BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

Kebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

1 DESEMBER HARI AIDS SE-DUNIA Stop AIDS: Akses untuk Semua! Mardiya. Kondisi tersebut jauh meningkat dibanding tahun 1994 lalu yang menurut WHO baru

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat umum dan penting, sedangkan infeksi bakteri lebih sering

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

SITUASI PENDANAAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB I PENDAHULUAN. lagi dan diubah menjadi PMS (penyakit menular seksual) karena seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini di berbagai belahan bumi mengalami masalah kesehatan

PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1]

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KERANGKA ACUAN KLINIK MS DAN VCT PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 5 ayat 1, yang

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2013 menjelaskan. HIV atau Human Immunodefisiensi Virus merupakan virus

ANTARA KEBUTUHAN DAN PEMENUHAN HAK PEMBIAYAAN PENANGGULANGAN AIDS DALAM SKEMA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL. dr Endang Sri Rahayu

BAB I PENDAHULUAN. HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1]

BAB 1 : PENDAHULUAN. manusia lainnya sebagai makhluk yang selalu digerakkan oleh keinginan-keinginan

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. PMS merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan bahwa homoseksual bukan penyakit/gangguan kejiwaan.di Indonesia

PENELITIAN HUBUNGAN PENGETAHUAN WANITA PEKERJA SEKSUAL DENGAN KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL. Anggia Suci W *, Tori Rihiantoro **, Titi Astuti **

BAB I PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah suatu. kumpulan gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh, bukan

SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Per 1 September 2015

Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi sexual transmitted disease. (STD) atau penyakit menular seksual (Fahmi dkk, 2014).

Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), 2009

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual

BAB I PENDAHULUAN. masalah dunia karena melanda di seluruh negara di dunia (Widoyono, 2005).

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) ,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penyakit menular adalah penyakit yang disebabkan oleh bibit penyakit

BAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus)

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

Silabus Mata Kuliah Kesehatan Seksual dan HIV/AIDS Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana

PEDOMAN WAWANCARA PERILAKU TRANSGENDER (WARIA) DALAM UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS DI PUSKESMAS TELADAN KOTA MEDAN TAHUN 2016

PROSES PELAYANAN SOSIAL BAGI WARIA MANTAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI YAYASAN SRIKANDI SEJATI JAKARTA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan kasus-kasus baru yang muncul. Acquired Immuno Deficiency

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan melalui hubungan kelamin. Dahulu kelompok penyakit ini dikenal

BAB I PENDAHULUAN. uterus. Pada organ reproduksi wanita, kelenjar serviks bertugas sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi 5,6 juta kasus HIV baru dan 2,6 juta kematian karena AIDS serta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV. Keberadaan IMS telah menimbulkan pengaruh besar dalam pengendalian HIV-AIDS. Pada saat yang sama, timbul peningkatan kejadian resistensi kuman penyebab Infeksi Menular Seksual terhadap beberapa antimikroba, yang akan menambah masalah dalam pengobatan IMS (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan data dari mengenai hasil pelaporan IMS secara online, Sifilis merupakan jenis IMS yang terdapat pada lebih dari 100 negara di dunia, diikuti dengan gonore lebih dari 90 negara, sifilis kongenital dan klamidia lebih dari 60 negara dan herpes simplek lebih dari 40 negara. Secara global, kasus baru IMS yang dapat disembuhkan (sifilis, gonore, klamidia dan trikomoniasis) berjumlah sekitar 499 juta kasus pada tahun 2008, angka ini tidak jauh berbeda dari perkiraan pada tahun 2005 yaitu 448 juta kasus (http://www.who.int/research/en/ Diakses tanggal 15 Januari 2015). Sebagaimana diuraikan oleh WHO dalam Prevention and Control of Sexually Transmitted Infections, 2006-2015, kontrol IMS yang efektif tergantung pada ketepatan pelaporan rutin dari sistem pemantauan IMS. Sistem pemantauan yang kuat memungkinkan otoritas kesehatan nasional, pembuat kebijakan, dan pengaturan program IMS untuk secara efektif memantau perkembangan epidemi (http://www.who.int/research/en/ Diakses tanggal 15 Januari 2015). Perkembangan epidemi IMS dan HIV-AIDS di dunia telah menjadi masalah global termasuk di Indonesia. Risiko penularan IMS masih kurang disadari oleh kelompok berisiko, ditambah kesadaran yang rendah untuk memeriksakan HIV 1

2 sehingga masih banyak kasus AIDS yang ditemukan pada stadium lanjut di rumah sakit. Dalam rangka memperkuat upaya pengendalian IMS dan HIV- AIDS di Indonesia, sangat penting untuk memadukan upaya pencegahan dengan perawatan, karena keduanya merupakan komponen penting yang saling melengkapi. Mencegah dan mengobati IMS dapat mengurangi risiko penularan HIV melalui hubungan seks, terutama pada populasi yang paling memungkinkan untuk memiliki banyak pasangan seksual, misalnya penjaja seks dan pelanggannya. Keberadaan IMS dengan bentuk inflamasi atau ulserasi akan meningkatkan risiko masuknya infeksi HIV saat melakukan hubungan seks tanpa pelindung antara seorang yang telah terinfeksi IMS dengan pasangannya yang belum tertular. Ulkus genitalis atau seseorang dengan riwayat pernah menderita ulkus genitalis diperkirakan meningkatkan risiko tertular HIV 50-300 kali setiap melakukan hubungan seksual tanpa pelindung. Penyiapan fasilitas pelayanan yang terjangkau dan dapat diterima serta efektif merupakan syarat utama pemberantasan dan penanggulangan IMS. Di negara maju maupun di negara berkembang, setiap pasien IMS diberi kesempatan untuk memilih unit pelayanan kesehatan untuk perawatan IMSnya. Kemungkinan ada tiga pilihan yang dapat dilakukan, yaitu: pengobatan oleh klinik pemerintah, klinik swasta atau sektor informal. Dalam menjamin keterjangkauan program IMS perlu diketahui bahwa para pasien IMS akan mencari kombinasi dari ke tiga fasilitas tersebut. Di beberapa negara hampir semua tempat pengobatan pasien IMS dilakukan diluar sektor pemerintah. Dalam perencanaan program yang paripurna perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan kemampuan seluruh petugas kesehatan agar mampu memberikan pelayanan IMS yang baik (Kemenkes RI, 2011). Pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDG) yang ke-6, terkait dengan pengendalian HIV dan AIDS yaitu penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS serta menwujudkan akses terhadap pengobatan AIDS bagi semua yang membutuhkan pada tahun 2015, merupakan target dokumen kebijakan ini terbit. Upaya-upaya pokok yang diharapkan berjalan adalah memperkuat promkes

3 (promosi kesehatan) pencegahan, memperluas konseling dan tes HIV, dan perawatan, dukungan dan pengobatan. Terkait dengan hak-hak kesehatan reproduksi, pemerintah menerbitkan Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan IMS. Surat edaran ini ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Direktur Rumah Sakit seluruh Indonesia. Program pencegahan dan intervensi IMS dan HIV AIDS yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan LSM hingga saat ini sudah berbasis Intervensi terhadap faktor risiko yang sesuai dengan hasil Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011. STBP 2011 bertujuan untuk mengetahui prevalensi HIV dan IMS (sifilis, gonore, dan klamidia) pada populasi paling berisiko (berisiko tinggi) dan mengetahui tingkat pengetahuan tentang HIV-AIDS, perilaku berisiko tertular atau menularkan HIV, dan cakupan intervensi program pada populasi paling berisiko dan populasi rawan. Jumlah responden (populasi) STBP 2011, yaitu sebanyak 25.150 orang, tersebar di 23 Kabupaten/Kota di 11 Provinsi di Indonesia. Sebanyak 8.309 orang merupakan populasi paling bersiko yang diambil data perilaku, HIV, sifilis, gonore, dan klamidia; Sebanyak 9.819 orang merupakan populasi paling berisiko yang diambil data perilaku, HIV dan sifilis; dan sebanyak 7.022 orang merupakan responden remaja yang diambil data perilaku.

4 Gambar 1.1 Prevalensi HIV Menurut Populasi, STBP 2011 Prevalensi HIV tertinggi terdapat pada Penasun (41%), diikuti waria (22%), WPSL (10%), LSL (8%), WBP (3%), WPSTL (3%), dan Pria Potensial Risti (0,7%). Gambar 1.2 Prevalensi Sifilis Menurut Populasi, STBP 2011 Prevalensi Sifilis tertinggi di temukan pada Waria (25%), kemudian diikuti WPSL (10%), LSL (9%), WBP (5%), Pria Potensial Risti (4%), WPSTL (3%), dan Penasun (2%).

5 Gambar 1.3 Prevalensi Gonore dan/atau Klamidia Menurut Populasi, STBP 2011 Prevalensi gonore tertinggi pada WPSL (38%), kemudian diikuti oleh waria (29%), LSL (21%), dan WPSTL (19%). Prevalensi klamidia tertinggi pada WPSL dan WPSTL (masing-masing 41%) diikuti oleh waria (28%) dan LSL (21%). Prevelensi gonore dan/atau klamidia berkisar antara 33% (LSL) dan 56% (WPSL). Gambar 1.4 Distribusi Populasi Menurut Perilaku Membeli Seks dalam Satu Tahun Terakhir, STBP 2011 Perilaku membeli seks dalam satu tahun terakhir paling banyak dilakukan oleh waria (26%), diikuti Pria Potensial Risti (23%), Penasun dan LSL (masingmasing 19%). Secara umum, WPS, waria, dan LSL merupakan populasi yang melakukan kegiatan menjual seks. WPS dan waria menjual seks kepada lelaki, dan LSL menjual seks kepada lelaki dan perempuan. Selain itu, waria dan LSL juga melakukan perilaku membeli seks.

6 Gambar 1.5 Distribusi Populasi Menurut Frekuensi Kunjungan ke Layanan IMS dalam Tiga Bulan Terakhir, STBP 2011 Pencarian pengobatan ke layanan kesehatan (layanan IMS) diantara responden yang mempunyai gejala IMS lebih banyak dilakukan oleh waria dibandingkan dengan populasi survei lainnya. Sebaliknya pada WBP, hanya sebagian kecil yang mempunyai gejala IMS berobat ke layanan IMS. Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa populasi waria mempunyai persentase tinggi pada Prevalensi HIV, Prevalensi Sifilis dan Prevalensi Gonore dan/atau Klamidia. Waria memiliki persentase paling tinggi pada perilaku membeli seks namun sebagian besar waria tidak pernah melakukan kunjungan ke Layanan IMS. Sejak tahun 1999 sebenarnya kaum waria di Indonesia telah mendapat jaminan perlindungan dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum" dan ayat (3) berbunyi, "Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi". Bahkan dalam pasal 5 ayat (3) dinyatakan, "... berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan demgan kekhususannya". Berdasar aturan ini, kelompok waria oleh komnas HAM kini ditempatkan sebagai kelompok minoritas dalam SubKomisi Perlindungan kelompok Khusus (Yuliani dan Demartoto, 2006).

7 Pada tanggal 6-9 November 2006 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sekelompok ahli HAM telah membuat draf, mengembangkan draf tersebut, mendiskusikan dan akhirnya menghasilkan Prinsip-Prinsip yang disebut The Yogjakarta Principles (Prinsip-Prinsip Yogjakarta). 29 orang ahli HAM internasional secara sepakat mengadopsi Prinsip-Prinsip Yogyakarta tentang Undang-Undang HAM Internasional Terkait dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender. Prinsip-Prinsip Yogyakarta menyikapi berbagai macam standar HAM dan aplikasinya terhadap isu-isu orientasi seksual atau identitas gender. Prinsip-Prinsip ini menegaskan kewajiban utama negara dalam mengimplementasikan HAM. Masingmasing Prinsip dilengkapi dengan rekomendasi terperinci bagi negara. Para ahli juga menekankan bahwa semua pihak bertanggung jawab untuk memajukan dan melindungi HAM termasuk di dalamnya isu orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip-prinsip ini menjadi penting untuk bahan masukan kebijakan anti diskriminasi Negara khususnya kebijakan tindakan afirmatif untuk kaum transgender yang selama ini termarjinalisasi dalam dunia kerja. Namun pertanyaannya, bentuk tindakan afirmatif yang bagaimana untuk diterapkan sehingga tujuan adanya kesetaraan dan penghormatan HAM dapat terwujud (Ardhary Institute, 2007). Stigma negatif telah melekat pada diri waria penjaja seks dimana mereka disebut sebagai salah satu sumber penyebaran IMS dan virus HIV/AIDS karena risiko atas faktor pekerjaannya sebagai penjaja seks. Waria yang berprofesi sebagai penjaja seks sama dengan wanita penjaja seks seringkali memiliki posisi tawar yang sangat rendah dalam menghadapi konsumennya. Dalam posisinya sebagai penjaja seksual yang memiliki posisi daya tawar yang sangat rendah, serta kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, maka waria dengan tanpa sepengetahuannya akan mudah terinfeksi/tertular virus HIV dan IMS kepada pasangan-pasangan berikutnya. Hal itu terjadi karena kurangnya informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual serta akses tentang layanan kesehatan bagi kaum waria (PKBI-DIY, 2007). Kemunculan beberapa kelompok organisasi waria diawali seiring dengan suasana demokrasi yang berkembang belakangan ini di Indonesia. Beberapa organisasi waria pada dasarnya memiliki tujuan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan

8 kolektif kaum waria. Mayoritas tujuan kemunculan organisasi waria ini adalah ingin menyuarakan suara-suara perih kaum waria (secara khusus) dan kaum homoseksual (secara umum) yang selama ini ditindas oleh wacana mainstream (agama dan negara). KEBAYA adalah Keluarga Besar Waria Yogyakarta, sebuah LSM dengan slogan : "Membantu dan Membangun Waria untuk Waria oleh Waria". Bergerak dalam bidang pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS (Kebaya, 2008). Jumlah waria di Yogyakarta menurut data dan catatan KEBAYA adalah sebanyak 412 orang. Tetapi angka ini hanya menunjukkan waria yang masuk dalam organisasi KEBAYA belum jumlah keseluruhan waria seluruh Kota Yogyakarta. 42 orang diantaranya dinyatakan positif terinfeksi HIV. KEBAYA dan pemerintah berkoordinasi dalam rangka menekan angka IMS dan HIV/AIDS pada waria melalui layanan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disediakan di beberapa tempat pelayanan kesehatan antara lain Puskesmas Gedongtengen, Puskesmas Umbulharjo I, RS. Jogja, Klinik Edelwise RS. Sardjito, Puskesmas Kretek dan LSM PKBI-DIY, (Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DIY, 2014). Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan penggalian informasi melalui wawancara dengan Ketua dan 4 waria di LSM KEBAYA diperoleh fakta bahwa atusiasme waria terhadap VCT HIV/AIDS lebih tinggi dibandingkan dengan skrining IMS. Ketertarikan waria terhadap VCT HIV/AIDS antara lain karena tenaga kesehatan mendatangi LSM untuk melakukan test HIV, sehingga waria tidak perlu ke tempat pelayanan kesehatan. Untuk mobile VCT pada waria, selama ini petugas kesehatan hanya melakukan test HIV saja dan tidak melakukan test IMS. Layanan IMS hanya diberikan saat waria datang ke klinik atau unit pelayanan IMS. Selain itu, para waria mempunyai persepsi bahwa VCT HIV/AIDS dianggap lebih penting dari pada skrining IMS tanpa mereka sadari bahwa IMS merupakan salah satu faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya HIV. Apabila kejadian IMS dibiarkan saja tanpa melakukan intervensi yang tepat sasaran akan sulit untuk memutus mata rantai penularan HIV/AIDS. Meski sudah mengetahui tempat-tempat unit pelayanan IMS, kadang-kadang mereka enggan untuk mencari pertolongan baik untuk keperluan diagnosis maupun pengobatan, karena malu dan akibat stigma negatif tentang waria.

9 Mereka juga merasa takut dengan perlakuan negatif dari petugas kesehatan dan kurangnya penjagaan kerahasiaan mereka. Hal ini melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian terhadap penggunaan pelayanan skrining IMS pada waria di Kota Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penelitian ini mengemukakan perumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah penggunaan pelayanan skrining Infeksi Menular Seksual pada waria di Kota Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui penggunaan pelayanan skrining IMS pada waria di Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui karakteristik dan isyarat untuk bertindak waria dalam penggunaan pelayanan skrining IMS b. Untuk mengetahui pandangan waria terhadap kerentanan mereka terhadap IMS termasuk HIV-AIDS. c. Untuk mengetahui pandangan waria terhadap keseriusan/keparahan yang ditimbulkan oleh IMS. d. Untuk mengetahui penilaian waria mengenai manfaat yang diperoleh dengan menggunakan pelayanan skrining IMS. e. Untuk mengetahui hambatan yang ditemui waria dalam menggunakan pelayanan skrining IMS. f. Untuk mengetahui keyakinan waria tentang penggunaan pelayanan IMS untuk pencegahan IMS D. Manfaat Penulisan 1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kota Yogyakarta dalam upaya meningkatkan pelayanan skrining IMS pada waria. 2. Sebagai bahan masukan bagi LSM Kebaya dalam memberikan motivasi kepada komunitas waria untuk menggunakan pelayanan skrining IMS secara intensif.