Bab V Analisis Hasil Komisioning CUT Pilot Plant

dokumen-dokumen yang mirip
Bab IV Proses Komisioning pada CUT Pilot Plant

Bab III CUT Pilot Plant

BAB II TEKNOLOGI PENINGKATAN KUALITAS BATUBARA

PRAKOMISIONING DAN PENGUJIAN SUBSISTEM CUT PILOT PLANT

Lampiran I Data Pengamatan. 1.1 Data Hasil Pengamatan Bahan Baku Tabel 6. Hasil Analisa Bahan Baku

MODIFIKASI SISTEM BURNER DAN PENGUJIAN ALIRAN DINGIN FLUIDIZED BED INCINERATOR UI SKRIPSI

BAB IV PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Nilai Kecepatan Minimun Fluidisasi (U mf ), Kecepatan Terminal (U t ) dan Kecepatan Operasi (U o ) pada Temperatur 25 o C

PENERAPAN KONSEP FLUIDA PADA MESIN PERKAKAS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN TEORITIK PEMILIHAN HEAT PUMP DAN PERHITUNGAN SISTEM SALURAN PADA KANDANG PETERNAKAN AYAM BROILER SISTEM TERTUTUP

SKRIPSI. Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi. Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik BINSAR T. PARDEDE NIM DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

BAB II LANDASAN TEORI

Bab II Teknologi CUT

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas

BAB IV PEMODELAN POMPA DAN ANALISIS

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Setelah dilakukan pengujian, maka didapatkan data yang merupakan parameterparameter

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

(Indra Wibawa D.S. Teknik Kimia. Universitas Lampung) POMPA

METODOLOGI PENELITIAN

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Pembahasan pada sisi gasifikasi (pada kompor) dan energi kalor input dari gasifikasi biomassa tersebut.

BAB IV PEMILIHAN SISTEM PEMANASAN AIR

BAB III SISTEM PENGUJIAN

V. HASIL UJI UNJUK KERJA

LAMPIRAN II PERHITUNGAN. = 18 cm x 15 cm x 25 cm = 6750 cm 3 = 6,750 m 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 4.21 Grafik nomor pengujian vs volume penguapan prototipe alternatif rancangan 1

BAB IV PEMBAHASAN KINERJA BOILER

Gambar 3.1 Arang tempurung kelapa dan briket silinder pejal

I. PENDAHULUAN. Mesin pengering merupakan salah satu unit yang dimiliki oleh Pabrik Kopi

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH UKURAN PARTIKEL BATUBARA PADA SWIRLING FLUIDIZED BED DRYER TERHADAP KARAKTERISTIK PENGERINGAN BATUBARA

Pengaruh Kandungan Air pada Proses Pembriketan Binderless Batubara Peringkat Rendah Indonesia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Eksperimental Pertamina DEX dan Pertamina DEX + Zat Aditif pada Engine Diesel Putaran Konstan KAMA KM178FS

BAB III PEMBUATAN ALAT UJI DAN METODE PENGAMBILAN DATA

BAB III METODE PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN PERHITUNGAN SERTA ANALISA

PENGARUH PENAMBAHAN ADITIF PADA PREMIUM DENGAN VARIASI KONSENTRASI TERHADAP UNJUK KERJA ENGINE PUTARAN VARIABEL KARISMA 125 CC

METODE PENELITIAN. Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Batch Dryer, timbangan, stopwatch, moisturemeter,dan thermometer.

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang

Perhitungan Daya Turbin Uap Dan Generator

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu pembangkit daya uap. Siklus Rankine berbeda dengan siklus-siklus udara

Udara. Bahan Bakar. Generator Kopel Kompresor Turbin

BAB III PERALATAN DAN PROSEDUR PENGUJIAN

Bab 4 Perancangan dan Pembuatan Pembakar (Burner) Gasifikasi

PERANCANGAN KOMPRESOR TORAK UNTUK SISTEM PNEUMATIK PADA GUN BURNER

BAB IV HASIL YANG DICAPAI DAN POTENSI KHUSUS

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :

BAB IV METODE PENELITIAN. Laboratorium Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, Universitas Udayana kampus

BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN

PENGERING PELLET IKAN DALAM PENGUATAN PANGAN NASIONAL

LAMPIRAN A PERHITUNGAN DENGAN MANUAL. data data dari tabel hasil pengujian performansi motor diesel. sgf = 0,845 V s =

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 HASIL PERHITUNGAN PARAMETER PENSTOCK

BAB IV PERHITUNGAN SISTEM HIDRAULIK

BAB III DASAR TEORI SISTEM PLTU

Umum Pengering.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bahan Penelitian Pada penelitian ini refrigeran yang digunakan adalah Yescool TM R-134a.

BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN EFESIENSI CFB BOILER TERHADAP KEHILANGAN PANAS PADA PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP

ANALISIS PENGARUH PEMBAKARAN BRIKET CAMPURAN AMPAS TEBU DAN SEKAM PADI DENGAN MEMBANDINGKAN PEMBAKARAN BRIKET MASING-MASING BIOMASS

BAB II LANDASAN TEORI

PERANCANGAN AWAL PABRIK TEKNOLOGI PENINGKATAN KUALITAS BATUBARA SKALA KOMERSIAL KAPASITAS 150 TON/JAM: UNIT PENGERING

Studi Eksperimen Pengaruh Sudut Blade Tipe Single Row Distributor pada Swirling Fluidized Bed Coal Dryer terhadap Karakteristik Pengeringan Batubara

BAB III DESKRIPSI PABRIK TEKNOLOGI PENINGKATAN KUALITAS BATUBARA SKALA KOMERSIAL KAPASITAS 150 TON/JAM

Prarancangan Pabrik Polipropilen Proses El Paso Fase Liquid Bulk Kapasitas Ton/Tahun BAB III SPESIFIKASI PERALATAN PROSES. Kode T-01 A/B T-05

BAB II LANDASAN TEORI

INDUSTRI PENGOLAHAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. pendinginan untuk mendinginkan mesin-mesin pada sistem. Proses pendinginan

PENGUJIAN THERMAL ALAT PENGERING PADI DENGAN KONSEP NATURAL CONVECTION

BAB II STUDI PUSTAKA

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah...

BAB IV PENGOLAHAN DATA

TUGAS AKHIR PERENCANAAN SYSTEM HYDROLIK PADA MOVABLE BRIDGE DERMAGA KAPASITAS 100 TON

PEMISAHAN MEKANIS (mechanical separations)

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor.

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 1, (2014) ISSN: ( Print) B-91

ANALISIS VARIASI SUDUT SUDU-SUDU TURBIN IMPULS TERHADAP DAYA MEKANIS TURBIN UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP

BAB IV HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Single Flash System

III. METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini, mesin uji yang digunakan adalah motor diesel empat

BAB V PEMILIHAN KOMPONEN MESIN PENDINGIN

III. METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 di

ANALISIS THERMOGRAVIMETRY DAN PEMBUATAN BRIKET TANDAN KOSONG DENGAN PROSES PIROLISIS LAMBAT

BAB III PROSES MODIFIKASI DAN PENGUJIAN. Mulai. Identifikasi Sebelum Modifikasi: Identifikasi Teoritis Kapasitas Engine Yamaha jupiter z.

III. METODOLOGI PENELITIAN. uji yang digunakan adalah sebagai berikut.

Uji Fungsi Dan Karakterisasi Pompa Roda Gigi

Studi Eksperimen Pengaruh Sudut Blade Tipe Single Row Distributor pada Swirling Fluidized Bed Coal Dryer terhadap Karakteristik Pengeringan Batubara

BAB III FLUIDISASI. Gambar 3.1. Skematik proses fluidisasi

Abstrak. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh keausan ring piston terhadap kinerja mesin diesel

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

BAB II MESIN PENDINGIN. temperaturnya lebih tinggi. Didalan sistem pendinginan dalam menjaga temperatur

REYNOLDS NUMBER K E L O M P O K 4

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Mesin Kompresi Udara Untuk Aplikasi Alat Transportasi Ramah Lingkungan Bebas Polusi

BAB 9. PENGKONDISIAN UDARA

BAB III PERANCANGAN PROSES

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Fluida

Transkripsi:

Bab V Analisis Hasil Komisioning CUT Pilot Plant 5.1 Hasil Komisioning dan Pengujian Subsistem 5.1.1 Analisis Kinerja Subsistem Persiapan dan Transportasi Batubara Subsistem persiapan dan transportasi batubara merupakan subsistem awal yang bertugas mempersiapkan batubara sebelum masuk ke proses pengeringan. Batubara yang diperlukan untuk proses pengeringan diharapkan memiliki diameter 0,4 mm dan disuplai dengan kapasitas sebanyak 7 ton/jam. Analisis Diameter Partikel Batubara Diameter batubara merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses fluidisasi. Diameter yang terlalu besar ataupun terlalu kecil akan menyebabkan proses fluidisasi tidak terjadi. Diameter yang terlalu besar akan menyebabkan partikel tidak dapat terangkat dan dapat mengakibatkan pressure drop yang besar. Sebaliknya, apabila diameter partikel terlalu kecil, proses pengeringan tidak akan terjadi karena partikel akan langsung terbawa oleh aliran fluida. Pengujian terhadap diameter batubara yang dihasilkan oleh subsistem persiapan dan transportasi batubara telah dilakukan pada beberapa variasi putaran motor cage mill. Adapun hasil pengujiannya dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil pengujian distribusi ukuran partikel batubara Sampel Cage Mill Sample -2,0 mm -1,0 mm -0,5 mm Total Motor 1 Motor 2 Weight +1,0 mm +0,5 mm Hz Hz kg % % % % 1 25,0 25,0 2,73 7,5 61,2 31,3 100 2 37,5 37,5 4,46 0,5 74,8 24,8 100 3 50,0 50,0 4,18 0,5 74,5 25,0 100

Tabel 5.1 Hasil pengujian distribusi ukuran partikel batubara (lanjutan) Sampel Cage Mill Sample -2,0 mm -1,0 mm -0,5 mm Total Motor 1 Motor 2 Weight +1,0 mm +0,5 mm Hz Hz kg % % % % 4 25,0 37,5 4,63 0,9 69,2 30,0 100 5 37,5 50,0 4,74 0,4 67,1 32,5 100 6 37,5 25,0 5,23 1,2 71,1 27,7 100 7 50,0 37,5 4,63 0,9 63,0 36,1 100 Desain CUT Pilot Plant 0.417 mm Dilihat dari faktor sebaran diameter partikel yang dihasilkan, rentang ukurannya sangat besar. Berdasarkan desain, diameter partikel yang diinginkan terletak pada kisaran 0,4 mm, sedangkan dari hasil pengujian pada Tabel 5.1, didapat bahwa sebagian besar diameter partikel yang dihasilkan justru terletak pada kisaran 0,5 1 mm, yaitu sekitar 70%. Sedangkan yang berada pada kisaran 0,4 mm hanya sekitar 30%. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa variasi putaran cage mill tidak terlalu mempengaruhi distribusi ukuran yang dihasilkan. Pengaruh dari perubahan putaran ini adalah pada banyaknya atau lamanya proses daur ulang atau sirkulasi batubara yang tidak lolos screen. Semakin tinggi putaran cage mill, proses daur ulang akan semakin cepat sehingga kapasitasnya meningkat. Namun, semakin tinggi putaran cage mill, potensi untuk menghasilkan batubara dengan ukuran yang lebih kecil juga semakin tinggi. Hal ini ditandai dengan banyaknya partikel batubara yang terbuang dalam bentuk debu karena ukurannya yang terlalu kecil. Rentang diameter partikel yang sangat besar ini tentu saja akan mempengaruhi proses pengeringan. Ada dua parameter yang bisa dijadikan batasan ukuran diameter partikel, yaitu batasan untuk proses fluidisasi dan batasan untuk proses pengeringan. Batas maksimum dan minimum diameter partikel dipengaruhi oleh kecepatan medium fluidisasi. Pada CUT Pilot Plant ini, kecepatan medium fluidisasi dipengaruhi oleh laju aliran yang dihasilkan oleh blower pada masing-masing tangki pengeringan. Blower yang digunakan dalam proses pengeringan ini tidak dilengkapi dengan sistem pengaturan kecepatan sehingga kecepatan medium fluidisasi merupakan suatu parameter yang tidak dapat divariasikan. Untuk itu, pengertian

batasan diameter yang dapat masuk ke tangki pengeringan menjadi diameter partikel yang masih mampu diangkat oleh blower dan masih mengalami proses fluidisasi, tidak langsung terbang begitu saja. Dalam melakukan perhitungan terhadap batasan diameter tersebut, sifat-sifat fluida pada kondisi operasi masing-masing tangki perlu diperhatikan, termasuk juga karakteristik batubara yang digunakan. Adapun kondisi operasi dan sifat-sifat medium fluidisasi pada masing-masing tangki pengeringan dapat dilihat pada Tabel 5.2. Sedangkan karakteristik batubara yang digunakan untuk proses fluidisasi dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.2 Kondisi operasi dan sifat-sifat medium fluidisasi Fluida Temperatur Tekanan Massa Viskositas Jenis o C Bar kg/m 3 N.s/m 2 Bed 1 Udara 80 1 0,99 2,13E-05 Bed 2 Superheated Steam 150 1,5 0,77 1,41E-05 Bed 3 Superheated Steam 230 4,5 1,97 1,73E-05 Fluida Mass Flow Volumetric Flow Cross Sectional Area Operational Velocity kg/s m 3 /s m 2 m/s Bed 1 Udara 2,68 2,72 1,77 1,54 Bed 2 Superheated Steam 1,83 2,40 1,77 1,36 Bed 3 Superheated Steam 3,32 1,68 1,77 0,95 Tabel 5.3 Karakteristik batubara Total Moisture ar 27 % Moisture adb 14,1 % Ash adb 2,3 % Volatile Matter adb 44,5 % Fixed Carbon adb 39,1 % Calorific Value adb 23179,3 kj/kg Bulk Density 780 kg/m3 True Density 1422 kg/m3 Gravitasi 9,81 m/s2 Sphericity 0,73 Intraparticle Voidage 0,213 Apparent Density 1444 kg/m 3

Untuk proses fluidisasi, definisi diameter minimum dan maksimum adalah rentang diameter dimana proses fluidisasi masih bisa terjadi. Diameter partikel maksimum untuk proses fluidisasi dibatasi oleh kecepatan minimum fluidisasi. Kecepatan minimum fluidisasi merupakan kecepatan minimum medium fluidisasi yang diperlukan untuk mengangkat partikel batubara dengan diameter tertentu. Definisi tersebut dapat digunakan untuk menghitung diameter maksimum partikel dengan cara memasukkan parameter kecepatan operasional (operational velocity) sebagai kecepatan minimum fluidisasi. Persamaan yang digunakan untuk pehitungan tersebut adalah Persamaan 5.1, 5.2 dan 5.3[20]. 2 1,75 ρ gu mf d p 150(1 ε ) ρ gu mf d p mf Ar 3 2 3 Φ ε μ Φ ε μ p mf p mf dimana,.(5.1) ε mf Φ 0,586 Ar 0,72 p 0.029 ρ ρ g s 0,021.(5.2) 3 d p ρ g (ρs ρ g )g Ar...(5.3) 2 μ Diameter partikel minimum dibatasi oleh kecepatan terminal partikel yaitu kecepatan dimana partikel tidak lagi terfluidisasi melainkan ikut terbang bersama aliran medium fluidisasi. Untuk kasus CUT Pilot Plant ini, pencarian diameter minimum dilakukan dengan mencari diameter partikel yang memiliki kecepatan terminal (u t ) sama dengan kecepatan operasional medium fluidisasi pada masingmasing tangki pengeringan. Persamaan yang digunakan adalah[1] u t 18 * (d p ) dimana, dp* adalah 2 2,335 1,744Φ 0,5 (d ) * p p 1 2 ρ g μ(ρs ρ g )g 1/3.(5.4) d * p 1/3 ρ g (ρs ρ g )g d p 2 μ.(5.5) Perhitungan diameter maksimum dan minimum dilakukan melalui proses iterasi. Kisaran diameter yang didapat pada masing-masing tangki pengeringan dapat

dilihat pada Tabel 5.4. Secara keseluruhan, diameter partikel yang diijinkan untuk masuk ke tangki pengeringan berada pada kisaran 0,38 hingga 3,50 mm. Dari hasil tersebut, dapat kita lihat bahwa kisaran diameter yang dihasilkan subsistem persiapan dan transportasi batubara ini masih memungkinkan untuk difluidisasi di dalam tangki pengeringan. Namun, hal ini juga dibatasi oleh fenomena pneumatic transport yang akan terjadi pada partikel batubara tersebut pada saat proses pengeringan. Tabel 5.4 Kisaran diameter partikel pada masing-masing tangki pengeringan untuk proses fluidisasi Minimum (mm) Maksimum (mm) Bed 1 0,38 6,30 Bed 2 0,26 3,50 Bed 3 0,27 4,60 Seperti kita ketahui, selama proses pengeringan di masing-masing tangki, massa jenis partikel batubara berkurang karena sebagian kandungan air di batubara menguap. Proses pengeringan terjadi hingga partikel tersebut mencapai kecepatan terminal karena pengurangan massa jenis tersebut, dalam hal ini, diameter partikel diasumsikan konstan. Perhitungan dilakukan menggunakan persamaan kecepatan terminal yaitu Persamaan 5.4 dan 5.5 dengan memperhatikan pengurangan massa jenis partikel yang terjadi selama proses pengeringan. Apabila memasukkan diameter hasil pengujian di atas ke dalam perasamaan tersebut, partikel batubara itu akan sulit mencapai kecepatan terminal karena sebagian diameter partikelnya terlalu besar.. Sebagai contoh, untuk partikel dengan diameter 0,5 mm dengan kandungan air 30%, massa jenisnya dapat dihitung dengan menggunakan hubungan[1] ρ app ρ true (1 ε particle ) (1 X)...(5.6) Apabila dimasukkan ke Persamaan 5.4 dan 5.5, didapat bahwa meskipun kandungan air pada partikel tersebut mencapai 0%. Partikel tersebut tidak akan mencapai kecepatan terminalnya. Artinya, partikel tersebut tidak akan tertransfer ke tangki pengeringan selanjutnya. Sayangnya, hasil pengujian tidak menjelaskan secara detail distribusi partikel batubara yang memiliki diameter 0,5 mm sehingga tidak dapat diketahui berapa

persen batubara yang tidak terfluidisasi karena ukuran partikelnya yang terlalu kecil. Hal ini disebabkan keterbatasan alat yang dimiliki oleh laboratorium yang ada di lapangan. Hasil pengujian yang sedemikian rupa membuktikan bahwa komponen screen dan cage mill pada subsistem persiapan dan transportasi batubara tidak bekerja dengan baik. Untuk itu perlu dilakukan modifikasi terhadap kedua komponen tersebut. Modifikasi pada cage mill dapat dilakukan dengan menambah susunan rotor cage mill. Sedangakan modifikasi pada screen dapat dilakukan dengan merapatkan ayakan. Namun begitu, hasil yang didapat dari pengujian ini bukanlah hal yang mutlak karena hasil pengujian diameter ini otomatis akan mengalami perubahan apabila digunakan batubara dengan jenis yang berbeda. Untuk mendapatkan diameter partikel dengan distribusi yang lebih baik tanpa melakukan perubahan pada komponen, bisa digunakan batubara yang memiliki Grindability Index (GI) yang lebih tinggi. Artinya, batubara tersebut akan lebih mudah hancur pada saat proses milling[5]. Jika memang hal ini merupakan satu-satunya cara yang bisa ditempuh, perlu diperhatikan nilai GI batubara yang digunakan dan cara menjaga bahwa batubara yang digunakan berada pada nilai GI yang diinginkan. Dengan kata lain, variasi jenis batubara yang bisa digunakan dalam pemrosesan CUT Pilot Plant ini menjadi berkurang. Kapasitas subsistem persiapan dan transportasi batubara Kapasitas subsistem persiapan dan transportasi batubara perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi kapasitas sistem secara keseluruhan. Berdasarkan desain, subsistem persiapan dan transportasi batubara dirancang untuk kapasitas 7 ton/jam seperti halnya kapasitas sistem CUT Pilot Plant keseluruhan. Kinerja pilot plant dalam hal kapasitas akan sangat dipengaruhi oleh suplai batubara dari subsistem persiapan dan transportasi batubara ini. Setelah dilakukan uji coba terhadap subsistem ini, didapat bahwa subsistem persiapan dan transportasi batubara ini memiliki kapasitas 88,6 kg/jam. Hal ini jauh lebih rendah dari kapasitas desain yaitu 7 ton/jam.

Kecilnya kapasitas ini disebabkan oleh banyaknya batubara yang bersirkulasi pada sistem conveyor. Batubara yang hasil proses milling justru sebagian besar tidak lolos proses screening sehingga tersirkulasi lagi melalui CB-2 untuk kembali melewati proses milling. Hal ini disebabkan oleh proses milling yang tidak berjalan dengan baik. Proses milling yang diperlukan untuk menghasilkan batubara dengan diameter 0,4 mm tersebut tidak dapat dilakukan dengan sekali proses. Dengan kata lain, dalam sekali proses milling, diameter yang didapat masih belum sesuai dengan yang diinginkan. Hal lain yang ikut mempengaruhi kapasitas ini adalah kondisi screen. Pada saat beroperasi, mudah sekali terjadi blocking pada lubang-lubang ayakan, terutama pada kondisi basah, sehingga menghambat aliran batubara yang akan keluar screen. Oleh karena itu, proses maintenance pada komponen ini perlu diperhatikan. Selain itu, masukan batubara dari dumping hopper juga ikut mempengaruhi. Karena tidak adanya sistem yang mengontrol masukan dari dumping hopper tersebut, masukan batubara selalu konstan. Padahal sebagian besar batubara hasil milling tidak lolos screen. Hal ini menyebabkan terjadinya penumpukan batubara pada subsistem ini dimana massa batubara per satuan waktunya sangat besar. Akibatnya, kinerja screen menjadi semakin tidak optimum karena penumpukan tersebut. Hasil pengujian kapasitas ini jelas akan berdampak pada penurunan kapasitas produksi CUT Pilot Plant. Penurunan yang terjadi hampir mencapai 98,7%. Dengan hasil ini, pilot plant jelas akan mengalami kerugian yang sangat besar terutama apabila dibandingkan dengan konsumsi batubara yang dibutuhkan untuk subsistem penyuplai panas yang akan dijelaskan pada subbab 5.1.2. 5.1.2 Analisis Kinerja Subsistem Penyuplai Panas Panas yang diperlukan untuk proses pengeringan disuplai oleh susbsistem penyuplai panas. Parameter utama yang dijadikan acuan adalah temperatur oli yang dihasilkan oleh subsistem ini. Temperatur oli yang dimasukkan ke sistem haruslah lebih tinggi dari temperatur kerja di dalam sistem. Hasil uji coba subsistem penyuplai panas dapat dilihat pada grafik temperatur subsistem penyuplai panas pada Gambar 5.1. Dapat dilihat pada gambar bahwa temperatur maksimum yang dapat disuplai oleh subsistem penyuplai panas ini adalah

320 o C. Namun, dari Gambar 5.1 tersebut dapat dilihat bahwa menjaga temperatur keluaran oli konstan di 320 o C adalah suatu hal yang sulit. Hal ini disebabkan sistem kontrol sistem penyuplai panas yang belum berfungsi dengan baik sehingga di dapat temperatur keluaran yang fluktuatif antara 270 320 o C. 350.00 320.00 300.00 250.00 T (oc) 200.00 150.00 T out T in 100.00 50.00 0.00 8:30 15:45 saat pengoperasian *pengujian dilakukan berkali-kali untuk mendapatkan metode start up yang paling baik *data yang ditampilkan merupakan hasil pengujian dengan metode yang paling baru, yang merupakan metode start up yang paling cepat Gambar 5.1 Grafik temperatur subsistem penyuplai panas Konsumsi batubara subsistem penyuplai panas ini dipengaruhi oleh kecepatan aliran ID Fan dan FD Fan. Apabila temperatur oli yang yang keluar subsistem turun, secara otomatis putaran motor ID Fan dan FD Fan akan bertambah cepat untuk mempercepat pembakaran, sehingga konsumsi batubara akan menjadi lebih tinggi. Konsumsi batubara ini dapat diketahui dengan memperhatikan kecepatan chain grate. Chain grate merupakan komponen subsistem penyuplai panas yang berfungsi untuk mengatur jalannya batubara di dalam tungku agar tidak terjadi penumpukan, konstruksi chain grate dapat dilihat pada Gambar 5.2, sedangkan spesifikasi chain grate yang diperlukan untuk perhitungan konsumsi batubara dapat dilihat pada Tabel

5.7. Adapun perhitungan konsumsi batubara dilakukan dengan menggunakan hubungan n m r mcg 2π d cg 60 2 t bb L cg ρ bulk...(5.6) Motor chain grate Poros chain grate gearbox Gambar 5.2 Konstruksi chain grate Tabel 5.5 Spesifikasi chain grate Total ratio 1 : 7818,75 Diameter poros chain grate (mm) 102 Lebar chain grate (mm) 1000 Ketebalan batubara di chain grate (mm) 100 Dari hasil uji coba subsistem penyuplai panas sebanyak dua kali dalam kurun waktu tujuh hingga delapan jam, didapat bahwa untuk mengoperasikan subsistem penyuplai panas hingga temperatur kerja mencapai maksimum 320 o C diperlukan laju konsumsi batubara rata-rata 121,2 kg/jam. Hasil pengujian subsistem penyuplai panas ini dapat dilihat pada Lampiran D. Mengacu pada karakteristik batubara yang digunakan pada CUT Pilot Plant yang tertera pada Tabel 5.4, konsumsi energi rata-rata subsistem penyuplai panas dapat dihitung dengan menggunakan hubungan[24] Q intoh m bbtoh LHV.(5.7) Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan Persamaan 5.7 tersebut, didapat bahwa konsumsi energi rata-rata subsistem ini adalah 785,7 kw.

Sedangkan energi yang disuplai oleh subsistem penyedia panas ini dapat dihitung dengan memperhatikan perbedaan temperatur oli masuk dan oli keluar subsistem. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan hubungan[24] Q outtoh m c p ( Tin Tout )...(5.8) dimana, laju aliran oli didapat dari grafik pompa sedangkan sifat-sifat oli termal pada kondisi operasi 300 o C dapat dilihat pada Tabel 5.8. Tabel 5.6 Sifat-sifat oli termal pada kondisi 300 o C dan 5 Bar Fluid density (kg/m 3 ) 715 Thermal conductivity (W/m.K) 0,115 Spesific heat capacity (J/kg.K) 2607 Viscousity (N.s/m 2 ) 0,00067 Prandtl Number ( - ) 88 Berdasarkan data-data di atas, didapat panas rata-rata yang disuplai oleh subsistem ini pada saat pengoperasian tanpa beban adalah 647,04 kw. Efisiensi kinerja subsistem penyuplai panas ini dapat diperoleh dengan membandingkan antara suplai panas dengan konsumsi energi subsistem ini, sesuai dengan persamaan 5.9[24]. TOH Q Q outtoh intoh 100%...(5.9) Dari hasil perhitungan, efisiensi subsistem penyuplai panas adalah 83%. Pengujian yang dilakukan terhadap subsistem ini adalah pengujian tanpa beban. Perbedaan temperatur yang terlihat dari grafik hasil pengujian menyatakan rugi-rugi panas yang harus dilawan oleh subsistem penyuplai panas ini. Apabila beban pengeringan diperhitungkan, total panas yang diperlukan oleh sistem CUT Pilot Plant ini menjadi 1898,21 kw untuk kondisi start up dan 1145,96 kw untuk kondisi steady. Hasil ini merupakan penjumlahan dari panas yang disuplai oli untuk proses pengeringan seperti yang telah ditentukan dalam desain dan panas yang terbuang oleh rugi-rugi tersebut. Kondisi start up merupakan kondisi dimana pada saat awal pengoperasian pilot plant, dimana seluruh suplai panas yang diperlukan diperoleh dari sirkulasi oli termal. Kondisi steady merupakan kondisi dimana

pengoperasian pilot plant telah berjalan kontinyu sehingga sebagian suplai panas diperoleh dari sirkulasi uap panas yang dihasilkan pada proses pengeringan. Panas yang dibutuhkan CUT Pilot Plant ini untuk proses pengeringan secara teoritis masih mampu disuplai oleh subsistem penyuplai panas. Hal ini diperoleh dengan membandingkan hasil perhitungan panas yang dibutuhkan pada kondisi terbebani dengan kapasitas subsistem penyuplai panas ini. Tabulasi mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.7. Dapat dilihat pada tabel tersebut, keperluan panas untuk proses CUT Pilot Plant pada waktu start up, yang merupakan konsumsi panas terbesar, hanya 76% dari kapasitas subsistem penyuplai panas ini. Tabel 5.7 Prediksi hasil pengujian subsistem penyuplai panas dengan kondisi terbebani Start up Steady Suplai panas oli Proses pengeringan (kw) 1251,16 498,92 Heat Loss (kw) 647.04 647,04 Total (kw) 1898,21 1145,96 T oli ( o C) 23 14 Suplai panas batubara (kw) 2295,12 1385,58 Konsumsi batubara (kg/jam) 356 215 Motor chain grate (rpm) 1430 1123 Tinggi batubara (mm) 130 100 Kapasitas TOH (kw) 2483,9 Perbedaan antara pengujian tanpa beban dan pengujian beban subsistem ini juga berdampak pada konsumsi batubara yang dibutuhkan. Dengan menggunakan data hasil pengujian tanpa beban, konsumsi batubara pada pengujian beban dapat diprediksi dengan menggunakan persamaan 5.6. Hasil perhitungan perkiraan konsumsi batubara subsistem penyuplai panas ini dapat dilihat pada Tabel 5.7.Untuk kondisi start up diprediksikan konsumsi batubara menjadi 356 kg/jam. Sedangkan, untuk kondisi operasi steady konsumsi batubara diperkirakan 215 kg/jam. Hal tersebut masih bisa dicapai oleh subsistem ini mengingat pada perhitungan tersebut, dapat dilihat bahwa kecepatan motor chain grate masih dalam kisaran yang diperlukan. Selain itu, ketinggian batubara di dalam

chain grate juga masih bisa divariaskan. Yang perlu diperhatikan adalah kemampuan blower pada subsistem ini untuk menyuplai udara yang dibutuhkan karena seiring dengan bertambahnya bahan bakar, udara yang diperlukan juga semakin banyak agar campuran bahan bakar udara yang terjadi masih memungkinkan terjadinya pembakaran. Dari hasil pengamatan di lapangan, pada saat pengoperasian subsistem penyuplai panas ini dengan kondisi tanpa beban, blower belum dioperasikan dengan putaran maksimumnya, sehingga masih ada kemungkinan blower dapat menyuplai udara yang diperlukan. Sayangnya tidak diketahui spesifikasi teknis blower yang digunakan pada subsistem ini. Dari hasil perhitungan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menghasilkan batubara kering dengan kapasitas 5 ton/jam diperlukan pembakaran batubara sebanyak 356 kg/jam pada kondisi start up. Selain itu, dibutuhkan juga konsumsi solar untuk bahan bakar sistem kelistrikan sebanyak 60 liter/jam. Meskipun begitu, berdasarkan pengamatan lapangan, konsumsi batubara akan menjadi lebih kecil apabila batubara yang digunakan diproses terlebih dahulu melalui proses milling sehingga didapat ukuran yang lebih kecil. Hal ini disebabkan, dengan penggunaan batubara dalam bentuk bongkahan, pembakaran batubara tidak terjadi secara menyeluruh sehingga abu yang dihasilkan masih memiliki kandungan kalor yang cukup tinggi sehingga bisa dibakar lagi. 5.1.3 Analisis Kinerja Subsistem Pengeringan Penjelasan pada Bab IV menyebutkan bahwa kinerja subsistem pengeringan dinilai dari kemampuan masing-masing komponen subsistem ini untuk mencapai kondisi operasi yang diinginkan. Definisi tersebut membedakan antara kinerja subsistem pengeringan dengan kinerja pilot plant. Temperatur Dari hasil uji coba subsistem pengeringan tanpa beban, didapat grafik temperatur seperti yang tertera pada Gambar 5.3. Adapun detail hasil pengambilan data kondisi operasi dapat dilihat pada Lampiran D. Pada Gambar 5.3 tersebut dapat dilihat pencapaian temperatur kerja masingmasing tangki pengeringan dapat mencapai kondisi operasi yang diinginkan sesuai

dengan yang tertera pada Tabel 5.2. Pada tangki pengeringan 2 dan 3 temperatur operasinya bahkan melebihi temperatur operasi yang diinginkan pada desain CUT Pilot Plant. Sampai saat ini, pencapaian kondisi operasi tersebut dilakukan dengan cara manual sehingga temperatur yang dicapai tidak stabil. Hal ini disebabkan karena sistem kontrol yang ada belum berfungsi dengan baik. Kondisi operasi temperatur tersebut, seperti yang terlihat pada Gambar 5.3, dapat dicapai setelah pemanasan selama kurang lebih enam jam. Hal ini perlu menjadi perhatian pada saat penyalaan subsistem bahwa paling tidak dibutuhkan waktu yang cukup panjang dalam pencapaian kondisi operasi terutama temperatur di dalam tangki pengeringan. *pengujian dilakukan berkali-kali untuk mendapatkan metode start up yang paling baik *data yang ditampilkan merupakan hasil pengujian dengan metode yang paling baru, yang merupakan metode start up yang paling cepat Gambar 5.3 Temperatur kerja subsistem pengeringan Sementara itu, pemanfaatan uap untuk pemanasan tangki pengeringan 2 dan 3 juga belum bisa dilakukan hal ini dapat dilihat dari indikasi bahwa temperatur uap pada pipa jalur pemanfaatan uap (steam recovery) tidak mencapai kondisi yang diinginkan, seperti dapat dilihat pada Gambar 5.4.

Hal ini disebabkan karena pengoperasian yang belum kontinyu. Selain itu, ada pula pengaruh pengaturan Pressure Relief Valve (PRV), terutama untuk TI-6 yang pemasangannya dilakukan pada posisi setelah katup tersebut. Perlu dilakukan pengaturan terhadap katup PRV-2 tersebut sehingga katup tersebut dapat terbuka pada saat tekanan mencapai tekanan yang diinginkan. Secara keseluruhan, ketidakberfungsian pemanfaatan uap ini akan mengurangi efisiensi pilot plant karena sumber panas satu-satunya hanya akan berasal dari oli pada subsistem penyuplai panas, seperti halnya pada kondisi start up yang telah dibahas pada subbab sebelumnya. Hal ini menyebabkan konsumsi batubara pada subsistem penyuplai panas akan menjadi lebih besar. *pengujian dilakukan berkali-kali untuk mendapatkan metode start up yang paling baik *data yang ditampilkan merupakan hasil pengujian dengan metode yang paling baru, yang merupakan metode start up yang paling cepat Gambar 5.4. Grafik temperatur jalur steam recovery Tekanan Pencapaian tekanan operasi pada subsistem pengeringan hanya bisa dilakukan untuk tangki pengeringan 2. Pada Gambar 5.5, dapat dilihat bahwa tekanan di tangki pengeringan 2 dapat mencapai hingga 2,3 Bar. Hasil ini lebih besar dibandingkan tekanan desain yaitu 1,5 Bar. Pengontrolan tekanan belum bisa

dilakukan karena katup yang digunakan untuk memasukkan uap ke dalam sistem masih digerakkan secara manual. Selain itu, belum dilakukannya pengaturan terhadap PRV-1 juga menjadi penyebab berfluktuasinya tekanan pada tangki pengeringan 2 ini. Tekanan di tangki pengeringan 3 sulit untuk mencapai 4,5 Bar, seperti terlihat pada Gambar 5.5, tekanan di tangki pengeringan 3 maksimum hanya dapat mencapai 2 Bar. Hal ini disebabkan oleh adanya kebocoran pada beberapa titik pada rangkaian sistem tangki pengeringan 3 tersebut. Kebocoran tersebut diantaranya terjadi di preheater 3, siklon 3, dan rotary vane 4. Selain kebocoran tersebut, tidak dapat tercapainya tekanan operasi 4,5 bar disebabkan juga oleh spesifikasi rotary vane yang hanya mampu menahan beda tekanan sebesar 1,5 Bar. Ketidakmampuan rotary vane menahan beda tekanan yang lebih besar dari 1,5 Bar ini disebabkan oleh adanya celah antara rotor rotary vane dengan dinding rumahnya. Kondisi ini diharapkan akan teratasi pada saat pengoperasian kontinyu karena pada saat itu batubara akan menumpuk sehingga menutupi celah-celah pada rotary vane. *pengujian dilakukan berkali-kali untuk mendapatkan metode start up yang paling baik *data yang ditampilkan merupakan hasil pengujian dengan metode yang paling baru, yang merupakan metode start up yang paling cepat Gambar 5.5 Grafik tekanan operasi masing-masing tangki pengeringan

Tidak tercapainya kondisi operasi tekanan ini mengakibatkan pemanfaatan panas uap untuk tangki pengeringan 2 akan tidak maksimal mengingat dengan tekanan tersebut entalpi uap akan lebih rendah dari pada entalpi uap pada saat 4,5 bar. Seperti diketahui, entalpi berbanding lurus dengan temperatur dan tekanan. Semakin tinggi temperatur dan tekanan, entalpi suatu fluida akan semakin tinggi. Pengaruh dari minimnya pemanfaatan uap ini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, adalah tingginya konsumsi batubara yang diperlukan karena kondisi pengoperasiannya berada pada kondisi start up, dimana seluruh panas yang diperlukan berasal dari suplai oli. Perhitungan konsumsi batubara tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.7. Laju Aliran Fluidisasi Laju aliran fluidisasi dipengaruhi oleh kemampuan blower dan konstruksi tangki pengeringan. Kemampuan blower dinyatakan dalam grafik blower yang merupakan hubungan antara tekanan statik blower dengan laju aliran fluida. Sedangkan konstruksi tangki pengeringan, yang meliputi distributor, ducting, dan lain-lain, mempengaruhi rugi-rugi tekanan sistem yang pada akhirnya akan mempengaruhi laju aliran fluida yang dihasilkan oleh blower. Laju volumetrik terukur jauh lebih rendah dibandingkan dengan desain yang diinginkan, Tabel 5.8. Hal ini disebabkan oleh rugi-rugi tekanan yang sangat besar di dalam sistem. Rugi-rugi tekanan ini bisa disebabkan oleh rugi-rugi tekanan di preheater, ducting, siklon, dan distributor. Hasil ini mengakibatkan rendahnya kecepatan operasional yang dihasilkan sehingga partikel batubara sulit untuk mengalami fluidisasi. Grafik blower dapat dilihat pada Lampiran C. Dari hasil simulasi aliran fluida di dalam tangki pengering dengan menggunakan perangkat lunak SolidWorks, didapat bahwa rugi-rugi tekanan yang terjadi di distributor sangat besar. Hasil simulasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.6. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa penurunan tekanan yang terjadi di distributor bisa mencapai 30 kpa. Padahal, spesifikasi blower yang ada hanya memiliki kemampuan maksimum mengatasi rugi-rugi tekanan sebesar 8000 Pa. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya laju aliran yang dihasilkan oleh blower. Pejelasan lebih detail mengenai kapasitas blower dapat dilihat pada Lampiran C.

Tabel 5.8 Perbandingan Laju Aliran Blower Desain dengan Laju Aliran yang Terukur Desain Hasil Trial Mass Mass Density Flow Volumetric Flow Density Flow Volumetric Flow kg/m 3 kg/s m 3 /s m 3 /h kg/m 3 kg/s m 3 /s m 3 /h Bed 1 1.06 2.68 2.52 9088.57 1.04 0.71 0.69 2475.90 Bed 2 0.76 1.83 2.40 8636.13 0.60 0.65 1.07 3844.81 Bed 3 2.11 3.32 1.57 5651.48 0.59 0.39 0.66 2370.12 Gambar 5.6 Hasil simulasi rugi-rugi tekanan pada distributor Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini tim CUT melakukan beberapa modifikasi pada bagian-bagian tersebut. Perubahan geometri dan dimensi distributor, yang ditengarai merupakan penyebab utama tingginya pressure drop, telah dilakukan. Adapun perubahan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 5.7 dan Gambar 5.8. Gambar 5.7 merupakan desain distributor yang lama, sedangkan Gambar 5.8 merupakan desain distributor yang baru. Dapat dilihat pada gambar tersebut bahwa distributor yang baru akan menghasilkan pressure drop yang lebih kecil karena jumlahnya yang lebih banyak dengan dimensi yang lebih besar, terutama celah antara cap distributor dengan pipa distributor. Selain itu, perubahan dilakukan dengan memotong ducting yang masuk ke plenum sehingga aliran tidak lagi melengkung ke bawah. Hal ini juga akan mengurangi pressure drop sistem.

Gambar 5.7 Desain awal distributor tangki pengeringan Gambar 5.8 Desain baru distributor tangki pengeringan 5.1.4. Analisis Kinerja Subsistem Pembriketan Kinerja subsistem pembriketan belum dapat dievaluasi karena proses pengeringan belum dapat dilakukan. Namun, sebelumnya sudah dilakukan pengujian mesin briket dengan menggunakan campuran batubara dan tepung tapioka sebagai binder. Perbandingan batubara dan tanah liat yang digunakan adalah 10:1 pada basis massa. Briket yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 5.9. Pada Gambar 5.9 tersebut dapat dilihat bahwa briket yang terbentuk sulit untuk terlepas dari cavity-nya. Hal ini disebabkan karena ikatan partikel yang terjadi antara briket dengan cavity lebih besar dibandingkan dengan ikatan partikel antara dua keping briket yang bertemu pada saat pengepresan dilakukan. Apabila

dioperasikan secara kontinyu, hal ini akan menyebabkan tekanan pengoperasian mesin briket menjadi terlalu tinggi karena semakin sempitnya ruang pada cavity akibat adanya briket yang tidak lepas. Hal ini dapat dihindari dengan membuat sudut pada setiap cavity menjadi lebih landai sehingga ikatan cavity dengan briket yang terbentuk akan berkurang. Gambar 5.9 Briket yang terbentuk menempel pada roll mesin briket Namun, dari segi kekerasan, briket yang dihasilkan oleh subsistem ini dapat dikatakan baik. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.10. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa proses pembersihan terhadap briket-briket yang menempel pada cavity, harus dilakukan dengan menggunakan mesin bor. Gambar 5.10 Proses pembersihan cavity mesin briket Meskipun begitu, hasil pengujian ini belum bisa dikatakan menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Seperti yang kita ketahui, proses pembriketan pada CUT

ini menggunakan teknologi binderless briquetting, dimana pada proses pembriketannya tidak memerlukan zat tambahan sebagai binder. Ada kemungkinan bahwa karakteristik briket yang dihasilkan dengan menggunakan teknik binderless briquetting tersebut berbeda dengan karakterstik briket yang digunakan pada proses pengujian. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang sebenarnya, perlu dilakukan pengujian mesin briket dengan menggunakan batubara yang keluar dari subsistem pengeringan. Hal tersebut dapat dilakukan apabila proses pengeringannya sudah berjalan dengan baik. 5.2. Hasil Komisioning Sistem CUT Pilot Plant Pengujian terhadap sistem CUT Pilot Plant belum bisa dilakukan karena beberapa parameter penting pada subsistem-subsistem dalam pilot plant ini belum dapat dicapai. Untuk dapat melakukan komisioning pada sistem CUT Pilot Plant, seluruh parameter-parameter pada masing-masing subsistem harus sudah dipastikan tercapai. Sesuai dengan diagram alir proses komisioning pada Gambar 4.2, subsistem ini masih memerlukan modifikasi agar dapat mencapai parameter-parameter yang diinginkan pada desain dasar (basic design). Hal ini bertujuan untuk memperkecil ruang lingkup kesalahan yang terjadi sehingga analisis dan evaluasi terhadap sistem CUT dapat dilakukan dengan lebih sistematis. Kalaupun kondisi operasi pada subsistem belum tercapai, perlu dilakukan penggeseran/modifikasi terhadap kondisi operasi sehingga sistem masih bisa berjalan.