BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. pada wanita pekerja seks menunjukan bahwa prevelensi gonore berkisar antara 7,4% -

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum

BAB I PENDAHULUAN. di Amerika Serikat yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, yaitu. kepada janin saat proses melahirkan pervaginam.

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit menular seksual yang sering dilaporkan di Amerika Serikat. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. lagi dan diubah menjadi PMS (penyakit menular seksual) karena seiring dengan

I. PENDAHULUAN. pasangan yang sudah tertular, maupun mereka yang sering berganti-ganti

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi sexual transmitted disease. (STD) atau penyakit menular seksual (Fahmi dkk, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoserviks yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif Neisseria gonorrhoeae

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut saat ini merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. uterus. Pada organ reproduksi wanita, kelenjar serviks bertugas sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan

INFEKSI MENULAR SEKSUAL: DIAGNOSIS & TATALAKSANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gonore merupakan penyakit infeksi menular seksual. (IMS) yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae (N.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

Penyakit Radang Panggul. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena hubungan seksual (Manuaba,2010 : 553). Infeksi menular

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

SKDI 2012 INFEKSI MENULAR SEKSUAL

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak di. seluruh dunia. Pneumonia menyebabkan 1,1 juta kematian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan gejala (asimtomatik) terutama pada wanita, sehingga. mempersulit pemberantasan dan pengendalian penyakit ini 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kanamisin termasuk dalam golongan aminoglikosida. 14

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat umum dan penting, sedangkan infeksi bakteri lebih sering

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

Identifikasi Faktor Resiko 1

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

DAFTAR PUSTAKA. Infectious Disease. Vol. 7, No. 2, Maret - April Neissera gonorrhoeae Secara In Vitro. Semarang: Fakultas Kedokteran

Infeksi yang diperoleh dari fasilitas pelayanan kesehatan adalah salah satu penyebab utama kematian dan peningkatan morbiditas pada pasien rawat

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sosial secara utuh yang tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan,

I. PENDAHULUAN. Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

Angka Kejadian, Karakteristik dan Pengobatan Penderita Gonore di RSUD Al- Ihsan Bandung

Jangan Sembarangan Minum Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menjadi masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya umur harapan hidup sebagai salah satu tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Obat-obat andalan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB 1 PENDAHULUAN. situasi lingkungannya, misalnya perubahan pola konsumsi makanan, berkurangnya

BAB I Pendahuluan. Penyakit gonore adalah penyakit infeksi menular. yang disebabkan oleh infeksi bakteri

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (World

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Servisitis adalah sindrom peradangan serviks dan merupakan manifestasi umum dari Infeksi Menular Seksual (IMS) seperti Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis (McGough, 2008). Lima puluh persen wanita yang terinfeksi dengan Neisseria gonorrhoeae tidak menunjukkan gejala. Skrining yang tepat, diagnosis dini, dan pengobatan sangat penting pada wanita, karena dapat berakibat komplikasi serius yang dapat mengakibatkan penyakit radang panggul, kehamilan ektopik dan kemandulan. Endoserviks adalah tempat umum infeksi lokal (Rosen T, 2012). Begitu juga dengan servisitis non spesifik, yang sering disebabkan oleh Chlamydia trachomatis sebagian besar asimtomatis, dan 75-80% tempat yang paling umum terkena adalah serviks (Muriastutik, 2008). Pada pemeriksaan wanita dengan servisitis, lebih dari 30% di tandai dengan sekret mukopurulen atau mukopurulen cervisitis (MPC) pada pemeriksaan inspekulo pada endoserviks. MPC ditandai juga dengan serviks yang rapuh dan mudah berdarah (Muriastutik, 2008) Pengetahuan tentang prevalensi servisitis gonore pada wanita dengan duh tubuh vagina sangat penting dalam menetapkan pengobatan infeksi serviks. Makin tinggi prevalensi servisitis gonore maka akan lebih meyakinkan kita untuk memberikan pengobatan terhadap infeksi serviks. Wanita dengan faktor risiko lebih cenderung menunjukkan infeksi serviks dibandingkan dengan mereka yang tidak berisiko.wanita dengan duh tubuh vagina disertai faktor risiko perlu dipertimbangkan untuk diobati sebagai servisitis yang disebabkan oleh gonore dan klamidiosis (Depkes RI, 2011). Servisitis adalah suatu kondisi umum pada wanita pekerja seksual, dengan prevalensi setinggi 20%. Pada studi servisitis pada pekerja seksual di Afrika, Neisseria gonorhoaea, Chlamydia trachomatis, M. genitalium dan Tricomonas vaginalis merupakan patogen yang umum di jumpai (Pollet, 2013). Faktor-faktor seperti pendidikan dengan tingkat pendidikan yang rendah sampai menengah, tingkat kesulitan ekonomi yang rendah, dan sedikitnya 1

2 penggunaan kondom dapat meningkatkan resiko penularan IMS (Depkes RI, 2011). Di negara Amerika Serikat, Centers for Disease Control (C DC) memperkirakan bahwa lebih dari 19 juta IMS terjadi setiap tahun, hampir separuh dari mereka adalah berusia 15-24 tahun. Disamping berpotensi parah, IMS menimbulkan beban ekonomi yang luar biasa (Arthur, 2012). Peningkatan insidensi IMS khususnya servisitis gonore dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah perubahan demografik seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat tinggi, pergerakan masyarakat yang meningkat akibat pekerjaan ataupun pariwisata dan kemajuan sosial ekonomi. Akibat perubahan-perubahan demografik tersebut maka terjadi pergeseran pada nilai moral dan agama pada masyarakat. Faktor lain yang juga mempengaruhi peningkatan ini adalah kelalaian negara dalam memberi pendidikan kesehatan dan seks kepada masyarakat. Fasilitas kesehatan yang belum memadai dan banyak kasus asimptomatik, sehingga pengidap merasa tidak sakit namun dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain (Djuanda, 2007). Infeksi itu sendiri dapat terjadi pada siapa saja, dari lapisan masyarakat manapun dan mulai dari usia muda hingga tua. Dengan memahami gambaran infeksi menular seksual yang terjadi pada masyarakat dan distribusi populasi berisiko tinggi terhadap infeksi ini akan sangat membantu upaya pencegahan penularan dan pengobatan dini terhadap penyakitnya. Tatalaksana IMS yang efektif merupakan dasar pengendalian IMS, karena dapat mencegah komplikasi dan sekuele, mengurangi penyebaran infeksi di masyarakat, serta merupakan peluang untuk melakukan edukasi terarah mengenai pencegahan infeksi HIV(Human Imunodeficiency Virus). Bila hal tersebut dilakukan terhadap para pasien, maka hal ini dapat mempengaruhi perilaku seksual dan kebiasaan mereka dalam mencari pengobatan. Pengobatan terhadap penyakit IMS ini banyak mengalami perkembangan, mengingat pemakaian obat secara tidak tepat dan sembarangan sehingga menimbulkan resistensi kuman terhadap berbagai terapi yang sudah ada. Adapun kriteria obat untuk IMS yaitu mempunyai angka kesembuhan/kemanjuran tinggi (sekurang-kurangnya 95% di wilayah tersebut), harga murah, memiliki toksisitas

3 dan toleransi yang masih dapat diterima, pemberian dalam dosis tunggal, cara pemberian peroral serta tidak merupakan kontra indikasi untuk ibu hamil atau menyusui (Depkes RI, 2011). Pasien IMS sering mengalami infeksi oleh beberapa penyebab sekaligus. Pasien yang terinfeksi Neisseria gonorrhoeae sering koinfeksi dengan Chlamydia trachomatis atau bakteri non spesifik lainnya. Karena temuan ini maka dibuat rekomendasi bahwa pasien yang diobati untuk infeksi servisitis gonore juga diberikan secara rutin dengan penambahan rejimen yang efektif terhadap infeksi bakteri non spesifik lainnya. Kebanyakan gonokokus di Amerika Serikat rentan terhadap doksisiklin dan azitromisin, pengobatan tambahan rutin mungkin juga menghambat perkembangan resistensi antimikroba Neisseria gonorrhoeae (Allen, 2013). Kegagalan pengobatan dan penurunan kepekaan terhadap sefalosporin spektrum luas, telah terdeteksi di Asia, Kanada, Eropa, dan Afrika Selatan. Di Amerika Serikat, sefalosporin saat ini merupakan dasar rekomendasi pengobatan. Penelitian Vanessa G Allen menemukan kegagalan terapi dengan sefiksim yaitu sefalosporin generasi ketiga. Namun kepekaan yang berkurang terhadap sefalosporin telah menyebabkan pengobatan ganda dengan seftiakson ditambah azitromisin atau doksisiklin. Kombinasi rejimen pengobatan ini hanya direkomendasikan dari CDC (Allen, 2013). Sebelumnya, antibiotik golongan quinolon seperti siprofloksasin, ofloksasin, enoksasin, dan lain-lain yang diberikan sebagai rejimen dosis tunggal memberi hasil terapi yang memuaskan. Namun kemudian sejumlah laporan dari Philipina dan Negara-negara Asia Tenggara menyatakan bahwa mulai terjadi resistensi beberapa antibiotik golongan quinolon terhadap N.gonorrhoea. Resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap sefiksim, antibiotika oral pilihan terakhir yang diberikan pada pasien-pasien dengan penyakit ini, telah terdeteksi di Amerika Utara dari hasil penelitian the Kanadian study. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa angka kegagalan terapi sefiksim pada pasien penderita gonore mencapai 7 persen (Allen, 2013). Neisseria gonorrhoeae yang merupakan kuman penyebab gonore, telah resisten terhadap antibiotika, disebut AMR (Antimicrobial resistance) terhadap

4 semua terapi lini utama seperti penisillin, tetrasiklin, fluoroquinolons, sehingga antibiotika yang tersisa, yang kini menjadi rekomendasi utama terapi infeksi kuman gonokokus adalah ESC (E xpanded-spectrum Cephalosporins) yaitu seftriakson dan sefiksim. Sayangnya dalam dekade terakhir ini, kerentanan terhadap ESC juga menurun secara global, baik di Jepang, Norwegia, Australia dan Inggris (Barry, Klausner, 2009). CDC 2010 telah merekomendasikan pengobatan Infeksi Genital Non Spesifik (IGNS) dan gonore dengan kombinasi obat untuk menghindari terjadinya resistensi pengobatan dengan obat tunggal. Dari data laboratorium negara Amerika Serikat telah dibuktikan keberhasilan daripada pengobatan dengan menggunakan kombinasi 2 macam obat. Sekarang ini CDC merekomendasikan menggunakan seftriakson bersama dengan antibiotik lain untuk pengobatan gonore ( STD Guidelines, 2010 ). Pada tahun 2011, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, melalui Pedoman Nasional Penanggulangan Infeksi Menular Seksual merekomendasikan penanganan untuk sindrom duh tubuh serviks mukopurulen karena infeksi servisitis dengan pengobatan untuk gonore tanpa komplikasi di tambah dengan pengobatan untuk klamidia berupa sefiksim 400 mg dosis tunggal per oral di tambah azitromisin 1 gram dosis tunggal, per oral. Melalui pedoman penatalaksanaan penyakit infeksi menular 2011, merupakan program untuk mengurangi angka kesakitan dan angka penyebaran penyakit infeksi menular seksual di Indonesia, khususnya servisitis gonore dan servisitis klamidia. Program ini dilaksanakan terutama disarana kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, dan klinik yang mempunyai unit pelayanan kesehatan infeksi menular seksual. Di Indonesia, yang merupakan daerah dengan prevalensi IMS yang tinggi dan akses layanan kesehatan yang kurang, intervensi jangka pendek dapat mengurangi angka kesakitan IMS yang dapat disembuhkan dengan melakukan Pengobatan Presumtif Berkala (PPB) atau Periodic Presumtive Treatment (PPT). Intervensi yang dilakukan meliputi satu kali pemberian pengobatan secara presumtif kepada kelompok berperilaku risiko tinggi dengan prevalensi IMS yang tinggi, promosi penggunaan kondom dan tatalaksana IMS secara pendekatan

5 sindrom dan laboratorium sederhana. PPB ini dilakukan selama 1-3 bulan dengan pemberian obat dosis tunggal sefiksim 400 mg dan azitromisin 1 gr yang diminum di depan petugas. Berdasarkan referensi WHO PPB ini dihentikan ketika prevalensi IMS dibawah 10% dan penggunaan kondom diatas 70% (Depkes RI, 2009). Di Indonesia pengobatan infeksi menular seksual yang telah dilaksanakan di berapa daerah di Indonesia diantaranya Provinsi Kepulauan Riau Kabupaten Bintan. Di provinsi Kepulauan Riau, kabupaten Bintan telah dilaksanakan pengobatan IMS secara berkala dengan kombinasi obat sefiksim dan azitromisin ini. Pemberian obat dilakukan mulai bulan Maret 2008 sampai dengan Juni 2009 selama 3 kali dengan selang waktu 1 bulan diikuti dengan pemeriksaan skrining IMS secara rutin berkala, ini memberikan hasil penurunan gonore dan klamidia secara nyata (Depkes RI, 2009). Di kabupaten Deli Serdang khususnya di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru penanganan servisitis gonore dan dugaan servisitis non spesifik dilakukan dengan pemberian paket obat kombipak yang terdiri dari sefiksim 400 mg dan azitromisin 1 gram, dimana obat kombipak ini didistribusikan dari Departemen Kesehatan RI. (Depkes, 2011), dan efektivitas obat paket kombipak ini belum pernah diteliti di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti berminat untuk meneliti efektivitas obat kombipak (kombinasi sefiksim dan azitromisin) terhadap penyakit servisitis gonore dan dugaan servisitis non spesifik di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Untuk itu. Diharapkan penanganan kasus IMS dengan terapi paket kombipak ini dapat menurunkan kasus IMS khususnya servisitis gonore dan dugaan servisitis non spesifik terutama di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang. 1.2. Perumusan masalah Bagaimana efektivitas obat kombipak (kombinasi sefiksim dan azitromisin) terhadap pengobatan IMS khususnya servisitis gonore dan dugaan

6 servisitis non spesifik pada Wanita Pekerja Seksual (WPS) di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. 1.3. Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan umum Untuk mengetahui efektivitas obat kombipak (kombinasi sefiksim dan azitromisin ) terhadap servisitis gonore dan dugaan servisitis non spesifik pada WPS di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. 1.3.2. Tujuan khusus a. Untuk melihat angka kesembuhan obat kombipak (kombinasi sefiksim dan azitromisin) terhadap servisitis gonore dan dugaan servisitis non spesifik pada masyarakat. b. Untuk melihat angka kesembuhan obat sefiksim + plasebo terhadap servisitis gonore dan dugaan servisitis non spesifik pada masyarakat. 1.4. Hipotesis Terdapat perbedaan efektivitas obat kombipak (kombinasi sefiksim daan azitromisin) dibanding dengan sefiksim + plasebo, terhadap servisitis gonore dan dugaan servisitis non spesifik pada WPS di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang. 1.5. Manfaat peneliti 1. Dapat digunakan sebagai acuan pemberian antibiotika oleh dokter yang berkompeten pada penanganan servisitis gonore dan dugaan servisitis non spesifik, di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. 2. Dapat menjadi masukan bagi Puskesmas Bandar Baru dan Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara, untuk program pemberantasan penyakit menular seksual khususnya penyakit servisitis gonore dan dugaan servisitis non spesifik.

7 3. Bagi peneliti, dan pembaca khususnya dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai terapi servisitis gonore dan dugaan servisitis non spesifik.