SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Per 1 September 2015

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Per 1 September 2015"

Transkripsi

1 SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Per 1 September 2015 Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional Tahun 2015

2 Bab 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Dengan terbitnya Peraturan Presiden nomor 75 tahun 2006 maka kedudukan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menjadi kuat untuk memimpin dan mengelola penanggulangan AIDS secara menyeluruh, sistematis dan terkoordinasi pada semua tingkatan. Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan AIDS tahun adalah dokumen strategi pertama yang menggunakan perencanaan berbasis biaya. Kemudian, SRAN tahun yang disusun berdasarkan arahan kebijakan RPJMN , telah digunakan sebagai acuan bagi semua pelaksana penanggulangan AIDS termasuk mitra kerja pembangunan nasional dan internasional. SRAN untuk 5 tahun mendatang, disusun mengacu pada RPJMN , dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan, untuk mempertahankan momentum penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang bergerak menuju kemandirian pendanaandan integrasi program ke dalam sistem pemerintah dan masyarakat. Dokumen ini terdiri dari 7 Bab, yang diawali dengan Bab 1 Pedahuluan, termasuk kerangka pikir serta proses penyusunannya; Bab 2 Situasi epidemi serta upaya penanggulangan; Bab 3 Visi, tujuan, target dan strategi; Bab 4 Rencana aksi; Bab 5 Monitoring dan evaluasi; Bab 6 Pelaksanaan SRAN di daerah; dan Bab 7 Kebutuhan sumber daya, termasuk mobilisasi sumber daya manusia dan sumber pendanaan Perubahan Lingkungan Perubahan lingkungan yang terjadi baik secara nasional maupun global menjadi bahan pertimbangan untuk penetapan kebijakan ke depan. Beberapa perubahan lingkungan yang terjadi adalah sebagai berikut: Pada Tahun 2011 Pertemuan Tingkat Tinggi Majelis Umum PBB tahun 2011 mengadopsi Komitmen Politik tentang HIV dan AIDS dan menetapkan target global yang akan dicapai pada tahun KTT ASEAN tahun 2011 di Bali yang dipimpin oleh Indonesia, mengadopsi Deklarasi Komitmen Getting to Zero, yang memperkuat komitmen dan target tingkat global. Negara-negara anggota ASEAN bersama-sama menetapkan target dalam inisiatif yang disebut dengan ASEAN Cities Getting to Zero. Dalam inisiatif ini, Indonesia berperan sebagai leading country, dan bersama-sama anggota ASEAN, merencanakan dan berbagi praktik terbaik untuk mengatasi epidemi HIV di kotakota terpilih. Indonesia secara aktif mendukung resolusi ESCAP regional dan berkomitmen untuk meningkatkan akses universal terhadap HIV dan AIDS melalui pengobatan, perawatan dan dukungan secara intensif. 1

3 Pada Tahun Laporan dunia menunjukkan bahwa epidemi HIV di dunia mulai menunjukkan penurunan. Hal ini menunjukkan keberhasilan pencapaian tujuan ke-6 MDGs. Tujuan penanggulangan AIDS dunia yang dicanangkan UNAIDS untuk mengakhiri epidemi dengan 3 Zero (Zero infeksi baru, Zero kematian terkait AIDS, Zero stigma dan diskriminasi) telah dipandang sebagai tujuan yang aspirasional. Ke depan MDGs akan digantikan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Disini, HIV dan AIDS diintegrasikan sebagai salah satu tujuan kesehatan dan pembangunan sosial. Perubahan penting lainnya adalah krisis ekonomi global, yang berakibat pada berkurangnya pendanaan HIV dan AIDS. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran pada banyak negara yang masih bergantung dari pendanaan luar negeri. Oleh sebab itu, demi keberlanjutan program penanggulangan HIV dan AIDS penting untuk menyiapkan exit strategy dari ketergantungan pendanaan luar negeri. 1.3 Penyusunan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun SRAN penanggulangan HIV dan AIDS tahun disusun berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan SRAN sebelumnya tahun , dan sejalan dengan kerangka RPJMN tahun Penyusunan SRAN tahun dilakukan mengikuti kerangka pikir sebagaimana diuraikan pada gambar 1.1. Gambar 1.1. Kerangka Pikir SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun * Diadaptasi dari Landasan Pikir Sistem Kesehatan Nasional (Perpres nomor 72 tahun 2012). 2

4 Penyusunan SRAN dilakukan dengan merujuk ke dokumen-dokumen perencanaan yang sudah ada, yaitu Rencana Aksi Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak, Strategi Pencegahan Infeksi Menular Seksual, Rencana Aksi Penanggulangan HIV dan AIDS pada Lelaki yang Seks dengan Lelaki, Rencana Aksi Pengurangan Dampak Buruk NAPZA, Rencana Strategi Penanggulangan AIDS pada Lingkungan Pemasyarakatan dan Rencana Aksi Penanggulangan AIDS pada Remaja. Dokumen perencanaan yang lebih khusus akan dikembangkan mengikuti arahan SRAN ini, antara lain, untuk Kerjasama Media dan Pemanfaatan Media Sosial, Rencana Monitoring dan Evaluasi, untuk Pekerja Migran, dan Agenda Penelitian. Proses Pengembangan SRAN menggunakan prinsip perencanaan berfokus pada proses yang sistematis melibatkan semua pemangku kepentingan. Gambar 1.2. Proses Pengembangan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun Untuk mendapatkan analisis yang berbasis evidens, beberapa langkah khusus dilakukan dalam pengembangan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS tahun : 1. Kajian Paruh Waktu Pelaksanaan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS tahun yang mencakup berbagai sumber informasi, termasuk hasil kajian-kajian tematik, hasil survei dan surveilans serta hasil-hasil penelitian. 2. Pertemuan dan Lokakarya Konsultasi Nasional dilakukan secara bertahap sejak pertengahan tahun 2013 hingga bulan Oktober Pembahasan dilakukan secara sistematis dan tematik, dengan mengundang partisipasi aktif pemangku kepentingan baik dari tingkat nasional maupun daerah, termasuk unsur pemerintah, masyarakat sipil, mitra pembangunan nasional dan international. Konsultasi nasional pertama pada 14 Juni 2013 mengenai kajian paruh waktu dari 10 target Pertemuan Tingkat Tinggi Sidang Umum PBB 2011 yang mengadopsi Deklarasi Politik tentang HIV dan AIDS. Konsultasi nasional kedua diadakan tanggal Agustus 2013 dengan mengundang seluruh propinsi di Indonesia untuk membahas isu-isu, rekomendasi serta respon prioritas terhadap HIV dan AIDS dari perspektif 3

5 pemangku kepentingan sub-nasional. Diskusi dibagi menjadi 8 tema: (1) Pencegahan HIV melalui transmisi seksual dan penularan HIV dari ibu ke anak, (2) Pengurangan dampak buruk bagi Penasun, (3) Sistem kesehatan dan pengobatan yang berkelanjutan, (4) Sistem masyarakat, (5) Orang muda dan pendidikan HIV dan AIDS, (6) Isu jender, (7) Perlindungan sosial, dan (8) Kebijakan. Konsultasi nasional ketiga diadakan pada 3 Oktober 2013, yang secara spesifik mengidentifikasi isu-isu dan membuat rekomendasi untuk memperbaiki pelaksanaan SRAN , serta membuat rekomendasi dan mengidentifikasi prioritas SRAN Konsultasi keempat diadakan pada tanggal Oktober 2013 dengan mengundang kementerian/ lembaga serta propinsi dan kabupaten/ kota untuk mendiskusikan pencegahan penularan seksual dan pengurangan dampak buruk NAPZA. Konsultasi kelima diadakan pada minggu pertama bulan Desember 2013 bersama lembaga yang bertanggung jawab pada pelaksanaan dan pengembangan SRAN dan penyelarasannya dengan pengembangan nasional dan perencanaan sektoral. Analisis Investasi (Investment Case Analysis - ICA), dilakukan dengan pemodelan matematika menggunakan data survei dan surveilans nasional yang tersedia sampai dengan pertengahan tahun Konsultasi keenam dilakukan pada tanggal 7 April 2014 untuk mengumpulkan masukan tentang apa yang perlu diubah serta memasukkan informasi tambahan dari Kelompok Kerja (Pokja) KPA Nasional. Konsultasi ketujuh diselenggarakan pada tanggal April 2014 melalui lokakarya nasional penyusunan SRAN , mengundang seluruh mitra terkait, baik di tingkat pusat maupun daerah untuk membahas bersama rancangan yang telah dihasilkan pada proses sebelumnya. Konsultasi kedelapan diselenggarakan pada tanggal April 2014 berupa lokakarya nasional LSL, mengundang pemangku kepentingan terkait, kementerian/ lembaga, komunitas, mitra kerja nasional dan international. Pertemuan terakhir adalah Country Dialogue Rancangan SRAN dipimpin oleh Menteri Kesehatan, dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2014, untuk mendiskusikan rancangan isi SRAN serta mengumpulkan tanggapan dari perwakilan tingkat nasional baik dari pemerintah maupun dari masyarakat sipil serta mitra-mitra pembangunan internasional. Semua masukan yang disampaikan selama pertemuan tersebut, menjadi bahan untuk finalisasi SRAN

6 Bab 2. EPIDEMI DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS 2.1. Epidemi HIV Global dan Regional Asia Pasifik Secara global epidemi HIV mengalami penurunan, dimana perkiraan jumlah infeksi baru pada orang dewasa dan anak-anak menjadi sekitar 2,3 juta pada tahun 2012, atau 33% penurunan sejak tahun Infeksi baru pada anak-anak berkurang menjadi 260 ribu pada tahun 2012, atau turun 52% dari tahun Kematian akibat AIDS turun 30% sejak puncaknya tahun 2005, sejalan dengan meningkatnya akses ke pengobatan ARV. Demikian pula di tingkat Asia-Pasifik, pada tahun 2012 diperkirakan ada 350 ribu infeksi baru, atau turun 26% sejak tahun Lebih banyak orang yang pernah mendapat pengobatan ARV, yaitu sekitar 1,25 juta orang pada tahun Jika mengikuti persyaratan minum obat sesuai pedoman WHO tahun 2010, cakupan pengobatan ARV di regional Asia-Pasifik adalah 51%, peningkatan 46% dari tahun Dengan semakin kuatnya bukti-bukti ilmiah yang mengindikasikan efektivitas pengobatan ARV sebagai cara pencegahan, maka hal ini mendorong percepatan perluasan tes HIV dan pengobatan ARV yang segera. Syarat pengobatan diubah agar pasien dapat lebih awal memulai pengobatan. Dengan mendorong lebih banyak orang menerima pengobatan lebih dini dan patuh minum obat, maka obat akan semakin efektif. Gambar 2.1. HIV Terkonsentrasi pada Populasi Kunci dan Kota di Asia Pasifik Sumber: aidsdatahub.org 5

7 2.2. Epidemi HIV di Indonesia Kementerian Kesehatan (Kemenkes), berdasarkan hasil pemodelan matematika AIDS Epidemic Modeling (AEM), memperkirakan pada tahun 2012 di Indonesia ada orang yang hidup dengan HIV (ODHA). Jumlah ODHA tertinggi ada di Propinsi DKI Jaya, propinsi-propinsi di Pulau Jawa dan di Tanah Papua. Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan pada tahun 2012 mencapai orang dewasa. Sedangkan pada tahun 2013, jumlah infeksi baru HIV yang dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan mencapai orang. Peningkatan angka ini merupakan akibat adanya penambahan yang cukup banyak, jumlah layanan tes HIV pada tahun 2013 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Perkiraan prevalensi HIV pada populasi umum di seluruh Indonesia adalah 0,4% pada tahun 2012, sementara di Tanah Papua 2,3%. Berikut ini adalah peta epidemi HIV pada penduduk dewasa di masing-masing propinsi, dimana prevalensi berkisar antara 0,1% sampai dengan 3,5%. Gambar 2.2. Peta Epidemi HIV di Indonesia, Tahun 2012 Umumnya terkonsentrasi pada populasi kunci kecuali Tanah Papua sudah sampai ke populasi umum. Prevalensi HIV di Indonesia 0,4% dan Tanah Papua 2,3%. Estimasi jumlah ODHA sekitar 590 ribu orang Sumber: Estimasi jumlah populasi kunci dan ODHA, Kemkes, 2012 Tingkat epidemi HIV di Indonesia berbeda-beda baik menurut area geografis maupun populasi kunci. Secara umum HIV terkonsentrasi pada populasi kunci kecuali di Tanah Papua sudah memasuki populasi umum. Semuanya pada saat ini menunjukkan tanda tanda stabilisasi epidemi. Kecenderungan pertumbuhan prevalensi HIV di masa yang akan datang relatif lebih kecil dibandingkan proyeksi pertumbuhan epidemi yang dilakukan 5 tahun yang lalu. Namun demikian, pemodelan secara matematika 6

8 menunjukkan bahwa epidemi HIV masih akan terus meningkat, jika tidak dilakukan upaya yang lebih intensif untuk menekan laju pertumbuhan ini. Gambar 2.3. Kecenderungan Prevalensi HIV di kalangan Populasi Kunci Sumber: Hasil sementara AEM, Kemenkes RI 2014 Hasil STBP, SSH dan SCP ini memberikan informasi tentang prevalensi HIV dan infeksi menular seksual (IMS) pada populasi kunci seperti di bawah ini: Penasun Prevalensi HIV pada penasun menunjukkan penurunan dari 53% di tahun 2007 menjadi 41% di tahun Pada kelompok lokasi sampel yang berbeda (Tangerang, Yogyakarta, Pontianak) tampak terjadi kenaikan prevalensi HIV ratarata dari 27% di tahun 2009 menjadi 39,5% di tahun Pada periode waktu yang sama, proporsi penasun berbagi alat suntik pada saat terakhir menyuntik mengalami kenaikan di 3 kabupaten/kota tersebut, yaitu 18% menjadi 26% di Yogkarta, 36% menjadi 47% di Tangerang, dan 23% menjadi 45% di Pontianak. LSL Data yang sama menunjukkan adanya peningkatan prevalensi HIV pada LSL yang signifikan. Pada STBP 2007 dan 2011, prevalensi HIV pada LSL naik dari 5,3% menjadi 12%, dan STBP 2009 dan 2013 naik dari 7% menjadi 12,8%. Hasil STBP 2013 menunjukkan prevalensi HIV tertinggi pada LSL ditemukan di lokasi survei 7

9 Kota Tangerang, Kota Yogyakarta, dan Kota Makasar antara 19%-20%. Prevalensi gonore juga mengalami peningkatan di 3 kabupaten/kota tersebut dari 17% menjadi 21% dan klamidia meningkat dari 17% menjadi 23%. Keadaan ini sangat mungkin berhubungan dengan masih rendahnya konsistensi penggunaan kondom saat hubungan seks anal terakhir seperti ditunjukkan di Kota Surabaya yaitu dari 75,9% pada STBP 2011 menjadi 53% pada SSH/SCP Waria Hasil STBP 2007 dan SSH/SCP 2013 menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada waria mengalami penurunan yang cukup berarti yaitu dari 23,8% menjadi 19% di 22 kabupaten/kota dimana Kota Malang tercatat mengalami penurunan yang paling signifikan dari 16,8% menjadi 9,2%. Sejalan dengan penurunan prevalensi HIV pada waria, terjadi pula penurunan prevalensi IMS seperti yang dilaporkan pada STBP 2011 dan SSH/SCP 2013 di beberapa lokasi survei. SSH/SCP 2013 mengindikasikan prevalensi sifilis menurun signifikan dari 27,5% menjadi 16,2% pada waria. Perubahan yang signifikan terjadi di Kota Malang dan Bandung dimana prevalensi sifilis turun masing-masing dari 26,4% menjadi 14% dan dari 20,8% menjadi 4,2%. Penurunan prevalensi IMS lainnya juga terjadi pada STBP 2009 dan 2013 pada wilayah survei yang berbeda. Prevalensi klamidia turun dari 24% menjadi 19,8% pada waria di Kota Malang, Kota Samarinda, Kota Pontianak, dan Kota Makasar. Prevalensi gonore juga mengalami penurunan pada periode waktu yang sama. WPSL dan WPSTL Prevalensi HIV pada WPSL mengalami penurunan yang signifikan di Jakarta dan Bandung seperti yang dapat dilihat dari hasil SSH/SCP 2013 dan STBP 2013, yaitu dari 10,5% menjadi 3,8% dan dari 20,7% menjadi 9,4%, sedangkan kota Malang mengalami peningkatan secara signifikan dari 36,4% menjadi 59,1%. Secara keseluruhan, prevalensi sifilis pada WPSTL menurun dari 9,8% pada STBP 2011 menjadi 5,7% pada SSH/SCP 2013 di 15 lokasi survei. Prevalensi sifilis pada WPSTL menurun signifikan di 5 dari 15 lokasi survei tersebut, yaitu Deli Serdang dari 16,6% menjadi 4,8%, Kota Batam dari 11,6% menjadi 3,3%, Kota Bandung dari 10,4% menjadi 2,8%, Kota Surabaya dari 12,4% menjadi 4,6% dan Kota Batang dari 13,4% menjadi 1,2%. Penurunan prevalensi IMS pada WPS juga tercatat pada STBP 2009 dan STBP 2013 di 9 lokasi survei lainnya (Kota Palembang, Yogyakarta, Tangerang, Pontianak, Samarinda, Bitung, Makasar, Sorong, dan Mimika). Prevalensi klamidia turun dari 39,5% menjadi 30,8% pada WPSTL dan dari 42,4% menjadi 40% pada WPSL. Prevalensi gonore mengalami penurunan pada periode waktu yang sama. Perubahan perilaku merupakan tantangan pada kelompok WPS. Jumlah rata-rata pelanggan WPSL cenderung mengalami kenaikan pada STBP 2011 dan SSH/SCP Penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir sangat bervariasi di 8

10 berbagai tempat pada kedua survei tersebut. Terjadi penurunan yang signifikan pada proporsi WPSL dalam penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir di Kota Denpasar, yaitu dari 90% menjadi 76,5%, akan tetapi pada periode waktu yang sama terjadi kenaikan yang signifikan proporsi penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir secara umum di lokasi survei dari 49,6% menjadi 65,5%. Tercatat pula bahwa penurunan yang signifikan dari proporsi ini terjadi di Kota Bandung dari 35,1% menjadi 12,5% dan di Kota Malang dari 44,9% menjadi 24,2%. Gambar 2.4. Kecenderungan Prevalensi HIV di Tanah Papua Tanah Papua Berdasarkan hasil STBP tahun 2013 pada populasi umum usia tahun di Tanah Papua, 2,3% populasi terinfeksi HIV dimana 2,3% pada laki-laki dan 2,2% pada perempuan. Hasil survei juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara sirkumsisi pada laki-laki dengan infeksi HIV, dimana infeksi HIV terjadi pada 2,4% laki-laki yang tidak disirkumsisi dan 0,1% pada laki-laki yang disirkumsisi. Pada perempuan, asosiasi yang signifikan terjadinya infeksi HIV adalah pada orang yang melakukan hubungan seks dengan imbalan pada satu tahun terakhir sebesar 3,5%, sedangkan 2,2% perempuan terinfeksi HIV tidak melakukannya. Secara statistik tidak ada perbedaan signifikan antara prevalensi HIV pada STBP tahun 2006 (2,4%) dan 2013 (2,3%) di Tanah Papua. Prevalensi sifilis aktif dilaporkan sebesar 4,7% pada laki-laki dan 4,2% pada perempuan. Diantara laki-laki yang tidak sirkumsisi ditemukan prevalensi cukup tinggi yaitu 4,8% jika dibandingkan dengan laki-laki yang disirkumsisi sebesar 1,1%. 9

11 Hasil STBP juga menunjukkan perilaku seksual berisiko masih terus terjadi di Tanah Papua, seperti melakukan hubungan seks dengan pasangan tidak tetap pada satu tahun teakhir, termasuk dengan pasangan seks yang diberikan imbalan pada laki-laki sebesar 12,7% dan perempuan 3,6%. Penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir pada laki-laki mengalami kenaikan signifikan dari 14,1% (STBP 2006) menjadi 40,3% (STBP 2013). Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan yang positif pada perilaku seks yang aman. Pemodelan epidemi HIV menggunakan AEM menunjukkan bahwa masih akan terjadi peningkatan jumlah infeksi baru bila tidak ada penambahan dan peningkatan intervensi. Berikut ini adalah proyeksi jumlah infeksi baru di wilayah Non Papua dan Papua bila tidak ada peningkatan intervensi. Gambar 2.5. Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di Wilayah Non Papua tanpa Intervensi sesudah 2013 sd tahun 2030 Pada wilayah di luar Papua, tampak bahwa pada periode tahun , jumlah total infeksi baru pertahun relatif stabil pada kisaran 60 ribu orang. Perhitungan matematis ini menggunakan data STBP sampai dengan tahun Jumlah infeksi baru pada Penasun menurun kemudian tampak stabil, dan menetap pada WPS. Penambahan yang besar sampai dengan tahun 2030 adalah pada kalangan LSL. Jika tidak dilakukan intervensi yang intensif mulai saat ini - berdampak pada semakin tingginya infeksi baru pada wanita risiko rendah. 10

12 Gambar 2.6. Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di Tanah Papua tanpa Intervensi sesudah 2013 sd tahun 2030 Gambar yang menjelaskan situasi epidemi HIV di Tanah Papua menunjukkan adanya penurunan jumlah infeksi baru pada periode tahun , dari sekitar total 8 ribu orang menjadi sekitar 6 ribu orang per tahun. Penurunan terbesar tampak terjadi pada pelanggan pekerja seks. Namun, jika tidak ada intensifikasi upaya penanggulangan AIDS, maka infeksi baru belum akan turun, bahkan akan cenderung naik lagi Penanggulangan Epidemi HIV dan AIDS di Indonesia Perkembangan Program Pada tahun 2006, pemerintah menerbitkan Perpres nomor 75 sebagai tonggak intensifikasi penanggulangan AIDS, yang dilanjutkan dengan terbitnya berbagai peraturan kementerian. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia kemudian terus ditingkatkan dengan memperkuat manajemen dan kapasitas layanan. Koordinasi multi-sektor dilakukan melalui KPA Nasional dan pengembangan layanan kesehatan yang dipimpin Kementerian Kesehatan menjadi elemen utama penanggulangan AIDS, yang meningkatkan keterlibatan masyarakat sipil dan dukungan mitra kerja pembangunan internasional. Sejak dilaksanakannya SRAN , telah terjadi pengembangan kapasitas dan upaya yang memfokuskan sasaran primer pada populasi kunci dan daerah dengan beban penyakit terbesar. Cakupan program telah meningkat sejalan dengan perluasan penanggulangan, dan layanan telah tersedia di semua propinsi, di kabupaten/ kota prioritas, baik layanan pemerintah maupun non pemerintah. Perubahan kebijakan berdampak pada penguatan kelembagaan, peningkatan pendanaan, penguatan sistem layanan kesehatan dan sistem komunitas. Berikut ini adalah beberapa data perkembangan penanggulangan HIV dan AIDS dari tahun 2010 sampai dengan tahun

13 Tabel 2.1. Beberapa Perkembangan Program: Peningkatan Kebijakan, Pendanaan, Layanan, Kegiatan dan Klien Indikator Capaian 2010/ 2011 Capaian 2012/ 2013 Jumlah kebijakan AIDS Nasional, Prop, Kab/ Kota Jumlah pengeluaran AIDS 2010 USD 69 juta 2012 USD 87 juta Jumlah LASS Jumlah PTRM Jumlah distribusi kondom Jumlah layanan test HIV Jumlah klien test HIV Jumlah layanan ART 2010 tad Jumlah klien ART Jumlah bumil test HIV Jumlah bumil dapat ART Temuan Kajian Paruh Waktu Pertemuan konsultasi nasional dalam rangka Kajian Paruh Waktu bertujuan mengkaji implementasi SRAN terkait cakupan, efektivitas dan keberlanjutan program, dengan tema sebagai berikut: a) Pencegahan (Transmisi Seksual; Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan NAPZA Suntik; Pengurangan Dampak Buruk di Lapas; Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak; Pencegahan HIV pada Remaja); b) Pengobatan, Dukungan dan Perawatan (termasuk tes HIV); c) Mitigasi Dampak (termasuk asuransi sosial); d) Penciptaan Lingkungan Kondusif (termasuk HAM, stigma dan diskriminasi); dan e) Kemitraan dan Keterlibatan Komunitas. Laporan Kajian Paruh Waktu mencatat perkembangan positif selama tahun Hal ini termasuk percepatan implementasi program Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS); Pengenalan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB); Implementasi peningkatan jumlah tes HIV dan akses pengobatan ARV pada tahun ; Memperluas kriteria minum obat ARV menjadi CD4 350, ditambah populasi risiko tinggi (WPS, LSL, Penasun dan Waria), pasien TB, dan ODHA yang memiliki pasangan berstatus HIV negatif tanpa melihat nilai CD4, serta pengobatan seumur hidup untuk ODHA wanita hamil. Laporan juga menyampaikan terjadinya peningkatan cakupan layanan melalui peningkatan jumlah unit pelayanan pencegahan dan pengobatan. Dengan demikian, jumlah orang yang mengakses layanan tersebut pun meningkat. Laporan kajian paruh waktu menyimpulkan bahwa, walaupun ada penguatan kebijakan dan program, namun demikian efektifitas Kajian Paruh Waktu SRAN : Cakupan pengobatan pada tahun 2012 baru 17% 12

14 pelaksanaan SRAN untuk mencapai target dampak epidemi ternyata belum sepenuhnya memenuhi harapan. Cakupan pengobatan pada tahun 2012 baru 17% dari perkiraan ODHA yang membutuhkan pengobatan, penggunaan kondom secara konsisten pada WPSL dan pelanggannya masih belum optimal (di bawah 60%), cakupan PPIA 14-16% (walaupun meningkat, tapi masih dibawah 20%), serta cakupan pengobatan pada anak hanya 15%. Prevalensi HIV pada beberapa Populasi Kunci belum menunjukkan penurunan, kecuali pada Penasun dan WPSTL. Sementara itu, prevalensi HIV pada LSL meningkat dua kali lipat. Target 70% pendanaan HIV dan AIDS dari sumber domestik pada tahun 2014 tampaknya belum tercapai. Lebih dari 50% pendanaan masih bersumber dari luar negeri. Rencana memperluas program penanggulangan HIV dan AIDS yang telah dimulai tidak akan berhasil tanpa kelanjutan dukungan luar negeri dan tanpa meningkatkan pendanaan dari sumber domestik, termasuk pendanaan pemerintah pusat dan daerah serta meningkatkan pengobatan yang dicakup JKN melalui BPJS Temuan Investment Case Analysis AIDS Epidemic Modeling (AEM) dan Investment Case Analysis (ICA) dipakai dalam Kajian Paruh Waktu, yang memberikan pilihan strategis yang menjadi dasar pengembangan SRAN Pemodelan dilakukan pada kombinasi hasil dari 3 intervensi yang dianggap memiliki dampak yang besar terhadap epidemi: (1) Model Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yang merupakan integrasi pemberian layanan yang berkesinambungan mulai dari tingkat komunitas seperti PMTS, (2) Perluasan Strategic Use of ARV (SUFA), dan (3) Intervensi yang optimal untuk tahun : Memilih sebagian yaitu 75 dari 141 kabupaten/ kota prioritas dengan tingkat kinerja tinggi, yaitu yang memiliki tingkat risiko penularan, beban penyakit dan kesiapan lokal yang tinggi. Perluasan praktik-praktik terbaik untuk meningkatkan cakupan dan efektivitas intervensi. Perhitungan ini memasukkan 141 kabupaten/ kota prioritas yang saat ini masih menerima dukungan dana GFATM, dimana di dalamnya terdapat 75 kabupaten/ kota pelaksana program LKB dengan tambahan SUFA (Strategic Use of ARV). Keseluruhan 141 kabupaten/ kota prioritas ini sudah sejak akhir tahun 2013 dipersiapkan untuk melaksanakan LKB pada akhir tahun Dalam analisis, dibuat beberapa skenario epidemi HIV, baik untuk Tanah Papua maupun Non Papua. Skenario pertama adalah baseline, yang dibuat dengan memasukkan data, dimulai dari data sejak awal kejadian AIDS di Indonesia sampai dengan data terakhir yaitu hasil STBP tahun 2013 dan hasil surveilans maupun laporan tahun Proyeksi yang dihasilkan dari pemodelan adalah skenario jika intervensi yang dilakukan sama dengan yang sudah dilakukan sampai dengan tahun Beberapa skenario berikutnya dibuat untuk melihat kondisi dengan perbedaan 13

15 intensitas program, yang dilihat dari cakupan program dan kualitas pelaksanaan program. Skenario yang maksimal adalah kondisi dengan cakupan program 80% populasi kunci yang dilakukan di semua kabupaten/ kota, dengan tingkat kinerja yang tinggi pula yaitu 80% sesuai dengan praktik terbaik pelaksanaan program HIV. Sementara skenario paling minimal adalah sama dengan baseline. Diantara keduanya, pertama dilakukan analisis jika program penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan di 141 kabupaten/ kota prioritas dengan tingkat kinerja yang sedang dan kedua memilih sebagian yaitu 75 dari 141 kabupaten/ kota prioritas tersebut untuk mengimplementasikan tingkat kinerja yang tinggi, khususnya pada kota dengan tingkat risiko penularan, beban penyakit, dan kesiapan lokal yang tinggi. Hasil analisis dampak epidemiologis dari ICA ini menggunakan: 1) Jumlah infeksi baru per tahun; 2) Jumlah infeksi HIV yang bisa dicegah; 3) Jumlah ODHA; 4) Jumlah kematian terkait AIDS; 5) Jumlah kematian yang dicegah; dan 6) Jumlah DALY yang diselamatkan. Analisis kemudian dilakukan untuk melihat efektivitas dari biaya yang dikeluarkan dan keuntungan epidemiologisnya, dan melihat kembalinya hasil investasi untuk program AIDS terhadap perhitungan ekonomi mengenai biaya yang tidak harus dikeluarkan di tahun mendatang karena investasi yang dikeluarkan pada tahun-tahun sebelumnya. Analisis juga dilakukan untuk perhitungan dana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan penanggulangan AIDS. Sebagaimana telah diprediksi, semakin cepat melakukan perluasan program dengan tingkat kinerja yang tinggi, maka ini akan menghasilkan dampak epidemi yang maksimal. Namun demikian, kebutuhan dana untuk skenario ini juga lebih besar sehingga ada kesenjangan antara kebutuhan dana dengan ketersediaan dana. Oleh sebab itu, dengan mencoba beberapa skenario, maka akan dipilih skenario yang optimal, yaitu dengan dana yang tersedia (termasuk dana yang akan dimobilisasi-dengan mempertimbangkan kemungkinannya) dapat dicapai dampak epidemiologis yang optimal. Oleh sebab itu, sangat penting dalam menetapkan strategi adalah, menentukan prioritas upaya penanggulangan. Perlu dimaksimalkan efektivitas dan efisiensi, dengan memilih lokasi dengan tingkat risiko penularan dan beban penyakit tertinggi serta kesiapan lokal, maka efektivitas dapat dimaksimalkan. Perlu juga mengkaji kembali satuan biaya program, agar sejauh mungkin dapat dikurangi. Selain memobilisasi dana luar negeri, ke depan, perlu mobilisasi dana dalam negeri, khususnya dana daerah. Berdasarkan data hasil IBBS tahun 2007 dan 2011 ditemukan bahwa pekerja seks remaja/ orang muda (KAP muda) dibawah usia 25 tahun lebih rendah terpapar program pencegahan dibandingkan dengan yang diatas 25 tahun. dalam hal penggunaan kondom usia 25 tahun juga lebih rendah dan melakukan tes HIV. Sedangkan untuk LSL muda juga lebih rendah terpapar program pencegahan dan untuk penasun muda juga lebih rendah melakukan tes HIV. 14

16 Bab 3. VISI, TUJUAN dan STRATEGI 3.1. Prinsip Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia bertujuan untuk memastikan tercapainya akses universal terhadap layanan pencegahan, pengobatan dan mitigasi dampak HIV dan AIDS; berfokus pada populasi kunci (termasuk remaja populasi kunci dan pekerja migran) di daerah geografis yang paling berisiko; memperkuat dan mempertahankan layanan terintegrasi yang efektif secara biaya dan berkualitas tinggi; lingkungan kondusif yang bebas stigma dan diskriminasi, sensitif jender dan berorientasi pada Hak Asasi Manusia; serta menerapkan prinsip tata kelola yang baik, transparansi dan akuntabilitas. Dalam pengembangan kebijakan nasional, prinsip-prinsip yang dipegang adalah sebagai berikut: (1) Memperhatikan nilai-nilai agama, budaya serta norma sosial dan penghargaan terhadap manusia. (2) Merespon masalah sosial dan pembangunan, secara terstruktur, melibatkan pemangku kepentingan termasuk pemerintah dan masyarakat sipil. (3) Kemitraan antara masyarakat sipil, ODHA, pemerintah dan mitra pembangunan. (4) Dukungan sosial dan ekonomi berfungsi memberdayakan ODHA dan mereka yang terdampak untuk mempertahankan kualitas hidup.(5) Exit strategy dari ketergantungan sumber dana luar negeri Visi, Tujuan Umum dan Tujuan Khusus Visi Mengakhiri epidemi HIV di Indonesia sebagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat pada tahun 2030; dan tercapainya akses pencegahan, pengobatan dan mitigasi dampak secara merata bagi semua orang yang membutuhkan, tanpa kecuali. Tujuan umum SRAN penanggulangan HIV dan AIDS tahun ditujukan untuk percepatan pencapaian 3 Zero (Zero infeksi baru, Zero kematian terkait AIDS dan Zero stigma dan diskriminasi) dengan cara mencegah penularan HIV; meningkatkan dengan segera akses pengobatan HIV, meningkatkan retensi pengobatan, meningkatkan kualitas hidup ODHA; mitigasi dampak sosial ekonomi epidemi HIV pada individu, keluarga dan masyarakat untuk menjaga produktivitas dan sumber daya manusia Indonesia. Tujuan khusus 1. Menyediakan pencegahan kombinasi HIV yang efektif, termasuk pengobatan sebagai pencegahan, bagi populasi kunci dan pasangannya; 2. Menyediakan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan yang berkualitas, mudah diakses, harga terjangkau dan ramah bagi ODHA; 3. Memperluas pengobatan ARV kepada semua ibu hamil di kabupaten/ kota prioritas untuk menghilangkan penularan vertikal dari orang tua ke bayinya, 15

17 dan memberikan akses ke pengobatan ARV kepada semua anak yang terinfeksi HIV; 4. Meningkatkan akses untuk mitigasi dampak epidemi HIV, termasuk dukungan ekonomi dan sosial untuk ODHA, anak-anak dan keluarga terdampak yang hidup dalam kesulitan; 5. Menciptakan lingkungan kondusif yang mempromosikan penanggulangan HIV dan AIDS yang efektif dan pemenuhan Hak Asasi Manusia di semua tingkatan, memberdayakan masyarakat sipil untuk memiliki peran berarti dan mengurangi stigma dan diskriminasi pada populasi kunci dan ODHA serta mereka yang terdampak HIV dan AIDS. Hal ini termasuk mengembangkan kebijakan, koordinasi, manajemen, monitoring dan evaluasi epidemi dan penanggulangannya serta penelitian implementasi dan operasional. 6. Menempatkan penanggulangan HIV dan AIDS nasional dalam mekanisme program yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan jangka menengah dan jangka panjang. Dalam rangka mencapai visi dan tujuan di atas, ada 4 (empat) skenario penanggulangan AIDS. Asumsi masing-masing skenario didasarkan pada cakupan program dan efektifitasnya. 1. Skenario 1: Skenario baseline dimana diasumsikan tidak ada peningkatan intervensi pada tahun Skenario2: LKB Kinerja Medium diasumsikan implementasi program LKB dan PMTS di 141 kabupaten/ kota dengan cakupan pencegahan pada populasi kunci sebesar 70% dan 45% cakupan pengobatan pada tahun 2020 (dengan 75% efektifitas pengobatan). 3. Skenario 3: LKB Kinerja Tinggi di 47 kabupaten/ kota SUFA, dan Kinerja Medium di 94 Kota sampai dengan tahun 2016; dan 75 kabupaten/ kota SUFA dengan Kinerja Tinggi dan 66 kabupaten/ kota Kinerja Sedang mulai tahun Skenario 4: LKB Kinerja Tinggi, dimana diasumsikan implementasi program LKB dan PMTS serta SUFA dan lainnya diintensifkan di 141 kabupaten/ kota dengan cakupan pencegahan pada populasi kunci sebesar 80% dan 60% cakupan pengobatan pada tahun 2020 (dengan 75% efektifitas pengobatan). 16

18 Gambar 3.1. Jumlah Infeksi Baru Per Tahun Pada Orang Dewasa, Skenario baseline: 74 ribu th 2019 dan 102 ribu th 2030 Skenario pilihan: 40 ribu th 2019 (turun 38%) dan 20 ribu th 2030 (turun 69%) Infeksi baru HIV yang dapat dicegah: 34 ribu th 2019 dan 81 ribu th 2030 Dari 4 pilihan strategis di atas, skenario 3 (tiga) menunjukkan pilihan yang paling optimal. Idealnya, semua 141 kabupaten/ kota prioritas melaksanakan upaya dengan tingkat kinerja tinggi, namun, selain terkendala oleh tingginya kebutuhan sumber dana, mencapai kesiapan yang maksimal dari keseluruhan kabupaten/ kota dalam waktu singkat tampaknya belum mampu dilaksanakan. Jika ditargetkan semua kabupaten/ kota berkinerja pada tingkat medium, beberapa kota sesungguhnya dapat menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik. Oleh sebab itu, skenario ketiga, dipilih karena upaya untuk mendorong kinerja yang tinggi dapat difokuskan pada kabupaten/ kota prioritas tertinggi, yaitu yang telah menjalankan inisiatif SUFA. Adapun pelaksanaan SUFA ini dilakukan secara bertahap, mulai dari 13 kabupaten/ kota, saat ini sudah bergerak menjadi 47 kabupaten/ kota hingga tahun 2016; dan pada awal tahun 2017, total 75 kabupaten/ kota harus sudah melaksanakan SUFA dibawah payung LKB secara berkualitas. Pilihan strategis ini, mencakup minimal 70% penjangkauan terhadap populasi kunci, dimana pada pengguna NAPZA suntik dapat mencapai 80%. Sedangkan jumlah infeksi baru turun 38% pada tahun 2019, jika dibandingkan jumlah infeksi baru pada tahun

19 Gambar 3.2. Jumlah ODHA Dewasa, Skenario baseline: 778 ribu th 2019 dan ribu th 2030 Skenario pilihan: 712 ribu th 2019 (jumlah ODHA akan meningkat dahulu karena efektifitas ARV, dari baseline 2014 menjadi naik 12%) dan 538 ribu th 2030 (turun 17%) Jumlah ODHA lebih sedikit: 65 ribu th 2019 (turun 8%) dan 543 ribu th 2030 (turun 50%) Dengan memilih skenario 3 (tiga), diharapkan jumlah ODHA pada tahun 2019 berkurang 8,4% dan berkurang 50% pada tahun Untuk mencapai hal itu, maka minimal 40% dari ODHA yang memenuhi syarat (sesuai dengan Permenkes nomor 21 tahun 2013), dapat menerima pengobatan ARV. 18

20 Gambar 3.3. Jumlah Kematian ODHA Dewasa per Tahun, Skenario baseline: 48 ribu th 2019 dan 72 ribu th 2030 Skenario pilihan: 37 ribu th 2019 (turun 20%) dan 41 ribu th 2030 (turun 25%) Jumlah kematian akibat AIDS yang dapat dicegah: 10 ribu th 2019 dan 31 ribu th 2030 Proyeksi matematika dengan pilihan skenario 3 (tiga), sebagaimana digambarkan di atas, menunjukkan penurunan kematian akibat AIDS 15% pada tahun 2019 dan 25% pada tahun 2030, jika dibandingkan jumlah kematian akibat AIDS pada tahun Dasar ini memperhitungkan seberapa besarkah cakupan yang dapat dicapai pada tahun 2030, sebagai berikut: a. Baseline (kondisi saat ini), karena merupakan kondisi yang terjadi saat ini, cakupan tidak mengalami perubahan. b. LKB kinerja medium, untuk daerah GF konsensus adalah cakupan yang akan dicapai 75% pada tahun 2030, untuk daerah non GF adalah 40%. c. LKB kinerja tinggi, untuk daerah GF konsensus adalah cakupan yang akan dicapai 80% pada tahun 2030, untuk daerah non GF adalah 40%. d. LKB kinerja tinggi di semua kabupaten/ kota, konsensus adalah cakupan yang akan dicapai adalah 80% pada tahun Target dan Hasil Yang Diharapkan Target dan hasil yang harus dicapai di akhir pelaksanaan SRAN dibagi dalam 6 tujuan: 19

21 Target Tujuan 1: Perluasan dan Peningkatan Pencegahan Kombinasi HIV Program pencegahan menjangkau sedikitnya 70% populasi kunci. Sedikitnya 40% ODHA mengetahui status HIV Mengurangi jumlah infeksi baru hingga 50% dari proyeksi tahun 2014 bila tidak ada intervensi Perubahan perilaku melalui penggunaan kondom konsisten pada 80% transaksi seks berisiko 86% Penasun menggunakan alat suntik steril secara konsisten Penurunan prevalensi IMS hingga 25% dari 2014 Pendekatan khusus untuk remaja populasi kunci dan populasi umum Target Tujuan 2: Perluasan dan Peningkatan Mutu Layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Meningkatkan cakupan pengobatan ARV hingga 70% Meningkatkan cakupan pengobatan ARV untuk pasien TB Mengurangi kematian akibat AIDS hingga 50% Meningkatkan kualitas layanan ARV (jumlah dan ketersediaan ARV untuk anak) Adherance ARV Layanan HIV, kesehatan seksual dan reproduksi, dukungan sebaya, kekerasan dan TB terintegrasi dalam struktur layanan Target Tujuan 3: Pengurangan Infeksi HIV Vertikal Mengurangi jumlah infeksi HIV pada bayi yang terlahir dari ibu HIV positif Meningkatkan akses informasi dan layanan KSR pada perempuan usia reproduksi Agar semua perempuan hamil melakukan test HIV Semua perempuan hamil dengan HIV positif dan anak mereka di kabupaten/ kota prioritas mendapat ARV profilaksis, dan ibu mereka menerima ART seumur hidup Pelibatan laki-laki dalam program pencegahan infeksi HIV vertikal Target Tujuan 4: Perluasan Cakupan Mitigasi Dampak Orang terinfeksi atau terdampak HIV, termasuk anak, janda, Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang membutuhkan, memiliki akses untuk mitigasi dampak termasuk kesehatan, pendidikan, psikososial dan pemberdayaan ekonomi. 20

22 Target Tujuan 5: Penciptaan Lingkungan yang Mendukung Meningkatnya komitmen (implementasi kebijakan dan anggaran) pemerintah di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota pada upaya penanggulangan HIV yang mandiri dan berkelanjutan. Memastikan adanya kebijakan yang mendukung penanggulangan HIV/AIDS yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dan memperhatikan kebutuhan laki-laki, perempuan, waria (responsif gender); memastikan mereka memiliki akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dari kebijakan yang dibuat. (Masuk DO) Pemerintah bersama dengan masyarakat sipil berperan secara signifikan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, mengubah aturan perundangan yang bersifat menghukum, kontraproduktif, menghambat akses seperti batas usia, serta permasalahan Hak Asasi Manusia dan ketidaksetaraan jender, stigma dan diskriminasi pada populasi kunci, ODHA dan anak yang terinfeksi HIV, orang terdampak HIV dan AIDS dan kelompok rentan lainnya (warga binaan laki-laki, perempuan, waria, buruh migran laki-laki, perempuan, waria, anak jalanan, pasangan dari populasi kunci, orang dengan disabilitas, kaum etnis minoritas, masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan). Memastikan adanya sistem penanganan korban kekerasan pada populasi kunci (ODHA, perempuan dengan HIV, pekerja seks perempuan dan waria, GWL, perempuan penasun), anak dengan HIV dan anak dari ODHA, serta korban kekerasan lainnya yang rentan terhadap infeksi HIV melalui integrasi layanan kesehatan dan bantuan hukum. Memastikan pelibatan aktif masyarakat sipil, termasuk orang yang terinfeksi dan terdampak HIV, orang muda termasuk orang muda populasi kunci dan organisasi berbasis komunitas, serta kelompok perempuan dan waria yang lebih strategis dalam perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, monitoring dan evaluasi program. Memperkuat program multi-sektor di kementerian/lembaga, termasuk memperluas program pencegahan HIV melalui pendidikan di sekolah dan luar sekolah serta di tempat kerja. Memastikan program pencegahan HIV melalui pendidikan formal dan informal serta pembangunan kesadaran menggunakan pendekatan yang mudah dijangkau oleh semua lapisan masyarakat terutama kelompok populasi kunci, kelompok rentan, kelompok perempuan dan waria, termasuk melalui media sosial dan ICT secara efektif untuk mempromosikan penanggulangan HIV. 21

23 Meningkatnya kapasitas, kualitas dan efektivitas sumber daya manusia terkait HIV, memasukkan HIV dan AIDS dalam kurikulum di semua jenjang pendidikan dan pengembangan pusat-pusat pelatihan untuk pembelajaran horizontal. Memastikan adanya peningkatan kapasitas dan kesadaran pemerintah, penyedia layanan, media dan stakeholder lainnya tentang prinsip-prinsip HAM dan kesetaraan gender di dalam pencegahan dan penanganan HIV dan AIDS. Memperbaiki kualitas, penggunaan dan mekanisme berbagi data yang terpilah berdasarkan umur, jenis kelamin dan gender. Adanya sistem surveilans yang berfungsi dan data yang terharmonisasi dari berbagai sumber. Monitoring dan evaluasi program difokuskan pada (1) penanganan masalah dalam proses dan kualitas layanan, (2) memantau riam (cascade) layanan HIV, (3) kesenjangan berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dan gender. Penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat kabupaten/kota diperkuat melalui pengembangan kapasitas, penguatan koordinasi, integrasi layanan kesehatan dan masyarakat, dan desentralisasi layanan serta mobilisasi sumber daya yang tersedia di daerah. Target Tujuan 6: Peningkatan Keberlanjutan Program Mengidentifikasi dan menggunakan upaya-upaya program yang efektif secara biaya, termasuk rasionalisasi layanan, pengalihan tugas dan efisiensi biaya diagnosis, obat-obatan dan komoditas lainnya. Meningkatkan proporsi pengeluaran pemerintah pusat, daerah dan swasta untuk upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Meningkatkan peran sektor swasta dalam hal pendanaan dan layanan kesehatan dalam kerangka PPM (public private mix) Strategi Strategi utama mengandung 4 (empat) kata kunci berikut: Pencegahan Komprehensif Pengertian pencegahan komprehensif adalah agar jangan sampai seseorang tertular virus HIV, yang apabila ia menjadi tertular HIV agar ia dapat segera dicegah tidak masuk ke tahap AIDS serta tidak menjadi sumber penularan baru, dan kemudian dapat dimitigasi dampak sosial ekonomi pada ODHA. Continuum of Care (CoC) Pengertian CoC di sini adalah agar sasaran populasi kunci mendapatkan program penanggulangan AIDS secara berkesinambungan, mulai dari berbagai upaya 22

24 pencegahan berbasis komunitas seperti PMTS sampai mendapatkan layanan kesehatan seperti IMS dan tes HIV serta layanan rujukan yang komprehensif, seperti LKB sampai dengan upaya mempertahankan pengobatan. COC dapat dipadankan sebagai integrasi PMTS-LKB. Populasi Kunci Pengertian populasi kunci di sini adalah agar kelompok ini menjadi sasaran primer atau fokus dari pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Populasi harus dapat mengakses program yang dijalankan secara efisien dan efektif, untuk menurunkan epidemi HIV. Mereka ini terdiri dari WPS dan pelanggannya, Penasun, LSL, Waria, LBT, serta pasangan mereka. Daerah Prioritas Pengertian daerah prioritas adalah agar penanggulangan AIDS juga harus berfokus di daerah geografi dengan tingkat risiko penularan HIV yang tinggi, beban penyakit HIV dan AIDS yang tinggi sehingga program dapat dijalankan dengan efisien dan efektif pula untuk menurunkan epidemi HIV. Berikut ini adalah rincian Strategi PenanggulanganAIDS periode tahun : 1. Menetapkan Prioritas Target Geografis Sejak pelaksanaan SRAN periode , pemilihan kabupaten/ kota prioritas telah menjadi salah satu keputusan strategis. Kriteria pemilihan ini didasarkan pada tingkat risiko penularan HIV dan beban penyakit HIV dan AIDS tertinggi, serta kesiapan infrastruktur dan komitmen pemerintah kabupaten/ kota. Belajar dari pelaksanaan sebelumnya, dari total 511 kabupaten/ kota di Indonesia, 141 kabupaten/ kota menunjukkan beban epidemi HIV yang lebih besar sehingga perlu menjadi prioritas target geografis upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia untuk mencapai dampak epidemiologis yang bermakna. Di antara kabupaten/ kota tersebut, dipelajari bahwa terdapat kabupaten/ kota yang lebih berhasil menunjukkan dampak upaya penanggulangan yang signifikan, yang ternyata mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) berada di kota dengan jumlah penduduk yang relatif banyak, jumlah populasi kunci dan jumlah ODHA juga termasuk yang tertinggi di Indonesia, (2) memiliki infrastruktur yang relatif kuat serta ditunjang dengan komitmen daerah, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat sipilnya, sehingga dapat menunjukkan kinerja yang tinggi, dan (3) memiliki manajemen pencatatan dan pengolahan data epidemi setempat yang lebih baik sehingga dapat digunakan sebagai dasar perencanaan dan pemantauan dampak epidemiologis upaya penanggulangan. Pembelajaran ini menyimpulkan perlunya upaya penanggulangan yang ditujukan pada daerah yang menjadi episentrum epidemi dimana terdapat pula kesiapan infrastruktur daerah setempat untuk menghasilkan dampak penanggulangan yang optimum. Melalui 23

25 pendekatan ini dapat diidentifikasi setidaknya 75 kabupaten/ kota dengan kinerja tinggi dan 66 kabupaten/ kota dengan kinerja medium di antara 141 kabupaten/ kota prioritas, yang perlu didorong untuk secara optimal mengintensifkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah masing-masing. Upaya yang perlu dilakukan dalam strategi ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Penguatan propinsi dan KPA Kabupaten/ Kota dalam perencanaan menetapkan target dan meningkatkan efektivitas PMTS dan layanan pengotan (LKB SUFA) termasuk koordinasi antara layanan kesehatan dan komunitas populasi kunci. 2. Dukungan kerja KPA Propinsi dan Kabupaten/ Kota untuk memastikan integrasi HIV dalam proses perencanaan kegiatan di propinsi dan kabupaten/ kota agar didanai oleh APBD. 3. Mendorong pemangku kepentingan ditingkat daerah sebagai mitra utama dalam program HIV dan AIDS antara lain layanan kesehatan, pemerintah daerah KPA Propinsi dan Kabupaten/ Kota dan universitas lokal. 4. Membangun jaringan kabupaten/ kota priotitas tinggi dalam memobilisasi dukungan politik untuk HIV dan fasilitasi pembelajaran secara horizontal untuk kota lainnya. Perhitungan matematika menunjukkan bahwa bila upaya penanggulangan AIDS di 75 kabupaten/ kota dengan kinerja tinggi melaksanakan upaya penanggulangan selama periode , maka infeksi baru HIV dapat diturunkan 38% dan kematian karena AIDS juga dapat diturunkan hingga 20%, jika dibandingkan pada tahun Memanfaatkan Pencegahan Kombinasi sebagai Strategi Daya Ungkit Pencegahan kombinasi adalah pendekatan yang mengkombinasikan pencegahan penularan baru dan program pengobatan sebagai pencegahan, dalam rangka mendukung penyediaan layanan yang komprehensif. Mengkombinasi berbagai bentuk pencegahan yang terbukti efektif dan dapat diterima oleh komunitas dan masyarakat sekitarnya adalah satu langkah yang harus semakin diperkuat di masa yang akan datang. Pencegahan kombinasi tidak hanya berfokus pada pencegahan melalui intervensi perubahan perilaku, namun juga dengan intervensi biomedis melalui pengobatan, pencegahan positif, pengobatan sebagai pencegahan, profilaksis pra dan paska pajanan, pengurangan dampak buruk NAPZA, PMTS, sirkumsisi, konseling, kesetaraan jender, kebijakan yang mendukung, penguatan lingkungan yang kondusif, serta mobilisasi sosial komunitas dan masyarakat. Untuk menghasilkan daya ungkit yang optimum dari pencegahan kombinasi, diperlukan penguatan keterkaitan antar berbagai layanan, khususnya layanan pencegahan yang berbasis komunitas, layanan tes dan konseling HIV, serta layanan kesehatan umum dan pengobatan IMS, HIV dan AIDS. Dibutuhkan sistem rujukan yang baik dari layanan pencegahan berbasis komunitas ke layanan kesehatan begitu pula sebaliknya, untuk memastikan populasi kunci yang terjangkau memperoleh layanan komprehensif mulai 24

26 dari intervensi perubahan perilaku, akses ke tes HIV dan konseling, sampai ke pengobatan ARV dan dukungan psiko-sosial untuk mempertahankan pengobatan dan selanjutnya memperbaiki kualitas hidup ODHA. Pencegahan kombinasi perlu terintegrasi dalam sistem kesehatan, terutama dalam layanan publik dan layanan swasta yang dapat diakses oleh masyarakat umum dengan tujuan untuk menjaring sebanyak mungkin orang yang membutuhkan. Strategi ini juga perlu diterapkan pada layanan publik yang bersifat khusus, seperti pada Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan, Lokalisasi, Panti Pijat. Pemilihan tempat-tempat ini dilakukan dengan memperhatikan tingginya risiko penularan IMS dan HIV. 3. Menguatkan Layanan Komprehensif Berkesinambungan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) bertujuan untuk menguatkan sistem layanan kesehatan yang terintegrasi dengan pencegahan berbasis komunitas seperti PMTS melalui kerjasama erat antara pemerintah kabupaten/ kota, pengelola layanan kesehatan, masyarakat sipil, serta komunitas, populasi kunci dan ODHA. Secara khusus LKB bertujuan untuk menguatkan sistem kesehatan yang terintegrasi dengan sistem komunitas agar dapat meningkatkan cakupan promosi, pencegahan dan pengobatan terkait HIV, diantaranya adalah sebagai berikut: Memperluas layanan HIV bagi populasi kunci pada fasilitas layanan kesehatan primer dan komunitas, termasuk TB, IMS, Kesehatan Seksual dan Reproduksi, kekerasan, dan Hepatitis. Menjadi rujukan kebutuhan dari komunitas ke layanan dan kembali ke komunitas. Meningkatkan respon tenaga kesehatan terhadap penanggulangan HIV dan AIDS. Memperluas pengobatan ARV melalui layanan yang terdesentralisasi. Mitigasi dampak sosial-ekonomi. Secara kontekstual, PMTS dan SUFA harus dilaksanakan dalam kerangka konsep LKB. Integrasi yang baik antara sistem layanan kesehatan dan pencegahan berbasis komunitas membutuhkan perencanaan multi-sektoral untuk perluasan layanan, pemetaan hotspot, pengembangan strategi penjangkauan, dan pengembangan kemitraan dengan kelompok populasi, dan peningkatan kapasitas layanan kesehatan di tingkat kabupaten/ kota. 4. Desentralisasi dan Integrasi Layanan HIV Terbukti bahwa pengobatan lebih dini dan kepatuhan minum ARV merupakan salah satu metode yang efektif dalam upaya pencegahan HIV. Upaya pemberian ARV secara dini dan perluasan pengobatan telah dimulai melalui inisiatif penggunaan ARV secara strategis (SUFA). Walaupun demikian, saat ini, kepatuhan minum obat masih menjadi tantangan yang perlu untuk terus diperhatikan. Integrasi layanan HIV dan TB juga perlu 25

27 mendapatkan perhatian khusus, baik di tingkat rumah sakit maupun pada tingkat layanan primer. Masih banyak tantangan dihadapi dalam rangka mengkombinasikan kedua layanan ini, tidak hanya pedoman dan tatalaksana kolaborasi TB-HIV yang perlu diperbarui, tetapi juga upaya peningkatan kapasitas dan penyiapan infrastrukturnya, baik dalam hal manajemen maupun sumber daya manusianya. Model LKB-PMTS meningkatkan integrasi layanan terkait HIV dan pencegahan berbasis komunitas. Lebih lanjut, untuk meningkatkan kesinambungan dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas, layanan HIV harus diintegrasikan pada struktur layanan kesehatan primer. Layanan IMS dan HIV harus diintegrasikan dengan layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi, dan layanan HIV diintegrasikan dengan layanan antenatal dan layanan perawatan kronis, termasuk layanan diagnosis kanker serviks. Kegiatan HIV perlu diintegrasikan dengan lebih baik dengan kegiatan berbasis komunitas terutama di Tanah Papua, dimana epidemi sudah pada populasi umum. Sebagai contoh, layanan berbasis komunitas perlu diperluas sebagai perpanjangan dari layanan perawatan, dukungan dan pengobatan yang berbasis pada layanan kesehatan; layanan Posyandu perlu dikaitkan dengan layanan sosial dan medis untuk ODHA; kader dari komunitas perlu diberdayakan untuk melakukan konseling untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan TB dan HIV. 5. Mengembangkan dan Memperluas Mitigasi Dampak Mitigasi dampak dikembangkan dengan cara memaksimalkan sistem terkait pengamanan sosial yang sudah ada di Indonesia, seperti dengan terus meningkatkan dukungan bagi populasi kunci dan ODHA untuk dapat memanfaatkan skema jaminan kesehatan dan sosial. Fokus pengembangan dan perluasan mitigasi dampak ke depan adalah agar anak yang terinfeksi dan terdampak HIV dan AIDS dapat mengakses layanan yang memberikan perlindungan sosial, pendidikan dan kesehatan. Dalam rangka tersedianya layanan yang memadai, tidak hanya langkah-langkah advokasi yang perlu dilakukan untuk memperkuat lembaga yang mampu memberikan dukungan, tetapi juga memperhatikan peningkatan kapasitas dan keahlian mitra terkait dalam bidang pengasuhan anak, perawatan, dan pemberdayaan ekonomi, serta perlindungan hukum bagi ODHA. Penggalian sumber daya, dapat dilakukan dengan menjajaki berbagai alternatif di tingkat lokal. Sementara itu, untuk terus memperluas penyediaan dukungan ini, dokumentasi praktik di daerah dapat menjadi salah satu alat komunikasi dan pengembangan program. 6. Mewujudkan Lingkungan yang Mendukung bagi Populasi Kunci dan ODHA Stigma, diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) diakui secara luas menjadi penghalang bagi respon nasional yang efektif terhadap HIV. ODHA masih kerap ditolak dan diusir dari keluarga dan komunitas. Hak atas pendidikan dan hak atas pekerjaan ODHA masih sering disangkal. Maraknya pelanggaran HAM menyebabkan pencegahan dan pelayanan kesehatan HIV menjadi kurang efektif. Ketika ODHA dan 26

28 populasi kunci takut akan diskriminasi, mereka akan enggan melakukan tes HIV, termasuk mengakses layanan kesehatan HIV. Ketidaksetaraan jender dan kekerasan berbasis jender, perempuan cenderung sulit menghindari relasi yang penuh paksaan dan kekerasan, semua ini membuat mereka rentan terhadap HIV. Guna mewujudkan program pencegahan, layanan dan dukungan HIV yang efektif, maka penghalang Hak Asasi Manusia tersebut harus diatasi dengan mengintegrasikan perlindungan dan promosi HAM dan keberpihakan jender ke dalam respons HIV, meningkatkan program yang sudah berjalan yang mengatasi halangan Hak Asasi Manusia tersebut, dan memastikan bahwa program-program HIV tidak berpotensi maupun tidak melanggar HAM. Pengintegrasian tersebut harus dilakukan sejak tahapan perencanaan sampai dengan pemantauan pelaksanaan program HIV. 7. Evaluasi Proses dan Standar Mutu untuk Menguatkan Intervensi yang Berkualitas Untuk mencapai dampak yang besar dari upaya penanggulangan, dibutuhkan intervensi yang berkualitas yang diukur dengan evaluasi proses dengan target standar mutu intervensi. Peningkatan kualitas perlu dilakukan dengan memperhatikan detil pelaksanaan program yang diatur dalam pedoman atau prosedur kegiatan. Menambah atau mengurangi satu langkah dalam tata laksana, jika itu merupakan hasil dari evaluasi tersebut, maka ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan. Mekanisme evaluasi proses atau quality assurance perlu dimiliki oleh semua pelaksana program, yang berfungsi dengan baik dan dilakukan tepat waktu. Salah satu peningkatan kualitas yang menjadi fokus ke depan adalah dalam mencari dan menemukan kasus HIV atau IMS dan memastikan pengobatan dan perawatannya, sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. 8. Mendukung Penguatan Sistem Komunitas Keterlibatan masyarakat dan pemberdayaan merupakan salah satu prinsip penanggulangan HIV dan AIDS. Penguatan sistem komunitas (Community System Strengthening - CSS) dalam penanggulangan AIDS bertujuan untuk mencapai hasil kesehatan yang lebih baik dengan partisipasi aktif populasi terdampak serta organisasi berbasis komunitas dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi layanan dan kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan bagi ODHA. Sejak upaya penanggulangan AIDS dimulai di Indonesia, telah ada pengakuan terhadap peran penting organisasi berbasis komunitas, masyarakat terdampak, populasi kunci, komunitas dan ODHA dalam penanggulangan AIDS di Indonesia. Namun keberlanjutan dukungan terhadap komunitas merupakan tantangan seiring dengan menurunnya dukungan pendanaan internasional. 27

29 SRAN bertujuan untuk memastikan keterlibatan aktif dan bermakna dari ODHA, populasi kunci, kelompok yang mewakili ODHA dan populasi kunci, serta masyarakat sipil lainnya dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di semua tingkatan hingga tingkat kecamatan dan desa. Dukungan untuk penguatan komunitas secara bermakna perlu dilakukan mealui kemitraan bersama berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional dan sub nasional, untuk mendorong partisipasi aktif komunitas dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi upaya penanggulangan AIDS. Upaya penguatan komunitas perlu dituangkan dalam bentuk alokasi anggaran, peningkatan kapasitas, bantuan teknis, penguatan manajemen organisasi dan kepemimpinan yang tersedia di tingkat nasional, propinsi serta kabupaten/ kota. Peningkatan peran masyarakat dalam pelaksanaan LKB menjadi prioritas bagi SRAN Mengelola Pengetahuan dan Keterampilan antar Kabupaten/ Kota Peningkatan manajemen pengetahuan adalah salah satu prioritas SRAN , khususnya manajemen pengetahuan upaya penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten/ kota untuk memfasilitasi pembelajaran secara horizontal antar kabupaten/ kota di Indonesia. Peningkatan manajemen pengetahuan perlu dimulai dengan dokumentasi dan pemetaan kekuatan pelaksanaan upaya penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten/ kota, khususnya di daerah dengan kinerja tinggi. Pemetaan ini menjadi dasar bagi pengembangan model pembelajaran antar kabupaten/ kota yang terstruktur dan sistematis. Unit pengelolaan pengetahuan manajemen perlu dibentuk oleh KPAN untuk memantau pelaksanaan upaya penanggulangan secara umum, serta untuk membantu proses pemetaan dan dokumentasi yang dibutuhkan. Kriteria pemilihan lokasi pembelajaran juga perlu dikembangkan. 10. Mendorong Alokasi Dana Penanggulangan AIDS di tingkat Kabupaten/ Kota Keberlanjutan penanggulangan HIV dan AIDS tergantung pada tingkat pendanaan yang memadai. Dengan menurunnya dukungan dana luar negeri bagi upaya penanggulangan AIDS di Indonesia, perlu didorong adanya alokasi dana yang memadai tidak hanya di tingkat nasional namun juga di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota. Untuk ini, strategi meningkatkan pendanaan lokal perlu diinisiasi pada periode SRAN , misalnya dengan cara berikut: 1. Meningkatkan efisiensi biaya yang dapat diperoleh dari pelaksanaan LKB, integrasi HIV ke layanan kesehatan primer; efisiensi biaya diagnostik, obatdan komoditas lain; cara penjangkauan yang efektif yang memaksimalkan cakupan dan menghilangkanmissed-opportunity. 28

30 2. Menambah pendanaan dalam negeri dengan pendekatan baru, misalnya melalui matching funds, dimana penambahan dana lokal disandingkan dengan tambahan dana nasional; atau challenge grants, dimana kabupaten/ kota yang mengusulkan perluasan atau peningkatan kualitas layanan, akan menerima dana, dengan memastikan adanya mata anggaran HIV tersedia di APBD. 3. Mendorong dan mengakses peluang pendanaan CSR untuk program HIV: public-private sector partnership and private philanthropy. 11. Menguatkan Penelitian, Kualitas Data serta Akselerasi Penggunaan Inovasi dan Teknologi Baru Inovasi dan teknologi baru dapat meningkatkan efektivitas serta efisiensi intervensi untuk menanggulangi HIV, selama periode SRAN Perlu ada mekanisme untuk melakukan eksplorasi inovasi dan teknologi baru yang dapat diuji serta diimplementasikan di Indonesia; memperoleh perijinan sesuai hukum yang berlaku; dan mengembangkan rencana aksi untuk pelaksanaannya. Beberapa prioritas inovasi yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah tes HIV berbasis komunitas, pemanfaatan Information and Communication Technology (ICT), penggunaan media sosial, SMS dan internet untuk kegiatan penjangkauan komunitas khususnya bagi populasi tersembunyi dan remaja; serta pencanangan intervensi PreP bagi LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki). Terkait dengan informasi strategis, SRAN perlu terus memperkuat sistem surveilans, termasuk peningkatan kualitas data dan penelitian baru terkait HIV, khususnya agar lebih diperhatikan pada tingkat propinsi dan kabupaten/ kota. Prioritas utama adalah penguatan sistem data rutin seperti SIHA maupun surveilans penyakit dan peningkatan kualitas data, serta adanya perhatian khusus untuk memenuhi kebutuhan data di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota, meningkatkan kapasitas daerah untuk melakukan integrasi, interpretasi, serta menggunakan data secara efektif untuk perencanaan maupun pemantauan. Penguatan sistem data disertai dengan agregasi jender, usia, dan faktor risiko. Untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi keberhasilan SRAN dibutuhkan penelitian dengan area yang cukup luas, termasuk penelitian biomedis/ klinis, epidemiologi, sosial, budaya, perilaku dan penelitian operasional/ implementasi. Penelitian biomedis/ klinis fokus pada masalah gambaran klinik, perjalanan penyakit, perawatan serta pengobatan penyakit. Penelitian epidemiologi fokus pada besaran, penyebaran dan latar belakang biologi, virology, lingkungan, sedangkan penelitian sosial/ budaya fokus pada fenomena sosial dalam masyarakat, termasuk perilaku dan struktur sosial masyarakat. 29

31 Agenda penelitian memberikan prioritas pada penelitian operasional/ implementasi yang menunjang kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS yang mempunyai tujuan: Menghentikan penularan HIV; Memperbaiki kualitas hidup ODHA; Mengurangi dampak HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat; dan Menciptakan lingkungan kondusif program yang bebas stigma dan diskriminasi. Perlu diidentifikasi perguruan tinggi, komunitas, dan institusi penelitian untuk mendukung penelitian implementasi dan penelitian evaluasi, dengan fokus 75 kabupaten/ kota prioritas tinggi. Evaluasi proses dan penelitian operasional dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan penanggulangan AIDS termasuk LKB/ PMTS/ SUFA dan keterlibatan komunitas. Perlu diperhatikan pemantauan efektivitas pengobatan (melalui CD4 dan viral load), sesuai dengan pedoman. 12. Menguatkan Kemitraan Internasional: Bilateral dan Multilateral Dengan semakin menguatnya posisi Indonesia dalam kemitraan internasional, maka potensi kolaborasi serta perluasan jejaring kerja pun meningkat pesat. Indonesia menduduki beberapa posisi strategis di tingkat regional dan global dalam program penanggulangan HIV dan AIDS, antara lain adalah sebagai berikut: Global: Indonesia diundang secara khusus oleh PCB UNAIDS (Programme Coordinating Board) untuk menyampaikan perkembangan penanggulangan AIDS di Indonesia. Board atau dewan ini beranggotakan 22 negara anggota PBB, dengan perwakilan dari pemerintah dan masyarakat sipil. Pada tahun 2014, dewan tersebut diketuai oleh Australia memutuskan untuk kemudian melakukan kunjungan kerja ke Indonesia, dimana peserta datang dari Afrika (Zimbabwe), Amerika Latin (Brasil) serta beberapa negara Eropa. Regional: Indonesia sebagai anggota ASEAN menjadi Lead Country untuk inisiatif ASEAN Cities Getting to Zero. Inisiatif ini merupakan operasionalisasi langsung dari ASEAN Declaration of Commitment: Getting to Zero New HIV Infections, Zero Related Deaths, Zero Discrimination, yang diadopsi para pimpinan negara anggota ASEAN (Bali, 17 November 2012). Inisiatif ini menjadi contoh di seluruh dunia untuk program regional dengan pendekatan lokal (tingkat kabupaten/ kota). Nasional: Indonesia mengelola dana kemitraan untuk HIV (Indonesia Partnership Fund), dimana donor utama pada saat ini berasal dari USAID (Amerika Serikat) dan DFAT (Australia). Arah kebijakan Indonesia dalam menguatkan kemitraan internasional ini adalah dengan mempertahankan peran yang telah disandang hingga saat ini dan terus berpartisipasi aktif dalam upaya penanggulangan AIDS. 30

32 Bab 4. RENCANA AKSI A. Intervensi 4.1. Pencegahan HIV Penurunan penularan HIV dilakukan melalui perluasan pencegahan yang efektif. Hal ini perlu dilakukan pada hubungan seksual risiko tinggi dan penggunaan peralatan suntik secara bergantian. Perlu perhatian khusus pada pencegahan HIV baru di kelompok LSL. Pencegahan HIV pada populasi kunci di beberapa wilayah dengan kinerja baik, merupakan hasil kombinasi beberapa faktor berikut: a) Komitmen individu, b) Layanan ramah klien, c) Pelibatan pihak-pihak pemangku kepentingan, d) Keterlibatan aktif Dinas Kesehatan dan Puskesmas baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/ kota yang berkerja sama dengan penegak hukum dan tokoh kunci lokalisasi atau lokasi, e) Keterlibatan LSM dan OMS dalam promosi kondom dan monitoring program penggunaan kondom; f) Mobilisasi komunitas melalui intervensi sebaya, g) pendekatan Program di tempat kerja Target perluasan pencegahan pada populasi kunci dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Target Pencegahan, Perubahan Perilaku dan Tes HIV pada Populasi Kunci (dalam %) Indikator Cakupan program pencegahan komprehensif Perubahan perilaku untuk mencegah penularan HIV Populasi kunci yang mendapatkan tes HIV Populasi Kunci Baseline Sumber Data Semua 34 STBP Semua 61 STBP Semua 29 STBP Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual Intervensi struktural PMTS perlu terus diperkuat untuk meningkatkan efektifitas dan dampak program pencegahan, sehingga dapat menurunkan penularan HIV melalui transmisi seksual. Promosi kondom di tempat terjadinya transaksi seksual dan di layanan IMS perlu terus dilakukan, dengan penguatan berikut: Pengembangan pesan-pesan baru untuk komunikasi perubahan perilaku sebagai bagian dari strategi komunikasi HIV dan AIDS secara keseluruhan. Pemanfaatan secara luas media sosial, internet dan SMS untuk menyebarluaskan informasi dan pesan-pesan komunikasi perubahan perilaku. 31

33 Memperluas jaringan penyebarluasan informasi dan pesan komunikasi perubahan perilaku diantara populasi kunci. Mengadopsi model penjangkauan yang melibatkan populasi kunci dan ODHA dapat memfasilitasi perubahan perilaku dan peningkatan akses ke layanan. Peningkatan penyebarluasan informasi dan edukasi pada kalangan pekerja dengan fokus pada perubahan perilaku pekerja laki-laki risiko tinggi (kategori 4 M, Man Mobile with Money Macho environment)) seperti pekerja sektor perhubungan, kelautan dan perikanan (maritim), pertambangan dan migas, konstruksi, perkebunan, pariwisata serta perusahaan yang lokasinya berdekatan dengan lokalisasi/hot spot. Mendekatkan kelompok pekerja 4 M ini dan mendorong peningkatan aksesnya ke layanan melalui jejaring dengan faskes setempat. Peningkatan penggunaan kondom konsisten agar tidak hanya dibebankan pada WPS maupun Waria, namun juga melibatkan mucikari dan pelanggan, melalui dua strategi utama: (1) Kampanye pada populasi umum melalui layanan publik, program sosialisasi di tempat kerja yang dibiayai oleh sektor swasta, yang dirancang untuk mengurangi stigma penggunaan kondom, (2) Kampanye kondom dengan sasaran tempat kerja dimana laki-laki 4M terkonsentrasi. Penapisan dan pengobatan IMS perlu diperluas berintegrasi dengan layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (KSR), yang secara otomatis akan meningkatkan jumlah puskesmas yang memberikan layanan IMS. Intervensi biomedis, termasuk pengobatan sebagai pencegahan, pre-expsoure prophylaxis; meningkatkan akses ke tes HIV. Intervensi dengan mempertimbangkan dan memasukkan struktur hirarki dan sosial di masyarakat untuk melancarkan pelaksanaan program. Penjangkauan yang melibatkan populasi kunci dengan prinsip kesebayaan. Mengoptimalkan peran jaringan komunitas pekerja seks sebagai sentra koordinasi dan komunikasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan penelitian terkait HIV baik di tingkat nasional maupun daerah Pengembangan Program Komprehensif GWL (Gay, Waria, dan LSL lainnya) Meningkatnya epidemi HIV di kalangan GWL perlu menjadi perhatian khusus. Intervensi perlu dibuat lebih komprehensif dengan komponen yang terintegrasi sebagai berikut: Menetapkan definisi operasional GWL dalam program HIV di Indonesia, termasuk definisi operasional istilah terjangkau baik dalam konteks peer outreach ataupun cyber outreach. Mengoptimalkan peran jaringan populasi kunci GWL sebagai sentra koordinasi dan komunikasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi program HIV dan penelitian terkait HIV pada komunitas GWL baik di tingkat nasional maupun daerah. 32

34 Mengoptimalkan pelibatan organisasi-organisasi berbasis komunitas GWL dalam upaya promosi seks aman dan pemanfaatan layanan tes HIV. Memperkuat kapasitas teknis dan keorganisasian para OBK (Organisasi Berbasis Komunitas) GWL dalam merancang, mengimplementasikan, mengorganisasikan serta monitoring dan evaluasi program. Pemberdayaan komunitas GWL dalam program HIV dengan menginisiasi pendekatan intervensi perubahan perilaku yang berbasis komunitas. Mengembangkan program spesifik yang ditujukan untuk GWL usia muda, termasuk metode pendekatan, pemberdayaan komunitas dan program pencegahan yang sesuai dengan karakteristik kelompok ini. Mengoptimalkan penggunaan jejaring media sosial dan teknologi media komunikasi lainnya sebagai metode penjangkauan online/ cyber outreach, melengkapi metode penjangkauan berbasis hotspot dan peer outreach. Mengintegrasikan konsep kesehatan dan hak seksual reproduksi (SRHR) dalam semua pendekatan dan kegiatan terkait program HIV untuk komunitas GWL. Meningkatkan akses dan pemanfaatan layanan tes HIV melalui pendekatan inovatif berbasis komunitas GWL dalam bentuk, misalnya menyediakan layanan konseling dan tes HIV (KTH) berbasis komunitas dengan penggunaan media sosial. Meningkatkan akses dan retensi komunitas GWL (termasuk GWL muda, GWL pekerja seks, dan GWL ODHA) pada layanan KTH, IMS, dengan memperbanyak layanan perawatan dan pengobatan yang berkualitas, bersahabat dan sesuai dengan kebutuhan mengacu pada contoh-contoh sukses yang ada. Menciptakan lingkungan yang memampukan GWL melalui upaya advokasi yang terfokus, pelibatan komunitas yang ditujukan pada faktor-faktor struktural (sosial, politik, hukum, budaya dan ekonomi) yang mempengaruhi kerentanan komunitas GWL (termasuk GWL muda, GWL pekerja seks, dan GWL ODHA) dan berpotensi menghambat keberhasilan perluasan program. Memperkuat upaya advokasi terhadap kebijakan-kebijakan yang bersifat kontraproduktif terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan HIV untuk komunitas GWL di tingkat nasional dan daerah. Memperkuat intervensi struktural untuk komunitas GWL yang tergabung pada panti pijat, spa pria, pondokan waria pekerja seks, klub gay, dan tempat-tempat yang memiliki struktur hirarki tertentu lainnya. Pelaksanaan program pre-exposure prophylaxis (PreP) setidaknya dalam bentuk uji coba. 33

35 Penelitian implementasi perlu dikembangkan untuk mengidentifikasi metode yang efektif dalam meningkatkan jangkauan program, akses dan pemanfaatan tes HIV, dan retensi di layanan perawatan dan pengobatan. Penyelenggaraan Community Scientific Forum untuk komunitas, OBK, peneliti GWL dan mitra kunci sebagai media berbagi untuk mengidentifikasikan pembelajaran, pengalaman, dan temuan ilmiah dari survei dan penelitian terkait GWL Pengurangan Dampak Buruk pada Penasun Meningkatkan intervensi untuk pengguna NAPZA suntik, termasuk WBP melalui hal-hal berikut: Paket pengurangan dampak buruk yang komprehensif, seperti peralatan suntik steril, substitusi oral, akses kondom dan media informasi untuk Penasun dan pasangan, rujukan ke layanan kesehatan untuk tes HIV, terapi ARV, TB, dan terapi adiksi, dan ko-infeksi Hepatitis C. Perluasan tes HIV bagi Penasun dan pasangannya menjadi salah satu prioritas penting. Upaya lain adalah melakukan kordinasi dengan petugas kesehatan dan penegak hukum, komunitas dan Penasun. Upaya baru perlu dilakukan untuk menjaring Penasun perempuan, termasuk mengintegrasikan layanan KSR dan kekerasan dengan HIV, metode penjangkauan berbasis komunitas yang efektif dan penjajakan pilihan rehabilitasi perempuan yang ramah perempuan. Pengembangan layanan pada pekerja seks yang juga pengguna NAPZA serta pengembangan layanan di Lapas/ Rutan, dimana pendekatan komprehensif dan berkelanjutan menjadi bagian dari strategi nasional. Mengoptimalkan peran jaringan komunitas Penasun sebagai sentra koordinasi dan komunikasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan penelitian terkait HIV baik di tingkat nasional maupun daerah Warga Binaan Pemasyarakatan Memperluas penanggulanan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan, termasuk pengurangan dampak buruk NAPZA, PPIA di Lapas Perempuan. Intensifikasi kegiatan untuk menurunkan infeksi baru di Lembaga Pemasyarakatan. Mengadvokasi skema perlindungan kesehatan dan sosial dengan memasukan WBP dalam daftar tanggungan untuk menanggung biaya terkait HIV, termasuk perubahan administrasi berbasis KTP. 34

36 Orang Muda Orang muda pada populasi kunci perlu dijangkau program pencegahan, agar mereka akses ke layanan kesehatan dengan memaksimalkan peran sebaya, komunitas muda dan populasi kunci, yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik khusus orang muda di populasi kunci. Keterlibatan bermakna orang muda populasi kunci dalam komunikasi multi sektoral seperti Pokja PMTS, Pokja Harm Reduction, Pokja Jender, Pokja Remaja, Pokja Tempat Kerja, dan Pokja Teknis HIV lainnya di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/ kota. Memberi dukungan bagi orang muda yang hidup dengan HIV agar patuh berobat. Peningkatan akses orang muda ke informasi komprefensif, layanan, pencegahan terkait HIV dan Kesehatan Seksual Reproduksi tanpa hambatan usia dan status pernikahan seperti yang sudah tertuang dalam PP nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Pengembangan strategi komunikasi untuk orang muda. Studi terkait orang muda populasi kunci perlu dipelajari lebih lanjut untuk meningkatkan akses pada layanan serta perlindungan hukum. Adanya layanan ramah remaja untuk meningkatkan akses orang muda khususnya orang muda di populasi kunci ke layanan HIV dan Kesehatan Seksual Reproduksi. Informasi strategis serta survailens HIV pada populasi umum dan populasi kunci perlu terpilah berdasarkan kelompok usia tahun, tahun, tahun. Informasi strategis terpilah ini perlu disertai dengan analisis mendalam. Tingkat Pengetahuan: - Sebanyak 15% (1999/13419) remaja wanita dan pria usia tahun dapat mengidentifikasi cara penularan HIV melalui seksual dengan benar dan menolak konsepsi yang salah tentang penularan HIV (SDKI, 2007); - Sebanyak 13% (370/2942) remaja wanita dan pria usia tahun dapat mengidentifikasi cara penularan HIV melalui seksual dengan benar dan menolak konsepsi yang salah tentang penularan HIV (SDKI, ). Hubungan seks sebelum usia 15 tahun: - Data SDKI 2007 menunjukkan remaja wanita dan pria usia tahun yang mulai melakukan hubungan seks sebelum usia 15 tahun sebesar % (37/13419); - Data SDKI menunjukkan remaja wanita dan pria usia tahun yang mulai melakukan hubungan seks sebelum usia 15 tahun sebesar % (1/2942). 35

37 Seks risiko tinggi: - Sebanyak 0.23% (1/423) pria berusia tahun pernah berhubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan dalam 12 bulan terakhir (SDKI, 2007). Pekerja seks: - Sebanyak 25.73% (2007) dan 14.15% (2011) pekerja seks berusia di bawah 25 tahun terpapar program pencegahan, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan pekerja seks berusia 25 tahun ke atas yaitu 30.64% (2007) dan (2011); - Praktik penggunaan kondom di kalangan pekerja seks berusia di bawah 25 tahun adalah 63.56% (2007) dan 49.53% (2011), angka ini lebih rendah dibandingkan dengan pekerja seks berusia 25 tahun ke atas yaitu 69.95% (2007) dan 61.70% (2011); - Pekerja seks berusia di bawah 25 tahun yang melakukan tes HIV sebesar 27.31% (2007) dan 78.04% (2011), angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pekerja seks berusia di atas 25 tahun yaitu 35.18% (2007) dan 79.81% (2011). LSL: - Sebanyak 37.59% (2007) dan 20.45% (2011) LSL berusia di bawah 25 tahun terpapar program pencegahan, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan LSL berusia 25 tahun ke atas yaitu 47.89% (2007) dan 25.16% (2011). Penasun: - Penasun berusia di bawah 25 tahun yang melakukan tes HIV sebesar 36.61% (2007) dan 83.70% (2011), angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penasun berusia di atas 25 tahun yaitu 47.57% (2007) dan 92.05% (2011) Intensifikasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja dan Populasi Rentan Lainnya Pendekatan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS (P2 HIV&AIDS) di Tempat Kerja terbukti telah meningkatkan penyebarluasan informasi yang benar pada kalangan pekerja dan pengusaha sehingga membangun kesadaran untuk meningkatkan komitmen, partisipasi dalam program dan pemahaman untuk tidak memberikan stigma dan perlakuan diskriminatif kepada pekerja terkait HIV-AIDS serta dukungan pada pekerja ODHA. Dunia kerja memiliki sumberdaya yang memadai untuk dimobilisasi dalam pengembangan program di lingkungan kerjanya maupun berpartisipasi dalam program di masyarakat melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). Pekerja pada perusahaan/institusi/organisasi yang mempekerjakan karyawan dominan laki-laki, pekerjaan bersifat sering berpindah atau mobile, lokasi kerja di remote area atau jauh dari tempat tinggal merupakan kelompok populasi rentan 36

38 yang harus mendapat prioritas untuk diintervensi program. Intervensi program di tempat kerja difokuskan pada kelompok pekerja kategori 4 M seperti sektor perhubungan, kelautan dan perikanan, pertambangan dan migas, konstruksi, perkebunan, pariwisata, serta perusahaan yang lokasinya berdekatan dengan lokalisasi atau hot spot. Program P2 HIV & AIDS di tempat kerja perlu ditingkatkan efektifitasnya dengan mengintensifkan program layanan konseling dan tes HIV (KTH) bagi pekerja laki-laki berisiko tinggo (LBT) melalui program VCT@Work. Pola VCT@Work dikembangkan melalui jejaring layanan antara perusahaan dengan faskes rujukan setempat dengan dukungan instansi/stake holder terkait seperti dinas ketenagakerjaan, dinas kesehatan, KPA dan LSM. Pendekatan KTH di tempat kerja dapat dilakukan melalui program pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, donor darah dan layanan kesehatan lainnya melalui penawaran tes HIV secara selektif terfokus pada populasi pekerja rentan atau risiko tinggi. Petugas kesehatan (dokter, perawat, analis) di perusahaan yang memiliki faskes sendiri perlu dilatih untuk meningkatkan kapasitasnya dalam penanggulangan HIV dan AIDS dan pemberian layanan KTH dan PDP. Pendekatan lain seperti PMTS paripurna juga perlu dikembangkan lebih banyak dengan mengintegrasikan ke dalam program P2 HIV & AIDS di tempat kerja. Untuk memperkuat program P2 HIV & AIDS di tempat kerja dan keberlanjutannya perlu didukung dengan Pokja HIV-AIDS di Tempat Kerja (Pokja Workplace) yang menjadi pola jejaring kerjasama antar stake holder terkait baik instansi pemerintah seperti instansi ketenagakerjaan, kesehatan, perhubungan, pekerjaan umum, pertambangan, perkebunan, kelautan dan perikanan, pariwisata, KPAN/KPA, ILO, APINDO, SP/SB, IBCA, dan LSM terkait. Pokja Workplace di tingkat pusat perlu mendorong peningkatan kapasitas program bagi Pokja Workplace pada KPA di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. KPA provinsi dan kabupaten/kota yang belum membentuk Pokja Workplace perlu didorong untuk membentuk. Untuk itu perlu didukung dengan kegiatan advokasi dan peningkatan kapasitas dan Pokja di daerah dan pertemuan koordinasi dan evaluasi nasional Pokja Workplace secara rutin. Pokja Workplace harus terus diberdayakan dan dilibatkan untuk terus berperan aktif dalam pelaksanaan program P2-HIV AIDS terutama yang berkaitan dengan sasaran populasi pekerja dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya. Dengan pola kemitraan yang baik ini diharapkan akan mendukung pencapaian target nasional secara berkelanjutan (partnership for sustainability). Pelaksanaan program pada kalangan pekerja secara umum telah diatur melalui Keputusan Menteri Tenaga Keja dan Transmigrasi RI No. 68 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja dan Keputusan Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan No. 20 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis (P2 HIV & AIDS) di Tempat Kerja. Prinsip-prinsip kebijakan dalam regulasi ini sejalan dengan Rekomendasi ILO No 200 Tahun 2010 tentang HIV & AIDS di Dunia Kerja (HIV/AIDS and The World of Work), yang mewajibkan perusahaan menjalankan program P2-HIV AIDS di tempat kerja untuk membuat lingkungan kondusif, memberikan edukasi kepada pekerja, memberikan akses 37

39 layanan HIV-AIDS pada pekerja yang terkena dan tidak memberikan stigma dan diskriminasi. Menteri Ketenagakerjaan RI juga telah mengembangkan program pemberian penghargaan kepada perusahaan yang menerapkan secara konsisten ketentuan dalam dua regulasi tersebut dan kepada pihak-pihak terkait yang berperan. Pedoman pemberian penghargaan Program (P2 HIV & AIDS) di Tempat Kerja diatur melalui Keputusan Keputusan Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan No.44 Tahun Pembelajaran yang baik telah didapatkan melalui Implementasi program P2 HIV & AIDS di Tempat Kerja yang diintegrasikan (dimasukkan) dalam program perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Integrasi program HIV & AIDS dengan program K3 merupakan pendekatan yang strategis. Manajer SDM dan ahli K3 di perusahaan khususnya ahli K3 (safety and health officer), dokter dan perawat kesehatan kerja di perusahaan dilibatkan dalam program P2 HIV-AIDS di tempat kerja. Untuk itu perlu diberikan edukasi dan pelatihan untuk selanjutnya mengembangkan program HIV & AIDS di perusahaanya. Dengan pola seperti ini diharapkan program ini dapat berjalan secara berkelanjutan seiring dengan program K3 di perusahaan. Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang RI. No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang RI. No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) maka semua pemberi kerja baik swasta maupun PNS, TNI dan POLRI wajib mengikutsertakan semua pekerja/karyawannya dalam program BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Kondisi ini dapat menjadi penguat program bagi pekerja/karyawan untuk mendapatkan layanan kesehatan dan perlindungan terkait HIV-AIDS. Pekerja Migran Menjadi seorang pekerja migran bukanlah sebuah risiko untuk tertular HIV, tetapi kondisi-kondisi yang menyertai pekerja migran selama proses migrasi itu yang menyebabkan kerentanan mereka terhadap penularan HIV. Data HIV dan AIDS di kalangan pekerja migran Indonesia hingga saat ini belum banyak tersedia, namun pada tingkat regional, UNAIDS (2008) memperkirakan bahwa pekerja migran lakilaki dan perempuan Asia dan pasangan mereka memiliki prevalensi HIV empat kali lebih tinggi dari prevalensi normal yang ditemukan pada rekan-rekan mereka. Himpunan Pemeriksa Tenaga Kerja Indonesia (HIPTEK) mendapati bahwa dari calon pekerja migran yang pergi ke Timur Tengah pada tahun 2005, 160 (0,11%) di antaranya terdiagnosis dengan HIV-positif. Migrasi bukanlah faktor penyebab langsung, tetapi terdapat kaitan antara epidemi HIV dengan kelompok pekerja migran. Kaitan tersebut umumnya karena kondisikondisi yang terjadi sepanjang perjalanan migrasi dan kurangnya perlindungan yang diberikan kepada pekerja migran. Pekerja migran kerap menjadi objek pelanggaran yang terjadi dalam konteks prosedur perekrutan, pekerjaan yang 38

40 bersifat tidak aman di luar negeri, akses yang terbatas untuk mendapatkan layanan informasi, dukungan konseling dan test HIV yang belum memenuhi kaidah, perawatan medis, sistem rujukan penanganan bagi pekerja migran HIV, eksploitasi, diskriminasi dan penganiayaan, yang dikombinasikan dengan rendahnya kesadaran akan HIV dan AIDS di kalangan pekerja migran, menempatkan pekerja migran rentan terhadap HIV dan AIDS. Dimensi penting lainnya mengenai kerentanan ini adalah aspek feminisasi dimana kebanyakan pekerja migran Indonesia adalah perempuan. Untuk rencana aksi, fokus secara geografis perlu dilakukan pada daerah pengirim utama pekerja migran, baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten/ kota. Kementrian/ lembaga maupun pemerintah daerah perlu memperbaharui pemetaan, yang sudah dilakukan sebelumnya, untuk mengidentifikasi desa-desa di tingkat kabupaten/ kota yang merupakan daerah asal pekerja migran. Daerah asal migran yang secara geografis jauh dari akses pelayanan kesehatan dan informasi perlu menjadi perhatian khusus. Kondisi negara tujuan yang dipilih pekerja migran dipertimbangkan sebagai acuan materi informasi mengenai kerentanan yang perlu disampaikan kepada pekerja migran. Fokus geografis lain adalah daerah-daerah yang menjadi transit perjalanan pekerja migran ke luar negeri. Daerah tersebut umumnya merupakan wilayah perbatasan antara Indonesia dengan negara tujuan, seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Contohnya, Batam, Kepulauan Riau, Nunukan. Dan beberapa pelabuhan dan wilayah bandara yang biasa dilalui untuk bermigrasi. Fokus geografis lainnya adalah tempat-tempat dimana banyak terdapat penampungan PJTKI/ PPTKIS dan BLKLN (Balai Latihan Kerja Luar Negeri), agar menjadi area program pencegahan. Sarana kesehatan atau klinik pelaksana tes kesehatan juga menjadi wilayah yang perlu dijangkau untuk menjamin tersebarnya informasi pencegahan HIV dan AIDS kepada calon pekerja migran (melalui pelaksanaan konseling). Secara khusus, implementasi tes HIV menerapkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor 029/MENKES/SK/I/2008 tentang Pedoman Penatalaksanaan Konseling dan Testing HIV bagi CTKI di semua tempat pelaksana tes kesehatan bagi pekerja migran (seperti klinik anggota HIPTEK, GAMCA). Klinik pelaksana tes kesehatan ini umumnya berada di daerah transit yaitu kota-kota yang menjadi tempat pemberangkatan langsung ke luar negeri. a. Peningkatan Pengetahuan Pekerja Migran tentang HIV dan AIDS Perluasan penyebaran informasi pencegahan di daerah asal pengirim maupun di daerah transit. Peningkatan kualitas pelaksanaan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN). Peningkatan kualitas pelaksanaan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP). Penyediaan layanan informasi dan rujukan di luar negeri (dapat dimulai dengan program orientasi pasca kedatangan KBRI/ KJRI, layanan hotline telepon 24 jam, rujukan layanan kesehatan yang bersahabat dengan pekerja migran). 39

41 Perluasan pemberdayaan masyarakat serta pekerja migran (dan keluarganya) terkait pencegahan yang berbasis komunitas. Pelaksanaan konseling HIV dan AIDS dalam pemeriksaan kesehatan CTKI. b. Perbaikan Sistem Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi Pekerja Migran (dan Keluarga) yang Terinfeksi HIV Perluasan akses dan penyediaan layanan konseling dan tes HIV serta IMS di daerah pengirim TKI (pemeriksaan kesehatan TKI di daerah masing-masing) termasuk PITC saat berangkat serta inisiatif untuk penawaran tes berikut konseling saat mereka kembali bekerja di luar negeri. Perbaikan pelaksanaan konseling pada tes HIV di sarana kesehatan pemeriksa CTKI. Pengembangan dan pelaksanaan sistem rujukan layanan bagi pekerja migran yang terinfeksi HIV (baik hasil tes HIV di sarana kesehatan pada masa pra-penempatan, maupun yang dideportasi karena terinfeksi HIV pada saat penempatan). Pengembangan kebijakan dan pelaksanaan kerjasama dengan negara penerima untuk layanan lintas negara. Jaminan kualitas bagi sarana kesehatan melalui kunjungan monitoring berkala. c. Mitigasi Dampak Sosial-Ekonomi Memastikan seluruh pekerja migran terinfeksi HIV memiliki jaminan kesehatan (Jamkesmas, Jamkesda atau asuransi lainnya). Dukungan sosial dan ekonomi bagi pekerja migran HIV yang miskin. d. Penciptaan Lingkungan yang Kondusif Perbaikan Undang Undang Penempatan dan Perlindungan TKI sehingga aspek perlindungan semakin membaik (termasuk perlindungan dari infeksi HIV). Peningkatan pengetahuan dan keterlibatan staf kedutaan (KJRI, KBRI) terkait HIV dan AIDS bagi pekerja migran. Penyediaan sistem manajemen informasi yang handal terkait penempatan dan perlindungan TKI. Penerapan perencanaan, prioritas dan implementasi program berbasis data (khususnya advokasi pada 107 kabupaten/ kota prioritas pengirim dan daerah transit TKI). Menjadi PNS atau TNI/POLRI bukanlah sebuah risiko untuk tertular HIV, tetapi kondisikondisi tertentu yang menyertai pekerjaannya memberikan risiko tersendiri untuk penularan HIV dan IMS. Pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di lingkungan TNI, mengacu pada Peraturan Panglima TNI no. 64 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan HIV dan AIDS di Lingkungan TNI. Sesuai dengan tujuan pengendalian HIV di lingkungan TNI dan Indonesia, yaitu menurunkan angka kesakitan, kematian, dan diskriminasi serta meningkatkan kualitas 40

42 hidup ODHA, maka diperlukan upaya pengendalian serta layanan HIV berupa perawatan dukungan dan pengobatan termasuk di fasilitas kesehatan TNI, dengan upaya meliputi : a. Pencegahan dilakukan dengan membentuk tenaga peer leader dikalangan TNI yang bertugas terutama dalam pencegahan HIV dan AIDS dan sosilaisasi tentang HIV dan AIDS b. Penemuan kasus secara dini; Mandatory test, VCT/PITC di faskes TNI c. Perawatan Dukungan dan Pengobatan yang dilaksanakan oleh faskes TNI b. Menciptakan lingkungan kondusif: Advokasi kepada pimpinan TNI seluruh angkatan. c. Monitoring dan Evaluasi; laporan rutin bulanan, Triwulan, dan Semester, serta Survey Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) setiap 4 tahun sekali, Sistem Informasi Kesehatan Preventif Pencegahan HIV (Sikesprev) untuk sistem pelaporan kegiatan peer leader pencegahan HIV di lingkungan TNI yang berbasis Web dan SMS Gateway. Fasilitas kesehatan TNI yang telah memberikan layanan HIV di Indonesia terdapat di 13 provinsi dengan jumlah 23 diantara 124 RS TNI seluruh angkatan. Fasilitas kesehatan TNI tidak hanya memberikan layanan kepada TNI dan keluarganya tetapi juga memberikan layanan kepada masyarakat umum disekitarnya. Gambar 4.1. Peta sebaran faskes TNI yang memberikan layanan HIV Pengembangan sistem rujukan internal di kalangan faskes TNI sendiri, meliputi regionalisasi dengan pusat referal di Indonesia Barat adalah RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan darat) Gatot Soebroto, Jakarta. Regional Tengah di RSPAU (Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara) Dr Harjo Lukito, Yogyakarta dan regional Timur di RSAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr Ramelan, Surabaya. 41

43 Sumber daya manusia kesehatan di layanan HIV pada fasilitas kesehatan TNI, dapat dilihat pada grafik dibawah ini : Gambar 4.2 Sumber Daya manusia di layanan HIV pada faskes TNI Keterangan : MK = Manajer Kasus IMAI = Integrated Management of Adolescent and Adult Illness PITC = Provider-Initiated Testing And Counselling PMTCT = Prevention Of Mother-To-Child Transmission Rencana pengembangan layanan HIV-AIDS di faskes TNI dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.2. Rencana Capaian Program Perawatan, Dukungan dan Pengobatan HIV di Faskes TNI No Indikator Baseline Rumah Sakit Layanan HIV 2. VCT di Faskes TNI Konselor HIV Dokter terlatih layanan HIV 5. Perawat terlatih layanan HIV 6. Bidan terlatih layanan HIV 7. Manajer Kasus Tenaga Farmasi Petugas IMAI Petugas PITC Petugas PMTCT/PPIA

44 Tanah Papua Penanggulangan HIV di Tanah Papua harus mempertimbangkan sejumlah tantangan seperti mobilitas sumber daya, petugas kesehatan dan pasien yang sulit mengakses layanan karena kondisi geografis, keterbatasan akses internet dan infrastuktur transportasi yang terbatas. Begitu pula lingkungan sosial-politik yang menantang. Tanah Papua berbeda dengan daerah lain di Indonesia karena HIV sudah menyebar ke populasi umum. Strategi untuk pencegahan HIV di Tanah Papua sesungguhnya sama dengan wilayah Indonesia lainnya, namun usaha khusus perlu dilakukan: Penawaran tes HIV wajib dilakukan untuk semua ibu hamil. PPIA dengan opsi B+ harus diimplementasikan secara luas di seluruh kabupaten/ kota. Pendidikan HIV harus diberikan baik untuk populasi umum dan populasi kunci. Memprioritaskan semua anak muda dalam pemberian informasi HIV yang baik melalui pendidikan kecakapan hidup di sekolah dan luar sekolah, akses ke layanan kesehatan, dan metode pencegahan seperti kondom. Perhatian khusus diperlukan untuk meningkatkan retensi pasien terhadap pengobatan. Berbagai strategi yang efektif harus diidentifikasi dan diimplementasikan, terutama berkenaan dengan jarak dari rumah ke layanan kesehatan, tingkat melek pengobatan, kesadaran akan kesehatan, budaya, dan faktor sosial dan ekonomi. Intervensi struktural melibatkan tokoh agama dan adat dalam penanggulangan HIV. Pengadaan logistik HIV dari tingkat nasional dalam implementasinya harus disesuaikan dengan keadaan antropologi masyarakat dan struktur geografis Tanah Papua Pencegahan oleh orang HIV yang telah mengetahui statusnya Penekanan pencegahan masih terbatas pada pencegahan penularan di kalangan orang yang belum mengetahui status HIV-nya. Mencegah penularan HIV pada seorang yang sudah terinfeksi HIV mempunyai potensi mencegah penularan yang berlipat ganda dibanding mencegah penularan pada satu orang yang tidak terinfeksi HIV karena pencegahannya hanya kepada satu orang. Pencegahan bagi orang dengan HIV yang telah mengetahui status HIV-nya, mencegah mutasi HIV dengan menghindari re-infeksi HIV dan menjadikannya tetap sehat. Upaya yang perlu dilakukan sebagai daya ungkit pencegahan, dengan melibatkan orang dengan HIV yang telah mengetahui status HIVnya adalah sebagai berikut: ODHA yang telah mengetahui status HIV-nya harus dirujuk kelayanan pencegahan terintegrasi dengan layanan konseling berkelanjutan melalui Konseling dan Tes HIV (KTH) serta layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (KSR). 43

45 ODHA yang telah mengetahui status HIV-nya dijangkau untuk mendapatkan edukasi pilihan pencegahan dan kegiatan pencegahan positif melalui kelompokkelompok ODHA dengan peran dukungan sebaya. Tersedianya informasi tentang seks aman, infeksi ulang, pilihan kesehatan reproduksi, dampak pengobatan ARV, menyuntik yang aman tersedia pada setiap layanan HIV termasuk rumah sakit, PKM, klinik KB, LSM dan kelompok dukungan ODHA. Pemberdayaan ODHA sebagai fasilitator sebaya dalam menginisiasi prinsip pencegahan positif sebagai bagian dari intervensi perubahan perilaku Mengurangi Infeksi HIV Vertikal Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak Menggunakan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan sifilis dari Ibu Ke Anak Bagi Petugas Kesehatan (2014), Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan sifilis dari Ibu ke Anak (2015), Peraturan Menteri Kesehatan No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS serta Surat Edaran nomor GK/Menkes/001/I/2013 tentang Layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak sebagai acuan utama dalam pencegahan penularan HIV vertikal dan memastikan implementasinya sesuai standar di daerah. Peraturan Menteri Kesehatan no. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS menyatakan bahwa Tes dan Konseling HIV dianjurkan sebagai bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin saat pemeriksaan asuhan antenatal atau menjelang persalinan pada semua ibu hamil yang tinggal di daerah dengan epidemi meluas dan terkonsentrasi; dan ibu hamil dengan keluhan keluhan IMS dan tuberkulosis di daerah epidemi rendah. Surat Edaran nomor GK/Menkes/001/I/2013 tentang Layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak menyatakan Pelaksanaan kegiatan PPIA diintegrasikan pada layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB) dan Konseling Remaja; setiap perempuan yang datang ke layanan KIA-KB dan remaja yang mendapat layanan kesehatan diberi informasi tentang PPIA. Penggunaan ARV bagi ibu hamil dengan HIV positif dan penggunaan profilaksis bagi bayi baru lahir dari ibu HIV positif. Penyediaan layanan PPIA, terutama di Tanah Papua dan kota-kota. Penerapan KTIP (PITC) di layanan KIA untuk mempercepat upaya pencegahan. Membuka akses pilihan kontrasepsi bagi laki-laki dengan HIV positif dan pasangannya selain kondom. Meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan, termasuk Bidan tentang PPIA. 44

46 Mengoptimalkan peran jaringan komunitas perempuan positif untuk koordinasi dan komunikasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan penelitian terkait HIV baik di tingkat nasional maupun daerah. Melalui kebijakan yang kuat dan implementasi pedoman yang komprehensif sejak 2012, termasuk dengan pengintegrasian PPIA ke dalam layanan ANC, telah memperkuat cakupan dan pelaksanaan PPIA serta meningkatkan deteksi jumlah ibu hamil yang HIV. Pada tahun 2014 sebanyak ibu hamil berusia di atas 15 tahun menerima konseling dan tes HIV serta memperoleh hasil tes mereka dalam 12 bulan terakhir. Angka ini lebih dari dua kali lipat cakupan tahun 2013 yaitu sebesar Namun dari wanita yang dinyatakan positif, baru 78,8% (1624/2061) yang menerima ART untuk mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak, meningkat dari 51,86% (1544/3135) pada tahun Pada tahun 2013, lebih dari 25% dari bayi yang lahir dari ibu HIV positif menerima tesvirologi HIV dalam waktu 2 bulan kelahiran (angka ini tidak dilaporkan sebelumnya). Sampai Oktober tahun 2014, terdapat 915 layanan (163 Rumah sakit, 743 Puskesmas dan 9 Klinik di 33 Propinsi) melaporkan telah melakukan tes HIV pada ibu hamil (data P2PL tahun 2014) Mengurangi Dampak Infeksi HIV pada Anak Memperluas akses deteksi dini bagi bayi yang terlahir dari ibu positif HIV. Meningkatkan cakupan pengobatan pediatrik, termasuk pelatihan staf layanan kesehatan. Menyediakan layanan kepatuhan minum obat untuk anak, termasuk penyediaan layanan yang peka terhadap perkembangan psikologis dan kognitif anak, layanan tumbuh kembang, pengungkapan status HIV dan layanan transisi dari anak ke dewasa Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Meningkatkan Aksesibilitas Tes HIV Penjangkauan dan rujukan ke layanan tes. Menggunakan cara-cara yang inovatif dalam menjangkau populasi kunci sehingga berdampak pada peningkatan jumlah orang yang melakukan tes HIV, termasuk penggunaan media sosial. Menormalkan tes HIV dan mendukung komunitas untuk menggunakan teknologi baru untuk tes HIV. 45

47 Menjaga jumlah pasien dalam cascade perawatan dan pengobatan termasuk infeksi TB-Hepatitis. Pelaksanaan TPIK pada fasilitas kesehatan di 142 kabupaten/ kota prioritas. Meningkatkan kapasitas laboratorium dan manajemen rantai pasokan. Memastikan ketersediaan ARV pediatrik, termasuk pilihan rejimen, formulasi ARV, serta menyediakan pedoman bagi penyedia layanan kesehatan dan pengasuh anak. Ketersediaan layanan pemantauan klinis dan laboratoris termasuk sediaan tes resistensi dan diagnosis dini bagi bayi. Mengintegrasikan layanan IMS dan HIV di fasilitas antenatal dan integrasi layanan TB-HIV, dan HIV-Hepatitis Menanggulangi Stigma dan Diskriminasi Mengambil upaya yang berorientasi pada penghapusan stigma dari petugas layanan kesehatan kepada ODHA dan populasi kunci melalui pendidikan, sensitisasi, dan penegakan kebijakan. Mengembangkan intervensi yang dapat mengurangi stigma di tempat layanan, tempat kerja, sarana pendidikan, dan masyarakat luas. Mendorong keterlibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama sebagai bagian dari kampanye anti stigma dan diskriminasi Inisiasi dan Retensi Pengobatan Pemberdayaan ODHA dengan dukungan sebaya untuk mendorong inisiasi dan kepatuhan minum obat. Mengintegrasikan tes dan layanan HIV untuk meningkatkan cakupan layanan melalui desentralisasi dengan membentuk 475 puskesmas satelit yang dapat memberilan layanan ART, dengan monitoring dari rumah sakit pengampu. Desentralisasi harus didukung oleh pengalihan tugas sehingga layanan dapat dilakukan mulai dari rumah sakit rujukan sampai puskesmas Ketersediaan dan Keterjangkauan Obat terkait HIV Menjamin ketersediaan ARV lini Akselerasi dan Implementasi SUFA Meningkatkan jumlah orang yang melakukan tes, masuk ke perawatan dan mendapatkan ARV bagi yang memenuhi syarat dan meningkatkan retensi dan kepatuhan. Peningkatan kapasitas 75 kabupaten/ kota prioritas dalam mengelola sistem LKB dan mengimplementasikan SUFA. 46

48 Tim nasional dukungan teknis perlu terus bertanggungjawab dalam perencanaan, supervisi, mentoring, monitoring berbasis data real-time, evaluasi SUFA, serta dukungan intensif bagi 75 kabupaten/ kota prioritas. Menyediakan fasilitator atau narasumber bagi kabupaten/ kota prioritas yang membutuhkan untuk mendukung perencanan, pemetaan, membangun kemitraan, sistem rujukan, pemantauan dan evaluasi, advokasi anggaran bagi pembeli obat, peralatan tes, reagen, serta dukungan bagi komunitas. Mendukung kabupaten/ kota prioritas untuk meyiapkan rencana tahunan dengan target pengobatan yang lebih ambisius. Peningkatan kapasitas Dinas Kesehatan di 75 kabupaten/ kota prioritas SUFA untuk meningkatkan kualitas dukungan teknis didaerahnya, terutama dalam hal merespon cascade pengobatan dan desentralisasi layanan. Pelibatan populasi kunci untuk memperkuat pemetaan, perencanaan dan penyediaan layanan. Membuat strategi di tingkat lokal untuk mencegah transmisi HIV vertikal dan memperluas layanan bagi perempuan hamil dan anak yang terdiagnosis HIV. Mengembangkan model tes berbasis komunitas untuk meningkatkan jumlah tes antara lain dengan cara meningkatkan layanan penjangkauan, layanan tes yang lebih dekat dengan target sasaran, pemanfaatan media sosial, metode penjangkauan dan rujukan yang lebih efektif, dan memperkuat dukungan kapasitas laboratorium dan supply chain management Desentralisasi Layanan HIV ke dalam Sistem Layanan Primer Desentralisasi layanan HIV ke dalam sistem layanan primer, konsep LKB-PMTS mendorong integrasi utuh layanan IMS, HIV serta Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta layanan Antenatal dan layanan penyakit kronis termasuk layanan diagnostik kanker serviks dan TB: Peningkatan dan penguatan desentralisasi layanan HIV ke Puskesmas. Pembentukan Pokja dan rencana terinci perlu disiapkan segera. Masalah kebijakan yang menghambat perluasan SUFA perlu ditinjau. Integrasi TB-HIV merupakan prioritas, termasuk pembentukan pokja TB-HIV. Pemberian dukungan teknis di tingkat lokal, termasuk PMTS, tes IMS rutin, VCT, rujukan. Mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk memperkuat implementasi panduan layanan dan monitoring kepatuhan minum obat. Desentralisasi kegiatan terkait HIV dengan kegiatan berbasis komunitas. 47

49 4.4. Mitigasi Dampak Program mitigasi dampak perlu memanfaatkan skema jaminan kesehatan dan sosial. Koordinasi dan kerjasama dengan penyedia jaminan untuk mengkonsolidasikan pedoman dan standarisasi bersama BPJS dan Kementerian Kesehatan untuk memperluas cakupan diagnostik dan pengobatan HIV. Anak dengan HIV dan anak dari ODHA mendapatkan perlindungan sosial, pemenuhan atas hak anak, termasuk hak atas pendidikan dan kesehatan, serta dukungan psiko-sosial. Orang tua atau keluarga yang mengasuh anak dengan HIV dan anak dari ODHA mendapatkan peningkatan kapasitas dan keahlian dalam bidang perawatan dan pemberdayaan ekonomi. Menghilangkan hambatan keuangan bagi ODHA dan populasi kunci melalui penyertaan layanan HIV yang lebih luas ke dalam JKN. Menyediakan kesempatan pendidikan, layanan kesehatan, dukungan gizi dan dukungan ekonomi untuk ODHA dan keluarganya. Kriteria untuk menentukan kebutuhan mitigasi perlu dibuat. Melakukan pembinaan melalui kegiatan income generating untuk menambah penghasilan ODHA dan populasi kunci, yang sekaligus merupakan upaya menghilangkan stigma dan diskriminasi. Memperkuat mekanisme menyesuaikan diri bagi ODHA dan Populasi Kunci dengan lingkungan sosial dan pemberdayaan ekonomi melalui peningkatan kapasitas organisasi ODHA, penyediaan layanan mitigasi bagi perempuan ODHA yang sulit dijangkau, meningkatkan akses terhadap layanan yang bersahabat dan dukungan sosial dan ekonomi bagi rumah tangga yang terdampak HIV dan pengasuhnya. Pendokumentasian dampak dari kebijakan nasional dan daerah terkait HIV dan AIDS terhadap populasi kunci. Mempromosikan akses mediasi dan perlindungan hukum bagi ODHA, termasuk akses terhadap layanan kesehatan. Penyusunan panduan mengenai cara penyediaan layanan dan perlindungan bagi ODHA, serta petunjuk teknis yang jelas bagi rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan lainnya. Mempromosikan akses terhadap JKN dengan mengkatkan pengetahuan populasi kunci dan komunitas terkait prosedur/ tatacara menjadi anggota JKN. Mendorong untuk dilakukannya perencanaan pengintegrasikan pelayanan HIV ke dalam JKN dan melakukan advokasi terkait pembiayaan dalam hal pengobatan dan pencegahan HIV ke dalam JKN. Pemberdayaan masyarakat yang telah ditetapkan dalam berbagai kebijakan pemerintah adalah strategi penting untuk menghilangkan diskriminasi terhadap 48

50 orang terinfeksi HIV dan sekaligus sebagai bentuk mekanisme partisipasi masyarakat dari tingkat bawah dalam mendukung akses layanan kesehatan dan sosial dari mereka yang terinfeksi. Pelaksanaan Warga Peduli AIDS, Pokja AIDS Kecamatan dan berbagai nama lainnya adalah model yang perlu dipastikan pelaksanaannya pada kabupaten/ kota prioritas di seluruh Indonesia. Perlunya sistem pendataan dan monitoring berbagai upaya mitigasi dampak sosial dan ekonomi yang sudah dilaksanakan (bersumber dana pusat dan kabupaten/ kota) serta kesepahaman terkait prosedur program mitigasi yang ramah orang terinfeksi & populasi kunci (antara lain pembukaan status kepada kelompok terbatas). B. Critical Enablers 4.5. Lingkungan yang Mendukung Integrasi Perlindungan HAM dan Keberpihakan Jender Perencanaan Peningkatan kapasitas ODHA dan populasi kunci dalam hal advokasi kebijakan, advokasi keuangan, serta hal-hal lainnya yang mampu mendukung terwujudnya keterlibatan yang bermakna dari ODHA dan populasi kunci dalam perencanaan program dan pengembangan kebijakan. Memastikan adanya keterlibatan ODHA dan populasi kunci, maupun kelompok yang mewakili kepentingan ODHA dan populasi kunci secara bermakna dalam setiap tahapan perencanaan program maupun kebijakan. Mendorong lahirnya serangkaian peraturan perundang-undangan yang menguatkan perlindungan Hak Asasi Manusia ODHA dan populasi kunci, terutama di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota. Penegakan peraturan yang kondusif dalam melindungi kelompok masyarakat yang tidak terinfeksi HIV tetapi rentan terinfeksi karena kelemahan posisi ekonomi dan relasi gender mereka terhadap kelompok yang memiliki perilaku recklessly (seperti ibu rumah tangga dan pekerja seks perempuan) menjadi tantangan untuk ditegakkan. Hal ini menjadi bagian dari dikenalkannya intervesi secara struktural pada SRAN tetapi masih sangat sedikit bentuk pelaksanaannya yang effektif di lapangan. Beberapa good practice yang langsung berkenaan dengan upaya ini perlu diterapkan secara bertahap sehingga faktor penentu sosial yang menghambat upaya pencegahan penularan HIV ini dapat diselesaikan pada periode SRAN Telah cukup banyak tersedia kebijakan yang kondusif dan berkaitan dengan penanggulangan AIDS (lebih dari 100 kebijakan tingkat Nasional yang tersedia saat ini), mekanisme implementasi adalah bagian yang perlu menjadi perhatian 49

51 penting pada fase berikutnya dalam response terhadap penanggulangan AIDS, diperlukan mekanisme dan upaya yang lebih baik terhadap struktur dan budaya hukum sehingga tujuan dari kebijakan tersebut dapat terpenuhi Pemantauan Perlu dikembangkan indikator program penanggulangan AIDS yang dapat melihat tingkat pemenuhan Hak Asasi Manusia dan keberpihakan jender, termasuk diantaranya kualitas jender. Melakukan audit kebijakan dan program di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/ kota sampai desa yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan kesetaraan jender. Menyesuaikan kebijakan daerah dengan kebijakan nasional, sehingga terwujudnya kebijakan yang saling mendukung satu dengan yang lainnya, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan kesetaraan jender, guna memastikan keberpihakan jender dan perlindungan hak-hak perempuan, ODHA dan populasi kunci dalam bidang pekerjaan, pendidikan dan kesehatan. Mengembangkan dokumentasi tentang dampak hukum kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS pada perempuan, populasi kunci ODHA baik tingkat nasional dan kabupaten/ kota. Melakukan studi indeks stigma untuk mengembangkan dokumentasi dasar untuk stigma dan diskriminasi yang dialami ODHA dan populasi kunci. Mendorong lahirnya panduan yang dapat mengoptimalkan kepatuhan maupun kesesuaian peraturan di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota terhadap standar Hak Asasi Manusia internasional Peningkatan Kapasitas Menyelenggarakan pelatihan secara berkala dan bertahap bagi pelaksana program (termasuk staf KPA tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/ kota), petugas kesehatan dan penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa, sipir penjara dan petugas layanan publik lainnya guna meningkatkan pemahaman mengenai isu HIV dan sensitivitas terhadap ODHA dan populasi kunci. Meningkatkan kesadaran ODHA dan populasi kunci mengenai isu hukum, Hak Asasi Manusia dan keberpihakan jender melalui penyuluhan maupun pelatihan Hak Asasi Manusia dan jender baik di tingkat nasional maupun di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota. Menyediakan peluang terselenggaranya pelatihan-pelatihan yang bertujuan meningkatkan kapasitas ODHA dan populasi kunci dalam hal advokasi, hukum dan lainnya yang mendukung pemberdayaan hukum terhadap ODHA dan populasi kunci. 50

52 Menciptakan paralegal berbasis komunitas yang berkualitas guna meningkatkan akses terhadap keadilan bagi ODHA dan populasi kunci. Memastikan keterjangkauan ODHA dan populasi kunci terhadap akses keadilan, termasuk bantuan hukum cuma-cuma dengan mengoptimalkan kerjasama antara ODHA, populasi kunci serta pihak yang relevan dengan organisasi penyedia jasa bantuan hukum, baik yang didanai oleh pemerintah maupun yang tidak. Mengupayakan terciptanya unit kerja khusus perlindungan Hak Asasi Manusia pada lembaga penanggulangan AIDS (KPA Nasional, Propinsi, Kabupaten/ Kota) dengan tugas untuk memastikan pelaksanaan program penanggulangan HIV sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia internasional Mobilisasi Sosial Mengambil upaya guna meningkatkan kesadaran masyarakat umum dan para pemangku kepentingan terkait AIDS, jender dan Hak Asasi Manusia, termasuk hakhak perempuan ODHA dan populasi kunci lainnya. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya penanggulangan kekerasan berbasis jender untuk mengurangi kerentanan terhadap HIV dan AIDS. Melakukan pendekatan pada organisasi yang menyediakan layanan dukungan psiko-sosial, serta layanan-layanan lain yang dapat membantu melaksanakan mitigasi dampak bagi ODHA dan populasi kunci, serta memberikan pemahaman pada organisasi mengenai peran penting mereka dalam penanggulangan HIV. Melakukan pendekatan kepada media massa dan jurnalis sekaligus memberikan pemahaman HIV, Hak Asasi Manusia dan jender guna meningkatkan sensitivitas terhadap isu HIV dan populasi kunci dalam pemberitaan-pemberitaan yang dilakukan. Pendidikan mengenai keberagaman termasuk pilihan orientasi seksual, perlu ditingkatkan melalui kampanye memerangi homofobia dan transphobia yang menghambat intervensi HIV dan AIDS. Mendorong ODHA dan populasi kunci untuk memperkuat kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil yang bekerja dalam isu perlindungan HAM dan keberpihakan jender baik di tingkat nasional maupun internasional Penguatan Sistem Komunitas Penguatan Perencanaan dan Pemantauan Program yang Inklusif dan Partisipatif Penguatan sistem komunitas (CSS) dalam penanggulangan AIDS bertujuan untuk mencapai hasil kesehatan yang lebih baik dengan partisipasi aktif populasi terdampak serta organisasi berbasis masyarakat dalam melakukan disain, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi layanan dan kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan, pengobatan, 51

53 perawatan dan dukungan bagi ODHA. Peningkatan kapasitas komunitas terkait pelaksanaan LKB dan keterkaitannya dengan intervensi Pengurangan Dampak Buruk, PMTS dan SUFA perlu semakin ditingkatkan. Pemantauan pelaksanaan program berbasis komunitas seperti halnya imonitor+ penting untuk dilakukan agar dapat menciptakan mekanisme umpan balik bagi pelaksanaan penanggulangan AIDS baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/ kota dan hingga di tingkat layanan. Perlu ada pengukuran kualitas hidup ODHA sebagai dampak dari program dengan menggunakan instrumen yang teruji. Pengembangan indikator layanan ramah komunitas perlu menjadi perhatian Penguatan Ketertautan (linkage) antara Layanan Pencegahan Berbasis Komunitas dan Layanan Kesehatan pada Umumnya dan Khusus (layanan pencegahan berbasis komunitas?) LKB bertujuan untuk menguatkan sistem kesehatan yang terintegrasi dengan sistem komunitas agar dapat meningkatkan cakupan pencegahan dan pengobatan IMS dan HIV; memperluas layanan HIV bagi populasi kunci pada fasilitas layanan kesehatan primer dan komunitas; meningkatkan respon tenaga kesehatan; memperluas pengobatan ARV melalui layanan yang terdesentralisasi; dan mitigasi dampak sosial-ekonomi. Dibutuhkan sistem rujukan yang baik dari layanan pencegahan berbasis komunitas ke layanan kesehatan dan sebaliknya, untuk memastikan populasi kunci yang terjangkau memperoleh layanan yang komprehensif mulai dari intervensi perubahan perilaku, ke akses tes HIV dan konseling, sampai ke pengobatan ARV dan dukungan psiko-sosial untuk mempertahankan pengobatan dan memperbaiki kualitas hidup ODHA. Peningkatan kapasitas komunitas untuk mendorong kemitraan yang sejajar dengan layanan kesehatan serta Komisi Penanggulangan AIDS setempat perlu menjadi perhatian. Peningkatan kapasitas juga perlu dilakukan untuk mendukung komunitas meningkatkan kualitas intervensi dan layanan yang dilakukan, khususnya untuk menjangkau populasi kunci dengan pendidikan perilaku sehat, mendorong akses tes dan konseling HIV; mendorong inisiasi dini pengobatan serta memberikan dukungan psiko-sosial untuk retensi dalam pengobatan. Dukungan perlu diberikan dengan penggunaan ICT dalam melakukan intervensi berbasis komunitas Pemberdayaan Komunitas Populasi Kunci dan ODHA Pemberdayaan komunitas populasi kunci dan ODHA adalah kunci untuk kemandirian melakukan akses layanan HIV dan AIDS yang berkelanjutan yang didasarkan atas kebutuhan komunitas untuk hidup sehat, baik untuk melindungi diri dari infeksi HIV maupun untuk menjaga kualitas hidup ODHA. Dukungan perlu diberikan terhadap mobilisasi kelompok populasi kunci seperti Penasun, Pekerja Seks, LSL, Waria dan ODHA. Khususnya untuk terciptanya kelompok dukungan sebaya yang memberikan lingkungan yang aman dan kondusif bagi 52

54 penjangkauan untuk pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan sebaya dalam penanggulangan AIDS Dukungan Aktivisme, Advokasi dan Mobilisasi Sosial oleh Komunitas Dalam Rangka Pemenuhan HAM dan Keberpihakan Jender Komunitas memiliki peran penting dalam melakukan pemantauan pelaksanaan program berbasis komunitas sebagai mekanisme umpan balik bagi pelaksanaan penanggulangan AIDS baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/ kota hingga di tingkat layanan. Umpan balik komunitas dapat menjadi kerangka advokasi dan mobilisasi sosial oleh komunitas untuk mendorong akuntabilitas dan perbaikan dalam upaya penanggulangan AIDS baik di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/ kota Dukungan Pendanaan Komunitas bagi Keberlanjutan Program Penanggulangan AIDS Penguatan komunitas perlu dilakukan dengan kemitraan bersama berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/ kota dan desa. Penguatan komunitas perlu diterjemahkan dalam bentuk alokasi anggaran yang berkelanjutan. Kebijakan yang mendukung perlu didorong untuk menjamin keberlanjutan program penanggulangan AIDS berbasis komunitas. Kapasitas komunitas dan pemangku kepentingan lain di tingkat propinsi, kabupaten/ kota perlu ditingkatkan dalam hal perencanaan dan pembiayaan layanan terkait HIV yang berbasis komunitas Penguatan Sistem Kesehatan Memperkuat Layanan HIV melalui LKB Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) bertujuan untuk menguatkan sistem layanan kesehatan primer (Puskesmas) yang terintegrasi dengan pencegahan berbasis komunitas seperti PMTS dan Pengurangan Dampak Buruk NAPZA melalui kerjasamaantara pemerintah kabupaten/ kota, pengelola layanan kesehatan, masyarakat sipil, komunitas serta populasi kunci dan ODHA. Ini semua agar dapat meningkatkan cakupan pencegahan dan pengobatan IMS dan HIV, memperluas layanan HIV bagi populasi kunci pada fasilitas layanan kesehatan primer dan komunitas, serta memperluas pengobatan ARV melalui layanan yang terdesentralisasi. Implementasi kebijakan untuk memperluas tes HIV dan inisiasi dini ARV kepada populasi kunci (SUFA) diperluas dari 13 kabupaten/ kota menjadi 75 kabupaten/ kota pada tahun Untuk melakukan antisipasi peningkatan tes HIV dan inisiasi dini ART di tingkat kabupaten/ kota, Puskesmas perlu ditingkatkan kapasitasnya untuk dapat memulai pengobatan ARV dengan mentoring klinis dari Rumah Sakit setempat. Dalam kerangka tersebut, jaringan layanan LKB perlu diperkuat dan diperluas untuk mencakup lebih dari 5 Puskesmas di tingkat kabupaten/ kota khususnya di kabupaten/ kota dengan kinerja tinggi. Kelompok kerja LKB perlu dikuatkan di tingkat kabupaten/ kota dengan koordinasi yang erat antara layanan dan pencegahan berbasis komunitas seperti PMTS dan Pengurangan Dampak Buruk NAPZA. 53

55 Integrasi layanan HIV dan Kespro termasuk IMS dalam konteks PMTS perlu mendapatkan perhatian khusus terutama di tingkat layanan primer. IMS dan HIV harus diintegrasikan ke dalam layanan kesehatan seksual dan reproduksi, dan layanan HIV juga perlu terintegrasi dengan layanan kesehatan ibu dan anak serta layanan kesehatan jiwa dalam konteks pemulihan adiksi untuk pengguna NAPZA. Integrasi layanan HIV dan TB perlu mendapatkan perhatian khusus, tidak hanya di rumah sakit, tetapi juga layanan primer. Masih banyak tantangan dihadapi dalam rangka mengkombinasikan kedua layanan ini, walaupun banyak di antara pasien HIV adalah juga terinfeksi TB, dan sebaliknya, pasien TB adalah ODHA. Tidak hanya pedoman dan tatalaksana kolaborasi TB-HIV perlu diperbarui, tetapi juga upaya peningkatan kapasitas dan penyiapan infrastrukturnya, baik dalam hal manajemen maupun sumber daya manusianya. Kelompok Kerja TB-HIV perlu dikuatkan di tingkat kabupaten/ kota untuk mendorong koordinasi yang lebih erat antar layanan TB dan HIV di sektor kesehatan. Kolaborasi TB-HIV di beberapa lokasi membutuhkan tindakan yang lebih intensif, seperti di lingkungan pemasyarakatan, ataupun di berbagai lokasi di Tanah Papua. Untuk membantu percepatan ketersediaan layanan TB-HIV yang berkualitas, dibutuhkan dukungan teknis. Beberapa rumah sakit yang memiliki kerjasama erat dengan perguruan tinggi setempat dapat menjadi model dalam pengembangan integrasi yang lebih menyeluruh, termasuk rujukan dan dukungan sosial terkait kepatuhan minum obat Meningkatkan Kapasitas SDM Kesehatan Khususnya untuk Meningkatan Pengetahuan Teknis, Memberikan Layanan Berkualitas dan Mendorong Terciptanya Layanan Ramah Komunitas Investasi perlu dialokasikan untuk mendorong terciptanya layanan berkualitas dan ramah komunitas. Pelatihan dan dukungan di tingkat layanan hingga di tingkat layanan primer perlu diberikan untuk meningkatan kemampuan teknis dalam memberikan layanan terkait HIV dengan mentoring klinis secara terstruktur. Pelatihan dan dukungan perlu diberikan dengan fokus untuk menurunkan stigma dan diskriminasi terhadap perempuan, ODHA, populasi kunci. Secara khusus perlu pula diberikan dukungan untuk peningkatan kapasitas terkait Hak Asasi Manusia dan Jender. Penguatan laboratorium melalui pelaksanaan sistem EQAS, termasuk upaya peningkatan kualitas program Meningkatkan Kualitas Informasi Kesehatan dan Program HIV, serta Kapasitas Pengelolaan dan Analisis Data Khususnya di Propinsi dan Kabupaten/ Kota Penguatan diperluas bagi pengumpulan data rutin seperti Sistem Informasi HIV dan AIDS (SIHA) maupun sistem surveilans penyakit, untuk memenuhi kebutuhan data yang berkualitas di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota khususnya di 75 kabupaten/ kota dengan kinerja tinggi, dan meningkatkan kapasitas daerah untuk melakukan integrasi, 54

56 interpretasi, dan menggunakan data secara efektif untuk perencanaan maupun pemantauan. Infrastruktur dan kapasitas sumber daya Puskesmas untuk berpartisipasi aktif dalam SIHA perlu terus ditingkatkan, khususnya dalam memperbaiki keteraturan pelaporan dan interkonektivitas data di tingkat Puskesmas. Pelaporan informasi kesehatan perlu dibuat secara real-time dan sistematis melalui HIV Zero Portal dengan memberikan fokus pada pemantauan laporan cascade mulai dari pencegahan, tes HIV, pengobatan HIV hingga retensi pengobatan di tingkat nasional, propinsi serta kabupaten/ kota. Pengembangan indikator layanan ramah komunitas perlu menjadi perhatian sektor kesehatan. Evaluasi proses secara rutin perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan penanggulangan AIDS khususnya LKB/ PMTS/ SUFA. Perlu pula diperhatikan pemantauan efektivitas pengobatan melalui pemeriksaan CD4 dan viral load sesuai dengan pedoman WHO dengan menyertakan Early Warning Indicators Monitoring, Surveillance of pre-treatment, HIV DR/ PDR dan Surveillance of Acquired HIVDR/ ADR. Perlu ada pengukuran kualitas hidup ODHA sebagai dampak dari program dengan menggunakan instrumen yang teruji. Pengembangan indikator layanan ramah komunitas perlu menjadi perhatian sektor kesehatan. Perlu keterlibatan perguruan tinggi untuk mendukung penelitian implementasi dan penelitian evaluasi, dengan fokus di 75 kabupaten/ kota prioritas Menguatkan Manajemen Rantai Pasokan (SCM) bagi Pencegahan dan Pengobatan HIV Dukungan juga perlu diberikan untuk eksplorasi dan ekspansi penggunaan ICT dalam melakukan intervensi berbasis komunitas. Alat monitoring pasokan berbasis komunitas seperti imonitor+ perlu digunakan untuk mendapatkan umpan balik terhadap perbaikan manajemen mata rantai pasokan (SCM) khususnya kondom, pelicin, alat suntik steril, dan ARV serta obat-obatan terkait HIV Menguatkan Kapasitas Perencanaan dan Pembiayaan Sektor Kesehatan untuk AIDS di tingkat Propinsi, Kabupaten/ Kota Keberlanjutan upaya penanggulangan HIV dan AIDS tergantung pada tingkat pendanaan yang memadai untuk mendukung dan memperkuat upaya penanggulangan. Dengan menurunnya dukungan dana luar negeri bagi upaya penanggulangan AIDS di Indonesia, perlu didorong adanya alokasi dana yang memadai tidak hanya di tingkat nasional namun juga di tingkat propinsi, kabupaten/ kota bagi upaya penanggulangan AIDS nasional. Sektor kesehatan perlu memperkuat kapasitas perencanaan dan pembiayaan untuk penanggulangan AIDS tidak hanya di tingkat nasional namun juga di tingkat propinsi, 55

57 kabupaten/ kota. Dengan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS, transisi pembiayaan pencegahan dan pengobatan HIV oleh JKN dalam sistem BPJS perlu direncanakan dengan seksama sebagai upaya keberlanjutan program. Rencana transisi yang serupa juga perlu direncanakan di tingkat propinsi atau kabupaten/ kota mengikuti kebijakan jaminan sosial yang berlaku di daerah setempat Pembelajaran Horisontal Peningkatan manajemen pengetahuan perlu menjadi salah satu prioritas SRAN , khususnya dalam upaya penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten/ kota untuk memfasilitasi pembelajaran secara horizontal antar kabupaten/ kota di Indonesia. Peningkatan manajemen pengetahuan perlu dimulai dengan dokumentasi dan pemetaan kekuatan pelaksanaan upaya penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten/ kota, khususnya di daerah dengan kinerja tinggi. Pemetaan ini menjadi dasar bagi pengembangan pembelajaran antar kabupaten/ kota yang terstruktur dan sistematis. Unit pengelolaan pengetahuan manajemen perlu dibentuk oleh KPAN untuk memantau pelaksanaan upaya penanggulangan secara umum, serta untuk membantu proses pemetaan dan dokumentasi yang dibutuhkan. Kriteria pemilihan lokasi pembelajaran juga perlu dikembangkan Keberlanjutan Kepemimpinan dan Pendanaan Mobilisasi Kepemimpinan dan Kemitraan SRAN mencakup sejumlah strategi dan rencana aksi yang memerlukan kepemimpinan, koordinasi dan manajemen lintas sektor baik di tingkat nasional dan kabupaten/ kota. Kementerian Dalam Negeri berperan penting baik di tingkat nasional maupun di tingkat kabupaten/ kota untuk meningkatkan kepemimpinan daerah untuk penanggulangan AIDS yang efektif sebagai bagian dari pembangunan daerah setempat. Kementerian Keuangan dan BAPPENAS di tingkat nasional serta BAPPEDA di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota, berperan penting dalam perencanaan penanggulangan AIDS sebagai bagian dari pembangunan nasional dan daerah setempat. Kementerian Kesehatan berperan penting untuk memastikan sinergi yang baik antara layanan kesehatan dan layanan terkait HIV lintas sektor baik di tingkat nasional maupun di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota Desentralisasi Pembiayaan Keberlanjutan upaya penanggulangan HIV dan AIDS tergantung pada tingkat pendanaan yang memadai untuk mendukung dan memperkuat upaya penanggulangan. SRAN mengikuti kebijakan desentralisasi pemerintahan di Indonesia, yang mendelegasikan tanggung jawab pelaksana pemerintahan ke tingkat propinsi dan kabupaten/ kota. Dengan menurunnya dukungan dana luar negeri bagi upaya 56

58 penanggulangan AIDS di Indonesia, perlu adanya alokasi dana yang memadai tidak hanya di tingkat nasional namun juga di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota bagi upaya penanggulangan AIDS. Peran kabupaten/ kota diharapkan menjadi lebih penting di masa depan karena mereka akan diharapkan untuk (1) mengelola pelaksanaan dan perluasan LKB dan (2) memberikan alokasi pendanaan lokal dengan proporsi yang lebih besar. Peningkatan pendanaan lokal perlu diinisiasi pada periode SRAN , misalnya dengan cara berikut: 1. Meningkatkan efisiensi biaya pada pelaksanaan LKB, integrasi HIV ke layanan primer; mengurangi biaya diagnostik, obat dan komoditas lain; model penjangkauan yang meminimalisasi missed-opportunity. 2. Peningkatan pendanaan penanggulangan AIDS di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota. 3. Membuat pendekatan baru dalam kemitraan pembangunan bersama kabupaten/ kota, misalnya melalui matching funds, dimana penambahan dana lokal disandingkan dengan tambahan dana nasional; atau challenge grants, dimana kabupaten/ kota dapat mengusulkan perluasan atau peningkatan kualitas layanan akan menerima dana. 4. Melakukan eksplorasi peluang kemitraan sektor swasta (CSR) baik melalui hibah filantropis maupun dengan bentuk kerjasama publik-privat Penguatan Penelitian dan Kualitas Data serta Akselerasi Penggunaan Inovasi dan Teknologi Baru Prioritas utama adalah penguatan kualitas data melalui sistem data rutin seperti SIHA maupun surveilans penyakit dan perhatian khusus di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota. Salah satu wujud penguatan kualitas data adalah agregasi jender, usia, dan faktor risiko. Upaya mengedepankan penelitian yang mampu memberikan rekomendasi kongkrit bagi peningkatan kualitas program melalui penelitian operasional (operational research) dan penelitian implementasi (implementation research). Pendekatan yang perlu ditindaklanjuti sebagai berikut: Mengidentifikasi perguruan tinggi, komunitas, dan institusi penelitian untuk mendukung penelitian implementasi dan penelitian evaluasi, dengan fokus 75 kabupaten/ kota prioritas tinggi. Meningkatkan kapasitas daerah dalam mengintegrasi, menginterpretasi serta menggunakan data secara efektif bagi perbaikan kualitas pelaksanaan program. Meningkatkan kerjasama luar negeri dalam bidang penelitian 57

59 Inovasi dan teknologi baru tidak hanya diperoleh melalui penelitian, maka perlu ada mekanisme untuk melakukan eksplorasi inovasi dan teknologi baru yang dapat diuji serta diimplementasikan di Indonesia. Beberapa prioritas inovasi yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah tes HIV berbasis komunitas, pemanfaatan Information and Communication Technology (ICT), penggunaan media sosial, SMS dan internet untuk kegiatan penjangkauan komunitas khususnya bagi populasi tersembunyi dan remaja; serta pencanangan intervensi PreP bagi LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki) Penguatan Kemitraan Internasional: Bilateral dan Multilateral Penguatan kemitraan diarahkan untuk memastikan kapasitas terkait HIV dan AIDS para pemangku kepentingan di lingkungan pemerintahan maupun masyarakat sipil di Indonesia mencapai tingkatan yang dibutuhkan. Tidak hanya dalam hal teknis, tetapi juga upaya untuk membawa upaya penanggulangan AIDS yang ada di Indonesia dikenal dunia internasional dan secara aktif menjadi leading country untuk mencapai tujuan penanggulangan HIV dan AIDS khususnya yang dicanangkan oleh Negara-negara di regional Asia Pasifik, maupun Asia Tenggara. Upaya penguatan kemitraan dengan organisasi internasional baik bilateral maupun multilateral ini bertujuan untuk memberikan kontribusi bagi penanggulangan AIDS di dalam negeri. Langkah-langkah penting yang perlu dilakukan, di antaranya adalah sebagai berikut: Pemberian dukungan teknis (technical assistance) dan penyebaran pengetahuan serta pemahaman mengenai pelaksanaan (transfer of knowledge dan knowhow) baik bagi pemerintah maupun masyarakat sipil berdasarkan perkembangan global mutakhir (update). Dengan semakin meningkatnya kapasitas lokal maka keberlanjutan dari program lebih terjaga. Langkah ini akan dilakukan dalam satu gugus tugas (task force), sebagaimana yang telah dilakukan dalam periode SRAN sebelumnya, dan memastikan kapasitas dan pelaksanaan kegiatan terus berjalan dengan terjadinya pergantian struktur pemerintahan di Indonesia. Penyebaran hasil penelitian/ studi terakhir berbasis bukti (evidence-based) yang sudah dipublikasikan di tingkat global yang terpublikasi (seperti konferensi atau pertemuan internasional atau regional) dapat diakses oleh masyarakat di Indonesia. Satu contoh yang terakhir adalah pendekatan Treatmentas Prevention yang merupakan operasionalisasi dari Penelitian HPTN 052 yang diakui sebagai Science Breakthrough of the year 2011 kemudian diadopsi oleh Indonesia melalui pendekatan SUFA (Strategic Use of ARV). Penguatan posisi Indonesia di platform internasional baik melalui program pemerintah maupun program dari masyarakat sipil (jejaring KAP, LSM lokal) memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk terlibat aktif serta berkontribusi dalam berbagai pertemuan tingkat dunia dan regional. 58

60 4.9. Penanggulangan HIV dalam Kebencanaan Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Bencana alam yang sering terjadi dapat memberikan dampak negatif pada program HIV yang sedang berlangsung, catatan bisa hilang, ART dan pasokan komoditas terganggu, fasilitas kesehatan rusak, serta pasokan listrik dan air terputus untuk waktu yang lama. Perpindahan populasi akibat bencana cenderung meningkatkan kerentanan populasi kunci yang sudah rentan. Perencanaan kontingensi dan kesiapsiagaan diperlukan untuk mengatasi dampak negatif dari bencana pada program HIV. SRAN harus mencakup kesiapsiagaan darurat dan perencanaan kontingensi untuk memastikan pelaksanaan program HIV di negara rawan bencana seperti Indonesia. Gambar 4.3. Peran Pusat, Propinsi dan Kabupaten/ Kota 59

61 Bab 5. MONITORING DAN EVALUASI 5.1. Target Tahunan Cakupan Program Telah dinyatakan pada Bab sebelumnya, mengenai target dan hasil yang yang diharapkan, bahwa cakupan program penanggulangan AIDS yang komprehensif diharapkan dapat mencapai sasaran universal access pada tahun Atas dasar ini target tahunan ditetapkan agar populasi kunci serta populasi sasaran (pasien TB, Ibu Hamil, pasien Hepatitis) dan mereka yang terinfeksi HIV dapat mengakses layanan pencegahan, KTH (Konseling dan Tes HIV) dan PDP (Perawatan Dukungan dan pengobatan). Bagi WPS dan Penasun sasaran universal access akan dicapai pada tahun Bagi LSL pada tahun 2019, target program pencegahan baru akan mencapai 60%. Diharapkan pada tahun 2019 perilaku aman sudah dijalankan oleh 70%-80% populasi kunci, dan perilaku tersebut perlu dipertahankan seterusnya. Perilaku aman populasi kunci, baik mengenai pencegahan maupun pengobatan, merupakan satu wujud penting efektifitas program. Diharapkan pada akhir tahun 2019, sesedikitnya 80% populasi kunci yang berperilaku seksual berisiko sudah menggunakan kondom secara konsisten, 80% Penasun sudah tidak bertukar alat suntik secara konsisten, 50% ODHA yang membutuhkan sudah menggunakan ARV secara berkesinambungan. Diharapkan pada akhir tahun 2019, kebutuhan pendanaan program HIV dan AIDS sudah terpenuhi dan 70% bersumber dari dalam negeri. Ketersediaan dana merupakan salah satu indikator yang penting untuk menunjukkan adanya keberlangsungan program. Target tahunan untuk cakupan program pencegahan, perubahan perilaku dan pengobatan pada populasi kunci dapat dilihat pada tabel-tabel berikut: Tabel 5.1. Target Tahunan Cakupan Program Pencegahan* (dalam %) Populasi Kunci Baseline (%) WPSL WPSTL LSL Waria Penasun Semua Populasi Kunci Sumber : Investment Case Analysis, Indikator untuk mengukur cakupan Program Pencegahan pada Populasi Kunci adalah: Pemberian Peer edudation, materi KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) dan alat pencegahan HIV berupa kondom, pelicin dan alat suntik steril sesuai kebutuhan 60

62 Tabel 5.2. Target Tahunan Cakupan Perubahan Perilaku (dalam %) Populasi Kunci Baseline (%) WPSL*) WPSTL*) LSL*) Waria*) Penasun**) Semua Populasi Kunci Sumber : Investment Case Analysis, Indikator untuk mengukur cakupan Program Perubahan Peri Laku pada PS, LSL dan Waria adalah: Penggunaan kondom secara konsisten pada hubungan sex seminggu atau sebulan terakhir (berbeda pada PS, LSL, Waria karena tergantung ada frekuensi hubungan sex berisikonya Tabel 5.3. Target Tahunan Cakupan Testing Populasi Kunci (dalam %) Indikator Persentase WPS yang dites HIV Persentase Waria yang dites HIV Persentase LSL yang dites HIV Persentase Penasun yang dites HIV Persentase Pelanggan yang dites HIV Persentase Pasien TB yang di tes HIV Persentase Pasien IMS yang di tes HIV Sumber: Kemkes RI Baseline (%) , , , , ,9 4,

63 Tabel 5.4. Target Tahunan Cakupan Pengobatan, termasuk Pengobatan untuk Pencegahan (dalam %) Indikator Proporsi ODHA yang tetap mengkonsumsi ARV dalam 12 bulan Persentase pasien koinfeksi TB HIV yang mendapat pengobatan ARV Sumber: Kemkes RI Baseline (%) Tabel 5.5. Rencana Pengembangan Cakupan Pengobatan Indikator Baseline Penambahan Pertahun Jumlah RS yang telah menyediakan layanan PDP dan PPIA Jumlah Puskesmas yang telah menyediakan layanan PDP Jumlah K/K yang memiliki layanan PDP Sumber: Kemkes RI Tabel 5.6. Target Tahunan Cakupan PPIA (dalam %) Indikator Cakupan Ibu Hamil di tes HIV Persentase Ibu Hamil HIV mendapat ARV Persentase bayi lahir hidup dari Ibu HIV mendapat ARV profilaksis Baseline (%) , , , Sumber: Kemkes RI 62

64 Tabel 5.7. Target Rencana Pengembangan PPIA Indikator Jumlah Kab/kota dengan fasilitas layanan PPIA Tahun Jumlah PKM PPIA: a. Prong 1 dan 2 b. Prong 1,2,3 & Sumber: Kemkes RI Tabel 5.8. Target Tahunan Pencegahan HIV di Lingkungan TNI (dalam %) Indikator Persentase anggota TNI yang menjalankan penapisan HIV Persentase anggota TNI yang dijangkau oleh peer Leader Peer Leader Pencegahan HIV dan AIDS Pengetahuan Komprhensif Pencegahan HIV dan AIDS personel TNI Sumber: Puskes TNI Baseline (%) 30 (131863) 30 (131863) 17 (2478) 10,5 (46152) (175818) 40 (175818) 31 (4478) 21 (92304) 50 (219772) 50 (219772) 48 (7038) 35 (153840) 60 (263727) 60 (263727) 65 (9598) 50 (219772) 70 (307681) 70 (307681) 83 (12164) 65 (285704) 80 (351636) 80 (351636) 100 (14652) 80 (351636) 63

65 5.2. Kerangka Kerja dan Indikator Utama Kerangka Kerja Monitoring dan evaluasi dijalankan mengikuti suatu kerangka kerja sistem yang dapat menilai setiap tahap pelaksanaan program, mulai dari tahap input, proses kegiatan, output, hasil sampai dengan dampak program, sebagaimana tergambar pada diagram berikut: Gambar 5.1. Kerangka Kerja Monitoring dan Evaluasi Asesmen dan perencanaan Estimasi Pemetaan Analisis epidemi Analisis respons Input (Sumber daya) Dana Kebijakan Sistem komunitas Kelembagaan Fasilitas Kegiatan (Pelayanan) Program: PMTS HR dan PABM LKB SUFA PPIA TB/HIV Pengetahuan Remaja Mitigasi dampak Output (Hasil langsung) Tenaga terlatih Populasi terjangkau Kondom terdistribusi Tes terlaksana Klien terlayani Alat suntik steril terdistribusi Hasil (Hasil antara) Pengetahuan remaja Pengetahuan pop kun Pemakaian kondom Pemakaian alat suntik Prevalensi IMS Dampak (Hasil jangka panjang) Prevalens HIV Kematian AIDS Stigma & Diskrim Kualitas hidup ODHA Data pengembangan program Data program Data biologis, perilaku dan sosial berbasis populasi Sumber: Diadaptasi dari Rugg et al (2004). Global advances in HIV/AIDS monitoring and evaluation. New Direction for Evaluation. Hoboken, NJ Wiley Periodicals. Inc. dalam UNAIDS working document (2006). M&E of HIV Prevention Programmes for Most-At- Risk Populations Indikator Input Indikator input meliputi pengeluaran dana baik oleh mitra pengembangan nasional maupun internasional, pengembangan kebijakan HIV dan AIDS serta status implementasi kebijakan tersebut, dan penguatan kelembagaan yang mencakup kelembagaan KPA (berikut seluruh sektor yang menjadi anggota) baik di tingkat nasional maupun daerah. Indikator ini penting untuk menilai perkembangan keberlanjutan program. Indikator input yang perlu didapatkan dari tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/ kota setidaknya adalah sebagai berikut: 1. Penggunaan dana nasional (pusat dan daerah) untuk program HIV dan AIDS berdasarkan kategori sumber pendanaan. Metode pengumpulan data: National AIDS Spending Assessment (NASA). Frekuensi pengukuran: setiap dua tahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN. (Target konsultasikan dengan Bpk. Kemal) 2. Terlaksananya penilaian National Commitment and Policy untuk menilai kemajuan implementasi kebijakan program HIV dan AIDS. Metode 64

66 pengumpulan data: pengkajian dengan melakukan diskusi dengan mitra kerja pemerintah dan OMS di tingkat nasional dengan menggunakan kuesioner NCPI. Frekuensi pengukuran: setiap dua tahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN. 3. Jumlah KPAK yang telah memenuhi perkembangan institusi sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Metode pengumpulan data: Penilaian penguatan kelembagaan. Frekuensi pengukuran: setiap setahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN. 4. Jumlah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang mendapat bantuan dana untuk program HIV berdasarkan sumber pemerintah dan internasional. Metode pengumpulan data: pemantauan rutin KPAN. Frekuensi pengukuran: setiap setahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN 5. Jumlah OMS (Organisasi Masyarakat Sipil) populasi kunci yang mendapat peningkatan kapasitas dalam pengetahuan dan kemampuan advokasi kebijakan. Metode pengumpulan data: Diskusi dengan mitra kerja pemerintah dan OMS di tingkat nasional dengan menggunakan kuesioner NCPI. Frekuensi pengukuran: setiap dua tahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN. 6. Adanya kebijakan yang non diskriminatif dan sesuai dengan prinsip HAM dan keseteraan gender pada ODHA, populasi kunci dan kelompok rentan lainnya yang diimplementasikan secara efektif di nasional dengan menggunakan instrument NCPI. Metode pengumpulan data: Diskusi dengan mitra kerja pemerintah dan OMS di tingkat nasional dengan menggunakan kuesioner NCPI. Frekuensi pengukuran: setiap dua tahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN Indikator Kegiatan Indikator kegiatan mencakup pelaksanaan program nasional, yaitu perluasan dan peningkatan pencegahan kombinasi HIV, perluasan dan peningkatan mutu layanan perawatan, dukungan dan pengobatan, pengurangan infeksi HIV vertical, perluasan cakupan mitigasi dampak, penciptaan lingkungan yang mendukung serta peningkatan keberlanjutan program. 1. Jumlah rumah sakit yang telah menyediakan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) dan pencegahan penularan dari Ibu ke Anak (PPIA). Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: dua tahun sekali. Penanggung jawab: Kemenkes. 2. Jumlah Puskesmas dengan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: satu tahun sekali. Penanggung jawab: Kemenkes. 65

67 3. Jumlah Kab/Kota yang memiliki layanan perawatan, dukungan dan pengobatan. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: satu tahun sekali. Penanggung jawab: Kemenkes. 4. Jumlah Kab/kota dengan fasilitas layanan pencegahan penularan dari ibu ke anak. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: secara adhoc. Penanggung jawab: Kemenkes. 5. Jumlah Puskesmas dengan fasilitas layanan pencegahan penularan dari ibu ke anak prong 1 dan 2 serta 1,2,3 dan 4. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: secara adhoc. Penanggung jawab: Kemenkes Indikator Output Indikator output adalah cakupan program khususnya terhadap populasi kunci. Cakupan program nasional diukur terhadap seluruh populasi kunci yang dijangkau oleh program pencegahan, program perawatan, dukungan dan pengobatan serta pengurangan infeksi HIV vertikal. Rincian target tahunan indikator cakupan program terdapat pada table indikator ini penting untuk menilai secara berkala perkembangan program di lapangan. 1. Persentase populasi kunci yang terjangkau program pencegahan. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin dan estimasi (Kemkes). Frekuensi pengukuran: setiap tahun. Penanggung jawab: OMS dan sekretariat KPAN. 2. Persentase ODHA yg mengetahui status HIV. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin dan estimasi. Frekuensi pengukuran: bulanan. Penanggung jawab: Kemenkes. 3. Persentase ODHA Dewasa (>14 th) yang memenuhi syarat ART mendapatkan ART. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan dan estimasi. Frekuensi pengukuran: triwulanan. Penanggung jawab: Kemenkes. 4. Persentase ODHA Anak ( 14 th) yang memenuhi syarat ART mendapatkan ART. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin dan estimasi. Frekuensi pengukuran: triwulanan. Penanggung jawab: Kemenkes. 5. Proporsi ODHA yang tetap mengkonsumsi ARV dalam 12 bulan. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan kohort rutin. Frekuensi pengukuran: setiap tahun. Penanggung jawab: Kemenkes. 6. Persentase pasien koinfeksi TB-HIV yang mendapat pengobatan ARV. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: triwulanan. Penanggung jawab: Kemenkes. 66

68 7. Persentase ibu hamil di tes HIV. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: setiap bulan. Penanggung jawab: Kemenkes. 8. Persentase Ibu Hamil HIV mendapat ARV. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: setiap bulan. Penanggung jawab: Kemenkes. 9. Persentase bayi lahir hidup dari Ibu HIV mendapat ARV profilaksis. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: setiap bulan. Penanggung jawab: Kemenkes 10. Proporsi rumah tangga miskin yang menerima dukungan ekonomi selama 3 bulan. Metode pengumpulan data: berasal dari data survey. Frekuensi pengukuran: setiap tahun dan 5 tahun sekali. Penanggung jawab: Kemensos, dan TNP2K 11. Proporsi ODHA yang mengikuti program JKN. Metode pengumpulan data: berasal dari data survey khusus. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN. 12. Jumlah kasus kekerasan berbasis gender. Frekuensi pengukuran: setiap tahun. Metode pengumpulan data: laporan rutin. Penanggung jawab: Kemeneg PP, Komnas Perempuan, dan IPPI Indikator Hasil Indikator hasil untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan program telah dapat merubah perilaku berisiko menjadi perilaku aman dari kelompok kunci, baik perilaku pencegahan maupun perilaku pengobatan. Indikator ini penting untuk menilai perkembangan efektifitas program. 1. Persentase remaja usia tahun populasi umum yang memiliki pengetahuan komprehensif HIV dan AIDS. Metode pengumpulan data: berasal dari data survey, SDKI, Riskesdas. Frekuensi pengukuran: setiap lima tahun. Penanggung jawab: BKKBN, Kemenkes. 2. Persentase populasi kunci yang memiliki pengetahuan komprehensif HIV dan AIDS. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN. 3. Persentase remaja wanita dan pria usia tahun yang mulai melakukan hubungan seks sebelum usia 15 tahun. Metode pengumpulan data: SDKI remaja. Frekuensi pengukuran: 5 tahun sekali. Penanggung jawab: BKKBN dan BPS. 67

69 4. Persentase wanita dan pria (15-49 tahun) memiliki pasangan seks lebih dari satu dan menggunakan kondom pada hubungan seks terakhir. Metode pengumpulan data: SDKI. Frekuensi pengukuran: 5 tahun sekali. Penanggung jawab: BPS. 5. Persentase wanita pekerja seks yang melaporkan menggunakan kondom dengan klien terakhir mereka. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN. 6. Persentase wanita pekerja seks yang melaporkan menggunakan kondom dengan klien seminggu terakhir mereka. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN 7. Persentase LSL yang melaporkan menggunakan kondom pada hubungan seks anal terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN. 8. Persentase LSL yang melaporkan menggunakan kondom secara konsisten pada hubungan seks anal dalam sebulan terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN. 9. Persentase Waria yang melaporkan menggunakan kondom pada hubungan seks anal terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN. 10. Persentase Waria yang melaporkan menggunakan kondom secara konsisten pada hubungan seks anal dalam seminggu terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN. 11. Persentase pengguna NAPZA suntik (Penasun) yang melaporkan penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN. 12. Persentase pengguna NAPZA suntik (Penasun) yang melaporkan penggunaan kondom konsisten pada hubungan seks sebulan terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN. 13. Persentase pengguna NAPZA suntik (Penasun) yang menggunakan alat suntik steril pada saat menyuntik terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS, 68

70 SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN. 14. Persentase pengguna NAPZA suntik (Penasun) yang menggunakan alat suntik steril pada saat menyuntik sebulan terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN. 15. Prevalensi Sifilis pada populasi kunci. Metode pengumpulan data: Sentinel Sero-Survey. Frekuensi pengukuran: setiap tahun. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan Indikator Dampak Indikator dampak digunakan untuk melihat dampak program terhadap epidemi HIV, yang diukur dengan prevalensi HIV pada populasi kunci, dan populasi umum untuk Tanah Papua. 1. Prevalensi HIV pada ibu hamil usia tahun. Metode pengumpulan data: Sentinel surveilans ANC. Frekuensi pengukuran: setiap tahun. Penanggung jawab: Kemkes 2. Prevalensi HIV pada populasi kunci. Metode pengumpulan data: Sentinel surveilans, IBBS. Frekuensi pengukuran: setiap tahun dan empat tahun sekali. Penanggung jawab: Kemkes 3. Jumlah infeksi HIV baru pada populasi kunci. Metode pengumpulan data: Studi khusus (Modeling). Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan. 4. Jumlah/persentase ODHA yang mendapatkan diskriminasi dari suami/istri atau pasangannya, atau anggota keluarga lainnya karena status HIV positif dalam 12 bulan terakhir. Metode pengumpulan data: Studi khusus, studi diskriminasi. 5. Persentase ODHA yang ditolak oleh layanan kesehatan (termasuk layanan kesehatan gigi), akses pendidikan dan tempat kerja karena status HIV positif. Metode pengumpulan data: Studi khusus Mekanisme Monitoring dan Evaluasi Metode Pengumpulan Data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional bekerjasama dengan Kementrian Kesehatan dan seluruh sektor pemerintah serta organisasi masyarakat sipil dan mitra kerja internasional, melakukan monitoring dan evaluasi secara nasional untuk menghasilkan 69

71 indikator kinerja serta informasi yang bersifat strategik. Setidaknya metode pengumpulan data yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pemantauan Rutin Sistem Informasi HIV dan AIDS (Kementerian Kesehatan) Monitoring penguatan kelembagaan (KPA) Monitoring perkembangan layanan pencegahan (KPA) Monitoring perkembangan layanan pengobatan (Kementerian Kesehatan) Monitoring cakupan program 2. Surveilans Surveilans HIV, AIDS dan IMS merupakan tanggung jawab dari Kementerian Kesehatan. Berbagai bentuk surveilans yang diperlukan antara lain adalah sebagai berikut: Surveilans Sentinel HIV Kementerian Kesehatan menetapkan surveilans sentinel HIV dilakukan sekali setahun. Saat ini surveilans sentinel HIV dilakukan terhadap populasi kunci. Surveilans sentinel pada ibu hamil perlu dilakukan pada area geografis tertentu sesuai dengan tingkat epidemi. Surveilans sentinel melalui ANC dilakukan dengan menetapkan beberapa tempat yang dapat dipantau secara rutin sebagai proxy menilai prevalensi HIV di populasi umum. Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) STBP, termasuk didalamnya survei IMS, telah dilakukan pada beberapa propinsi yang diikuti kecenderungannya. Mengingat biaya pelaksanaan STBP yang cukup mahal, akan dimulai pelaksanaan integrasi pelaksanaan surveilans sentinel dengan survei cepat perilaku setiap setahun sekali. Intregasi sentinel surveilans dengan survei cepat perilaku perlu dilakukan pada kabupaten/ kota prioritas untuk semua populasi kunci secara berkesinambungan. Survei resistensi ARV Pemetaan populasi kunci, hotspot dan layanan Estimasi jumlah populasi kunci dan ODHA 3. Pemantauan Lainnya Monitoring perkembangan layanan mitigasi dampak (Kementerian Sosial) Studi khusus - Stigma diskriminasi - Studi infeksi baru - Riset operasional dan riset implementasi (KPA) - Gender Based Violence Monitoring pengeluaran dana (NASA) (KPA) 70

72 National Commitment Policy Instrument. Tools untuk memantau kebijakan terkait penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Monitoring dan Pelaporan Satu pemantauan yang perlu dilakukan secara intensif dan teratur dari waktu ke waktu adalah mengenai perkembangan cakupan program di lapangan yaitu di lingkup kabupaten/ kota. Hubungan kerja antar KPA mulai dari kabupaten/ kota, propinsi sampai dengan nasional, antara lain dilakukan melalui mekanisme pelaporan rutin. Mekanisme ini telah berjalan baik memantau perkembangan cakupan program. Secara sederhana proses pelaporan tersebut digambarkan sebagai berikut: Gambar 5.2. Alur Pelaporan Mekanisme pelaporan penanggulangan AIDS diatur dalam Pasal 13 Perpres nomor 75 tahun 2006 dan Pasal 12 Permendagri nomor 20 tahun Pelaksana program di lapangan melaporkan kegiatannya ke sektor terkait di masing-masing kabupaten/ kota. Selanjutnya data dari seluruh sektor terhimpun di KPA kabupaten/ kota, untuk segera digunakan untuk pengendalian lapangan. Laporan kemudian disampaikan setiap bulan ke KPA Propinsi, dan ke KPA tingkat nasional. Pada akhirnya laporan ditujukan kepada Presiden. Mekanisme pelaporan ini juga digunakan untuk memenuhi komitmen global, misalnya pelaporan GARPR, Universal Access dan MDG. Data dari daerah dikumpulkan ke tingkat nasional melalui RR on line dan SIHA dengan menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan yang standar. Data tersebut kemudian direkapitulasi untuk dianalisis menjadi laporan berkala. KPAN sedang mengembangkan real time dash board untuk menghasilkan tampilan kinerja data terkini. Perencanaan monitoring dan evaluasi dimulai dengan asesmen, monitoring dan evaluasi di setiap tingkat untuk mengidentifikasi kesenjangan dalam sistem, rencana kerja disusun untuk memperbaiki kelemahan yang ditemukan dari asesmen. Mutu kualitas data dijamin dengan adanya program jaga mutu kualitas data dan penilaian mutu kualitas data. 71

73 Pemanfaatan Informasi Data yang dihasilkan jangan menjadi bahan laporan semata, tetapi justru harus digunakan untuk perbaikan program di lapangan. Pemanfaatan data perlu dilakukan dalam suatu pertemuan koordinasi di setiap tingkat. Hubungan kerja secara horizontal di masing-masing tingkat KPA sangat penting untuk secara bersama menggunakan data yang diperoleh dari sektor-sektor relevan, untuk pengambilan keputusan. Data capaian program yang dianalisis setiap bulan di kabupaten/ kota dapat dijadikan dasar untuk perbaikan program lapangan dengan segera. Selanjutnya, pertemuan monitoring di propinsi perlu dilakukan paling sedikit setiap 3 bulan dan setiap 6 bulan di tingkat nasional. Data yang lebih komprehensif yang bersifat evaluatif perlu dibahas setiap 6 bulan atau setiap tahun. Data yang dikumpulkan dari daerah melalui RR online dan SIHA, kemudian dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan, perbaikan program di setiap tingkatan melalui situs AIDS portal ( Evaluasi Program Evaluasi program dilakukan melalui mekanisme kajian kinerja berkala bersama (joint periodic performance review), yang perlu dilakukan di setiap tingkat KPA. Evaluasi juga perlu dilakukan di masing-masing sektor, baik pemerintah maupun non pemerintah. Frekuensi evaluasi perlu dilakukan dalam bentuk kajian setiap 6 bulan, kajian setiap tahun, kajian paruh waktu rencana aksi (Mid Term Review) dan kajian akhir periode rencana aksi (Final Review). Indikator utama kinerja program penanggulangan AIDS terdiri dari coverage, effectiveness dan sustainability. Dalam kajian paruh waktu dan kajian akhir, evaluasi dilakukan secara lengkap terhadap perkembangan epidemi dan seluruh bentuk respons yang telah dilakukan. Evaluasi respons yang lengkap meliputi keterlibatan politis, lingkungan kebijakan, tata kelola kepemerintahan, kapasitas penyediaan informasi strategik, kapasitas penyusunan rencana strategik, situasi sumber daya, perkembangan implementasi program (meliputi cakupan dan efektifitas program, dampak program terhadap penurunan epidemi) mengenai pencegahan, pengobatan dan mitigasi dampak, serta mengenai keterlibatan komunitas dan masyarakat Pengembangan Kapasitas SDM Setiap kabupaten/ kota prioritas melakukan kerjasama lintas sektor baik pemerintah maupun non pemerintah untuk menghimpun data secara rutin. Paling sedikit sudah terdapat satu (1) tenaga penuh waktu di tingkat KPA kabupaten/ kota untuk melaksanakan ini, yang berhubungan dengan mereka yang mendapat tanggung jawab 72

74 mengenai data di masing-masing sektor dan LSM. Hal serupa juga terjadi di tingkat propinsi dan nasional. Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi sering dijumpai keterbatasan kapasitas baik pada petugas maupun lembaga pelaksana dalam hal kualitas data dan keteraturan pelaporan. Hal ini terjadi di semua tingkat mulai dari kabupaten/ kota sampai nasional. Untuk mengatasi ini perlu dilakukan penguatan kapasitas monitoring dan evaluasi, termasuk kelembagaan monitoring evaluasi dan juga supervisi paska pelatihan untuk menjamin manajemen data dan kualitas analisis data. Dengan demikian pengembangan kapasitas monitoring dan evaluasi perlu direncanakan dan dianggarkan sebagai bagian yang terintegrasi dalam perencanaan dan implementasi program. Pengembangan kapasitas terdiri dari asesmen kapasitas monitoring dan evaluasi yang ada, penguatan kapasitas KPA termasuk sektor yang menjadi anggota (pemerintah dan non pemerintah) untuk berbagai jenis kegiatan monitoring dan evaluasi, pelatihan berbagai kompetensi antara lain manajemen dan analisis data, jaminan mutu data, kemudian bimbingan teknis, bantuan teknis, dan pengembangan pedoman sesuai dengan keperluan masing-masing lembaga Penguatan Monitoring dan Evaluasi SRAN Penguatan monitoring dan evaluasi yang harus digaris bawahi adalah sebagai berikut: Penguatan sistem surveilans, melalui Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP), surveilans ANC, pemetaan populasi kunci dan hot spots, estimasi populasi kunci, proyeksi HIV menggunakan pemodelan matematika dan Investment Case Analysis, serta sumber data lain yang tersedia (sumber data sentinel/ rutin), termasuk data yang dihasilkan oleh populasi kunci/ komunitas. Perlu dipastikan agar data yang tersedia dapat diakses dan digunakan secara optimal oleh semua pihak sebagai acuan pengembangan strategi operasional di tingkat lokal. Penyediaan data penanggulangan HIV untuk setiap tingkatan daerah untuk perbaikan program, advokasi dan perencanaan berbasis bukti. Kemitraan dan Koordinasi M&E, dimana terdapat pembagian peran yang jelas antara pusat, propinsi, dan kabupaten/ kota, serta pihak terkait lainnya, diantaranya mitra pembangunan bilateral, LSM internasional, lembaga multilateral, lembaga PBB, the Global Fund. Harmonisasi sistem M&E di antara penerima dana hibah, termasuk integrasi HIV ke dalam Sistem Informasi Kesehatan. Mengembangkan rencana dan pedoman M&E yang disertai dengan rincian pembiayaan untuk tingkat nasionaldan daerah. 73

75 Mengembangkan pangkalan data berbasis kohort untuk menyediakan data cascade yang dapat digunakan sebagai sumber data penelitian yang berkualitas dan juga untuk aktivitas monitoring dan evaluasi program. 74

76 Bab 6. PELAKSANAAN SRAN DI TINGKAT DAERAH Dengan semangat Reformasi Birokrasi Kabinet Kerja , Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memulai upaya reorganisasi dan restrukturisasi pemerintahan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya negara secara efektif dan efisien. Sebagai bagian dari proses tersebut, salah satunya dipandang perlu penataan ulang berbagai lembaga negara non-struktural yang telah dibentuk melalui berbagai ketetapan dan pertimbangan dimasa lampau. Seiring dengan transisi reformasi Indonesia untuk demokrasi, pembentukan lembaga negara non-struktural sering kali merupakan upaya perpanjangan tangan pemerintah untuk mengakomodasi partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam pembangunan nasional. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sebagai salah satu lembaga negara nonstruktural, pertama kali dicanangkan melalui Keputusan Presiden Nomer 36 Tahun 1994 tentang pembentukan KPA di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota. Pencanangan KPA oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1994 dilakukan dengan pemahaman bahwa berdasarkan pengalaman global dan regional, dalam rangka pencegahan dan penanggulangan AIDS di Indonesia secara menyeluruh, perlu dibentuk suatu komisi yang bersifat lintas sektor pemerintahan dengan nama Komisi Penanggulangan AIDS. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 kemudian semakin memperkuat kedudukan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional untuk mendorong partisipasi lintas sektor yang lebih luas dalam penanggulangan AIDS nasional, tidak hanya dari sektor pemerintahan namun juga dari komunitas terdampak, masyarakat sipil, akademisi, keagamaan dan swasta. Perluasan partisipasi bermacam sektor dilakukan untuk mengantisipasi dampak yang lebih besar dari epidemi AIDS di bidang kesehatan, sosial, politik dan ekonomi dimasa yang akan datang. Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa KPA Nasional diketuai oleh Menko Kesra, bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan mempunyai Sekretaris yang purna waktu. Tugas dan tanggung jawab Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sesuai dengan Perpres No 75 / 2006 antara lain: menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman umum pencegahan, pengendalian dan penanggulangan AIDS; melakukan koordinasi lintas sektor pemerintahan dan non-pemerintahan; serta memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten/ Kota dalam rangka pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) untuk 5 tahun mendatang, disusun mengacu pada RPJMN , dalam kerangka pembangungan yang berkelanjutan, untuk mempertahankan momentum penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang bergerak menuju kemandirian pendanaan dan integrasi program ke dalam sistem pemerintahan dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan kerangka reformasi birokrasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya negara secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, evaluasi lembaga negara non-struktural termasuk terhadap keberadaan, tugas pokok dan fungsi Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sebagai 75

77 bagian dari reformasi birokrasi merupakan proses yang perlu dilakukan secara menyeluruh. Dengan harapan, dapat dihasilkan bentuk pengelolaan penanggulangan AIDS nasional yang lebih efisien dengan tetap mengedepankan kemampuan untuk melakukan mobilisasi dan koordinasi penanganggulangan AIDS lintas sektor secara efektif. Sebagaimana SRAN sebelumnya, maka SRAN disusun untuk menjadi acuan bagi semua sektor, baik pemerintah maupun masyarakat, baik mitra pembangunan nasional maupun internasional, serta baik di tingkat nasional maupun di daerah. SRAN selain dipakai di tingkat nasional, justru yang lebih penting adalah agar dilaksanakan dengan baik di daerah kabupaten/ kota sampai ke tingkat masyarakat, untuk dapat segera menurunkan epidemi HIV Prinsip Di tingkat nasional SRANmemberikan arahan untuk mengintegrasikan isu HIV ke dalam rencana pembangunan sektor-sektor pemerintah, untuk dijabarkan menjadi berbagai panduan teknis dan rencana kegiatan dan anggaran kementerian/ lembaga. Pemerintah daerah bersama-sama dengan para pemangku kepentingan agar menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) masing-masing yang sejalan dengan SRAN. Selanjutnya agar ini dipakai untuk penyusunan RAPBD, sehingga semuanya berkontribusi pada pencapaian target dan tujuan nasional. Prinsip-prinsip untuk pelaksanaansran di daerah adalah sebagai berikut: Adanya komitmen politik dan anggaran untuk penanggulangan AIDS oleh pimpinan daerah Penanggulangan HIV dan AIDS bersifat lintas sektor dan lintas tingkatan, dengan demikian memerlukan kepemimpinan politik dan anggaran dari pimpinan daerah. Kepemimpinan diperlukan dari tingkat nasional sampai ke daerah. Begitu pula anggota KPA di daerah yang menjadi sektor kunci harus berperan aktif, seperti Bappeda, Dinkes, Dinsos, Disbudpar dan Disnaker. Adanya keselarasan penanggulangan AIDS di daerah dengan kebijakan penanggulangan AIDS nasional Isu HIV harus masuk ke dalam dokumen-dokumen perencanaan di daerah, untuk menjamin keberlanjutan program. Hal ini dimulai dengan memasukkan penanggulangan AIDS ke dalam RPJMD, yang kemudian diturunkan menjadi Renstra SKPD dan Renja SKPD, untuk kemudian masuk dalam RKA SKPD. Adanya koordinasi efektif penanggulangan AIDS di daerah mulai dari tingkat propinsi, kabupaten/ kota, hingga ke tingkat layanan dan pelaksana lapangan Berbagai bentuk koordinasi kelembagaan harus berjalan dengan teratur. Mulai dari pertemuan koordinasi anggota KPA yang dipimpin langsung oleh Kepala Daerah, sampai 76

78 dengan pertemuan-pertemuan berikutnya yang bersifat teknis. Supervisi dan bimbingan teknis perlu dilakukan untuk memastikan mekanisme koordinasi tersebut berjalan efektif. Adanya kompetensi para petugas manajemen program dan layanan Harus ada mekanisme rekruitmen SDM yang profesional untuk menjalankan fungsifungsi manajemen program dan layanan. Petugas-petugas tersebut harus mempunyai kompetensi untuk menjalankan setiap pedoman teknis dan Prosedur Operasional Standar. Adanya pelibatan bermakna komunitas populasi kunci Pelibatan bermakna populasi kunci seperti pekerja seks dan pelanggannya, LSL, Gay dan Waria serta pasangannya dan Penasun serta pasangannya dan ODHA merupakan kunci keberhasilan penanggulangan AIDS di daerah. Pelibatan komunitas populasi kunci dan ODHA agar dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai evaluasi. Peran nyata komunitas harus terdokumentasi dengan baik. Adanya informasi strategis yang dapat memberikan umpan balik bagi perbaikan program dan layanan di kabupaten/ kota Setiap daerah harus memiliki data terkini mengenai perkembangan epidemi dan kemajuan program HIV dan AIDS setempat. Lebih penting lagi agar data tersebut digunakan untuk perbaikan dan peningkatan program dan layanan Kepemimpinan dan Tata Kelola Kepemimpinan dan tata kelola penanggulangan AIDS di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota merupakan tanggung jawab Kepala Daerah sebagai Ketua Komisi Penanggulangan AIDS di daerah masing-masing. Komitmen pimpinan daerah untuk penanggulangan AIDS perlu diikuti dengan tata kelola formal dalam hal perencanaan dan penganggaran lintas sektor untuk penanggulangan AIDS, mulai dari pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan serta mitigasi dampak sampai dengan penciptaan lingkungan kebijakan yang mendukung. Dalam pelaksanaannya, Ketua Komisi Penanggulangan AIDS daerah dibantu oleh Sekretariat dengan tim kerja yang direkrut secara profesional. Tugas pokok dan fungsi Sekretariat KPA di daerah adalah memberikan dukungan pada KPA agar berfungsi dalam penyusunan kebijakan, pengelolaan pelaksanaan penanggulangan, mobilisasi sumber daya, koordinasi pelaksanaan, kerja sama, penyebarluasan informasi, fasilitasi KPA di bawahnya, pembentukan kelompok peduli AIDS, serta monitoring dan evaluasi pelaksanaan penanggulangan AIDS. Penanggulangan AIDS memerlukan kepemimpinan yang kuat, karena program memerlukan pendekatan lintas sektor dan lintas tingkatan. Kepemimpinan tersebut memerlukan kemampuan komunikasi yang baik. Penguatan kepemimpinan untuk penanggulangan AIDS perlu menjadi prioritas. Kepemimpinan dibutuhkan mulai dari 77

79 tingkat propinsi, kabupaten/ kota, pada seluruh sektor anggota KPA seperti Bappeda, Dinkes, Dinsos, Disdik, Disbudpar, Disnaker, sampai dengan para pemangku kepentingan di lokasi hotspot termasuk Kepala Desa/ Lurah/ RW dan RT serta pemuka agama dan tokoh masyarakat Kemitraan dan Koordinasi Lintas Sektor Kemitraan Penanggulangan AIDS di Daerah Kemitraan lintas sektor untuk penanggulangan AIDS sangat penting. KPA di tingkat propinsidan kabupaten/ kota perlu membangun kemitraan lintas semua sektor pemerintah yang berkaitan dengan HIV dan AIDS, seperti kesehatan, sosial, pendidikan, kebudayaan dan pariwisata, serta tenaga kerja. Kemitraan dengan sektor non pemerintah, seperti LSM dan kelompok-kelompok komunitas merupakan pintu masuk untuk dapat menjangkau populasi berisiko terinfeksi HIV, yaitu pekerja seks dan pelanggannya, pengguna NAPZA, LSL, Gay, Waria serta pasangan intim mereka. Kemitraan dengan dunia usaha juga perlu dibangun (PPP-Public Private Partnership) untuk menyelenggarakan pencegahan HIV di tempat kerja, dan mengembangkan upayaupaya yang didukung CSR (Corporate Social Responsibility)untuk komunitas dan masyarakat sekitar tempat kerja. Sektor swasta juga perlu dibina untuk mendorong kemitraan public-private dalam upaya mobilisasi dukungan terhadap program pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan serta mitigasi dampak di dunia kerja dan berbagai bentuk tanggung jawab sosial bagi masyarakat sekitar Koordinasi Penanggulangan AIDS di Daerah KPA adalah lembaga yang anggotanya bersifat multi sektoral, merupakan forum untuk menyamakan pandangan bagi pelaksanaan program melalui proses koordinasi. Koordinasi lintas sektor yang efektif adalah dimensi pendukung untuk penanggulangan AIDS di daerah. Koordinasi efektif di tingkat KPA propinsi dan kabupaten/ kota perlu dilakukan dengan mengikuti Standard Operating Procedure (SOP) koordinasi kelembagaan. SOP koordinasi kelembagaan perlu diatur setidaknya untuk koordinasi berikut: 1. Koordinasi Pengurus Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) propinsi dan kabupaten/ kota yang dipimpin Kepala Daerah bertujuan memastikan seluruh anggota KPA memahami dan menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing, dalam upaya mengendalikan epidemi HIV di daerah masingmasing. 2. Koordinasi antar pemangku kepentingan, diantaranya dengan SKPD/ lembaga, dengan Populasi Kunci dan pertemuan lain sesuai kebutuhan yang 78

80 bertujuan untuk memastikan seluruh kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak terkait dapat berjalan dengan baik. 3. Pertemuan koordinasi PMTS-LKB yang bertujuan untuk memastikan seluruh pelaksana memahami peran dan fungsinya masing-masing dalam menjalankan program PMTS-LKB serta mendorong terjadinya koordinasi dalam pencapaian tujuan. 4. Pelaporan dan koordinasi dengan Ketua KPA propinsi dan kabupaten/ kota yang bertujuan untuk mengoptimalkan peran Ketua Komisi Penanggulangan AIDS dalam memimpin dan mengkoordinasikan pelaksanaan program penanggulangan AIDS di daerah masing-masing. 5. Supervisi, pembinaan dan pengawasan yang bertujuan untuk memastikan Komisi Penanggulangan AIDS propinsi dan kabupaten/ kota dan seluruh mitra kerjanya sudah memahami tugas dan fungsinya dalam menjalankan program serta mendorong terjadinya koordinasi dalam pencapaian tujuan. 6. Pertemuan koordinasi internal Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja internal Sekretariat dalam mengelola permasalahan program maupun kelembagaan sedini mungkin Perencanaan dan Pembiayaan Perencanaan KPA di daerah perlu memperkuat kapasitas perencanaan penanggulangan AIDS lintas sektor di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota. Dalam era desentralisasi, perencanaan penanggulangan AIDS di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota perlu dilakukan secara terintegrasi dengan perencanaan pembangunan daerah melalui mekanisme yang bersifat inklusif dan partisipatif melibatkan lintas sektor, LSM, komunitas terdampak HIV, populasi kunci dan ODHA serta mitra pembangunan lainnya. Penanggulangan AIDS perlu menjadi salah satu agenda tetap dalam proses MUSRENBANG, mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten/ kota hingga tingkat propinsi. Hal ini perlu menjadi pokok bahasan dalam forum SKPD di setiap tingkatan pemerintahan. Dalam proses perencanaan, perlu pembagian peran yang maksimal semua anggota KPA sesuai peraturan pemerintah. Sebagai panduan penanggulangan AIDS secara nasional, SRAN perlu diterjemahkan ke dalam bentuk dokumen perencanaan di daerah sesuai ketentuan desentralisasi. Integrasi SRAN pada dokumen perencanaan di daerah perlu diterjemahkan dalam bentuk program kerja dalam RPJMD dan selanjutnya dalam Renstra SKPD dan Renja SKPD, sehingga dapat menjadi dasar untuk masuk dalam RKA SKPD. Integrasi ke perencanaan di daerah penting untuk menjamin keberlanjutan program. Integrasi akan membuat SKPD terkait memiliki peluang untuk dapat menganggarkan program penanggulangan AIDS. Perlu didorong keberadaan Perda AIDS dan produk-produk 79

81 hukum di daerah (seperti Pergub, Perbup dan Perwali) yang dapat mendukung integrasi dalam perencanaan di daerah. Kemajuan penanggulangan AIDS di daerah harus dapat terpantau dengan baik, karenanya setiap daerah juga perlu menetapkan target pencapaian program penanggulangan AIDS lintas sektor dengan pembagian tugas dan tanggungjawab yang jelas antar pelaksana program. Perencanaan penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten/ kota perlu dibuat dengan mempertimbangkan realitas beban epidemi di wilayahnya, khususnya pada populasi kunci seperti pekerja seks dan pelanggannya, LSL, Gay dan Waria serta pasangannya, dan pengguna NAPZA suntik serta pasangannya. Perencanaan tingkat kabupaten/ kota perlu membuat skala prioritas sesuai beban epidemi di setiap wilayah kerja hingga tingkat kecamatan dan desa. Pemantauan beban epidemi HIV di tingkat kabupaten/ kota perlu dilakukan secara berkala melalui kegiatan teknis seperti pemetaan populasi kunci Pembiayaan Peran propinsi dan kabupaten/ kota sangat penting dalam mengelola pelaksanaan dan perluasan program prioritas penanggulangan AIDS seperti PMTS, Pengurangan Dampak Buruk NAPZA, LKB dan SUFA/ PDP/ PPIA. Pemenuhan anggaran biaya yang memadai diperlukan bagi upaya penjangkauan populasi kunci oleh layanan berbasis komunitas; penguatan ketertautan antara layanan sektor kesehatan dan yang berbasis komunitas; penyediaan reagen tes HIV dan pengobatan HIV serta infeksi oportunistik penyerta seperti IMS, TB dan Hep-C; serta untuk pembiayaan Sekretariat KPA. Untuk itu, KPA di daerah perlu meningkatkan alokasi pendanaan penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten/ kota; baik melalui SKPD terkait maupun melalui mekanisme pembiayaan oleh pemerintah untuk lembaga swadaya masyarakat. Perlu pula melakukan eksplorasi peluang kemitraan sektor swasta (CSR) baik melalui hibah filantropis maupun dengan bentuk kerjasama public-private. Dengan mengalirnya alokasi anggaran secara langsung ke tingkat desa, KPA perlu pula mendorong adanya perencanaan dan penganggaran di tingkat desa sebagai kontribusi pemangku kepentingan di tingkat desa bagi penanggulangan AIDS. Dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS, transisi pembiayaan pencegahan dan pengobatan HIV dalam sistem JKN perlu direncanakan dengan seksama sebagai upaya keberlanjutan program. Upaya serupa juga perlu dilakukan di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota mengikuti kebijakan jaminan sosial yang berlaku di daerah setempat Pelaksanaan di Daerah Dalam desentralisasi yang paling penting adalah adanya layanan publik yang semakin dekat dengan masyarakat yang membutuhkan. Prioritas pengembangan layanan di tingkat kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan penanggulangan AIDS nasional adalah 80

82 antara lain untuk perluasan dan penguatan LKB, PMTS, Pengurangan Dampak Buruk NAPZA dan SUFA/ PDP/ PPIA. Dalam konteks LKB, prioritasnya adalah desentralisasi layanan HIV hingga ke tingkat komunitas misalnya di tingkat Puskesmas dan layanan berbasis komunitas, mulai dari layanan pencegahan, tes HIV, serta inisiasi pengobatan dini dan pemberian dukungan psikososial untuk meningkatkan kepatuhan minum obat, serta mengurangi stigma dan diskriminasi di masyarakat. Prioritas geografis perlu dilakukan dalam pelaksanaan program penanggulangan AIDS agar menjadi lebih tepat sasaran, khususnya untuk mendorong ketersediaan layanan di titik-titik hotspot prioritas di tingkat kabupaten/ kota. Secara khusus pelaksanaan LKB di tingkat Puskesmas perlu didorong untuk mencapai integrasi layanan HIV ke dalam layanan kesehatan dasar di Puskesmas seperti layanan KIA, TB, IMS, Kespro. Hal ini penting untuk meningkatkan kesinambungan dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas layanan HIV pada struktur layanan kesehatan primer. Masih dalam dalam konteks pelaksanaan LKB, prioritas perlu diberikan untuk penguatan ketertautan antara layanan di sektor kesehatan dengan layanan yang berbasis komunitas. Hal ini penting dilakukan di Tanah Papua, dimana epidemi sudah sampai ke populasi umum. Dalam desentralisasi, pelaksanaan layanan publik di tingkat propinsi hingga kabupaten/ kota adalah tanggung jawab dari Satuan Kerja Pelaksana Daerah (SKPD) setempat yang terkait, bersama dengan mitra pelaksana kegiatan di daerah. Untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas pelaksanaan penanggulangan AIDS di daerah, KPA perlu mendorong adanya mekanisme pemantauan/supervisi secara berkala untuk setiap unit kerja tersebut sesuai dengan standar mutu yang telah disepakati. Pelatihan dilaksanakan sesuai kebutuhan; daerah harus mampu mendefinisikan kebutuhan dan tantangan kapasitas. Selain peningkatan kapasitas teknis dalam memberikan layanan, peningkatan standar mutu dan kualitas yang dipandang cukup penting adalah untuk mendorong layanan yang lebih ramah komunitas termasuk pada populasi kunci, ODHA, perempuan dan remaja. Bila terdapat kebutuhan peningkatan kapasitas, KPA juga perlu mendorong adanya perencanaan kegiatan dan anggaran rutin untuk komponen tersebut. Supervisi/ bimtek secara berjenjang menjadi upaya penting peningkatan kapasitas dan kompetensi. Peningkatan kapasitas untuk memobilisasi serta memberdayakan masyarakat dan komunitas untuk berpartisipasi aktif dalam upaya penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten/ kota juga merupakan kegiatan yang penting, khususnya untuk mendorong akuntabilitas layanan dan juga semakin mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap populasi kunci dan ODHA. Kegiatan ini perlu didorong di tingkat kecamatan dan desa, khususnya dengan meningkatnya sumber dana ke desa. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain termasuk penguatan WPA, program pencegahan dan dukungan oleh Desa 81

83 terutama untuk mobilisasi atau mendorong akses ke layanan melalui peningkatan health seeking behavior dari masyarakat. Peningkatan kapasitas komunitas Populasi Kunci dilakukan antara lain melalui pelatihan terkait perencanaan, pelibatan dalam pertemuan; pelibatan akan bermakna seiring meningkatnya kapasitas wakil-wakil populasi kunci. Keterwakilan komunitas dalam perencanaan, kegiatan, evaluasi agar disepakati dikalangan komunitas sehingga dapat memunculkan wakil terbaik dari komunitas itu sendiri Monitoring dan Evaluasi di Daerah Setiap daerah harus memiliki data terkini. Pertama mengenai perkembangan epidemi HIV, yaitu setidaknya jumlah kasus HIV dan AIDS serta data kematian terkait AIDS, estimasi dan pemetaan populasi kunci. Kemudian laporan kemajuan penanggulangan AIDS termasuk data kelembagaan, pendanaan, cascade layanan HIV mulai dari pencegahan, tes HIV, pengobatan, perawatan dan dukungan, serta mitigasi dampak. Mekanisme pembaharuan data harus berjalan secara berkala, seperti pemetaan, estimasi, pelaporan dan pencatatan rutin dan pelaporan supervisi. Ini semua dalam satu kerangka monitoring dan evaluasi yang mampu memberikan informasi strategis bagi perencanaan dan perbaikan pelaksanaan program di daerah. Monitoring dan evaluasi terintegrasi dalam sistem yang sudah ada di SKPD. Kegiatan monitoring dan evaluasi agar mengacu pada dokumen perencanaan yang berisikan indikator dan target yang harus dicapai masing-masing mitra pelaksana, baik SKPD, mitra non-pemerintah atau komunitas. Mekanisme monitoring dan evaluasi harus berjalan harmonis mulai dari tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/ kota, dengan memanfaatkan teknologi informasi. Monitoring dan evaluasi di tingkat daerah agar difasilitasi oleh KPA melalui mekanisme Kelompok Kerja Monev (Pokja Monev) di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota. Pokja monev harus mampu memberikan umpan balik secara rutin di daerah, untuk perbaikan segera pelaksanaan program. Hasil monitoring dan evaluasi agar dikomunikasikan pula secara teratur kepada pimpinan daerah dan para pembuat kebijakan untuk menjadi dasar perencanaan dan pembuatan kebijakan yang mendukung. Diseminasi data yang real-time secara visual kepada pihak yang lebih luas dan masyarakat perlu dilakukan memanfaatkan ICT (Information and Communication Technology). Pengguna ICT perlu dioptimalkan untuk akuntabilitas publik, mempercepat rekonsiliasi data, memperbaiki ketepatan waktu dan kualitas pelaporan serta pencatatan program. 82

84 Bab 7. SUMBER DAYA DAN PENDANAAN 6.1. Sumber Daya Manusia Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan dimensi pendukung yang penting untuk dapat mencapai tujuan SRAN Sumber daya manusia yang mumpuni diperlukan untuk menjamin kualitas pelaksanaan SRAN. Desentralisasi pengobatan HIV ke layanan kesehatan primer sangat memerlukan penguatan SDM. Penguatan SDM juga diperlukan pada upaya pencegahan yang berbasis komunitas. Ada beberapa usaha strategis yang perlu dilakukan dalam menghadapi tantangan SRAN : 1. Mengkoordinasikan upaya-upaya pengembangan sumber daya manusia melalui kelompok kerja khusus. 2. Setiap mitra pelaksana agar menyusun rencana pengembangan SDM untuk perluasan layanan, peningkatan cakupan dan meningkatkan efektivitas intervensi yang diuraikan dalam SRAN Rencana tersebut mencakup kegiatan penyegaran dan pelatihan staf baru. 3. Dengan adanya perluasan penanggulangan AIDS dan integrasi layanan HIV, maka ada kebutuhan untuk memasukkan isu HIV dalam pendidikan di perguruan tinggi dan lembaga pelatihan untuk memperkuat pelatihan pralayanan. 4. Menggunakan konsep "tenaga kerja multiplier" akan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia. Ini berlaku pada staf lini depan yang memberikan pelayanan di fasilitas kesehatan dan layanan berbasis masyarakat, serta SDM yang bertanggung jawab untuk melakukan pelatihan. Pertimbangan utama dalam hal ini adalah sebagai berikut: a. Peningkatan keterlibatan populasi kunci, ODHA dan organisasi masyarakat sipil pelaksanaan penanggulangan AIDS merupakan multiplier tenaga kerja yang penting. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, SDM membutuhkan keterampilan dasar agar dapat menjalankan fungsinya sebagai petugas lapangan, pendidik sebaya maupun promotor, dan penyedia dukungan dan layanan lainnya di lingkungan masyarakat. Misalnya keterampilan-keterampilan yang mencakup (1) pemahaman yang akurat mengenai penularan dan pencegahan HIV, (2) komunikasi dan advokasi, (3) pemahaman dasar sistem kesehatan, termasuk titik masuk untuk layanan HIV, (4) pemahaman dasar tentang penyedia dan layanan dukungan sosial dan mitigasi dampak serta bagaimana layanan tersebut dapat diakses, termasuk BJPS. Jumlah tenaga dari masyarakat sipil yang dibutuhkan program perlu dihitung oleh masing-masing kabupaten/ kota dengan dukungan teknis dari propinsi. Perhitungan kebutuhan ini dengan menggunakan informasi 83

85 mengenai jumlah populasi kunci maupun ODHA, serta organisasi masyarakat sipil. Dalam rangka meningkatkan jumlah orang yang dijangkau untuk dirujuk ke layanan kesehatan, maka SDM dari komunitas perlu ditingkatkan. Untuk Pendidik Sebaya (PE), misalnya, pada WPSL dan waria dibutuhkan sejumlah orang dengan rasio (jumlah PE terhadap orang yang dijangkau) berkisar 1:20 sampai dengan 1:50. Pada Penasun, rasio diperkirakan antara 1:10 sampai 1:20. Pada WPSTL seperti yang berada pada bisnis hiburan, dapat mengembangkan pendekatan peer leader selain pendidik sebaya dimana rasionya dapat berkisar antara 1:5-1:30. Untuk melaksanakan program tersebut, dukungan Dinas Pariwisata sangat dibutuhkan. Pada LSL, jumlah tenaga dari komunitas, untuk pendidik sebaya misalnya, yang dibutuhkan akan tergantung pada pendekatan program. Jika berbasis website/ internet, maka rasionya bisa mencapai lebih dari 1:50, sementara dengan pendekatan konvensional, face-to-face, akan berkisar antara 1:15 sampai 1:30. Mendampingi orang yang menjalani konseling dan testing HIV, serta memulai pengobatan ARV, dibutuhkan SDM dari komunitas, yang berperan sebagai dukungan sebaya. Di kota dengan infrastruktur yang lebih baik, dukungan dari komunitas dapat berupa tenaga konseling. Ada beberapa sebutan untuk peran ini, salah satunya yang masih banyak digunakan adalah Manajer Kasus. Tugasnya tidak hanya mendampingi pada saat diagnostik hingga mulai pengobatan, tetapi juga dalam kepatuhan minum obat dan mempertahankan pasien dalam pengobatan. Agar berjalan dengan baik, kegiatan ini perlu dikoordinasi oleh KPA kabupaten/ kota yang tidak hanya bekerja sama dengan Dinas Kesehatan serta petugas fasilitas kesehatan, tetapi juga kelompok masyarakat seperti kader maupun komunitas. Untuk mendorong terjadinya koordinasi multi-pihak dalam pemenuhan kebutuhan SDM, maka KPA kabupaten/ kota perlu mengambil peran sebagai penggerak. Pelibatan komunitas diperkuat dengan memperkuat jaringan populasi kunci serta peran masyarakat sipil lainnya untuk mendukung LKB dan SUFA. Dinas Kesehatan perlu memperkuat pemberian layanan berkualitas dengan ketertautan penguatan sistem komunitasnya. Sementara pendanaan untuk SDM dari sumberdana daerah perlu diperkuat melalui proses perencanaan dan penganggaran. b. Pengalihan tugas (task shifting) menjadi elemen penting dalam SRAN , meliputi (1) perluasan tanggung jawab untuk merawat pasien HIV dari spesialis/ internis ke dokter umum, (2) tanggung jawab beberapa layanan bergeser dari dokter ke perawat, dan (3) perawat merangkap teknisi laboratorium sederhana untuk menyelesaikan kekurangan kapasitas laboratorium yang menghambat untuk ekspansi pengobatan. Kementerian Kesehatan perlu membuat kelompok kerja task shifting untuk menjadi dewan pertimbangan atas pelaksanaan kegiatan ini. 84

86 c. Adanya penambahan jumlah staf untuk peningkatan kapasitas. Staf propinsi perlu mengambil peran yang lebih besar dan lebih sistematis dalam membangun kapasitas di tingkat kabupaten/ kota. Staf yang dimaksud di sini, mempertimbangkan juga tidak hanya pada fasilitas layanan yang statis, tetapi juga yang bergerak (mobile), secara komprehensif. 5. Untuk memaksimalkan efisiensi diperlukan adanya pelatihan, pembinaan, mentoring yang harus dikaitkan dengan sistem QA/ QI sehingga peningkatan kapasitas juga diikuti dengan peningkatan mutu yang berkelanjutan Kebutuhan dan Ketersediaan Dana Penanggulangan HIV dan AIDS tahun membutuhkan pendanaan yang berkelanjutan dari berbagai sumber baik dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, swasta maupun mitra pembangunan internasional. Saat ini, penanggulangan HIV dan AIDS menghadapi tantangan berkenaan dengan kemandirian pendanaan yang berkelanjutan. RPJMN RPJMN menetapkan bahwa kesehatan merupakan salah satu program kunci pembangunan jangka menengah periode ini dalam Pembangungan Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan adalah butir ketiga dari 10 butir isu strategis RPJMN Dalam Sasaran Pokoknya, ditetapkan bahwa Prevalensi HIV pada populasi dewasa status awal adalah 0,43% dengan target <0,5% pada tahun Mempertimbangkan bahwa salah satu arah kebijakan RPJMN adalah reformasi yang difokuskan pada penguatan upaya kesehatan dasar (primary health care) yang berkualitas melalui upaya promotif dan preventif serta pengembangan sistem Jaminan Kesehatan Nasional, maka dalam rangka pengendalian penyakit menular, termasuk HIV dan AIDS, adalah dengan beberapa strategi utama, antara lain, peningkatan surveilans, epidemiologi kasus dan pemutusan rantai penularan, pemanfaatan teknologi preventif tepat guna, dan pemberdayaan masyarakat. Dalam kerangka pendanaan untuk RPJMN, tiga sumber dana penting yang disebutkan akan ditingkatkan adalah (1) dana publik (pemerintah), termasuk peningkatan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, (2) peningkatan sumber dari tarif/ pajak khusus, dan (3) peningkatan peran dunia usaha melalui kemitraan publik-privat maupun CSR (Corporate Social Responsibility). Sementara itu untuk peningkatan efektivitasnya, dilakukan beberapa langkah, yaitu (1) pembagian peran dan kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/ kota; (2) peningkatan efisiensi dan efektivitas anggaran kesehatan melalui sinergi perencanaan, perencanaan berbasis bukti dan pengelolaan anggaran kesehatan yang terfokus pada pencapaian prioritas nasional; dan (3) pengelolaan dan pengembangan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang kesehatan yang lebih tepat sasaran. Secara eksplisit, penanggulangan HIV dan AIDS disebutkan dalam kerangka kelembagaan lintas sektor/ lintas bidang. 85

87 Langkah ke depan dengan fokus penanggulangan HIV dan AIDS sebagaimana diarahkan dalam RPJMN adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan pendanaan. Peningkatan pengeluaran biaya pemerintah pusat dan daerah untuk kesehatan; serta kerjasama dengan swasta dan masyarakat sipil. 2. Peningkatan allocative dan technical efficiency pembiayaan. Melalui upaya promotif, preventif, pemberdayaan masyarakat dan pembayaran melalui SJSN, serta melalui kemampuan perencanaan dan pengelolaan anggaran. 3. Kelembagaan. Melalui koordinasi lintas sektor dan institusionalisasi SDGs (Sustainable Development Goals). 4. Kerangka Regulasi. Melalui penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM, Nomenklatur anggaran, serta Rencana Aksi Daerah (RAD) dalam sistem perencanaan, yang merupakan peran penting Kementerian Dalam Negeri. Kondisi Pendanaan Secara Umum. Saat ini peran pendanaan dalam negeri terus meningkat. Kebutuhan anggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS meningkat sampai sebesar USD 87,002,697. Pada sisi kuratif terkait dengan penyediaan ARV peran pendanaan dalam negeri meningkat dari 27% pada tahun 2006 menjadi 43% pada tahun Namun demikian, program penanggulangan HIV dan AIDS yang bersumber dari dana luar negeri masih cukup besar (57%). Selama ini kebutuhan anggaran bersumber luar negeri untuk penanggulangan HIV dan AIDS tersebut dipenuhi oleh Global Fund, Departemen Luar Negeri Negara Australia, Dana Dukungan Amerika Serikat (USAID), Pemerintah Inggris (UK), Badan-badan PBB dan Organisasi Non Pemerintah Internasional (NGOI). Diperkirakan, sumber-sumber pendanaan luar negeri tersebut akan berkurang pada periode Walaupun alokasi anggaran untuk pengobatan bersumber dari anggaran dalam negeri meningkat pesat pada periode tahun , namun kebutuhan untuk pelaksanaan program promotif-preventif sebagian besarnya masih sangat bergantung pada dana bantuan luar negeri. Untuk itu, diperlukan mobilisasi sumber pendanaan lainnya yang masih tersedia. Kondisi Pendanaan Daerah. Sebagai upaya untuk mengurangi jumlah penularan baru, upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan berikut: Sistem perencanaan pembangunan nasional yang diatur dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2004; Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor /2259/sj tentang penguatan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. 86

88 Berikut ini adalah realisasi tahunan pendanaan dalam negeri. Gambar 7.1. Realisasi Pendanaan Dalam Negeri, , berdasarkan sumber (USD) Kondisi di atas menunjukkan bahwa pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah selama tahun masih cenderung stagnan dan bahkan mengalami penurunan bila inflasi dimasukkan dalam perhitungan. Kondisi ini memberi gambaran yang mengarah pada perlunya penguatan dan peningkatan yang bermakna dukungan pendanaan daerah untuk upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Propinsi dan kabupaten/ kota harus mampu menunjukkan kapasitasnya dalam mengatasi masalah HIV dan AIDS ini. Pendekatan yang digunakan untuk menghadapi hal ini adalah merujuk pada aturan perundangan yang berlaku sebagaimana yang sudah diterapkan dalam proses perencanaan dan penganggaran yang menjadi area tanggung jawab Bappenas dan Bappeda setempat Analisis Anggaran Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, skenario 141 kabupaten/ kota prioritas yang didalamnya terdapat 47 kabupaten/ kota SUFA sampai dengan tahun 2016, dan 75 kabupaten/ kota SUFA dimulai tahun 2017, maka dilakukan perhitungan kebutuhan biaya. Kebutuhan biaya ini dihitung dengan mempertimbangkan situasi 87

89 epidemi di Indonesia. Berikut ini adalah total kebutuhan pendanaan untuk penanggulangan HIV dan AIDS tahun , yang dipilah berdasarkan upaya pencegahan komprehensif pada populasi kunci serta pengobatan ARV pada pasien ODHA yang memenuhi syarat. Gambar 7.2. Kebutuhan Pembiayaan Penanggulangan HIV dan AIDS (USD 1,000) Sebagaimana tampak di atas, kebutuhan anggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS pada periode diperkirakan akan terus meningkat. Jika dibandingkan dengan anggaran yang tersedia datanya hingga penulisan ini, maka berikut ini adalah gambaran kesenjangan pendanaan antara kebutuhan dan ketersediaan. Perhitungan mengenai ketersediaan dana dilakukan dengan memasukkan dana dalam negeri dengan asumsi pertumbuhan 20% per tahun pada dana pusat, dan peningkatan 20% dana daerah. Sementara itu, dana dalam negeri yang berasal dari swasta diperkirakan adalah sekitar 3,4%-4% dari total pendanaan untuk HIV dan AIDS, termasuk dari layanan kesehatan swasta, bantuan swasta, dan CSR. Ketersediaan dana juga mencakup dana luar negeri dari Global Fund dan dana bilateral lainnya, yang berjumlah sekitar hampir 50% dari total dana untuk HIV dan AIDS. 88

90 Gambar 7.3. Proyeksi Kebutuhan, Ketersediaan dan Kesenjangan Dana Tahun Gambar di atas menunjukkan bahwa pada 3 tahun pertama ( ), kesenjangan pendanaan relatif kecil, bahkan, dalam perhitungan, tahun 2015 masih ada dana yang bisa dimanfaatkan lebih. Namun demikian, dengan akan berakhirnya dukungan pendanaan dari Global Fund, maka diperkirakan akan terjadi kesenjangan yang besar pada tahun 2018 dan tahun Analisis Investasi Berdasarkan hasil kajian ICA, pada tahun 2015 diperlukan biaya sebesar USD untuk mencegah terjadinya satu infeksi baru HIV, pada tahun 2017 USD dan pada tahun 2019 angka ini menurun menjadi USD persatu infeksi baru HIV yang tidak terjadi. Dengan angka sebesar ini, maka total biaya yang dibutuhkan untuk melakukan program SRAN secara komprehensif adalah sebesar USD , dengan penghematan sebesar USD pada pengobatan jika program dilaksanakan secara efektif Strategi pemenuhan kebutuhan anggaran serta kemandirian terhadap ketergantungan dana luar negeri Untuk memenuhi kebutuhan anggaran penanggulangan HIV dan AIDS, diperlukan beberapa langkah yang saling melengkapi dan bertujuan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek per tahun, tetapi juga melihat upaya ini sebagai langkah yang mengarah pada keberlanjutan program dengan pemberdayaan lokal yang pada gilirannya mandiri dari pada ketergantungan dukungan dana luar negeri. Langkahlangkah tersebut adalah sebagai berikut: 89

Strategi dan Rencana Aksi Nasional

Strategi dan Rencana Aksi Nasional Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019 Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019 PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA Komisi

Lebih terperinci

komisi penanggulangan aids nasional

komisi penanggulangan aids nasional 1 komisi penanggulangan aids nasional Pendahuluan: Isi strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS ini telah mengacu ke arah kebijakan yang terdapat dalam RPJMN 2010-2014. Strategi dan

Lebih terperinci

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015 SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015 LATAR BELAKANG DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia

Lebih terperinci

Kebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012

Kebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012 Kebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012 Priscillia Anastasia Koordinator PMTS 1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun dan sejak tahun 2000 sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi

Lebih terperinci

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL Oleh GWL-INA FORUM NASIONAL IV JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN Kupang, 6 September 2013 Apa itu GWL dan GWL-INA GWL adalah gay,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap

Lebih terperinci

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

Situasi HIV & AIDS di Indonesia Situasi HIV & AIDS di Indonesia 2.1. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009 Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV. Keberadaan

Lebih terperinci

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Sutjipto PKMK FK UGM Disampaikan pada Kursus Kebijakan HIV-AIDS 1 April 216 1 Landasan teori 2 1 EPIDEMIOLOGY (Definisi ) 1.

Lebih terperinci

Call for Proposal A. SR NASIONAL ADVOKASI & TA PROGRAM WPS LATAR BELAKANG

Call for Proposal A. SR NASIONAL ADVOKASI & TA PROGRAM WPS LATAR BELAKANG Call for Proposal A. SR NASIONAL ADVOKASI & TA PROGRAM WPS LATAR BELAKANG Kementerian Kesehatan (Kemenkes), berdasarkan hasil pemodelan matematika AIDS Epidemic Modeling (AEM), memperkirakan pada tahun

Lebih terperinci

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 1. Hari AIDS Sedunia diperingati setiap tahun, dengan puncak peringatan pada tanggal 1 Desember. 2. Panitia peringatan Hari AIDS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) secara global masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah kesehatan yang

Lebih terperinci

SITUASI PENDANAAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013

SITUASI PENDANAAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013 SITUASI PENDANAAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013 LATAR BELAKANG DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan angka HIVdanAIDS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Satiti Retno Pudjiati Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Layanan HIV PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 1 Outline Paparan Bagaimana Transmisi HIV Terjadi Situasi HIV

Lebih terperinci

Laporan Ketua Panitia Pelaksana Selaku Chief Rapporteur Dalam Acara Penutupan Pertemuan Nasional AIDS IV Pembukaan

Laporan Ketua Panitia Pelaksana Selaku Chief Rapporteur Dalam Acara Penutupan Pertemuan Nasional AIDS IV Pembukaan Laporan Ketua Panitia Pelaksana Selaku Chief Rapporteur Dalam Acara Penutupan Pertemuan Nasional AIDS IV Hotel Inna Garuda Yogyakarta Kamis, 6 Oktober 2011 Pertemuan Nasional AIDS IV tanggal 3-6 Oktober

Lebih terperinci

PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL

PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL POLICY BRIEF 03 PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL Layanan HIV dan AIDS yang Komprehensif dan Berkesinambungan (LKB)

Lebih terperinci

Call for Proposal SUB-RECIPIENT NASIONAL ADVOKASI & TECHNICAL ASISTANCE PROGRAM PADA WANITA PEKERJA SEKS (WPS)

Call for Proposal SUB-RECIPIENT NASIONAL ADVOKASI & TECHNICAL ASISTANCE PROGRAM PADA WANITA PEKERJA SEKS (WPS) Call for Proposal SUB-RECIPIENT NASIONAL ADVOKASI & TECHNICAL ASISTANCE PROGRAM PADA WANITA PEKERJA SEKS (WPS) A. LATAR BELAKANG Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memperkirakan pada tahun 2012 di Indonesia

Lebih terperinci

Lokakarya LSL dalam Pengembangan SRAN. Integrasi program LSL dalam SRAN

Lokakarya LSL dalam Pengembangan SRAN. Integrasi program LSL dalam SRAN www.aidsindonesia.or.id APRIL 2014 K ebijakan penanggulangan HIV dan AIDS 2015-2019 harus memperhatikan Post 2015 Development Agenda yang merupakan kelanjutan dari MDGs yang berakhir pada 2015 Dr. Hadiat

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development

Lebih terperinci

Memperkuat Peran Daerah

Memperkuat Peran Daerah Memperkuat Peran Daerah dalam Penanggulangan HIV/AIDS Dr. Kemal N. Siregar Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional September 2016 Pokok bahasan Input utama: Kebijakan dan dukungan nasional Penguatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah HIV dan AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB HIV

KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB HIV KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB HIV disampaikan oleh : Kasi Resisten obat Nurjannah, SKM M Kes Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan RI Epidemilogi

Lebih terperinci

Latar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia

Latar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia Lecture Series Inisiasi Dini Terapi Antiretroviral untuk Pencegahan dan Pengobatan Oleh Pusat Penelitian HIV & AIDS Atma Jaya Jakarta, 25 Februari 2014 Pembicara: 1) Yudi (Kotex, perwakilan komunitas)

Lebih terperinci

PESAN POKOK AGENDA PRIORITAS PENELITIAN UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA POLICY BRIEF

PESAN POKOK AGENDA PRIORITAS PENELITIAN UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA POLICY BRIEF POLICY BRIEF 06 AGENDA PRIORITAS PENELITIAN UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA PESAN POKOK Kontribusi peneli an terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dilakukan

Lebih terperinci

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan PENDAHULUAN Secara umum Indonesia adalah negara dengan epidemi rendah, tetapi terkonsentrasi

Lebih terperinci

Pertemuan Evaluasi Program GWL. Untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi pengembangan program

Pertemuan Evaluasi Program GWL. Untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi pengembangan program www.aidsindonesia.or.id AGUSTUS 2012 A gustus 2012 kali ini terasa special. Pertama karena pada tanggal 17 diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke 67. Kedua, yaitu bersamaan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS PROVINSI DKI JAKARTA. Disampaikan Pada Acara :

ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS PROVINSI DKI JAKARTA. Disampaikan Pada Acara : KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS PROVINSI DKI JAKARTA Disampaikan Pada Acara : FORUM NASIONAL VI JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN Padang, 24-27 Agustus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immuno-deficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan

Lebih terperinci

Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia

Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kerjasama: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM & Pemerintah Australia Latar Belakang Pro dan kontra tentang

Lebih terperinci

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit!

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit! Policy Brief Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit! Pesan Pokok Perluasan cakupan perawatan HIV hingga saat ini masih terbatas karena adanya berbagai hambatan baik dari

Lebih terperinci

Revisi Pedoman Pelaporan dan Pencatatan. Pemutakhiran pedoman pencatatan Monev

Revisi Pedoman Pelaporan dan Pencatatan. Pemutakhiran pedoman pencatatan Monev www.aidsindonesia.or.id MARET 2014 L ayanan komprehensif Berkesinambungan (LKB) merupakan strategi penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 21 tahun

Lebih terperinci

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU 1 Tujuan Menentukan kecenderungan prevalensi HIV, Sifilis, Gonore, dan Klamidia di antara Populasi Paling Berisiko di beberapa kota di Indonesia. Menentukan kecenderungan

Lebih terperinci

1 DESEMBER HARI AIDS SE-DUNIA Stop AIDS: Akses untuk Semua! Mardiya. Kondisi tersebut jauh meningkat dibanding tahun 1994 lalu yang menurut WHO baru

1 DESEMBER HARI AIDS SE-DUNIA Stop AIDS: Akses untuk Semua! Mardiya. Kondisi tersebut jauh meningkat dibanding tahun 1994 lalu yang menurut WHO baru Artikel 1 DESEMBER HARI AIDS SE-DUNIA Stop AIDS: Akses untuk Semua! Mardiya Tidak dapat dipungkiri, epidemi HIV/AIDS telah berkembang begitu pesat di seluruh dunia termasuk Indonesia. Kasus ini paling

Lebih terperinci

STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN 2010-2014

STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN 2010-2014 STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN 2010-2014 (LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KOORDINATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT SELAKU KETUA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS NASIONAL NOMOR 08/PER/MENKO/KESRA/I/2010)

Lebih terperinci

STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN

STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN 2010-2014 (LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KOORDINATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT SELAKU KETUA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS NASIONAL NOMOR 08/PER/MENKO/KESRA/I/2010)

Lebih terperinci

PESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)?

PESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)? POLICY BRIEF 02 PESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)? Akselerasi Strategic Use of An retroviral (SUFA) selama ini telah

Lebih terperinci

DEKLARASI BANGKOK MENGENAI AKTIVITAS FISIK UNTUK KESEHATAN GLOBAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

DEKLARASI BANGKOK MENGENAI AKTIVITAS FISIK UNTUK KESEHATAN GLOBAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DEKLARASI BANGKOK MENGENAI AKTIVITAS FISIK UNTUK KESEHATAN GLOBAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KONGRES INTERNASIONAL KE-6 ISPAH (KONGRES KESEHATAN MASYARAKAT DAN AKTIVITAS FISIK Bangkok, Thailand 16-19

Lebih terperinci

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 201 Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 1 Puskesmas Bulupoddo, 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Sulawesi

Lebih terperinci

SEKRETARIAT KPA NASIONAL

SEKRETARIAT KPA NASIONAL LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN SEKRETARIAT KPA NASIONAL S E PTE MBE R 2010 KPA Nasional pada bulan September ini melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan tupoksi yang tertuang dalam Perpres No.75 Tahun

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

KERANGKA ACUAN KEGIATAN KERANGKA ACUAN KEGIATAN PRGRAM HIV AIDS DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL I. PENDAHULUAN Dalam rangka mengamankan jalannya pembangunan nasional, demi terciptanya kwalitas manusia yang diharapkan, perlu peningkatan

Lebih terperinci

Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia

Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kerjasama: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM & Pemerintah Australia Latar Belakang Pro dan kontra tentang

Lebih terperinci

Peningkatan Kemandirian Penanggulangan AIDS

Peningkatan Kemandirian Penanggulangan AIDS Arahan Ketua KPA Nasional: Peningkatan Kemandirian Penanggulangan AIDS Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 2013 Pokok bahasan Situasi epidemi dan respons Tantangan kemandirian Yang perlu dilakukan Perkembangan

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA 2007 2010 KOMISI PENANGGULANGAN AIDS NASIONAL 2 0 0 7 Ringkasan Eksekutif Dokumen ini berisi Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan AIDS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan merupakan penyebab kematian bagi penderitanya. Penyakit menular adalah penyakit

Lebih terperinci

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM Latar Belakang Respon penanggulangan HIV dan AIDS yang ada saat ini belum cukup membantu pencapaian target untuk penanggulangan HIV dan AIDS

Lebih terperinci

Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS, Indonesia

Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS, Indonesia Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS, Indonesia Budi Utomo HIV Cooperation Program for Indonesia Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia Kupang 4-7 September 2013 Topik bahasan Memahami kebijakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Deskripsi dan uraian umum Daftar isi

DAFTAR ISI Deskripsi dan uraian umum Daftar isi DAFTAR ISI Deskripsi dan uraian umum Daftar isi Ringkasan i Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah 1 Rumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 5 Target Penelitian 5 Bab II Tinjauan Pustaka Definisi AIDS dan

Lebih terperinci

POINTER ARAHAN KETUA KPA NASIONAL UNTUK PENINGKATAN KEMANDIRIAN PENANGGULANGAN AIDS

POINTER ARAHAN KETUA KPA NASIONAL UNTUK PENINGKATAN KEMANDIRIAN PENANGGULANGAN AIDS POINTER ARAHAN KETUA KPA NASIONAL UNTUK PENINGKATAN KEMANDIRIAN PENANGGULANGAN AIDS Assalamualaikum Warrahmatulahi Wabarakatuh, Kepada Yth Pelaksana Tugas Kepala BKKBN, Bapak Sudibyo Alimuso, Sekretaris

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013

KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013 KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013 SITUASI DI INDONESIA Estimasi Jumlah ODHA 591.823 Jumlah Kasus Jumlah HIV dan AIDS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun ke tahun semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dibangun pada Millenium Development Goals (MDGs), memiliki 5 pondasi yaitu manusia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.

Lebih terperinci

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Disampaikan pada Lecture Series Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA ATMAJAYA: Peranan Bidan dalam Mendukung

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. b. c. bahwa dalam upaya untuk memantau penularan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian sangat serius. Hal ini karena jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya

Lebih terperinci

UNDANGAN Konsep Usulan Penelitian HIV dan AIDS Tahun 2013: Prioritas pada Pencegahan Melalui Transmisi Seksual

UNDANGAN Konsep Usulan Penelitian HIV dan AIDS Tahun 2013: Prioritas pada Pencegahan Melalui Transmisi Seksual UNDANGAN Konsep Usulan Penelitian HIV dan AIDS Tahun 2013: Prioritas pada Pencegahan Melalui Transmisi Seksual Latar-belakang Penanggulangan HIV dan AIDS di dunia menunjukkan kemajuan dalam pencegahan

Lebih terperinci

Undangan pengajuan usulan penelitian HIV

Undangan pengajuan usulan penelitian HIV Undangan pengajuan usulan penelitian HIV KPAN, 2010 Latar-belakang Sejak kasus AIDS dikonfirmasi pertama kali tahun 1987, pemerintah bersama masyarakat telah mengambil bebagai kebijakan dan tindakan penanggulangan.

Lebih terperinci

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun Catatan Kebijakan # 3 Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun Stigma terhadap penggunaan narkoba di masyarakat selama ini telah membatasi para pengguna narkoba untuk memanfaatkan layananlayanan

Lebih terperinci

ANALISIS EPIDEMIOLOGI HIV AIDS DI KOTA BANDUNG DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG

ANALISIS EPIDEMIOLOGI HIV AIDS DI KOTA BANDUNG DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG ANALISIS EPIDEMIOLOGI HIV AIDS DI KOTA BANDUNG DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG KEBIJAKAN DALAM PERMENKES 21/2013 2030 ENDING AIDS Menurunkan hingga meniadakan infeksi baru Menurunkan hingga meniadakan kematian

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) ,

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) , PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) 322460, Email : kpakabmimika@.yahoo.co.id LAPORAN PELAKSANAAN PROGRAM HIV/AIDS DAN IMS PERIODE JULI S/D SEPTEMBER

Lebih terperinci

Kerangka Acuan Desiminasi Hasil Analisa Pendokumentasian Data Kasus Kekerasan terhadap perempuan dengan HIV dan AIDS di 8 provinsi di Indonesia.

Kerangka Acuan Desiminasi Hasil Analisa Pendokumentasian Data Kasus Kekerasan terhadap perempuan dengan HIV dan AIDS di 8 provinsi di Indonesia. Kerangka Acuan Desiminasi Hasil Analisa Pendokumentasian Data Kasus Kekerasan terhadap perempuan dengan HIV dan AIDS di 8 provinsi di Indonesia. Latar Belakang Perkembangan HIV-AIDS di Indonesia Triwulan

Lebih terperinci

Layanan Komprehensif Berkesinambungan dan Peningkatan Retensi ARV. Kasubdit HIVAIDS dan PIMS KEMENKES

Layanan Komprehensif Berkesinambungan dan Peningkatan Retensi ARV. Kasubdit HIVAIDS dan PIMS KEMENKES Layanan Komprehensif Berkesinambungan dan Peningkatan Retensi ARV Kasubdit HIVAIDS dan PIMS KEMENKES Latar Belakang Hasil estimasi dan proyeksi HIV/AIDS (Kemkes, 2014): > 1jt ODHA pad th 2025 Akan terus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan pada peningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

Lebih terperinci

Kab.Tangerang & Resiko

Kab.Tangerang & Resiko Kamis, 30 Maret 2017 Kab.Tangerang & Resiko Pertumbuhan dan aktifitas industri yang sangat tinggi Migrasi dan urbanisasi Jalur transportasi yang sangat terbuka Multi etnis, budaya dan agama Terbatasnya

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dengan menyerang sel darah putih CD4 yang berada pada permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya pencegahan IMS yang dilaksanakan

Lebih terperinci

SITUASI EPIDEMIOLOGI & STRATEGI PENANGGULANGAN HIV & AIDS Kabupaten Tangerang

SITUASI EPIDEMIOLOGI & STRATEGI PENANGGULANGAN HIV & AIDS Kabupaten Tangerang SITUASI EPIDEMIOLOGI & STRATEGI PENANGGULANGAN HIV & AIDS Kabupaten Tangerang KPA Kabupaten Tangerang Tigaraksa, 3 Maret 217 1 Cakupan Pemeriksaan HIV yang dilakukan th. 216 9494 9363 9271 9 8 7 6 Domisili

Lebih terperinci

Peringatan Hari AIDS Sedunia 2013: Cegah HIV dan AIDS. Lindungi Pekerja, Keluarga dan Bangsa

Peringatan Hari AIDS Sedunia 2013: Cegah HIV dan AIDS. Lindungi Pekerja, Keluarga dan Bangsa Peringatan Hari AIDS Sedunia 2013: Cegah HIV dan AIDS. Lindungi Pekerja, Keluarga dan Bangsa Menkokesra selaku Ketua KPA Nasional menunjuk IBCA sebagai Sektor Utama Pelaksana Peringatan HAS 2013 Tahun

Lebih terperinci

Program Peningkatan Cakupan Tes HIV, Inisiasi Dini ART dan Kelangsungan ODHA Minum ARV pada Populasi Berisiko Tinggi di Kota Denpasar,

Program Peningkatan Cakupan Tes HIV, Inisiasi Dini ART dan Kelangsungan ODHA Minum ARV pada Populasi Berisiko Tinggi di Kota Denpasar, Program Peningkatan Cakupan Tes HIV, Inisiasi Dini ART dan Kelangsungan ODHA Minum ARV pada Populasi Berisiko Tinggi di Kota Denpasar, 2014-2015 Sang Gede Purnama, Partha Muliawan, Dewa Wirawan A. Abstrak

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM HIV & AIDS

MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM HIV & AIDS MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM HIV & AIDS JUM AT, 8 APRIL 2016 DI JAVA TEA HOUSE, YOGYAKARTA KEBIJAKAN TERKAIT MONEV PROGRAM PENANGGULANGAN HIV&AIDS SECARA NASIONAL, MONEV PLAN PROGRAM PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Menko Kesra RI/ Ketua KPA Nasional Agung Laksono

KATA PENGANTAR Menko Kesra RI/ Ketua KPA Nasional Agung Laksono KATA PENGANTAR Dengan penuh syukur saya menyampaikan kata pengantar untuk Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014, yang merupakan kelanjutan dan peningkatan Strategi dan

Lebih terperinci

Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV-AIDS. Tahun Kementerian Kesehatan RI

Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV-AIDS. Tahun Kementerian Kesehatan RI Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV-AIDS Tahun 2015-2019 Kementerian Kesehatan RI Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Bidang Kesehatan 2015-2019 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai penanggulangannya, merupakan masalah yang sangat kompleks. Penularan HIV- AIDS saat ini tidak hanya terbatas

Lebih terperinci

KPA Nasional. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Laporan Kegiatan Maret Kabar Menara Topas 9

KPA Nasional. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Laporan Kegiatan Maret Kabar Menara Topas 9 KPA Nasional Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Laporan Kegiatan Maret 2012 Kabar Menara Topas 9 Kilas laporan Rakor Menteri bidang Kesra Membahas Penanggulangan AIDS Pertemuan Kesepakatan K/L dalam Mendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan masyarakat di seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dua dasa warsa lebih sudah, sejak dilaporkannya kasus AIDS yang pertama di Indonesia tahun 1987 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Bali, respon reaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya

Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya Terimakasih telah bersedia berpartisipasi dalam survei Delphi terkait pengembangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

Panduan Wawancara Mendalam dengan CSO/CBO. I. Panduan untuk Peneliti

Panduan Wawancara Mendalam dengan CSO/CBO. I. Panduan untuk Peneliti Panduan Wawancara Mendalam dengan CSO/CBO I. Panduan untuk Peneliti Persiapan: 1. Pastikan anda sudah mengkonfirmasi jadwal dan tempat diskusi dengan informan. 2. Pastikan anda sudah mempelajari CSO/CBO

Lebih terperinci

Integrasi Upaya Penanggulangan. Kesehatan Nasional

Integrasi Upaya Penanggulangan. Kesehatan Nasional Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan Nasional Kerjasama Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Department of Foreign

Lebih terperinci

Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi WPS dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: Simpulan Rekomendasi

Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi WPS dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: Simpulan Rekomendasi SCP WPS 2010 1 Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi WPS dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: 1. Karakteristik responden 2. Akses ke program 3. Perilaku penggunaan kondom Simpulan Rekomendasi

Lebih terperinci

Call for Proposal IMPLEMENTATION UNIT (IU) PROGRAM PENJANGKAUAN WPS DAN PELANGGANNYA REGION IV (PAPUA, PAPUA BARAT, MALUKU, MALUKU UTARA)

Call for Proposal IMPLEMENTATION UNIT (IU) PROGRAM PENJANGKAUAN WPS DAN PELANGGANNYA REGION IV (PAPUA, PAPUA BARAT, MALUKU, MALUKU UTARA) Call for Proposal IMPLEMENTATION UNIT (IU) PROGRAM PENJANGKAUAN WPS DAN PELANGGANNYA REGION IV (PAPUA, PAPUA BARAT, MALUKU, MALUKU UTARA) A. LATAR BELAKANG Kementerian Kesehatan (Kemenkes), memperkirakan

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1238, 2015 KEMENKES. Pengguna Napza Suntik. Dampak. Pengurangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2015 TENTANG PENGURANGAN DAMPAK

Lebih terperinci

SEKRETARIAT KPA NASIONAL

SEKRETARIAT KPA NASIONAL LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN SEKRETARIAT KPA NASIONAL FE BR UAR I 2010 B Peserta Advokasi Media dan Kelompok Strategis (Populasi Kunci) Bekerja Sama dengan Kemenkoinfo ulan Februari ini KPA Nasional kembali

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) pada tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan IMS seperti perubahan demografi,

Lebih terperinci