110 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab terakhir ini bertujuan untuk menyimpulkan pembahasan dan analisa pada bab II, III, dan IV guna menjawab pertanyaan penelitian yaitu keuntungan apa yang ingin diraih Singapura dengan menawarkan ASEAN untuk meningkatkan kerja sama transportasi udaranya menjadi liberalisasi penuh dengan cara mengikat perjanjian open sky. Selain kesimpulan bab ini juga memuat rekomendasi. Sebagai negara berdaulat, Singapura ingin terus dapat tetap survive dalam persaingan ekonomi. Pemerintah Singapura menjalankan strategi-strategi city state yang telah diadopsinya sejak masa pemerintahan kolonial Inggris di Singapura, yaitu ingin strategi untuk menjadi pusat aktivitas perekonomian di Asia Tenggara. Tetapi cara ini tidak mudah mengingat keterbatasan-keterbatasan domestik seperti luas teritori negara dan jumlah populasi yang kecil. Singapura berhasil membangun perekonomiannya dengan menggunakan investasi asing. Karena itu, negara ini menjadi sangat bergantung pada investasi asing. Oleh sebab itu Singapura terus berupaya agar negaranya menjadi lokasi yang menarik bagi para investor asing. Cara ini tidak mudah, karena strategi-strategi terbukti berhasil dilakukan oleh Singapura, ternyata menarik untuk diikuti oleh negara-negara lain disekitarnya. Hal ini nampak seperti fenomena angsa terbang, dimana kesuksesan sebuah negara menarik untuk ditiru oleh negara-negara lain yang ingin memperoleh kesuksesan yang sama. Akibatnya Singapura menjadi terdesak untuk terus-menerus menciptakan strategi-strategi baru agar tetap berada sebagai pemimpin dalam persaingan. Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya ekuilibrium baru, dimana negara-negara lain dapat maju sebagai pesaing yang setara dengan Singapura yang berpotensi untuk menurunkan posisi Singapura sebagai tempat yang paling menarik bagi investorinvestor dunia untuk berinvestasi. Hal ini dapat dipahami mengingat Singapura
111 berupaya untuk mengejar relative gain, yaitu gain atau keuntungan yang lebih besar dari yang bisa diraih oleh negara-negara lain yang menjadi saingannya. Karena harus selalu membuat strategi-strategi baru, maka secara alamiah keunggulan daya saing Singapura juga meningkat. Hal ini dikarenakan, Pemerintah Singapura terus mendorong dilakukannya meningkatan kemampuan teknologi, inovasi, riset dan pengembangan, serta efisiensi. Terlebih lagi Pemerintah Singapura sungguh-sungguh mempersiapkan penduduknya untuk dapat menerima perubahan teknologi yang terjadi melalui program-program peningkatan kualitas sumber daya manusia seperti pendidikan dan pelatihan. Keunggulan daya saing yang seperti ini sulit untuk disamai dengan cepat oleh negara-negara lain di sekitarnya. Sehingga bila Singapura ingin tetap menjadi pemimpin dalam persaingan, keunggulan saing ini harus terus ditingkatkan agar tidak disamai oleh negara lain. Keunggulan daya saing yang dimiliki oleh Singapura, membantu untuk membidik sektor-sektor industri yang belum dikelola atau dikuasai secara penuh oleh negaranegara tetangganya. Cara lain yang digunakan oleh Pemerintah Singapura untuk tetap bertahan dalam persaingan dunia yang semakin ketat adalah dengan berupaya menaklukkan aktivitas ekonomi di negara lain dengan cara berinvestasi di negaranegara di sekitarnya. Selain itu, Pemerintah Singapura juga mendiversifikasikan usahanya ke sektor-sektor yang belum dikuasai sepenuhnya oleh negara-negara disekitarnya karena keterbatasan kemampuan keuangan dan teknologi. Salah satu dari sektor yang baru adalah sektor industri jasa transportasi udara. Tetapi keunggulan daya saing ini menimbulkan permasalahan baru, yaitu dibutuhkan pasar yang lebih luas untuk menyerap segenap hasil produktivitas dari semua sektor yang telah dibangun. Pasar ini tentunya akan melebihi batas-batas negara karena kemampuan konsumsi domestik yang kecil. Bahkan sektor transportasi udara bergantung sepenuhnya pada pasar transportasi udara internasional. Karena itu tidak ada pilihan lain bagi Singapura selain dari pada berupaya untuk membuat pasar yang lebih luas. Hal ini, juga dilakukannya sebagai bentuk dukungan kepada perusahaan-
112 perusahaan milik Pemerintah Singapura agar dapat terus bertahan dalam persaingan dan memberi keuntungan yang maksimal bagi negara Singapura. Dalam hal ini, pengalaman Singapura dalam menjalin liberalisasi pasar dengan Amerika Serikat dan beberapa negara lain melalui perjanjian open sky, memberinya cukup percaya diri untuk mencoba mengusulkan kerja sama open sky di ASEAN. Hal tersebut karena Singapura telah merasakan sendiri manfaat-manfaat yang diperoleh dari kerja sama liberalisasi penuh pasar transportasi udara yang pernah dilakukan oleh Singapura dalam perjanjian-perjanjian open sky yang dimilikinya. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh Singapura seperti perluasan jaringan rute yang dapat dilayani oleh maskapai-maskapai Singapura, pertambahan pendapatan operasional bagi perusahaan-perusahaan milik pemerintah dalam sektor transportasi udara, pertambahan devisa dari pertambahan jumlah penumpang dan kargo yang dapat dilayani oleh Bandara Changi, bahkan Singapura juga akan dapat menikmati peningkatan kunjungan wisatawan yang datang ke kawasan ASEAN. Terlebih lagi, dengan membuat perjanjian open sky di ASEAN, maka Bandara Changi diharapkan dapat menjadi pusat penerbangan di kawasan ASEAN. Dengan demikian, semua hasil tersebut berdampak pada peningkatan daya saing ekonomi nasional Singapura sebagai pusat aktivitas perekonomian di kawasan Asia Tenggara. Pasar regional yang paling dekat dan paling menarik untuk Singapura adalah kawasan Asia Tenggara. Karena dikarenakan kedekatan geografis dan potensi pasarnya yang cukup besar yang diharapkan bisa menyerap sebagian dari hasil produksi Singapura. Hal ini mengingat jumlah populasi di Asia Tenggara yang cukup besar. Disamping itu adanya perkembangan pasar transportasi udara yang cukup signifikan di kawasan ini terutama bagi Singapura. Singapura juga sangat membutuhkan pasar di kawasan Asia Tenggara agar bisa mewujudkannya tujuan geopolitiknya yaitu menjadi pusat perekonomian di kawasan Asia Tenggara. Namun demikian, membuat kerja sama liberalisasi penuh industri jasa transportasi udara di kawasan ASEAN tidaklah mudah. Ini disebabkan oleh berbagai perbedaan
113 yang terdapat di antara negara-negara anggota ASEAN. Perbedaan tersebut sangat beragam, mulai dari perbedaan kepentingan dalam penggunaan maskapai nasional, seperti adanya kewajiban bagi maskapai nasional untuk mendukung program pembangunan ekonomi di daerah-daerah tertinggal; adanya ketimpangan tingkat kapasitas teknologi antara Singapura dengan sebagian besar anggota ASEAN lainnya; bahkan adanya kekhawatiran bahwa pendapatan maskapai nasional dan maskapai swasta domestik akan kehilangan banyak pemasukan akibatnya berkurangnya volume angkutan yang dapat dilayani. Hal ini membuat mereka menuntut untuk dilindungi. Bahkan maskapai nasional dianggap sebagai simbol nasional oleh sebab peran sosial yang dibawakannya. Akibatnya tidak mudah untuk meyakinkan negara-negara ASEAN untuk bersikap antusias menerima usulan open sky. Kesulitan lain yang timbul dari upaya untuk membentuk liberalisasi penuh jasa transportasi udara di ASEAN adalah tidak adanya kerangka kerja yang jelas, tidak ada kerangka waktu yang spesifik untuk dicapai, bahkan tidak ada mekanisme untuk menyelesaikan sengketa yang berpotensi besar untuk terjadi dalam suatu kerja sama. Hal ini menjadi semakin sulit karena tidak ada lembaga di ASEAN yang dapat memaksakan suatu keputusan untuk dapat ditaati oleh semua negara anggota ASEAN. Akibatnya negosiasi berjalan rumit dan lambat. Bentuk produk jasa memang berbeda dengan produk manufaktur atau produk pertanian. Sebab dalam produk jasa, membutuhkan kehadiran penyedia jasa dan konsumen secara bersamaan pada proses penggunaan jasa, sehingga seringkali dalam sektor ini melibatkan perpindahan modal dan tenaga kerja yang tinggi bila dibandingkan dengan produk pertanian atau produk manufaktur. Selain itu produk jasa umumnya dikendalikan dengan ketat oleh negara karena alasan kapasitas penyedia jasa dalam memberi layanannya dan cara penyampaian layanannya. Dalam hal ini kebutuhan atas kapasitas permodalan dan penguasaan teknologi menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan produk pertanian dan produk manufaktur. Produk jasa umumnya juga dikendalikan dengan ketat oleh anggota-anggota ASEAN melalui hambatan-hambatan non tarif seperti pembatasan maksimum kepemilikan saham atas
114 suatu maskapai oleh pihak asing, demi melindungi industri transportasi udara domestiknya masing-masing. Pemerintah Singapura tidak dapat tinggal diam melihat sulitnya membentuk open sky di ASEAN. Apalagi upaya persaingan untuk menjadi negara penerima investasi asing langsung semakin kuat dilakukan oleh negara lain, seperti China dan Vietnam. Maka hal ini menjadi momentum bagi Singapura untuk memperoleh pasar yang lebih luas bagi seluruh produksinya termasuk transportasi udara dengan cara mengusulkan integrasi ekonomi Asia Tenggara dalam bentuk ASEAN Economic Community. Usulan tersebut dikemas dalam sampul berupa tujuan untuk mencapai ASEAN sebagai basis produksi yang efisien di Asia, sehingga hal ini akan meningkatkan kembali posisi ASEAN sebagai lokasi investasi yang menarik bagi para investor asing. Usulan ini lebih mudah untuk mendapatkan persetujuan mengingat diusulkan secara multitematik dalam satu paket usulan yaitu integrasi ekonomi ASEAN, sehingga tidak mungkin untuk dinegosiasikan saat itu secara terpisah satu-satu sebagai tema yang terlepas dari usulan integrasi ekonomi. Sehingga sulit ditemukan alasan untuk tidak menerima usulan tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh. Selain itu, harapan untuk memperoleh pasar yang lebih terintegrasi dan pertumbuhan ekonomi yang merata yang ditawarkan dalam pembentukan ASEAN Economic Community, menjadi impian yang dikejar oleh negara-negara ASEAN pada umumnya. Diterimanya usulan integrasi ekonomi ASEAN, memudahkan pembentukan open sky di kawasan ini. Secara perlahan-lahan sejak usulan open sky ini mulai diterima, perlahan-lahan terlihat dampat kemajuan dari hasil negosasi kerja sama transportasi udara tersebut. Ini tampak dari perubahan sikap pemerintah negara-negara anggota ASEAN lainnya yang kini lebih lunak kepada liberalisasi penuh transportasi udara. Singapura juga perlahan-lahan menikmati hasil yang diinginkannya dari kerja sama open sky tersebut. Jumlah wisatawan meningkat cukup signifikan, semakin luasnya jaringan rute penerbangan yang dapat dilayani, demikian pula pendapatan operasi dari perusahaan-perusahaannya yang bergerak dalam sektor transportasi udara, serta
115 pendapatan dari bandara di negeri ini. Open sky berdampak dengan baik pada peningkatan produktivitas nasional Singapura. Selain itu, dengan telah ditandatanganinya perjanjian open sky angkutan kargo dan angkutan penumpang pada tahun 2009 dan 2010, maka semua negara ASEAN pun terikat dalam perjanjian tersebut. Tetapi diatas semua itu, open sky juga berdampak pada terintegrasinya aktivitas pasar transportasi udara dari ibukota-ibukota dan kota-kota sekunder di negara-negara ASEAN secara langsung dengan Singapura, dengan demikian kepentingan-kepentingan nasional Singapura dapat tercapai. Dalam hal ini kepentingan nasional Singapura tidak hanya sekedar untuk meningkatkan daya saing industri jasa transportasi udaranya di pasar transportasi udara di kawasan Asia Tenggara, tetapi lebih dari pada itu, kepentingan nasional Singapura adalah untuk menjadi pusat perekonomian di kawasan Asia Tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa yang dikejar oleh Singapura dari open sky di ASEAN bukanlah keuntungan yang sama dengan yang diperoleh oleh negara-negara ASEAN lainnya, tetapi keuntungan yang lebih besar atau relative gain dari yang diperoleh oleh negara-negara ASEAN lainnya. Dari keseluruhan uraian kesimpulan dari tesis ini, maka rekomendasi yang diberikan kepada negara-negara ASEAN adalah bahwa akhirnya negara-negara ASEAN perlu untuk mewaspadai bahwa keterbukaan ekonomi tidak hanya dapat mendorong peningkatan perdagangan dan masuknya investasi asing ke dalam negeri. Keterbukaan pasar juga berpotensi untuk menurunkan daya saing industri transportasi udara domestik, yang berpotensi pada penurunan daya serap tenaga kerja pada industri transportasi udara, dan pada akhirnya membiarkan masyarakat menjadi tergantung pada tawaran jasa-jasa transportasi udara yang berasal dari maskapai dari luar negeri yang tidak dapat dikendalikan oleh negara. Hal ini dapat terjadi karena ketimpangan kapasitas yang dimiliki antar anggota ASEAN pada umumnya. Dibutuhkan upaya yang keras dan dana yang cukup besar dari masing-masing negara agar ketimpangan kapasitas tersebut dapat diminimalkan, misalnya dengan membantu
116 maskapai-maskapai untuk meningkatkan daya saing mereka dan untuk meningkatkan kemampuan fasilitas yang dimiliki oleh negara misalnya fasilitas bandara. Rekomendasi berikutnya adalah, bahwa negara-negara ASEAN perlu untuk mempertimbangkan kembali seberapa banyak kota-kota sekunder yang akan dibuka dikemudian hari untuk kerja sama open sky ini. Hal ini mengingat bahwa dalam integrasi transportasi udara ASEAN melalui open sky, yang terintegrasi justru pasar transportasi udara dari ibukota-ibukota dan kota-kota sekunder secara langsung dengan Singapura. Padahal kerja sama transportasi udara cukup dilakukan dengan perjanjian bilateral. Sedangkan integrasi pasar transportasi udara domestik dapat terjadi tanpa melalui open sky, yaitu cukup melalui deregulasi sektor transportasi udara melalui pemberian ijin bagi berdirinya maskapai-maskapai domestik baru untuk bersaing langsung dengan maskapai nasional milik pemerintah oleh masing-masing negara. Rekomendasi terakhir adalah program privatisasi maskapai nasional yang dilakukan oleh masing-masing negara ASEAN (lihat kembali sub-bab 2.4.2), perlu terus dikembangkan dengan melibatkan investor-investor dalam negeri. Sebab hal ini dapat mendorong maskapai nasional untuk mendapatkan tambahan modal kerja baru untuk meningkatkan kapasitas teknologinya dan beroperasi dengan lebih efisien. Sehingga hal ini akan mendukung perkuatan industri transportasi udara domestik. Demikian pula, investasi pemerintah oleh masing-masing anggota ASEAN untuk membangun infrastruktur transportasi udara seperti bandara, serta pemberian bantuan kredit lunak bagi maskapai-maskapai swasta untuk dapat meningkatkan kapasitas teknologi mereka sangat dibutuhkan. Upaya-upaya tersebut dibutuhkan demi meningkatkan daya saing industri transportasi udara domestik. Sementara itu, mengenai peran apa yang dapat dilakukan oleh Singapura untuk membantu negara-negara ASEAN lainnya sebagai kompensasi atas integrasi pasar transportasi udara, kepada negara-negara ASEAN lainnya yang kapasitas bisnis transportasi udaranya jauh lebih rendah dari Singapura, dapat menjadi bahan untuk
117 lebih diteliti lebih lanjut oleh peneliti lain. Demikian pula, keuntungan apa (gain) yang sesungguhnya dikejar oleh anggota-anggota ASEAN yang jauh lebih rendah kapasitas bisnis transportasi udaranya sehingga mereka mau untuk mengikat diri dalam open sky, dapat menjadi bahan yang menarik untuk dikaji oleh peneliti lain.