan 8 gram K 2 O/m 2 (Cho dan Kobata 2002). Dengan demikian penggunaan jerami padi secara luas sebagai sumber bahan organik pada usaha tani padi sangat potensial (Ponnamperuma 1984). Jerami padi di Indonesia pada umumnya dibakar atau diangkut dari lahan setelah panen. Pengolahan tanah dengan traktor tangan tidak memungkinkan membenamkan jerami karena mengganggu jalannya traktor. Pengembalian jerami ke lahan telah banyak diteliti memiliki pengaruh positif pada jangka panjang. Pembenaman jerami ke tanah sawah tampaknya mempengaruhi ketersediaan hara N. Eagle et al. (2000) menyatakan bahwa aplikasi jerami dengan membenamkannya ke dalam tanah sawah pada tahun pertama dengan perlakuan pupuk N sesuai dengan dosis rekomendasi (semua unsur hara tercukupi) tidak berpengaruh terhadap hasil gabah. Pada tahun ketiga, diperoleh bahwa perlakuan pembenaman jerami ke tanah meningkatkan hasil gabah. Pada tahun ketiga hingga tahun kelima pembenaman jerami meningkatkan serapan unsur hara N rata-rata sebesar 19 kg N/ha pada petak perlakuan tanpa penambahan pupuk N dan serapan N meningkat sebesar 12 kg N/ha pada petak dengan penambahan pupuk N sesuai dengan dosis rekomendasi. Peningkatan serapan N oleh tanaman padi sawah karena pembenaman jerami dikarenakan terbentuknya N pool tanah labil yang mengurangi kebergantungan tanaman pada N pupuk (Bird et al. 2001). Jerami merupakan sumber N yang penting karena sekitar 1/3 total N padi sawah berada pada jerami (Ponnamperuma, 1984). Pupuk N dapat dikurangi dengan pembenaman jerami. Mahapatra et al. (1991), menyatakan bahwa pembenaman jerami dapat mengganti 29 40 kg N ha -1 pada tanaman padi sawah.

14 Aplikasi jerami dengan membenamkannya secara langsung setelah panen diindikasikan menimbulkan imobilisasi unsur N tanah sehingga menekan pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Williams et al. (1968) menyatakan bahwa imobilisasi N pada pembenaman jerami sebesar 0,5% bobot kering jerami. Namun, penurunan hasil karena imobilisasi tersebut akan terjadi jika kadar N jerami rendah. Penambahan pupuk N pada aplikasi jerami juga meniadakan pengaruh imobilisasi N karena pembenaman jerami tersebut. Sinha (1971) menyatakan bahwa imobilisasi unsur P karena pembenaman jerami tidak sampai berdampak pada penurunan hasil padi sawah. Residu jerami yang dibenamkan ke dalam tanah berupa humus dan asam fosfat fulfat (fulfic phosphate). Asam fosfat fulfat inilah yang berperan dalam imobilisasi unsur P. Pada tahun kedua, pembenaman jerami ke tanah telah menyebabkan peningkatan serapan unsur P karena mineralisasi. Penggunaan bahan organik sebelum tanam padi sawah sebagai pupuk hijau telah dibuktikan memperbaiki potensi produksi padi. Penggunaan Sesbania rostrata sebagai pupuk hijau sebanyak 4,88 ton/ha telah meningkatkan produktivitas padi menjadi 2,63 ton/ha jika dibandingkan dengan tanpa pupuk hijau yang hanya mencapai 1,9 ton gabah/ha (Chanpengsay et al., 1999). Hasil penelitian Meelu dan Morris (1987) menunjukkan bahwa penambahan pupuk hijau ke lahan sawah sebanyak 46 ton/ha dapat menambah simpanan unsur hara N sebanyak 60-80 kg N/ha. Pengembalian jerami padi ke lahan juga dapat memperbaiki kesuburan tanah dan mempunyai efek residu bagi musim tanam selanjutnya. Penambahan bahan organik pada tanah sawah mempunyai pengaruh terhadap beberapa sifat kimia, yang selanjutnya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi padi. Menurut Hesse (1984), dekomposisi bahan organik secara lambat akan melepaskan CO 2 yang secara langsung akan berguna untuk fotosintesis tanaman padi, melepaskan bentuk ikatan P tertentu yang membentuk kompleks senyawa Fe dan Mn, membentuk CH 4 yang terlibat dalam pengendalian patogen, dan menghasilkan senyawa tertentu yang dapat mendorong pertumbuhan tanaman. Selain itu penambahan bahan organik tanah akan berfungsi sebagai buffer ph tanah, meningkatkan ketersediaan N dan C tanah, serta menekan nematoda dan senyawa

15 beracun. Umumnya penambahan bahan organik bersama dengan pemupukan mineral akan memberikan hasil lebih baik. Karakteristik Fisiologi dan Agronomi Varietas Padi Sawah Varietas padi sawah memiliki keragaman karakter fisiologi dan agronomi. Karakter fisiologi dan agronomi tersebut meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan produktif, ketahanan terhadap rebah, panjang malai, indeks biji, gabah isi, efisiensi partisi biomassa, indeks panen, produksi biomassa, sudut daun, warna daun, ketebalan daun, kandungan N daun, indeks luas daun, respons terhadap pemupukan, ketahanan terhadap hama dan penyakit, kualitas gabah, umur panen, kepadatan gabah per malai, laju fotosintesis, potensi hasil, daya adaptasi, dan sensitivitas terhadap panjang hari. Varietas tradisional, Varietas modern, dan varietas padi tipe baru (new plant type) memiliki perbedaan yang besar pada karakteristik tersebut (Peng et al. 1994; Dalrymple 1986; Peng et al. 1999; Peng and Senadhira 1998; Katayama 1993; Kitano et al. 1993). Tinggi Tanaman Tinggi tanaman yang pendek (semidwarf stature) merupakan penciri varietas modern (Hight Yielding Varieties) yang dikembangkan oleh IRRI. Gen semidwarf tersebut diperoleh dari mutasi spontan padi De Geo Wogen. Varietas IR 8 merupakan tanaman semidwarf pertama yang dilepas IRRI pada tahun 1966, dan gen semidwarf pertama berasal dari varietas De Geo Wogen yang menandai lahirnya revolusi hijau (Dalrymple 1986). Tinggi tanaman yang pendek (80-90 cm) berhubungan dengan ketahanan terhadap rebah dan efisiensi partisi biomassa antara gabah dan jerami, yaitu memiliki indeks panen yang tinggi (Peng, Kush, dan Cassman 1994). Varietas lokal (unggul lokal hasil seleksi puluhan tahun sebelum lahir varietas modern) seperti Peta, Sinta, Bengawan, Sigadis ( padi indica), serta padi bulu dan jawa serut (padi javanica atau japonica tropis), umumnya memiliki tinggi tanaman yang tinggi. Padi Peta sebagai induk IR 8 misalnya memiliki tinggi tanaman yang tinggi (Dalrymple, 1986). Dengan demikian, tanaman lokal umumnya memiliki

16 kelemahan tidak tahan rebah dan indeks panen yang rendah. Menurut Katayama (1993), varietas tradisional yang tergolong dalam subspesies sub japonica (javanica) memiliki tinggi tanaman yang tinggi, subspesies indica tergolong sedang dan japonica tergolong pendek. Varietas new plant type (NPT) diharapkan memiliki tinggi 90 100 cm sehingga masih memiliki sifat tahan rebah, indeks panen yang tingi, dan produksi biomassa lebih tinggi jika dibandingkan dengan varietas modern. Jumlah Anakan dan Anakan Produktif Varietas modern memiliki jumlah anakan yang tinggi, setiap rumpun yang ditanam 3 5 bibit pada kondisi lingkungan tumbuh yang sesuai akan menghasilkan 30 40 anakan. Dari jumlah anakan tersebut, hanya sekitar 20 anakan yang menghasilkan malai (anakan produktif). Anakan yang tidak menghasilkan malai akan menggunakan cahaya dan nutrisi hanya untuk pembentukan bagian vegetatif tanaman sehingga tidak produktif. Jumlah anakan yang rapat akan menyebabkan lingkungan mikro lebih menguntungkan untuk perkembangan hama dan penyakit ( Peng et al. 1994). Sifat menganak yang tinggi merupakan sifat padi indica. Oleh karena itu, varietas lokal yang tergolong dalam padi indica memiliki jumlah anakan yang tinggi. Namun, varietas lokal yang tergolong dalam padi sub japonica memiliki jumlah anakan yang sedikit dan persen jumlah anakan produktif yang tinggi (Dalrymple 1986; dan Katayama 1993). Untuk varietas ideotype (NPT) memiliki jumlah anakan sedikit (3-4 anakan rumpun) sehingga potensial untuk tanam sebar langsung (Peng et al, 1999; Peng dan Senadhira, 1998, dan Peng et al. 1994). Varietas padi modern memiliki karakteristik jumlah malai lebih tinggi dibanding varietas tradisional, tetapi memiliki panjang malai lebih pendek dan kepadatan malai lebih kecil daripada varietas lokal. Menurut Peng, Kush dan Casssaman (1994), hal tersebut berhubungan dengan jumlah anakan. Padi dengan jumlah anakan yang tinggi (varietas modern atau lokal indica) cenderung memiliki panjang malai yang pendek dan kepadatan malai yang rendah. Varietas lokal javanica umumnya memiliki malai yang panjang dan kepadatan malai yang tinggi. New plant type diskenariokan memiliki ukuran malai yang panjang dan kepadatan

17 gabah yang tinggi (200 250 gabah/malai). Panjang malai yang pendek pada varietas modern sama dengan karakter padi subspesies japonica (Katayama, 1993). Ketahanan terhadap Rebah Tahan rebah merupakan karakteristik varietas modern yang sebenarnya terdapat juga pada padi japonica. Sifat tahan rebah termasuk sifat yang dicari dalam pemuliaan varietas modern. Varietas modern yang respons terhadap pemupukan dan dapat menghasilkan biomassa yang tinggi akan rebah apabila karakter tahan rebah tidak terdapat pada varietas tersebut. Karakter tahan rebah berkorelasi dengan tinggi tanaman yang semidwarf, malai yang tebal, dan partisi fotosintat yang berimbang (Peng, Kush, dan Cassman, 1994). Varietas lokal yang berkembang dari padi Indica seperti Peta, Bengawan, dan Sigadis merupakan varietas yang memiliki sifat tidak tahan rebah. Karakter Kanopi dan Daun Karakter kanopi dan daun meliputi sudut daun, ketebalan daun, warna daun, dan indeks luas daun (ILD). Di samping semidwarf, varietas modern memilki arsitektur daun yang memungkinkan penetrasi cahaya yang tinggi. Varietas modern (HYV S IRRI), umumnya memiliki daun yang tegak sehingga ILD-nya tinggi dan mampu menangkap cahaya yang lebih efisien. Dengan demikian, tanaman akan memiliki sistem fotosintesis yang efisien dan mampu memproduksi biomassa yang tinggi. Padi varietas modern merupakan tanaman C3 yang produksi biomassanya paling efisien. Katayama (1993) menyatakan bahwa padi yang memiliki daun yang tegak, daun bawahnya akan memperoleh cahaya dan udara segar lebih banyak sehingga dapat memproduksi hasil yang lebih tinggi. Varietas modern pada umumnya memiliki daun yang berwarna hijau gelap dan lebih tebal serta kandungan N yang lebih tinggi bila pemupukan N cukup. Varietas lokal terutama yang tergolong dalam padi jenis indica memiliki daun yang panjang dan horizontal (Peng dan Senadhira 1986). Daun yang horizontal akan mengurangi penetrasi cahaya, meningkatkan kelembaban di bawah kanopi daun, dan

18 mengurangi pergerakan udara. Hal ini akan menurunkan efisiensi fotosintesis dan menguntungkan untuk pertumbuhan hama dan penyakit (Peng et al. 1994). Umur Tanaman Varietas modern memiliki umur panen yang pendek, yaitu sekitar 100 105 hari, dari tanam pindah hingga panen, atau sekitar 120 hari dari benih ke biji. Berhubungan dengan umur tanaman, hasil varietas yang umurnya lebih panjang masih dapat meningkat secara linear sampai umur 135 hari. Umur pendek mempunyai keuntungan membutuhkan air yang lebih sedikit, lebih cepat terhindar dari serangan hama dan penyakit, serta memungkinkan penanaman dua kali atau pergiliran dengan tanaman lain (Peng et al. 1994). Varietas lokal, terutama yang tergolong dalam subspecies javanica memiliki umur panen yang panjang, yaitu sekitar 5 6 bulan. Varietas Pandanwangi Cianjur memiliki umur panen 5 bulan, demikian pula varietas Aman dan Brao di India serta Kao Nak di Thailand. Respons terhadap Pemupukan N Varietas modern memiliki sifat responsif terhadap pemupukan N, dalam arti produksi akan meningkat dengan meningkatnya dosis pupuk N sampai batas tertentu. Sifat tersebut dimiliki pula oleh varietas japonica yang beradaptasi pada pemupukan, tetapi varietas japonica umumnya tidak tahan rebah (Dalrymple 1986). Sebaliknya, varietas lokal terutama subspesies indica tidak respons terhadap pemupukan karena sudah terseleksi dalam kondisi tanah kurang subur, sedangkan varietas lokal dari subspesies japonica memiliki sifat rebah sehingga pemupukan tidak meningkatkan hasil (Dalrymple 1986; Peng et al. 1994; Katayama 1993). Ketahanan terhadap Penyakit Setelah IR 8 yang pemuliaannya diarahkan pada semidwarf, indeks panen tinggi, responsif pemupukan, dan hasil panen tinggi, pemuliaan generasi selanjutnya diarahkan pada ketahanan terhadap hama dan penyakit serta mutu hasil. Dengan demikian, karakter varietas modern adalah tahan terhadap hama dan penyakit

19 walaupun ketahanan tersebut tidak abadi. Dalrymple (1986) melaporkan bahwa penggunaan varietas modern di Indonesia berhubungan dengan ketahanannya terhadap hama wereng coklat. Semua varietas, termasuk varietas lokal sebelum tahun 1975 tidak tahan terhadap wereng. Pada tahun 1975 digunakan varietas PB 28, PB 30, dan Serayu (varietas modern tahan wereng Biotipe I). Pada tahun 1983 digunakan varietas IR 56 tahan wereng Biotipe III. Sebaliknya, varietas lokal umumnya tidak tahan terhadap hama dan penyakit walaupun padi subspesies indica termasuk relatif tahan terhadap hama dan penyakit. Fotosintesis, Produksi Biomassa, Indeks Panen, dan Potensi Hasil Varietas modern mempunyai laju fotosintesisis yang tinggi, ditandai dengan produksi biomasssa yang tinggi. Demikian pula, potensi hasil varietas modern cukup tinggi karena selain produksi biomassanya tinggi, indeks panennya juga tinggi. Peng dan Senadhira (1998) menunjukkan hubungan antara potensi hasil, produksi biomassa, indeks panen, dan laju fotosintesis. Potensi hasil merupakan perkalian indeks panen dengan total biomassa dan biomassa yang dihasilkan sendiri merupakan fungsi dari laju fotosintesis, umur tanaman, dan laju respirasi. Indeks panen sendiri mencerminkan ukuran sink yang berupa jumlah butir per unit areal tanam dan kapasitas fotosintesis daun merupakan ukuran source yang keduanya menentukan biomassa yang dihasilkan. Peng et al. (1994) menyatakan bahwa laju fotosintesis bersih varietas modern berkisar antara 25 32 mol CO 2 /m 2 dan laju produksi biomassa sekitar 40 g/m 2. Indeks panen varietas modern sekitar 0,50 atau lebih besar dan potensi hasil sebesar 9,5 ton /ha pada musim hujan dan 15,9 ton/ha pada musim kemarau. Potensi hasil, produksi biomassa, dan laju fotosintesis yang tinggi pada varietas modern berhubungan dengan arsitektur daun yang tegak, kandungan N daun yang tinggi, serta kecukupan CO 2 dan air. Varietas lokal berhubungan dengan karakter morfologi daun yang terkulai (drooping), LAI rendah, kandungan N daun rendah, indeks panen rendah, serta produksi biomassa rendah. Karakter tersebut akan memberikan laju fotosintesis, ukuran sink dan source serta potensi hasil yang rendah. Hal ini terutama pada

20 varietas lokal yang dikembangkan dari subspesies indica yang memiliki sudut daun lebar, warna daun hijau muda, daun kecil panjang, dan bobot malai ringan (Katayama 1993). Daya Adaptasi Varietas modern merupakan varietas yang dikembangkan untuk kondisi lingkungan tumbuh yang menguntungkan seperti lahan beririgasi dan suplai nitrogen yang cukup dan bahkan cenderung berlebih. Dengan demikian, varietas modern memiliki daya adaptasi yang rendah, terutama terhadap kekeringan dan penggunaan pupuk yang rendah. Varietas modern dihasilkan dari proses pemuliaan di lingkungan optimum sehingga memiliki daya adaptasi yang rendah terhadap lingkungan suboptimum. Hasil penelitian Rajaram et al. (1996) menunjukkan bahwa galur berdaya hasil tinggi yang diseleksi pada lingkungan optimum hasilnya akan lebih rendah dibanding galur berdayahasil rendah dari hasil seleksi pada lingkungan suboptimum jika ditanam pada lingkungan suboptimum. Hal ini menjelaskan mengapa varietas modern akan mengalami penurunan hasil yang besar apabila ditanam pada lahan yang memiliki kesuburan tanah rendah. Varietas lokal terutama yang dikembangkan dari subspesies indica akan dapat beradaptasi pada kondisi kesuburan tanah yang rendah, ketidakpastian cuaca dan irigasi, serta resisten terhadap hama, penyakit, dan gulma. Pemuliaan varietas padi di Indonesia antara tahun 1940 hingga 1965 diarahkan untuk menghasilkan varietas yang toleran terhadap kesuburan tanah rendah sampai sedang. Varietas yang dihasilkan antara lain, adalah Bengawan, Peta, Intan, dan Mas. Dengan demikian, varietas lokal lebih memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan suboptimum walaupun potensi hasilnya rendah. Dengan melihat karakteristik masing-masing ekotipe, varietas lokal terutama varietas Indica, memiliki karakter tidak tanggap terhadap masukan luar. Selain itu pemuliaan yang dilakukan sebelum ditemukannya varietas modern diarahkan untuk teknik budi daya tradisional atau kondisi kesuburan lahan rendah (Dalrymple 1986; Katayama 1993) sehingga menjadi tidak tanggap terhadap pemupukan dosis tinggi.

21 Pada tahun 1930, varietas unggul lokal diusahakan seluas 101.000 ha diduga sebagian dari varietas yang diusahakan tersebut beradaptasi pada lingkungan tertentu menjadi varietas lokal.