4 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan

MODIFIKASI KONSTRUKSI PERANGKAP LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU MODIFICATION OF COLLAPSIBLE POT CONSTRUCTION TO CAPTURE MANGROVE CRABS

IDENTIFIKASI KECEPATAN MERAYAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) PADA BENTUK MATA JARING DAN SUDUT KEMIRINGAN YANG BERBEDA

PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot)

3 METODOLOGI. Sumber: Google maps (2011) Gambar 9. Lokasi penelitian

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU (SKALA LABORATORIUM)

MODUL 12 WESEL 1. PENGANTAR

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

RANCANG BANGUN BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DIDIN KOMARUDIN

1. Mendeskripsikan proses pelolosan ikan pada tiga jenis BRD yaitu TED super shooter, square mesh window dan fish eye

5 PEMBAHASAN 5.1 Bubu Lipat

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN

REKONSTRUKSI PINTU MASUK BUBU LIPAT LOBSTER DAN PENGARUH PENGGUNAAN TUTUPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT KOTAK DENGAN BUBU LIPAT KUBAH TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor.

PENGGUNAAN BENTUK DAN POSISI CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU. Shape and Position Escape Gap Application of Collapsible Mud Crab Trap

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Desain dan Konstruksi Bubu Lobster

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

MENGGAMBAR RENCANA PELAT LANTAI BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DINDING DINDING BATU BUATAN

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara

PENGARUH PROFIL POROS PENGGERAK TERHADAP GERAKAN SABUK DALAM SUATU SISTEM BAN BERJALAN. Ishak Nandika G., Adri Maldi S.

DAYA TANGKAP BUBU LIPAT YANG DIOPERASIKAN OLEH NELAYAN TRADISIONAL DI DESA MAYANGAN KABUPATEN SUBANG

BAB III BAHAN DAN METODE

3 METODOLOGI PENELITIAN

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK

KONSTRUKSI PONDASI Pondasi Dangkal Pasangan Batu bata/batu kali

IV. ANALISA PERANCANGAN

SOAL TRY OUT UJIAN NASIONAL FISIKA SMA N 1 SINGARAJA. 1. Hasil pengukuran yang ditunjukkan oleh gambar di atas adalah.. mm

ANALISIS TINGKAH LAKU KEPITING BAKAU (SCYLLA SERRATA) TERHADAP PERBEDAAN SUDUT KEMIRINGAN PINTU MASUK DAN CELAH PELOLOSAN BUBU (SKALA LABORATORIUM)

Fishing target behavior against traps design

4 PENDEKATAN RANCANGAN. Rancangan Fungsional

PENGANTAR KONSTRUKSI BANGUNAN BENTANG LEBAR

OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2010 BIDANG ILMU FISIKA

SOAL TRY OUT FISIKA 2

KEMIRINGAN DINDING LINTASAN MASUK BUBU LOBSTER HIJAU PASIR. Oleh : Meita Maria Adriani Ritonga C

DAFTAR NOTASI BAB I β adalah faktor yang didefinisikan dalam SNI ps f c adalah kuat tekan beton yang diisyaratkan f y

3. METODE PENELITIAN

Karamba jaring apung (KJA) kayu untuk pembesaran ikan kerapu di laut

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2014 sampai dengan bulan Juli 2014

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

PEMBOROSAN BIAYA PEMBANGUNAN AK1BAT PENULANGAN YANG TIDAK SESUAI ATURAN TEKNIK. Tri Hartanto. Abstrak

3 METODOLOGI PENELITIAN

Aplikasi Jebakan Model Lipat Berselimut Jaring untuk Menangkap Rajungan dan Ikan

MODIFIKASI KONSTRUKSI PINTU MASUK BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU JESSY FERGIENA MUTIARA

SAMBUNGAN PADA RANGKA BATANG BETON PRACETAK

BAB III ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR

BAB III LANDASAN TEORI. Bangunan Gedung SNI pasal

BAB USAHA DAN ENERGI I. SOAL PILIHAN GANDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB VII TINJAUAN KHUSUS METODE PELAKSANAAN PEKERJAAN BALOK

3 METODOLOGI PENELITIAN

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN

BAB III LANDASAN TEORI. untuk bangunan gedung (SNI ) dan tata cara perencanaan gempa

BAB III BAHAN DAN METODE

Uji Kompetensi Semester 1

BAB IV INTERPRETASI KUANTITATIF ANOMALI SP MODEL LEMPENGAN. Bagian terpenting dalam eksplorasi yaitu pengidentifikasian atau

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II STUDI PUSTAKA

SANGAT RAHASIA. 30 o. DOKUMEN ASaFN 2. h = R

STRUKTUR DAN KONSTRUKSI BANGUNAN IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelatihan Ulangan Semester Gasal

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama

BAB DINAMIKA ROTASI DAN KESEIMBANGAN BENDA TEGAR

MENGGAMBAR KONSTRUKSI TANGGA

3. (4 poin) Seutas tali homogen (massa M, panjang 4L) diikat pada ujung sebuah pegas

B.1. Menjumlah Beberapa Gaya Sebidang Dengan Cara Grafis

SPESIFIKASI TEKNIS TENDA SERBAGUNA TYPE-1 Nomor : Kain filament polyester 100% double side coated.

Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan Pada Alat Tangkap Bubu Kerucut dengan Umpan yang Berbeda

TEATER IMAX KEONG EMAS, TAMAN MINI INDONESIA INDAH

UN SMA IPA Fisika 2015

Analisa & Pembahasan Proyek Pekerjaan Pelat Lantai

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Denah Rencana Pembalokan Lantai 2 dan Peletakan Kolom

BAB VII PEMBAHASAN MASALAH. mengetahui metode di lapangan, maka dibuatkan gambar shop drawing. Dimana

PENGEMBANGAN DESAIN BUBU LOBSTER YANG EFEKTIF. Oleh: Zulkarnain 1*, Mulyono S. Baskoro 1, Sulaeman Martasuganda 1, dan Daniel Monintja 1

Penempatan marka jalan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

Dinding Penahan Tanah

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM

BAB VI PENGUKURAN JARAK LANGSUNG

ANGKA UKUR. Angka ukur diletakan di tengah-tengah garis ukur. Angka ukur tidak boleh dipisahkan oleh garis gambar. Jadi boleh ditempatkan dipinggir.

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

A. Pasangan Dinding Batu Bata

MODIFIKASI PERENCANAAN GEDUNG APARTEMEN TRILIUM DENGAN METODE PRACETAK (PRECAST) PADA BALOK DAN PELAT MENGGUNAKAN SISTEM RANGKA GEDUNG (BUILDING

Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(5): , Juni 2017 ISSN

Sumber: [2 Agustus 2010] Posisi pengoperasian alat tangkap pada tiap setting

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

JENIS UMPAN DAN BENTUK PERANGKAP PLASTIK YANG EFEKTIF UNTUK MENANGKAP RAJUNGAN (Effective Bait and Plastic Trap Shape in Catching Swimming Crab) Oleh:

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS

BAB III KABEL BAWAH TANAH

PEMERINTAH KABUPATEN.. DINAS PENDIDIKAN SMKNEGERI. UJIAN AKHIR SEKOLAH TAHUN PELAJARAN :

LAPORAN TUGAS AKHIR (KL-40Z0) Perancangan Dermaga dan Trestle Tipe Deck On Pile di Pelabuhan Garongkong, Propinsi Sulawesi Selatan. Bab 6.

Transkripsi:

33 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Mata Jaring Lintasan Masuk Bubu Hasil pengamatan terhadap tingkah laku kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk menunjukkan bahwa kepiting bakau cenderung merayapi bidang lintasan melalui bagian pinggir atau tepi lintasan. Kepiting melintasi bidang lintasan dengan berjalan miring. Posisi tubuh kepiting bakau saat melewati lintasan masuk, yaitu dengan membelakangi dinding akuarium atau menghadap dinding akuarium. Pergerakan kepiting bakau melewati bidang lintasan dibantu oleh kaki renangnya. Kaki renang kepiting bakau berpijak pada dinding akuarium saat posisi kepiting bakau membelakangi dinding akuarium. Adapun pada posisi berhadapan dengan dinding akuarium, kaki renang kepiting bakau berpijak pada bidang lintasan. Kaki renang sangat membantu kepiting bakau dalam berjalan saat merayapi jaring lintasan seperti halnya kaki jalan. Kaki jalan membantu kepiting bakau berjalan, namun kaki jalan ini tidak dapat menopang tubuh kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk. Ini disebabkan oleh bentuk kaki jalan kepiting yang kurus dan lancip pada bagian ujungnya (Gambar 3). Sementara bidang yang harus dipijak oleh kaki kepiting bakau berupa jalinan benang jaring dengan diameter yang kecil. Hasil percobaan penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk dengan menggunakan empat ukuran mata jaring, yaitu 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci, menunjukkan bahwa kepiting bakau dapat melalui semua ukuran mata jaring tersebut. Jaring dengan ukuran mata 1 inci lebih mudah dilalui kepiting bakau dibandingkan dengan ketiga ukuran mata jaring lainnya. Kepiting bakau berukuran layak tangkap dengan lebar karapas 9 cm atau diatas ukuran layak tangkap dengan lebar karapas > 9 cm tidak mengalami kesulitan saat merayapi jaring dengan ukuran mata jaring 1 inci. Kaki renang dan kaki jalan kepiting bakau tidak tergelincir ataupun terperosok masuk ke dalam mata jaring yang menyebabkan kepiting bakau sulit melintasi jaring lintasan. Hal tersebut terjadi sebaliknya pada kepiting bakau berukuran belum layak tangkap dengan lebar karapas < 9 cm. Kaki jalan dan kaki renang kepiting bakau sering terperosok

34 masuk ke mata jaring, sehingga kepiting bakau tidak dapat melanjutkan pergerakannya. Bidang lintasan yang berukuran mata jaring 0,5 dan 0,75 inci menyebabkan kepiting bakau sulit berjalan karena ukuran mata jaring yang kecil dan jaraknya agak rapat sehingga kaki renang dan kaki jalan cenderung tergelincir saat berusaha berpijak pada jaring. Akibatnya, kepiting bakau kehilangan keseimbangan tubuh dan cenderung turun dari bidang lintasan. Hal yang sama juga terjadi pada jaring berukuran mata 1,25 inci. Kepiting bakau sulit memijakkan kaki ke jaring, karena ukuran mata jaring terlalu besar. Kaki jalan dan kaki renang kepiting bakau selalu terperosok ke dalam mata jaring. Selain itu, ujung kaki jalan kepiting bakau yang lancip terkadang terkait pada benang atau simpul jaring. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pergerakan kepiting bakau sangat dibantu oleh kaki renang yang ujungnya berbentuk agak membulat, lebar dan pipih (Gambar 3) (Siahainenia 2008). Bentuk ujung kaki renang yang demikian memungkinkan kepiting bakau dapat bertopang pada dinding akuarium, jaring lintasan ataupun dasar akuarium dan menjadikan kaki renang berperan utama sebagai pendayung saat berenang. Kasry (1996) dan Siahainenia (2008) menambahkan bahwa kaki renang kepiting bakau dilengkapi dengan alat pendayung pada bagian ujungnya. Pada Gambar 19 diilustrasikan posisi kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk dengan ukuran mata jaring yang berbeda. α Gambar 19 Posisi kepiting bakau saat melewati model lintasan masuk

35 4.2 Sudut Kemiringan Lintasan Masuk Bubu Tujuan percobaan ini adalah untuk mendapatkan sudut kemiringan bidang lintasan sehingga kepiting bakau mudah melintasinya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada sudut kemiringan 20 o, kepiting bakau berhasil melintasi bidang lintasan sebanyak 15 kali dan 3 kali gagal. Pada sudut 40 o, kepiting bakau berhasil melintasi bidang lintasan sebanyak 13 kali dan 5 kali gagal. Adapun pada sudut 60 o, 12 kali kepiting bakau berhasil melintasi bidang lintasan dan 6 kali gagal. Frekuensi keberhasilan kepiting melewati bidang lintasan lebih besar dari kegagalan, yaitu 40 berbanding 14 (Gambar 20). Hasil percobaan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ketiga sudut dapat dilewati oleh kepiting bakau. Ini menjelaskan bahwa sudut kemiringan tidak mempengaruhi kepiting bakau saat melintasi bidnag lintasan masuk. Hal ini dapat terjadi karena kaki renang kepiting bakau membantu dalam menjaga keseimbangan tubuhnya. Bidang lintasan juga dapat dilewati kepiting bakau tanpa menyentuh jaring sedikit pun. Ini artinya kepiting berenang saat melewati bidang lintasan. Fakta yang diperoleh selama penelitian berlangsung adalah kepiting bakau tidak selalu berhasil atau gagal saat melewati bidang lintasan. Kegagalan tersebut disebabkan oleh faktor kelelahan yang mengakibatkan kepiting bakau sama sekali tidak bergerak. Adapula kepiting bakau yang hanya bisa mencapai bidang lintasan sampai ketinggian tertentu. Sudut kemiringan yang memiliki frekuensi keberhasilan terbanyak dicapai oleh sudut 20 o. Ini disebabkan posisi bidang lintasan yang rendah atau hampir datar, sehingga kepiting bakau sangat mudah melintasinya. Keseimbangan badan kepiting bakau stabil saat melewati sudut kemiringan lintasan ini. Hal ini juga terjadi pada sudut 40 o yang masih dapat dilewati dengan mudah oleh kepiting bakau, walaupun frekuensi keberhasilan sudut ini tidak sebanyak sudut 20 o. Kondisi yang terjadi pada sudut 20 o dan 40 o tidak dialami kepiting saat melewati sudut 60 o. Kepiting bakau makin kesulitan bila melewati bidang lintasan yang semakin terjal. Kepiting bakau menjadi kehilangan keseimbangan tubuhnya dan pijakan kaki-kaki kepiting bakau di jaring lintasan tidak mantap. Ilustrasi posisi kepiting bakau saat berusaha melintasi bidang lintasan ditujukan pada Gambar 21.

Gambar 20 Frekuensi kepiting bakau melintasi bidang lintasan dengan mesh size 1 inci 36

37 1 inci 20 o, 40 o dan 60 o Gambar 21 Posisi kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk dengan sudut kemiringan yang berbeda. Hasil percobaan membuktikan bahwa semakin rendah sudut kemiringan lintasan, maka kepiting akan semakin mudah saat berusaha memasuki bubu lipat. Bubu lipat yang biasa digunakan oleh nelayan memiliki sudut kemiringan 20 o. Hasil percobaan terbukti mendukung bubu lipat nelayan, namun ditemukan fakta lain terkait sudut 20 o, yaitu sudut ini memperkecil volume bagian bawah bubu, sehingga mempersempit ruang gerak kepiting bakau. Gambar 22 menunjukkan keberadaan kepiting bakau saat berada di dalam bubu yang bersudut kemiringan bidang lintasan 20 o dan 40 o. Pada kondisi volume bubu yang kecil, kepiting bakau kurang bebas untuk bergerak sehingga mengakibatkan timbulnya kompetisi atau perkelahian dalam memperebutkan ruang. Kondisi demikian dapat terjadi karena kepiting bakau bersifat soliter dan cenderung kompetitif daripada kooperatif (Warner 1977 diacu dalam Yulianto 2011). Dampak dari perkelahian adalah hilangnya anggota tubuh atau matinya salah satu kepiting bakau. Apabila ada yang mati, kepiting bakau lain akan memakan kepiting yang mati. Kejadian ini disebut kanibalisme. Perilaku kanibal adalah hal yang sering terjadi antar kepiting, terutama pada ruangan yang terbatas (Nontji 1993 diacu dalam Lastari 2007). Peristiwa tersebut juga dialami oleh Almada (2001) saat melakukan penelitian di laboratorium, yaitu 1 dari 3 kepiting bakau yang menjadi obyek penelitiannya ditemukan mati akibat sebagian besar anggota tubuhnya dimakan oleh kepiting bakau lainnya.

38 (a) Bubu dengan 20 o (b) Bubu dengan 40 o Gambar 22 Posisi kepiting bakau di dalam bubu Gambar 22 menunjukkan perbedaan volume atau ruang dalam bubu dengan bidang lintasan bersudut 20 o dengan 40 o. Ruang dalam bubu (a) terlihat lebih sempit, karena posisi bidang lintasan terlalu dekat dengan dasar bubu sehingga memakan tempat dan sulit dimasuki oleh kepiting bakau yang berukuran besar. Pergerakan kepiting bakau menjadi terbatas dan terjadi penumpukan antar kepiting bakau. Hal ini dapat membuat efisiensi penangkapan dari bubu lipat menjadi rendah. Efisiensi penangkapan juga dipengaruhi oleh jumlah kepiting bakau yang berada di dalam bubu, sehingga kepiting bakau di luar bubu enggan untuk masuk ke dalam bubu (Salthaug 2002). Ruang dalam bubu (b) terlihat lebih luas, karena posisi bidang lintasan agak tinggi dari dasar bubu sehingga tidak terlalu memakan tempat. Hal tersebut membuat kepiting bakau leluasa bergerak sehingga celah antara bidang lintasan dan dasar bubu dapat dijangkau oleh kepiting bakau, baik yang berukuran kecil ataupun besar. Kondisi demikian ditunjukkan pada Gambar 22 dengan panah

39 merah. Berdasarkan penjelasan tersebut, sudut 40 o lebih baik digunakan pada bubu lipat dibandingkan 20 o. Komarudin (2012) menambahkan bahwa bubu lipat yang memiliki lintasan masuk bersudut 20 o dapat menyebabkan posisi pintu masuk semakin rendah, sehingga dapat terendam atau tertutup oleh lumpur. Lintasan masuk dengan sudut 60 o akan mempersulit dalam pembuatan pintu masuk, karena posisinya yang tinggi. 4.3 Bentuk dan Ukuran Pintu Masuk Bubu Jumlah hasil tangkapan dapat meningkat apabila kepiting bakau dapat dengan mudah melewati pintu masuk bubu. Pintu masuk bubu lipat standar hanya berupa celah (Gambar 23). Pintu masuk ini membuat kepiting bakau sulit untuk keluar dari dalam bubu dan juga sulit untuk dimasuki. Ini disebabkan oleh ukuran celah masuk yang terlalu sempit, terutama pada bagian sisi-sisinya. Komarudin (2012) menyatakan bahwa akibat yang ditimbulkan dari sempitnya celah masuk bubu pada bagian sisi-sisinya adalah kepiting bakau memasuki bubu melalui tengah pintu masuk, karena bukaan mulut masuk pada bagian tengah lebih lebar daripada bagian sisi-sisinya. Archdale et al. (2006) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh dan tingkah laku rajungan Charybdis japonica saat berusaha melewati pintu masuk dari bubu lipat berbentuk balok dan kubah. Pintu masuk bubu balok berbentuk celah, sedangkan pada bubu berbentuk kubah, pintu masuknya berupa corong. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya 63% rajungan dapat masuk ke dalam bubu berbentuk balok dan 37%-nya menyerah, karena kesulitan saat berusaha melewati pintu masuk yang hanya berupa celah, sedangkan pintu masuk yang berupa corong dari bubu berbentuk kubah lebih mudah dilewati oleh rajungan (100%). Ini berarti, pintu masuk berupa corong lebih efisien dibandingkan pintu masuk berupa celah dalam menangkap C. japonica atau semakin besar ukuran pintu masuk, maka target tangkapan makin mudah melewati pintu masuk tersebut. Atas dasar inilah, pintu masuk bubu lipat standar dimodifikasi dengan memperbesar ukurannya.

40 30, 5 cm Gambar 23 Pintu masuk bubu nelayan (standar) berupa celah Berbagai macam bentuk pintu masuk diuji coba. Tinggi dari celah masuk yang terbentuk didasarkan pada tebal karapas kepiting bakau layak tangkap. Ketebalan rata-rata karapas kepiting bakau sebesar 3,5 cm. Ini dijadikan acuan dalam menentukan ketinggian minimum pintu masuk bubu yang dirancang. Oleh karena itu, tinggi pintu masuk bubu dapat lebih besar dari 3,5 cm agar mudah dilalui oleh kepiting bakau. Bentuk pintu masuk yang diuji coba selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 24. Perbedaannya terdapat pada dinding pembatas bagian atas yang diposisikan dengan sudut 180 o pada pintu nomor 1, 40 o (pintu nomor 2) dan 90 o (pintu nomor 3). Penetapan bentuk pintu masuk nomor 2 didasari oleh bentuk pintu masuk nomor 1, sedangkan pintu masuk nomor 3 didasari oleh bentuk pintu masuk nomor 2. Ini disebabkan oleh kepiting bakau yang dapat meloloskan diri pada setiap pintu masuk yang diuji coba. Ukuran pintu masuk yang lebih besar membuat kepiting dapat lolos.

41 Bentuk pintu masuk nomor 1: Tinggi mulut masuk α Model lintasan masuk Bentuk pintu masuk nomor 2: Bentuk pintu masuk nomor 3: dinding pembatas bagian atas Model lintasan masuk Gambar 24 Tiga bentuk pintu masuk bubu α Hasil percobaan yang kurang memuaskan menimbulkan ide lain terkait bentuk pintu masuk, sehingga tercipta bentuk pintu masuk nomor 4. Pintu masuk nomor 4 dapat diaplikasikan pada bubu lipat. Konstruksi pintu masuk tersebut ditunjukkan pada Gambar 25. Konstruksi pintu masuk ini sama dengan pintu masuk nomor 1, 2 dan 3, yaitu ukuran bukaan mulut yang besar. Hal ini yang membuat kepiting bakau dapat meloloskan diri melalui pintu masuk tersebut.

42 Gambar 25 Bentuk pintu masuk nomor 4 yang diterapkan pada bubu lipat Pintu masuk yang semakin besar akan memudahkan kepiting bakau masuk ke dalam bubu, namun juga dapat menjadi pintu pelolosan bagi kepiting. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Archdale et al. (2007) terkait kemampuan rajungan C. japonica dan Portunus pelagicus keluar dari bubu berbentuk balok dan kubah melalui pintu masuk dari kedua jenis bubu tersebut. Hasilnya adalah seluruh rajungan tidak dapat keluar dari bubu berbentuk balok, akan tetapi rajungan dapat keluar dari bubu berbentuk kubah. Ini jelas tidak sesuai dengan tujuan perancangan pintu masuk yang mudah dimasuki dan sulit dilewati oleh kepiting bakau pada penelitian ini. Atas dasar itulah pintu masuk bubu lipat dilengkapi dengan trigger atau deretan kawat besi untuk mencegah kepiting bakau meloloskan diri dari dalam bubu dengan lebar pintu masuk sebesar 5 cm. Trigger dapat digunakan sebagai alat untuk mencegah hasil tangkapan lolos dari bubu (Brandt 1984 dan High 1976 diacu dalam Salthaug 2002). Sistem kerja trigger adalah apabila kepiting melewati pintu masuk, maka trigger akan terangkat. Trigger segera tertutup kembali setelah kepiting bakau masuk ke dalam bubu akibat gaya gravitasi yang bekerja pada batang trigger (Miller 1990). Setiap pintu masuk bubu yang berbentuk empat persegi panjang tersusun atas 14 batang kawat besi yang dibuat berpasangan. Jarak setiap kawat 2 cm (Gambar 26). Ini dimaksudkan untuk mencegah kepiting bakau meloloskan diri melalui celah antar jeruji. Lebar celah yang terbentuk apabila trigger terangkat tidak besar. Gambar 27 menunjukkan pintu masuk yang telah dilengkapi dengan trigger.

43 2 cm 5 cm Gambar 26 Jarak antar trigger dan lebar pintu masuk bubu lipat modifikasi 5 cm 2 cm Gambar 27 Pintu masuk bubu lipat modifikasi yang dilengkapi dengan trigger 4.4 Rancangan Konstruksi Bubu Lipat Hasil Modifikasi Percobaan yang telah dilakukan memperoleh hasil sebagai berikut: ukuran mata jaring lintasan sebesar 1 inci, sudut kemiringan (α) bidang lintasan 40 o dan pintu masuk bubu berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 30,5 5 (cm). Ketiga hasil tersebut digunakan sebagai acuan dalam merancang bubu lipat modifikasi. Pada Gambar 28 ditunjukkan konstruksi bubu lipat standar yang telah dimodifikasi. Gambar 28 Bubu lipat modifikasi Pintu masuk bubu dilengkapi dengan deretan batang kawat besi (trigger). Ini dimaksudkan agar kepiting bakau yang telah terperangkap tidak dapat meloloskan diri lagi. Bagian ujung setiap trigger dibengkokkan untuk

44 menghindari terangkatnya trigger akibat dorongan kepiting bakau yang bergerak aktif di dalam bubu (Gambar 29). Trigger berbentuk lurus akan mudah digeser atau diangkat oleh kepiting bakau dari arah dalam, sehingga akan membentuk celah dan memudahkan kepiting untuk keluar. Gambar 29 Ujung trigger yang dibengkokkan Bubu hasil modifikasi dilengkapi dengan kantung umpan yang digantung di bagian tengah bubu. Ini ditujukan agar kondisi umpan tidak dirusak oleh kepiting bakau, sehingga bau yang dihasilkan umpan dapat bertahan lama. Selain itu, posisi umpan diletakkan berjejer di dalam kantung supaya permukaan tubuh umpan yang terkena aliran arus relatif lebih luas dibandingkan dengan posisi umpan yang diletakkan bertumpuk. Akibatnya, bau yang dikeluarkan oleh umpan menjadi lebih maksimal. Keuntungan lain adalah umpan tidak selalu termakan habis oleh kepiting bakau, sehingga nelayan dapat menghemat penggunaan umpan pada setiap pengoperasian bubu. Kantung umpan yang dirancang untuk bubu modifikasi berbentuk empat persegi panjang. Kerangka kantung umpan terbuat dari kawat besi galvanis. Kantung ini berukuran 20 8 (cm). Jaring PE (polyethylene) berukuran mata jaring 0,75 inci dijadikan sebagai pembungkus kerangka kantung umpan (Gambar 30). Mata jaring PE sengaja dipilih berukuran kecil agar sulit dirusak oleh kepiting bakau.

45 8 cm 20 cm Gambar 30 Kantung umpan pada bubu lipat modifikasi Kantung umpan diletakkan ditengah bubu. Bagian atas dan tiap sudut bawah kantung umpan dikaitkan pada kerangka bubu (Gambar 31). Ini dilakukan agar kantung umpan tetap pada posisinya saat kepiting bakau mencabik-cabik umpan. Kedua sisi kantung umpan berhadapan dengan pintu masuk bubu. Kondisi ini berbeda pada tempat umpan yang dipasang di bubu standar. Gambar 31 Posisi kantung umpan saat bubu lipat modifikasi dioperasikan Pada bubu standar yang biasa dioperasikan oleh nelayan, umpan biasanya diletakkan di dasar bubu atau hanya ditusukkan pada sebatang kawat besi yang dibengkokkan. Kawat besi tersebut menghubungkan kerangka bawah dan atas bubu. Lalu dibengkokkan sedemikian rupa hingga dapat digunakan sebagai tempat umpan. Kawat besi tersebut dapat dilihat pada Gambar 32. Cara pemasangan umpan demikian menyebabkan umpan cepat habis dimakan oleh kepiting. Spesifikasi dari bubu standar dan modifikasi disajikan pada Tabel 3.

46 Gambar 32 Tempat umpan pada bubu lipat standar Tabel 3 Spesifikasi bubu No. Uraian Spesifikasi Bubu standar Bubu modifikasi 1. Badan bubu a. Bahan jaring PE 210/D6 PE 210/D6 b. Ukuran mata jaring ( ) 1,25 inci Lintasan = 1 inci Dinding = 1,25 inci 2. Kerangka bubu a. Bahan Besi galvanis Besi galvanis b. Ukuran kawat p: 48 cm l: 30,5 cm t: 18 cm ø 5 mm p: 48 cm l: 30,5 cm t: 18 cm ø 5 mm c. Ukuran jeruji kawat besi - (trigger) ø 3 mm 3. Pintu masuk a. Bahan PE ø: 1 mm Kawat besi galvanis b. Bentuk pintu masuk Celah p: 30,5 cm Empat persegi panjang 30,5 cm 5 cm

47 4.5 Bubu Lipat Modifikasi dan Bubu Lipat Standar 4.5.1 Hubungan linear antara tebal dengan panjang, lebar dan berat tubuh kepiting bakau yang dijadikan sampel Uji regresi linear dilakukan pada variabel tebal karapas dengan panjang karapas, lebar karapas dan berat tubuh kepiting bakau. Tujuannya untuk mengetahui keeratan hubungan antar variabel dengan melihat nilai koefisien korelasi (r) dari masing-masing grafik yang terbentuk. Apabila nilai koefisien korelasi (r) mendekati 1 (Santoso 1999) atau lebih besar dari 0,6 (Wicaksono 2006), maka hubungan antar variabel sangat erat. Dengan demikian, analisis terhadap hasil penelitian dapat dilakukan, karena menunjukkan kewajaran dari ukuran tubuh kepiting bakau yang digunakan selama penelitian. Hubungan linear antara tebal T dengan panjang P, lebar L dan berat B kepiting bakau ditunjukkan oleh Gambar 33. Gambar 33 menguraikan 3 grafik yang menggambarkan hubungan antara tebal T dan panjang karapas kepiting bakau (Gambar 33-a), tebal T dan lebar karapas kepiting bakau (Gambar 33-b) serta tebal T dan berat kepiting bakau (Gambar 33-c). Masing-masing digambarkan dengan persamaan regresi T = 0,5562 P - 0,0274 dengan r sebesar 0,9821, T = 0,3547 L + 0,3529 (r = 0,9768) dan T = 0,0109 B + 2,0815 (r = 0,9722). Persamaan pada Gambar 33-a menjelaskan bahwa setiap pertambahan panjang 1 cm akan diikuti dengan peningkatan tebal kepiting bakau sebesar 0,5562 cm. Persamaan Gambar 33-b menunjukkan bahwa peningkatan tebal kepiting bakau sebesar 0,3547 cm disebabkan oleh pertambahan lebar setiap 1 cm-nya. Gambar 33-c menjelaskan bahwa setiap pertambahan berat tubuh kepiting bakau 1 g akan diikuti dengan peningkatan tebal kepiting bakau sebesar 0,0109 cm. Hubungan linear yang dimiliki oleh ketiga grafik pada Gambar 33 adalah sangat erat. Ini disebabkan oleh nilai koefisien korelasinya (r) mendekati 1 atau lebih besar dari 0,6. Berdasarkan nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa kepiting bakau yang dijadikan sampel penelitian memiliki ukuran karapas yang proporsional atau wajar.

48 (a) (b) (c) Gambar 33 Hubungan linear antara tebal T dengan panjang P, lebar L dan berat B tubuh kepiting bakau

49 4.5.2 Perbandingan jumlah kepiting bakau yang tertangkap di bubu lipat standar dan bubu lipat modifikasi Hasil pengujian bubu yang dilakukan sebanyak 20 ulangan didapatkan bahwa bubu modifikasi lebih banyak menangkap kepiting dibandingkan dengan bubu nelayan (standar). Jumlah total kepiting bakau yang tertangkap oleh bubu modifikasi mencapai 147 individu, sedangkan bubu standar hanya sebanyak 27 individu. Ini menunjukkan bahwa kepiting bakau yang tertangkap oleh bubu modifikasi 5,44 kali lebih banyak dari kepiting bakau yang tertangkap bubu standar. Hasil uji Kolmogorov Smirnov menunjukkan bahwa kolom asymptotic significance untuk uji dua sisi adalah 0,000. Ini berarti probabilitas atau peluangnya kurang dari 0,05, sehingga H o ditolak. Hal tersebut menjelaskan bahwa jumlah kepiting yang tertangkap oleh kedua bubu berbeda nyata. Kepiting bakau yang tertangkap pada bubu standar lebih sedikit dibandingkan dengan bubu modifikasi. Hal ini disebabkan oleh konstruksi pintu masuk bubu standar yang hanya berupa celah. Konstruksi pintu masuk ini menyulitkan kepiting bakau untuk melewatinya. Ini disebabkan oleh duri-duri yang terdapat pada capit dan karapasnya tersangkut pada celah masuk bubu lipat standar (Gambar 34). Akibatnya, jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada bubu standar lebih sedikit dari bubu modifikasi. Pada Gambar 35 ditunjukkan perbedaan jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada kedua bubu tersebut. Tingkah laku tersebut juga diperlihatkan oleh rajungan Charybdis japonica pada penelitian yang dilakukan oleh Archdale et al. (2003) mengenai tingkah laku C. japonica terhadap bubu lipat berbentuk balok dan kubah yang diberi umpan. Rajungan kesulitan memasuki bubu lipat berbentuk balok dengan pintu masuk berupa celah. Kondisi tersebut disebabkan tersangkutnya duri-duri pada tubuh rajungan di jaring pintu masuk. Peristiwa tersebut tidak dialami rajungan saat melewati pintu masuk corong dari bubu lipat berbentuk kubah, karena ukuran pintu masuk bubu ini lebih besar dibandingkan pintu masuk bubu berbentuk balaok. Ukuran mata jaring bidang lintasan masuk juga mempengaruhi kepiting bakau tertangkap pada bubu. Ukuran mata jaring bidang lintasan bubu modifikasi yang sebesar 1 inci lebih mudah dilintasi kepiting bakau, karena kaki jalan dan

50 kaki renang kepiting bakau tidak terperosok masuk ke dalam mata jaring ataupun tergelincir dari jaring lintasan. Akibatnya, kepiting bakau mudah mencapai pintu masuk. Lain halnya dengan ukuran mata jaring bidang lintasan masuk bubu standar yang sebesar 1,25 inci. Ukuran mata jaring ini lebih dahulu menyulitkan kepiting bakau saat melintasinya karena kaki jalan dan kaki renangnya terperosok masuk ke dalam mata jaring, sehingga kepiting pun kesulitan untuk mencapai pintu masuk. (a) Kepiting bakau tersangkut di pintu masuk bubu lipat standar (b) Kepiting bertumpuk di depan pintu masuk bubu lipat standar Gambar 34 Posisi kepiting bakau di depan pintu masuk bubu lipat standar

51 Gambar 35 Jumlah kepiting bakau yang tertangkap oleh bubu lipat modifikasi (M) dan bubu lipat standar (S) Pada ulangan ke-4, 5, 7, 16, 19 dan 20, bubu standar tidak dapat menangkap satu kepiting bakau pun. Penyebabnya, kepiting bakau yang tersangkut pada celah bagian tengah pintu masuk bubu menghalangi kepiting bakau lainnya yang akan masuk. Pada beberapa kasus, kepiting bakau tidak jadi melintasi lintasan masuk bubu karena melihat kepiting bakau lain telah berada di depan pintu masuk sehingga cenderung menghindar.