BAB V MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PENDEKATAN LAPANG

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA

BAB V PROFIL RUMAHTANGGA MISKIN DI DESA BANJARWARU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA CIHIDEUNG ILIR, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR

MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN

MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN (Studi Kasus di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

IV. DESA BABAKAN DALAM KONTEKS LINGKAR KAMPUS IPB DARMAGA

VI. ALOKASI WAKTU KERJA, KONTRIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI DI LUAR SEKTOR PERIKANAN

BAB V KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI

BAB V TERPAAN TAYANGAN JIKA AKU MENJADI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PROFIL DESA. Profil Kelurahan Loji. Kondisi Ekologi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dimensi yang dominan. Berikut adalah kesimpulannya : Kecamatan Ngamprah Kabupaten Bandung Barat :

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis yang penting dari peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SIKAP PETANI TERHADAP KONVERSI LAHAN PERTANIAN

BAB VI PERAN (PEMBAGIAN KERJA) DALAM RUMAHTANGGA PESERTA PRODUK PEMBIAYAAN BMT SWADAYA PRIBUMI

PEREMPUAN PENGUSAHA PADA INDUSTRI BORDIR (Kasus di Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat) Oleh:

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu masalah pokok yang dihadapi Pemerintah Indonesia sebagai negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA

ANALISIS GENDER TERHADAP TINGKAT PERLINDUNGAN TENAGA KERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU BURUH LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN CV TKB

BAB IV PROFIL DESA BANJARWARU

KARAKTERISTIK RESPONDEN

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN PENELITIAN

BAB V KARAKTERISTIK PETANI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT PARTISIPASI DALAM PROGRAM SL-PTT

KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PERIKANAN DI DESA TANJUNG PASIR

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pada prinsipnya merupakan usaha pertumbuhan dan perubahan yang

PENGARUH PEMBANG TERHADAP PERGESERAN MAYA P.E WARGA DESA BARENGKOK KECAMATAN CIKAND PATEN SERANG

PENGARUH PEMBANG TERHADAP PERGESERAN MAYA P.E WARGA DESA BARENGKOK KECAMATAN CIKAND PATEN SERANG

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA

ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian dan perumahan tetapi juga non. (ketetapan-ketetapan MPR dan GBHN 1998).

BAB VI. KARAKTERISTIK PEDAGANG MARTABAK KAKI LIMA DAN WARUNG TENDA PECEL LELE DI KOTA BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Pada dasarnya yang menjadi tujuan

BAB I PENDAHULUAN. faktor produksi yang penting karena manusia merupakan pelaku dan sekaligus

KONTRIBUSI EKONOMI PEREMPUAN. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc

BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI

BAB VI TINGKAT PARTISIPASI DAN DAMPAK EKONOMI SERTA SOSIAL CSR BERDASARKAN PELAPISAN SOSIAL

BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa

BAB VI PROFIL RUMAHTANGGA PESERTA PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM MP) DI DESA KEMANG

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2013

BAB VI KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN PROFIL USAHA

III. METODE PENELITIAN. untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadiankejadian.

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

TINGKAT KESEJAHTERAAN BURUH DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANALISIS GENDER TERHADAP SUMBER DAYA PERLINDUNGAN TENAGA KERJA

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

ANALISIS GENDER DALAM GERAKAN REHABILITASI LOKAL HUTAN MANGROVE

Penggusuran dan Reproduksi Kemiskinan

BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN

PENDAHULUAN Latar Belakang

TELAAHAN KEGlATAN REPRODUKTIF DAN PRODUKTIF AMGGQTA RUMAHTANGGA PETANI MIGRAN SIRI<ULER DAN NON NilGRAN. Kalijati, Kabupaten Subang Jawa Barat) Qlah

TELAAHAN KEGlATAN REPRODUKTIF DAN PRODUKTIF AMGGQTA RUMAHTANGGA PETANI MIGRAN SIRI<ULER DAN NON NilGRAN. Kalijati, Kabupaten Subang Jawa Barat) Qlah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. yang dibina oleh Kementerian Kehutanan. Koperasi ini didirikan pada tahun 1989.

BAB I PENDAHULUAN. untuk didengar. Kesejajaran kedudukan antara wanita dengan pria sudah tidak

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

VI KARAKTERISTIK RESPONDEN

PENDAHULUAN Latar Belakang

DEFINISI OPERASIONAL

BAB IV PROFIL DESA 4.1. Aspek Geografis

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Sulawesi barat. Kabupaten Mamuju memiliki luas Ha Secara administrasi,

BAB IX ANALISIS KEBERHASILAN BMT SWADAYA PRIBUMI

BAB V STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT LOKAL DESA GOROWONG. 5.1 Strategi Nafkah Kampung Ater dan Kampung Ciawian

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VI. KARAKTERISTIK RESPONDEN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. a. Letak, Batas dan Luas Daerah Penelitian. Kabupaten Wonosobo, terletak lintang selatan

Indikator Ketenagakerjaan KABUPATEN WAROPEN TAHUN Oleh : Muhammad Fajar

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2009

V GAMBARAN UMUM DESA CIMANGGIS

PENDAHULUAN Latar Belakang

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2012

I. PENDAHULUAN. pangan dan papan. Selaju dengan perkembangan pembangunan dan pemenuhan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dimasuki oleh kaum wanita baik sebagai dokter, guru, pedagang, buruh, dan

Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA

HUBUNGAN KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI DENGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAH TANGGA PERIKANAN

INDIKATOR KETENAGAKERJAAN

VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tidak pernah terlepas dari masalah kependudukan, salah satunya

BAB V KETERDEDAHAN, PENILAIAN RESPONDEN TERHADAP PROGRAM SIARAN RADIO, DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB V PENUTUP. kurang mengawal. Terbukti masih adanya beberapa perusahaan yang memberi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggita Khusnur Rizqi, 2013

Lampiran 1 Uji korelasi Pearson hubungan antar variabel penelitian Hubungan antar variabel penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN UMUM PROFIL PERUSAHAAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Banjar termasuk salah satu wilayah di Kecamatan Banjar Kabupaten

Transkripsi:

34 BAB V MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN Marginalisasi perempuan dalam dunia kerja merupakan hal yang sangat sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, adanya industrialisasi pedesaan telah membawa sejumlah perubahan bagi kaum perempuan untuk dapat keluar dari pembedaan-pembedaan yang ada dalam masyarakat. Untuk melihat adanya perubahan yang dialami kaum perempuan tersebut, dilakukan penelitian pada dua desa dengan corak yang berbeda. Desa pertama adalah Desa Cikarawang yang masih bercorak pertanian, dengan 41.6 persen penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian, dan desa kedua adalah Desa Tarikolot yang berada di lingkungan industri, dimana 96.2 persen penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh atau karyawan. Menurut Scott (1986) dalam Grijns dkk (1992), marginalisasi terdiri dari empat tipe: 1) Penyingkiran dari pekerjaan produktif yang berarti hilangnya kesempatan untuk memberikan kontribusi ekonomi dalam pendapatan keluarga, 2) Pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja, dimana seseorang yang dapat memasuki sektor produktif dan memperoleh imbalan dari pekerjaannya mengalami marginalisasi dalam hal status pekerjaan sebagai buruh ataupun pekerja keluarga yang tidak dibayar, curahan waktu yang tinggi (lebih dari 35-40 jam/minggu) dengan imbalan yang rendah, serta adanya pembedaan dalam mendapatkan tunjangan, 3) Feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Marginalisasi tipe 3 ini dapat dilihat dari jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang. Misalnya, untuk sektor pertanian, laki-laki memiliki akses yang lebih tinggi daripada perempuan karena sektor pertanian dipandang merupakan pekerjaan yang berat dan kotor sehinga cocok untuk laki-laki. Demikian juga dengan sektor indutri yang menuntut pendidikan yang tinggi, yang biasanya tidak dimliki perempuan. Dengan demikian, pada akirnya perempuan terkonsentrasi pada sektor perdagangan dan jasa yang tidak menuntut pendidikan tinggi, dan 4) Pelebaran ketimpangan ekonomi yang dialami seseorang sebagai dampak dari adanya marginalisasi tipe 1, 2, dan 3.

35 5.1 Penyingkiran dari Pekerjaan Produktif (Marginalisasi Tipe 1) Penyingkiran dari pekerjaan produktif berarti hilangnya kesempatan untuk dapat turut serta memberikan kontribusi ekonomi dalam pendapatan keluarga. Dalam penelitian ini, penyingkiran dari pekerjaan produktif dilihat dari status bekerja responden. Status bekerja dibedakan menjadi bekerja produktif dan tidak bekerja produktif. Tidak bekerja produktif berarti penyingkiran dari pekerjaan produktif karena memasuki sektor reproduktif yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan. Dengan adanya industrialisasi pedesaan, diduga perempuan tidak mengalami marginalisasi tipe 1 yang berupa penyingkiran dari pekerjaan produktif. Hal ini dikarenakan banyaknya peluang kerja dan peluang usaha yang muncul seiring dengan munculnya industrialisasi pedesaan. Pada desa pertanian (Cikarawang), terdapat 20 persen responden perempuan yang mengalami penyingkiran dari pekerjaan produktif atau dengan kata lain tidak memiliki kontribusi ekonomi secara langsung dalam pendapatan keluarganya. Sementara itu, pada desa industri (Tarikolot) terdapat 13.3 persen responden perempuan yang mengalami penyingkiran dari pekerjaan produktif (Tabel 8). Tabel 8. Jumlah dan Responden Perempuan menurut Status Bekerja dan Tipe Desa, 2011 Status Bekerja Desa alisasi Pertanian Industri Pedesaan Bekerja Produktif Jumlah 12 13 (+) 1 80.0 86.7 6.7 Tidak Bekerja Jumlah 3 2 (-) 1 Produktif 20.0 13.3 6.7 Total Jumlah 30 Keterangan : (+) menunjukkan adanya peningkatan jumlah dan persentase (-) menunjukkan adanya penurunan jumlah dan persentase dari responden perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 1 untuk desa pertanian dan desa industri berturut-turut adalah 20 persen dan 13.3 persen, sementara responden dikatakan mengalami marginalisasi tipe 1 apabila persentasenya lebih dari 50 persen. Adanya industrialisasi pedesaan membawa perubahan bagi kondisi perempuan ke arah yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan persentase responden yang tidak bekerja produktif sebesar 6.7 persen.

36 Adanya perbedaan persentase responden laki-laki dan perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 1 menjelaskan bahwa walaupun di kedua desa penelitian tidak terjadi marginalisasi perempuan tipe 1 dalam industrialisasi pedesaan, penyingkiran dari pekerjaan produktif masih dirasakan oleh sebagian kecil responden perempuan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam industrialisasi pedesaan, laki-laki memiliki kesempatan yang sedikit lebih besar untuk memasuki sektor produktif daripada perempuan. Tidak terjadinya marginalisasi tipe 1 dibuktikan oleh banyaknya peluang kerja yang terdapat di kedua desa. Masyarakat desa pertanian memiliki kesempatan kerja yang besar karena letaknya yang berdekatan dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), sehingga mereka dapat memasuki sektor produktif untuk memenuhi kebutuhan para mahasiswa, dosen, maupun staff dari perguruan tinggi tersebut, misalnya sebagai pedagang makanan, penjual pulsa, bibi cuci, jasa fotocopy, pemilik kamar kost, tukang ojek, dan lain sebagainya. Adapun pada desa industri, dapat diketahui bahwa tidak terjadinya marginalisasi tipe 1 disebabkan oleh banyaknya industri yang terdapat di desa ini, baik industri besar maupun industri kecil. Keberadaan industri-industri tersebut, selain memberikan kontribusi ekonomi secara langsung bagi masyarakat yang bekerja sebagai pegawai di industri tersebut, juga memberikan kontribusi ekonomi secara tidak langsung bagi masyarakat yang bekerja sebagai pemilik warung makan, penjual pulsa, pemilik kontrakan, tukang ojek, sopir angkot, dan lain sebagainya. Dengan demikian, dugaan terjadinya penyingkiran perempuan dari pekerjaan produktif dalam industrialisasi pedesaan tidak didukung fakta empiris yang menunjukkan banyaknya peluang usaha dan peluang kerja pada kedua desa penelitian. 5.2 Pemusatan pada Pinggiran Pasar Tenaga Kerja Pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja atau marginalisasi tipe 2 merupakan penempatan pada pekerjaan-pekerjaan berstatus rendah dengan curahan waktu kerja yang tinggi dan tunjangan yang rendah, serta berupah rendah. Status pekerjaan dikatakan rendah jika seseorang bekerja sebagai buruh atau pekerja keluarga yang tidak dibayar (dalam penelitian di kedua desa tidak ditemukan responden yang bekerja sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar). Dalam penelitian ini, perempuan dikatakan mengalami marginalisasi tipe 2 jika persentase responden perempuan yang mengalami marginalisasi lebih dari 50 persen dari keseluruhan jumlah responden

37 perempuan. Dengan banyaknya angkatan kerja perempuan yang dapat dibayar murah karena pendidikan yang rendah, diduga terjadi pemusatan perempuan pada pinggiran pasar tenaga kerja dalam industrialisasi pedesaan. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa pada desa pertanian, persentase perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 2 lebih besar dari persentase laki-laki yang mengalami marginalisasi tipe 2, yaitu sebesar 86.7 persen perempuan dan 46.7 persen laki-laki, sehingga dapat dikatakan bahwa marginalisasi tipe 2 dialami oleh perempuan dan tidak dialami oleh laki-laki di desa pertanian. Hal ini tidak berbeda pada desa industri, dimana persentase perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 2 lebih besar daripada laki-laki, yaitu 53.3 persen perempuan dan 40 persen laki-laki. Dari angka tersebut dapat terlihat bahwa industrialisasi pedesaan telah membawa perbaikan bagi kondisi perempuan. Hal ini dibuktikan dengan fakta empiris bahwa telah terjadi penurunan persentase perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 2. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9. Jumlah dan Responden yang Mengalami Marginalisasi Tipe 2 menurut Jenis Kelamin dan Tipe Desa, 2011 Jenis Kelamin Laki-laki Jumlah 7 46.7 Perempuan Jumlah 13 86.7 6 40.0 8 53.3 Industrialisasi Pedesaan (-) 1 6.7 (-) 6 33.4 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa industrialisasi pedesaan membawa perbaikan bagi kondisi perempuan. Akan tetapi, meskipun terjadi perbaikan kondisi perempuan, perempuan dalam industrialisasi pedesaan masih mengalami marginalisasi tipe 2 berupa pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan dengan persentase perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 2 pada kedua desa penelitian adalah lebih dari 50 persen. Marginalisasi tipe 2 ini diukur dari gabungan empat dimensi, yaitu status pekerjaan, curahan waktu, tunjangan yang diperoleh dari tempat kerja, serta imbalan yang diperoleh selama satu bulan.

38 5.2.1 Status Pekerjaan Status pekerjaan responden pada desa pertanian secara umum tergolong rendah, karena baik laki-laki maupun perempuan pada desa pertanian bekerja sebagai buruh atau karyawan. Data hasil penelitian menunjukkan terdapat 60 persen laki-laki dan 80 persen perempuan yang bekerja sebagai buruh atau karyawan, sementara responden yang bekerja sebagai pengusaha atau pemilik usaha hanya sebesar 40 persen laki-laki dan 20 persen perempuan. Di samping itu, responden pada desa industri secara umum memiliki status pekerjaan yang lebih baik dari desa pertanian. Data hasil penelitian menunjukkan 60 persen responden laki-laki memiliki status pekerjaan sebagai pengusaha atau pemilik usaha, sementara responden perempuan masih memiliki status pekerjaan yang rendah sebagai buruh atau karyawan, yaitu sebesar 66.7 persen (Tabel 10). Tabel 10. Jumlah dan Responden menurut Status Pekerjaan, Jenis Kelamin dan Tipe Desa, 2011 Jenis Kelamin Tinggi Rendah Total Tinggi Rendah Total Laki-laki Jumlah 6 9 9 6 40.0 60.0 100 60.0 40.0 100 Perempuan Jumlah 3 20.0 12 80.0 100 5 33.3 10 66.7 100 Secara umum, penelitian menunjukkan status pekerjaan responden dalam industialisasi pedesaan telah meningkat. Pada desa pertanian, seluruh responden baik laki-laki maupun perempuan memiliki status pekerjaan yang rendah. Hal ini tidak terjadi pada desa industri, dimana status pekerjaan responden laki-laki lebih tinggi, yaitu sebagai pengusaha. Akan tetapi, peningkatan status pekerjaan ini tidak dirasakan oleh responden perempuan yang sebagian besar tetap memiliki status sebagai buruh atau karyawan. Oleh karena itu, dapat dikatakan telah terjadi penurunan jumlah dan persentase responden yang memiliki status pekerjaan yang rendah, akan tetapi penurunan jumlah dan persentase responden perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan, dimana responden perempuan mengalami penurunan jumlah dan persentase yang lebih kecil dari responden laki-laki.

39 5.2.2 Tunjangan Responden pada desa pertanian tidak memperoleh tunjangan karena tidak terdapat responden yang bekerja sebagai buruh atau karyawan di perusahaan yang memberikan tunjangan kepada pegawainya. Sebagian besar responden bekerja sebagai buruh lepas yang berhubungan dengan pertanian, misalnya buruh tani atau buruh pengupas ubi. Adapun responden pada desa industri sebagian besar bekerja sebagai buruh atau karyawan pabrik (karyawan kontrak) dengan tunjangan yang diberikan oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Akan tetapi, walaupun memperoleh tunjangan, tunjangan tersebut masih tergolong rendah karena perusahaan memberikan tunjangan yang berbeda antara karyawan kontrak dan karyawan tetap, dimana karyawan kontrak memperoleh tunjangan yang lebih terbatas daripada karyawan tetap. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa 100 persen responden perempuan dan laki-laki pada desa pertanian memperoleh tunjangan yang rendah karena tidak mendapat tunjangan dari tempat kerjanya. Sementara pada desa industri, responden juga memperoleh tunjangan yang rendah dengan persentase 60 persen laki-laki dan 66.7 persen perempuan, sementara responden yang memperoleh tunjangan yang tinggi hanya sebesar 40 persen laki-laki dan 33.3 persen perempuan. Jumlah dan persentase responden dengan tunjangan yang diperoleh dapat dilihat dalam Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Jumlah dan Responden menurut Jenis Kelamin, Tunjangan, dan Tipe Desa, 2011 Jenis Kelamin Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Laki-laki Jumlah 0 9 6 0.0 100 60.0 40.0 100 Perempuan Jumlah 0 0.0 100 10 66.7 5 33.3 100 Rendahnya tunjangan yang diperoleh responden dalam industrialisasi pedesaan ini disebabkan oleh adanya pembedaan pemberian tunjangan yang dilakukan oleh perusahaan kepada pegawainya. Namun, pembedaan dilakukan tidak berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasarkan status karyawan tetap atau karyawan kontrak. 5.2.3 Curahan Waktu Kerja Curahan waktu kerja responden perempuan pada desa pertanian tergolong kategori rendah (kurang dari 35 jam per minggu) karena jenis pekerjaan sebagian besar

40 responden adalah buruh lepas dalam bidang pertanian, dimana jenis pekerjaan ini memiliki jam kerja yang singkat, biasanya hanya 5-6 jam per hari dengan hari kerja yang tidak ditentukan. Sementara laki-laki pada desa pertanian memiliki curahan waktu kerja yang tinggi (lebih dari atau sama dengan 35 jam per minggu) karena secara umum mereka bekerja sebagai buruh di bengkel dengan waktu kerja yang ditentukan oleh pemilik usaha bengkel tersebut, yaitu sepuluh jam per hari dengan enam hari kerja. Di samping itu, responden pada desa industri menunjukkan sebaliknya, sebagian besar responden, baik laki-laki maupun perempuan memiliki curahan waktu yang tinggi, yaitu lebih dari 35 jam per minggu. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan curahan waktu kerjanya dapat dilihat dalam Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12. Jumlah dan Responden menurut Jenis Kelamin, Curahan Waktu Kerja dan Tipe Desa, 2011 Jenis Kelamin Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Laki-laki Jumlah 6 9 3 12 40.0 60.0 20.0 80.0 Perempuan Jumlah 12 80.0 3 20.0 6 40.0 11 73.3 Data di atas menunjukkan peningkatan curahan waktu kerja dalam industrialisasi yang dialami oleh responden laki-laki dan perempuan. Hal ini disebabkan oleh jenis pekerjaan responden desa industri adalah buruh atau karyawan pabrik yang memiliki jam kerja yang telah ditetapkan perusahaan. Responden yang bekerja sebagai karyawan pabrik ini memiliki jam kerja delapan jam per hari, dan bekerja dari hari senin hingga sabtu. Dengan demikian, curahan waktu kerja seseorang tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, melainkan oleh status dan jenis pekerjaannya. 5.2.4 Pendapatan Total Individu dalam Sebulan Pendapatan total individu pada desa pertanian menunjukkan adanya ketimpangan antara pendapatan perempuan dan laki-laki, dimana pendapatan laki-laki lebih besar dari pendapatan perempuan. Hal ini terlihat dari persentase laki-laki yang memiliki pendapatan total yang tinggi sebesar 60 persen, sementara persentase perempuan yang memiliki pendapatan total yang tinggi hanya 13.3 persen. Akan tetapi, ketimpangan pendapatan ini tidak terjadi pada desa industri, dimana laki-laki dan

41 perempuan masuk ke dalam kategori pendapatan yang rendah, yaitu 60 persen laki-laki dan 80 persen perempuan. Data lebih lengkap dapat dilihat dalam Tabel 13 di bawah ini. Tabel 13. Jumlah dan Responden menurut Jenis Kelamin, Pendapatan Individu, dan Tipe Desa, 2011 Jenis Kelamin Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Laki-laki Jumlah 6 9 9 6 40.0 60.0 60.0 40.0 Perempuan Jumlah 13 86.7 2 13.3 12 80.0 3 20.0 Dari tabel di atas dapat dilihat terjadinya peningkatan jumlah dan atau persentase responden laki-laki yang memiliki kategori pendapatan rendah. Akan tetapi, responden perempuan mengalami penurunan jumlah dan persentase pada kategori pendapatan rendah, sedangkan responden laki-laki yang memperoleh pendapatan tinggi di desa pertanian, masuk ke dalam kategori pendapatan rendah di desa industri. Maka dapat dikatakan bahwa meskipun tetap terjadi ketimpangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan, namun responden perempuan memiliki pendapatan individu yang lebih baik dalam industrialisasi pedesaan. Rendahnya pendapatan total individu dalam industrialisasi pedesaan ditunjukkan oleh lapisan sosial responden yang sebagian besar responden berasal dari lapisan bawah, yaitu 11 orang pada desa pertanian dan 23 orang pada desa industri (Tabel 14).

42 Tabel 14. Jumlah dan Responden menurut Lapisan Sosial, Jenis Kelamin, dan Tipe Desa, 2011 Lapisan Sosial L P Total L P Total Bawah Jumlah 6 5 11 11 12 23 54.5 45.5 47.8 52.2 Menengah Jumlah 4 7 11 2 2 4 36.4 63.6 50.0 50.0 Atas Jumlah 5 3 8 2 1 3 Perentase 62.5 37.5 66.7 33.3 Keterangan : L : laki-laki P : Perempuan 5.3 Feminisasi Sektor Produktif dan Segregasi Berdasarkan Jenis Kelamin Perempuan dalam sektor produktif seringkali mengalami pembedaan dalam pembagian kerja. Perempuan dan laki-laki dibedakan dalam hal jenis pekerjaan. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lebih lemah dari laki-laki dan cocok pada jenis pekerjaan tertentu yang tidak menuntut tenaga dan pendidikan serta pengetahuan yang tinggi. Pada kedua desa penelitian ditemukan empat jenis pekerjaan yang dimiliki responden, yaitu pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Perempuan dikatakan mengalami feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin, jika perempuan terpusat pada suatu jenis pekerjaan tertentu dan laki-laki terpusat pada jenis pekerjaan yang lain. Segregasi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin dialami oleh responden, jika perbedaan persentase responden laki-laki dengan perempuan yang memasuki jenis pekerjaan tertentu memiliki selisih lebih dari 20 persen. Hasil penelitian pada desa pertanian menunjukkan terjadi feminisasi sektor produktif yang dialami oleh responden perempuan ke dalam jenis pekerjaan bidang pertanian (40 persen). Sedangkan, responden laki-laki yang memiliki jenis pekerjaan yang sama hanya sebesar 26.7 persen. Dengan demikian, segregasi berdasarkan jenis kelamin tidak terjadi karena dominan responden laki-laki terpusat pada jenis pekerjaan bidang jasa. Penelitian pada desa industri juga menunjukkan adanya feminisasi sektor produktif. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya persentase responden perempuan pada jenis pekerjaan bidang industri (53.4 persen), sementara laki-laki yang memiliki jenis pekerjaan bidang industri hanya sebesar 33.3 persen. Dengan demikian, segregasi

43 terjadi berdasarkan jenis kelamin karena ada pemusatan tenaga kerja responden laki-laki dan perempuan pada jenis pekerjaan yang berbeda (Tabel ). Tabel. Responden menurut Jenis Kelamin, Jenis Pekerjaan, dan Tipe Desa, 2011 Jenis Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Pekerjaan (%) (%) (%) (%) Pertanian 26.7 40.0 0.0 0.0 Industri 13.3 0.0 33.3 53.4 Perdagangan 20.0 20.0 40.0 20.0 Jasa 40.0 20.0 26.7 13.3 Tidak Bekerja 0.0 20.0 0.0 13.3 Total Hasil penelitian pada kedua desa penelitian menunjukkan bahwa dalam industrialisasi pedesaan, perempuan mengalami marginalisasi tipe 3 yang berupa feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Industrialisasi pedesaan menyebabkan perempuan yang semula terpusat pada jenis pekerjaan di sektor pertanian, berubah menjadi terpusat ke sektor industri. Sementara itu, industrialisasi pedesaan membawa perubahan bagi laki-laki yang semula terpusat pada sektor jasa menjadi terpusat pada sektor perdagangan. 5.4 Pelebaran Ketimpangan Ekonomi antara Rumahtangga Laki-laki dan Rumahtangga Perempuan Marginalisasi tipe 4 berupa pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan terjadi karena adanya perbedaan pendapatan yang diperoleh rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan dalam sebulan. Rumahtangga dengan jumlah anggota yang bekerja dominan laki-laki disebut sebagai rumahtangga laki-laki dan rumahtangga yang anggotanya dominan perempuan yang bekerja dikatakan rumahtangga perempuan. Perbedaan pendapatan yang dialami oleh kedua jenis rumahtangga ini disebabkan oleh adanya pembedaan-pembedaan yang dialami oleh perempuan dan laki-laki yang diwujudkan dalam marginalisasi tipe 1, 2, dan 3. Dengan adanya ketiga tipe marginalisasi tersebut, maka diduga bahwa terjadi pelebaran

44 ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan dalam industrialisasi pedesaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, responden pada desa pertanian memiliki pendapatan total rumahtangga yang rendah, baik rumahtangga lakilaki, maupun rumahtangga perempuan. Demikian pula halnya dengan responden pada desa industri, dimana kedua jenis rumahtangga dengan pendapatan total rumahtangga yang rendah memiliki persentase yang tinggi. Akan tetapi, persentase rumahtangga lakilaki dan perempuan yang memiliki pendapatan yang rendah mengalami perbedaan. Hal ini dapat dilihat dari persentase rumahtangga perempuan dengan pendapatan rendah lebih besar dari persentase rumahtangga laki-laki dengan pendapatan rendah. Untuk melihat data selengkapnya disajikan Tabel 16 di bawah ini. Tabel 16. Jumlah dan Responden menurut Jenis Rumahtangga, Pendapatan Rumahtangga dalam Sebulan, dan Tipe Desa, 2011 Jenis Rumah Tangga Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Laki-laki Jumlah 16 7 23 17 8 25 69.6 30.4 68.0 32.0 Perempuan Jumlah 5 71.4 2 28.6 7 4 80.0 1 20.0 5 Marginalisasi tipe 4 yang berupa pelebaran ketipangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan dapat dilihat dari ratio rumahtangga laki-laki yang memiliki pendapatan tinggi dan rumahtangga perempuan yang memiliki pendapatan tinggi. Tabel 17. Ratio Responden yang Memiliki Pendapatan Tinggi menurut Jenis Rumahtangga dan Tipe Desa, 2011 Tipe Desa Ratio 1.06 1.6 Industrialisasi Pedesaan (+) 5.4 Keterangan : (+) menunjukkan adanya peningkatan ratio Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa dalam industrialisasi pedesaan telah terjadi peningkatan ratio rumahtangga laki-laki yang memiliki pendapatan tinggi dan

45 rumahtangga perempuan yang memiliki pendapatan tinggi. Ratio tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga laki-laki dengan pendapatan tinggi lebih banyak dari rumahtangga perempuan dengan pendapatan tinggi. Dengan demikian, industrialisasi pedesaan telah menyebabkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan. 5.5 Ikhtisar Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dugaan tidak terjadinya penyingkiran perempuan dari pekerjaan produktif dalam industrialisasi pedesaan didukung fakta empiris dengan banyaknya peluang usaha dan peluang kerja pada kedua desa penelitian. Adanya industrialisasi pedesaan membawa perubahan bagi kondisi perempuan ke arah yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan persentase responden yang tidak bekerja produktif. Industrialisasi pedesaan membawa perbaikan bagi kondisi perempuan dalam sektor produktif. Akan tetapi, meskipun terjadi perbaikan kondisi perempuan, perempuan dalam industrialisasi pedesaan masih mengalami marginalisasi tipe 2 berupa pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan dengan persentase perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 2 pada kedua desa penelitian adalah lebih dari 50 persen. Pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja atau marginalisasi tipe 2 ini memiliki empat dimensi marginalisasi, yaitu status pekerjaan, curahan waktu, tunjangan yang diperoleh dari tempat kerja, serta imbalan yang diperoleh selama satu bulan. Hasil penelitian pada kedua desa penelitian menunjukkan bahwa dalam industrialisasi pedesaan, perempuan mengalami marginalisasi tipe 3 yang berupa feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Industrialisasi pedesaan menyebabkan perempuan yang terpusat pada jenis pekerjaan di sektor pertanian pada masa pertanian, mengalami perubahan ke sektor industri. Pemusatan pada sektor industri tersebut tidak dialami oleh laki-laki, karena laki-laki terpusat pada jenis pekerjaan di sektor perdagangan. Adanya selisih laki-laki dan perempuan yang bekerja di sektor industri sebesar 20.1 persen menunjukkan terjadinya segregasi berdasarkan jenis kelamin. Industrialisasi pedesaan tidak membawa perbaikan kondisi bagi rumahtangga laki-laki dan perempuan. Hal tersebut ditunjukkan dengan peningkatan ratio rumahtangga laki-laki yang memiliki pendapatan tinggi dan rumahtangga perempuan

46 yang memiliki pendapatan tinggi. Ratio tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga lakilaki dengan pendapatan tinggi lebih banyak dari rumahtangga perempuan dengan pendapatan tinggi. Dengan demikian, industrialisasi pedesaan telah menyebabkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan.