BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT ASMA

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN. mengi, sesak nafas, batuk-batuk, terutama malam menjelang dini hari. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan.

ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH. I Made Kusuma Wijaya

PATOGENESIS PENYAKIT ASMA

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Asma merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang banyak dijumpai,

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN ASMA BRONKHIAL DI RUANG ANGGREK BOUGENVILLE RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB II LANDASAN TEORI

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. bronkus. 3 Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi asma

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

ASMA BRONKHIAL. inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

PENGARUH PEMBERIAN SENAM ASMA TERHADAP FREKWENSI KEKAMBUHAN ASMA BRONKIAL

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP),

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kita telah hidup di zaman yang semakin berkembang, banyaknya inovasi yang telah bermunculan, hal ini

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing),

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hiperreaktif). 15

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak ditemui dan

BAB I PENDAHULUAN. batuk, mengi dan sesak nafas (Somatri, 2009). Sampai saat ini asma masih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2007). World Health Organization (WHO) menyatakan lebih dari 100 juta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGALAMAN IBU MERAWAT ANAK PENDERITA ASMA YANG MENGALAMI MASALAH KUALITAS HIDUP TESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kronis yang paling umum di antara anak-anak. Sebagian besar kematian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

BAB II TUJUAN TEORITIS. sesak dan batuk, terutama pada malam hari atau pagi hari (Wong, 2003).

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MAKALAH TUTORIAL ASMA BRONKIAL

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Menurut Nelson (2007) asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis yang terjadi di salur pernafasan sehingga menyebabkan penyempitan pada salur pernafasan tersebut. Asma merupakan sindrom yang kompleks dengan karakteristik obstruksi jalan nafas, hiperresponsif bronkus dan inflamasi pada salur pernafasan (Busse dan Lemanske, 2001). Asma menyerang kesemua bangsa dan etnik di seluruh dunia dan pada semua peringkat usia, dengan prevalensi anak laki-laki lebih banyak berbanding anak perempuan dan setelah pubertas, asma lebih banyak menyerang wanita berbanding pria (Fanta, 2009). 2.2 Patogenesis Asma Asma secara konsistennya berhubungan dengan lokus yang pro-alergik dan proinflamatori. Sel inflamatori bisa menginflitrasi dan menyumbat salur pernafasan sehingga mengakibatkan kerusakan pada epitel dan deskuamasi pada lumen salur pernafasan. Inflamasi yang terjadi menyebabkan salur pernafasan menjadi hiperresponsif yaitu cenderung untuk berkonstriksi apabila terpapar kepada alergen. Batuk, rasa sesak di dada dan mengi adalah akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus. Penyempitan saluran napas yang terjadi pada pasien asma merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran basal. Bermacam faktor pencetus dapat mengaktifkan sel mast. Selain sel mast, sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, neutrofil, platelet, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang

dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi. Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien. Tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus (Nelson, 2007). 2.3 Etiologi Asma Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktor lingkungan dan faktor genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut Strachan dan Cook (1998) dalam Eder et al (2006) pada kajian meta analisis yang dijalankan menyimpulkan bahwa orang tua yang merokok merupakan penyebab utama terjadinya mengi dan asma pada anak. Menurut Corne et al (2002) paparan terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada asma. Infeksi virus terutamanya rhinovirus yang menyebabkan simptom infeksi salur pernafasan bagian atas memicu kepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma bagi semua peringkat usia (Eder et al, 2006). Terdapat juga teori yang menyatakan bahwa paparan lebih awal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan untuk anak tersebut diserang asma (Cockrill et al, 2008). Selain faktor linkungan, faktor genetik juga turut berpengaruh terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE diturunkan dalam keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen sering mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan bahwa faktor genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cockrill et al, 2008). Menurut Tatum dan Shapiro (2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang menyatakan bahwa udara yang tercemar berperan dalam mengurangkan fungsi

paru, mencetuskan eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi pasien yang dirawat di rumah sakit. Mekanisme patogenik yang menyebabkan bronkokonstriksi adalah disebabkan alergen yang memicu kepada serangan asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen outdoor sebagai penyebab namun alergen indoor turut memainkan peran seperti house dust mites, hewan peliharaan dan kecoa. Apabila pasien asma terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel di sel mast. Sel mast yang telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator- mediator ini yang akan menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga membolehkan antigen menempel ke IgE-spesifik yang mempunyai sel mast. Antara mediator yang paling utama dalam implikasi terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien (Cockrill et al, 2008). Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, augmentasi permeabilitas vaskuler dan pembentukan edema salur pernafasan serta menstimulasi reseptor iritan yang bisa memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill et al, 2008). Menurut Drazen et al (1999) dalam Kay A.B. (2001) sel mast turut memproduksi sisteinil leukotriene yaitu C4, D4 dan E4. Leukotriene ini akan menyebabkan kontraksi otot polos, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi mukus apabila berikatan dengan reseptor spesifik. 2.4 Klasifikasi Asma 2.4.1 Asma saat tanpa serangan Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) mengklasifikasikan derajat asma menjadi: 1) Asma episodik jarang 2) Asma episodik sering 3) Asma persisten

Tabel 2.1. Klasifikasi derajat asma pada anak Parameter klinis, kebutuhan obat dan faal paru asma Asma jarang episodik Asma sering episodik Asma persisten 1 Frekuensi serangan <1 kali/bulan >1 kali/bulan Sering 2 Lama serangan <1minggu >1minggu Hampir sepanjang tahun, tidak ada periode bebas serangan 3 Intensitas Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat serangan 4 Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam 5 Tidur dan Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu aktifitas 6 Pemeriksaan Normal ( tidak Mungkin Tidak pernah fisik diluar ditemukan tergganggu normal serangan kelainan) (ditemukan kelainan) 7 Obat pengendali(ant i inflamasi) Tidak perlu Perlu Perlu 8 Uji faal PEFatauFEV 1 >80 PEFatauFEV 1 <60 PEVatauFEV<60 paru(diluar % -80% % serangan) 9 Variabilitas Variabilitas>15% Variabilitas>30% Variabilitas 20- faal paru(bila 30%. ada serangan) Variabilitas >50% Keterangan : PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak), FEV 1= Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik) (Departemen Kesehatan, 2008 ) 2.4.2 Asma saat serangan Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.

Tabel 2.2 Klasifikasi asma menurut derajat serangan Parameter klinis, fungsi faal paru, laboratorium Ringan Sedang Berat Ancaman henti napas Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat Bayi : Bayi : Bayi : Menangis -Tangis pendek Tidak mau keras dan lemah -Kesulitan minum/makan makan/minum Posisi Bisa Lebih suka Duduk berbaring duduk bertopang lengan Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya Kebingungan iritabel iritabel iritabel Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata Wheezing Sedang, sering Nyaring, sepanjang Sangat nyaring, Sulit/tidak terdengar hanya pada ekspirasi ± terdengar akhir ekspirasi inspirasi tanpa stetoskop Penggunaan otot bantu respiratorik Retraksi Biasanya tidak Dangkal, retraksi interkostal Biasanya ada Ada Gerakan paradok torakoabdominal Sedang, ditambah retraksi suprasternal Dalam, ditambah napas cuping hidung Dangkal / hilang Frekuensi napas Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar : Usia Frekuensi napas normal per menit < 2 bulan <60 2-12 bulan < 50

1-5 tahun < 40 6-8 tahun < 30 Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak Usia Frekuensi nadi normal per menit 2-12 bulan < 160 1-2 tahun < 120 6-8 tahun < 110 Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada, (pemeriksaannya (< 10 (10-20 mmhg) (>20mmHg) tidak praktis) mmhg) PEFR atau FEV1 (%nilai dugaan/%nilai terbaik) Pra bonkodilator Pasca bronkodilator >60% >80% 40-60% 60-80% <40% <60%, respon<2 jam SaO2 % >95% 91-95% 90% PaO2 Normal (biasanya tidak perlu diperiksa) >60 mmhg <60 mmhg PaCO2 <45 mmhg <45 mmhg >45 mmhg ( Departemen Kesehatan, 2008) tanda kelelahan otot respiratorik 2.5 Manifestasi klinis asma Batuk kering yang intermitten dan mengi merupakan gejala kronis yang sering dikeluhkan pasien. Pada anak yang lebih tua dan dewasa mengeluhkan sukar bernafas dan terasa sesak di dada. Pada anak yang lebih kecil sering merasakan nyeri yang nonfokal di bagian dada. Simptom respiratori ini bisa lebih parah pada waktu malam terutamanya apabila terpapar lebih lama dengan alergen. Orang tua sering mengeluhkan anak mereka yang asma mudah letih dan membatasi aktivitas fisik

mereka (Nelson, 2007). Manakala menurut Boguniewicz (2007), mengi merupakan karakteristik yang utama pada pasien asma. Jika bronkokonstriksi bertambah parah, suara mengi akan lebih jelas kedengaran dan suara pernafasan menghilang. Menurutnya lagi, sianosis pada bibir dan nail beds akan terlihat disebabkan oleh hipoksia. Takikardia dan pulsus paradoxus juga bisa terjadi. Agitasi dan letargi merupakan tanda-tanda permasalahan pada pernafasan. Menurut Abbas et al (2007), pada pasien asma terjadi peningkatan produksi mukus. Hal ini dapat menyebabkan obstruksi bronkus dan pasien mengeluhkan sukar bernafas. Kebanyakan dari penderita asma juga mengalami alergi rinitis dan eksema (Sheffer, 2004). Alergi rinitis merupakan inflamasi pada mukosa nasal yang ditandai dengan nasal kongesti, rinorea, bersin dan iritasi konjuntiva. Rinorea, nasal kongesti, bersin paroxysmal dan pruritus pada mata, hidung, telinga dan palatum merupakan tanda yang sering dikeluhkan oleh pasien alergi rinitis. Anak yang alergi rinitis bisa juga terjadi gangguan tidur, aktivitas yang terbatas, irritabilitas dan gangguan mood dan kognitif yang bisa menggangu prestasi anak di sekolah. Hidung yang terasa gatal akan menyebabkan anak sering terlihat menggosok hidung dengan tangan (Nelson, 2007). Beberapa kajian telah menyatakan bahwa alergi rinitis merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya asma. Prevalensi alergi rinitis pada pasien asma diperkirakan sebanyak 80 % hingga 90% (B Leynaert, 2000). Menurut Akdis et al (2006) dalam Bieber (2008) dermatitis atopik atau eksema adalah penyakit kulit yang sering dideritai oleh pasien dengan penyakit atopik yang lain seperti asma dan alergi rinitis. Lesi kulit dermatitis atopik memperlihatkan adanya edema dan infiltrasi sel mononuklear dan eosinofil serta penimbunan cairan dalam kulit(membentuk vesikel yang jelas terlihat secara klinis). Pecahnya vesikel kecil dalam jumlah yang banyak ini mengakibatkan terbentuknya krusta dan kulit menjadi bersisik. Perubahan ini dan pruritus berat yang mendahului dan menyertai erupsi, terjadi karena kulit sangat kering. Pada keadaan ini, terjadi hambatan

pengeluaran keringat dan retensi keringat seringkali menimbulkan gatal-gatal berat yang disebabkan oleh panas. Rasa gatal dan rasa sakit yang hebat akibat kulit yang pecah-pecah adalah keluhan utama pasien eksema ( Solomon, 2003). Eksema jarang terjadi pada orang dewasa. Eksema dimulai sejak usia 2 bulan sampai 6 bulan, sering terdapat pada wajah dan iritasi ini menyebabkan anak tidak dapat tidur. Hasil kajian juga menunjukkan 25% penderita eksema alergi terhadap telur, susu, kacang, tepung, ikan dan kerang (Pitaloka, 2002). 2.6 Penatalaksanaan Asma Sasaran utama sebagai strategi pertahanan terhadap asma adalah zat zat iritan dan alergen. Keduanya bisa merangsang timbulnya reaksi pada salur pernafasan. Penghindaran terhadap faktor lingkungan adalah saran yang paling ampuh dalam usaha menghadapi asma. Cara ini sangat alami, tidak perlu mengkonsumsi obat-obatan, tiada akibat sampingannya serta udara dan lingkungan yang bersih membawa manfaat bagi seluruh anggota keluarga yang lain (Iwan dan Syamsir, 2006). Terdapat dua kategori obat untuk penyembuhan asma yaitu obat pelega yang bekerja dengan cepat (quick-relief) dan obat kontrol untuk jangka panjang (long-term control). Obat pelega yang digunakan adalah short-acting ß2 agonist (SABA), anti kolinergik dan kotikosteroid oral. SABA (seperti albuterol, levalbuterol dan pirbuterol) merupakan antara bronkodilator yang efektif. SABA bekerja dengan memberikan efek relaksasi pada otot polos bronkus dan mula bekerja 5 hingga 10 menit setelah administrasi. Ipratropium bromida merupakan antikolinergik bronkodilator yang mengurangkan hipersekresi mukus dan irritabilitas reseptor batuk dengan mengikat asetilkolin di reseptor muskarinik yang terdapat pada otot polos bronkus. Anak asma dengan eksaserbasi akut diberikan kortikosteroid untuk 3 hingga 10 hari. Dosis awal diberikan 1-2 mg/kg/hari dengan Prednison untuk 2 hingga 5 hari yang berikutnya. Untuk obat kontrol jangka panjang pula digunakan obat long-acting ß2 agonist (LABA), kortikosteroid inhalasi, teofilin dan leukotrien modifiers. LABA

(salmeterol, formoterol dan bambuterol) memberikan efek relaksasi otot polso bronkus dan bekerja selama 12 jam tapi obat ini tidak memberikan efek anti inflamatori yang signifikan. Leukotriene modifiers dibagi menjadi dua kelompok yaitu cysteinyl leukotriene reseptor antagonists(zafirlukast dan montelukast) dan leukotriene synthesis inhibitors (zileuton) (Nelson, 2006). Leukotriene modifiers bekerja sebagai anti inflamasi dan bronkodilator. Manakala teofilin bekerja dengan cara menghambat fosfodiesterase seterusnya menghambat pemecahan cyclic-amp. Teofilin merupakan terapi tambahan bagi kortikosteroid inhalasi (Gwilt et al, 2008).