PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Pertelaan Tanaman Akasia

KARAKTERISASI FENOTIPIK DAN MOLEKULER BAKTERI PATOGEN SERTA EPIDEMI PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI PADA BIBIT TANAMAN Acacia crassicarpa

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) salah satu komoditas sayuran penting di Asia Tenggara karena seringkali

KONSEP, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI PENYAKIT TANAMAN

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan mikroorganisme antagonis sebagai agen pengendali hayati

I. PENDAHULUAN. tanaman jagung di Indonesia mencapai lebih dari 3,8 juta hektar, sementara produksi

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dwidjoseputro (1978), Cylindrocladium sp. masuk ke dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini kebutuhan kayu di Indonesia semakin meningkat. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Keragaman bakteri dapat dilihat dari berbagai macam aspek, seperti

KULIAH 2. ILMU PENYAKIT TUMBUHAN DASAR

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Karakterisasi Bakteri Penyebab Busuk Lunak Uji Gram

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan suatu sistem terpadu yang saling terkait dalam berbagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih

KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

ILMU PENYAKIT TUMBUHAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Deteksi Fi F top lasma p ada Tanaman Sumb m er e I r nokulum

I. PENDAHULUAN. Penyakit busuk akar (root rot disease) telah menjadi ancaman besar Hutan

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional di masa yang akan datang

BAB I PENDAHULUAN. yang berbentuk semak, termasuk Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. organisme hidup yaitu tumbuhan (Praptoyo, 2010). Kayu termasuk salah satu hasil

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tomat merupakan salah satu tanaman hortikultura yang penting di dunia.

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER

BAB I PENDAHULUAN. dan kemampuan dalam melakukan kolonisasi

Ni Made Laksmi Ernawati Fakultas Pertanian Universitas Mataram

aeruginosa ATCC secara in vitro Pembuatan filtrat Streptomyces sp... 25

I. PENDAHULUAN. Iridoviridae yang banyak mendapatkan perhatian karena telah menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. tuberosum dari family Solanaceae. Kentang juga termasuk salah satu pangan. pengembangannya di Indonesia (Suwarno, 2008).

I. PENDAHULUAN. seluruh dunia dan tergolong spesies dengan keragaman genetis yang besar.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Maesaroh, 2013

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Isolasi Aktinomiset

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit Eucalyptus spp. Ada beberapa penyakit penting yang sering menyerang tanaman. Eucalyptus spp.

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman. Tipe asosiasi biologis antara mikroorganisme endofit dengan tanaman

DASAR DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN. Oleh: Tim Dosen HPT. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya 2013

PENYAKIT-PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN HUTAN RAKYAT DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA

BAB I PENDAHULUAN. eks-karesidenan Surakarta (Sragen, Boyolali, Karanganyar, Sukoharjo) (Prihatman,

I. PENDAHULUAN. sangat penting di Indonesia. Kedelai sangat bermanfaat sebagai bahan

Ralstonia solanacearum

I. PENDAHULUAN. (2014) minyak bumi merupakan salah satu sumber energi utama dan salah satu

I. PENDAHULUAN. Cabai rawit (Capsicum frutescens) merupakan salah satu sayuran penting

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis dengan keanekaragaman hayati sangat

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan masih ada sekitar 99%. Metagenomik muncul sebagai metode baru

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Pengamatan mikroskopis S. rolfsii Sumber :

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri yang sering digunakan di

Soil Bacterial Genetic Diversity from Rhizosfev of Transgenic and Non transgenic Cotton Plantation in Soppeng, South Sula wesi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung manis(zea mays var saccarata) merupakan tanaman pangan yang. bahan baku industri gula jagung (Bakhri, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. tersebar luas di dunia (Maas, 1998; Spencer, 1978). Penyakit ini disebabkan oleh

DAFTAR ISI. AKSRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... ix. DAFTAR GAMBAR... x. DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I PENDAHULUAN...

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah

PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Ikan merupakan komoditas budidaya unggulan di Indonesia, karena

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus L. Merr.) merupakan salah satu komoditas hortikultura

PENDAHULUAN. Latar Belakang. merpati umumnya masih tradisional. Burung merpati dipelihara secara ekstensif,

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi penyakit busuk pangkal batang (Ganodermaspp.) Spesies : Ganoderma spp. (Alexopolus and Mims, 1996).

BAB 1 PENDAHULUAN. Hutan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu dikelola dan

Identifikasi mikroba secara molekuler dengan metode NCBI (National Center for Biotechnology Information)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FUSI GEN KITINASE Aeromonas caviae WS7b DENGAN PROMOTOR sigb DARI Bacillus subtilis 168 DAN EKSPRESINYA PADA Escherichia coli ADE SAPUTRA

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

II KONSEP ILMU PENYAKIT HUTAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kering tidak lebih dari 6 bulan (Harwood et al., 1997). E. pellita memiliki

IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI. Oleh Dina Fitriyah NIM

Hama Patogen Gulma (tumbuhan pengganggu)

BAB I PENDAHULUAN. Sengon atau dengan nama ilmiah Falcataria moluccana (Miq.) Barneby &

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei

PENGANTAR VIROLOGI TUMBUHAN (PNH 3284, SKS 1/1) A. SILABUS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai ekonomis adalah ikan Nila (Orcochromis niloticus). Budidaya ikan

III. PROSES TERJADINYA PENYAKIT TUMBUHAN

BAB I PENDAHULUAN. disekitarnya. Telah menjadi realita bila alam yang memporak-porandakan hutan,

I. PENDAHULUAN. Ikan kerapu (Epinephelus sp.) merupakan jenis ikan air laut yang

TINJAUAN PUSTAKA. Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susadi Nario Saputra, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, merupakan salah satu tumbuhan herba yang banyak mendapat

I. PENDAHULUAN. zat kimia lain seperti etanol, aseton, dan asam-asam organik sehingga. memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi (Gunam et al., 2004).

BAB I PENDAHULUAN. perikanan pada posisi yang penting sehingga menyebabkan intensifikasi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei.

KEBUTUHAN BENIH DAN PERMASALAHANNYA DI IUPHHHK

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 26/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Jenis-jenis Hama

Mollicutes (Phytoplasma)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator

TERM OF REFFERENCE (TOR) PENINGKATAN SERAPAN HARA, PENGISIAN TONGKOL, DAN PENCEGAHAN SERANGAN PENYAKIT HAWAR DAUN PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki pasar global, persyaratan produk-produk pertanian ramah

Transkripsi:

PENDAHULUAN Latar Belakang Penghutanan kembali (reforestation) dengan menggunakan spesies tanaman yang tumbuh cepat (fast-growing) merupakan salah satu solusi untuk mengatasi masalah menurunnya area hutan, degradasi lingkungan hutan, dan menurunnya suplai kayu dikarenakan eksploitasi hutan. Spesies tanaman yang tumbuh cepat dapat bersifat indigenus maupun eksotik. Salah satu spesies tanaman indigenus yang tumbuh cepat yang dengan intensif dikembangkan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia adalah tanaman akasia. Menurut Hadi dan Nuhamara (1996) Pemerintah Indonesia telah memulai program penanaman tanaman akasia dalam perkebunan skala besar sejak tahun 1984. Hal ini untuk mendukung penyediaan kayu secara berkesinambungan bagi industri yang berbasiskan kayu dan juga mengurangi tekanan terhadap hutan tropika. Kayu merupakan sumber energi biomassa utama bagi jutaan orang di negara sedang berkembang. Permintaan akan kayu meningkat setiap tahunnya seiring meningkatnya jumlah penduduk (World Wide Wattle 2004). Tanaman akasia (Acacia sp.) telah ditanam di lebih dari 80 negara di dunia termasuk Indonesia. Tanaman akasia ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti diambil kayunya, diolah menjadi bubur kayu (wood pulp), kertas, bahan bakar (fuel), dan sebagainya (Eldoma dan Awang 1999). Daya adaptasinya yang luas baik pada ekosistem sangat basah maupun sangat kering, kemampuannya bersimbiosis dengan bakteri tanah yang dapat menfiksasi nitrogen, pertumbuhan, hasil, dan kualitas yang lebih baik, menjadikan tanaman akasia sebagai tanaman yang sangat menjanjikan untuk diusahakan secara luas (Eldoma dan Awang 1999; Old et al. 1999). Beberapa spesies tanaman akasia yang dikembangkan di Indonesia adalah Acacia auriculiformis, A. mangium, A. crassicarpa, dan A. aulacocarpa (Zulfiyah dan Gales 1996; Hadi dan Nuhamara 1996). Dalam usaha pembibitannya banyak kendala yang dihadapi dan salah satunya adalah gangguan serangan hama dan patogen. Beberapa penyakit yang sering menyebabkan kerusakan pada pembibitan tanaman akasia adalah karat tumor (gall rusts), embun tepung

2 (powdery mildew), becak daun (leaf spot), rebah semai (damping-off), nekrosis pucuk (tip necrosis) (Hadi dan Nuhamara 1996), dan hawar daun (Budi Tjahjono 2004, komunikasi pribadi). Berdasarkan pengamatan mikroskopik terhadap jaringan daun yang terinfeksi hawar didapatkan tanda penyakit berupa aliran ooze bakteri dari potongan daun yang bergejala. Penyakit hawar daun bakteri (bacterial leaf blight) merupakan salah satu penyakit yang dijumpai pada pembibitan tanaman Acacia crassicarpa di Riau. Penyebab penyakit hawar daun bakteri ini hanya menyerang bibit tanaman A. crassicarpa (inang spesifik) dan tidak menyerang spesies tanaman akasia yang lain termasuk tanaman eucalyptus, meskipun mereka ditanam secara berdampingan di pembibitan (Budi Tjahjono 2004, komunikasi pribadi). Penyakit hawar daun bakteri ini merupakan penyakit baru pada pembibitan tanaman A. crassicarpa di Indonesia (khususnya ditemukan di pembibitan tanaman akasia di Riau) karena belum dilaporkan keberadaannya baik di Indonesia maupun negara lain yang menanam tanaman akasia. Penyakit ini muncul sejak tahun 2003 dan menyebabkan kerugian yang cukup signifikan dalam pengadaan bibit tanaman akasia. Beberapa usaha pengendalian terhadap penyakit hawar daun bakteri sudah dilakukan di pembibitan tanaman A. crassicarpa diantaranya penjarangan (spacing), perlakuan benih, penggunaan bakterisida, sanitasi lingkungan, penggunaan mikrob antagonis Pseudomonas fluorescens, Trichoderma spp. dan Bacillus subtilis. Usaha pengendalian yang dilakukan dengan menggunakan bakterisida antara lain Agrept 20 WP dan Kasumin 5/75 WP dengan interval penyemprotan seminggu dan konsentrasi 2,5-5,0 g/l belum mampu menekan perkembangan penyakit ini (Budi Tjahjono Agustus 2004, komunikasi pribadi). Usaha pengendalian yang telah dilakukan nampaknya belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal ini terlihat dari masih tingginya kejadian penyakit di pembibitan sehingga dari 5 juta bibit yang harus disediakan per bulan hanya 3-4 juta (tahun 2004) dan 1 (satu) juta (tahun 2005) yang mampu diproduksi (Budi Tjahjono Juni 2005, komunikasi pribadi). Kerugian yang ditimbulkan ini berkisar 20-80%. Bagi perusahaan yang harus menyediakan bibit dalam jumlah besar angka ini sangat meresahkan. Meskipun serangan patogen penyebab penyakit

3 hawar daun ini tidak mengakibatkan matinya bibit tanaman akasia, namun kerugian yang ditimbulkan cukup besar karena menurunnya kualitas bibit yang dihasilkan. Tanaman akasia di pembibitan yang terinfeksi hawar daun sampai 20% masih tetap dapat ditanam di lapang dan tanaman menjadi tahan terhadap penyakit ini dengan semakin bertambahnya umur tanaman. Sampai sekarang ini belum dikarakterisasi dan diidentifikasi bakteri patogen yang menyebabkan penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa ini. Untuk itu perlu dilakukan karakterisasi dan identifikasi dari bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa baik karakteristik fenotipik maupun molekulernya. Diagnosis suatu penyakit baru atau yang belum terdapat dalam daftar penyakit yang sudah baku dapat dilakukan dengan dua cara (Hayward 1983; Lelliott dan Stead 1987). Pertama, cara diagnosis pendugaan (presumtive diagnosis) untuk mendapatkan informasi yang cepat tentang penyakit baru tersebut sehingga metode pengendalian yang memadai dapat direkomendasikan. Cara diagnosis pendugaan yang cepat ini biasanya sangat dibutuhkan oleh petani hortikultura. Pengamatan berdasarkan pada gejala, karakteristik koloni patogen pada media isolasi, dan sejumlah kecil uji kunci termasuk dalam cara diagnosis pendugaan yang cepat. Kedua, cara diagnosis konfirmasi (confirmatory diagnosis) untuk mendapatkan identifikasi yang akurat sehingga memenuhi standar daftar penyakit dan diterima oleh komunitas keilmuan yang ada. Identifikasi patogen baik secara fisiologi maupun molekuler dan pengujian pada inang termasuk dalam cara diagnosis konfirmasi ini. Pengamatan gejala dan tanda penyakit merupakan langkah awal dalam diagnosis suatu penyakit baru. Akan tetapi, pengamatan gejala penyakit saja tidak cukup untuk mengidentifikasi suatu penyakit. Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil diagnosis yang akurat perlu dilakukan uji postulat Koch. Postulat Koch bertujuan untuk mengetahui apakah suatu patogen yang diisolasi dari tanaman yang terinfeksi penyakit baru tersebut memang benar merupakan penyebab dari gejala penyakit yang ditimbulkannya. Langkah postulat Koch tersebut antara lain: patogen harus ditemukan berasosiasi dengan tanaman sakit yang diuji, patogen harus dapat diisolasi dan ditumbuhkan sebagai kultur murni pada media nutrisi

4 (untuk parasit non-obligat) atau harus ditumbuhkan pada tanaman inang rentan (untuk parasit obligat), patogen dari kultur murni tersebut harus diinokulasikan pada tanaman sehat dari spesies yang sama atau varietas yang menunjukkan gejala penyakit tersebut dan harus menghasilkan penyakit yang sama pada tanaman yang diinokulasikan, dan langkah terakhir adalah patogen harus dapat diisolasi kembali sebagai kultur murni dengan karakteristik yang sama seperti isolasi pertama (Agrios 1997). Karakterisasi bakteri patogen secara fenotipik penting untuk mendapatkan gambaran tentang bakteri patogen seperti morfologi sel dan koloni maupun karakter fisiologi dan biokimianya. Identifikasi secara biokimia dan fisiologi berdasarkan pada metabolisme senyawa-senyawa tertentu seperti uji reaksi gram, uji fluoresens, uji oksidase, uji oksidatif/fermentatif, uji urease, dan sebagainya bertujuan untuk mengetahui identitas genus dan spesies bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa (Hayward 1983a; Schaad 2001). Selain analisis fenotipik, analisis secara molekuler perlu dilakukan untuk konfirmasi identifikasi secara non-molekuler yang telah dilakukan. Menurut Suwanto (1994) hasil analisis fenotipik seperti uji fisiologi atau biokimia sering sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau kondisi sel itu sendiri. Metoda molekuler yang berbasiskan DNA memiliki keuntungan karena keakuratan identifikasi tidak tergantung pada kondisi lingkungan, umur, atau sifat fisiologi dari patogen, namun lebih tergantung pada kualitas DNA yang diekstraksi (Louws dan Cuppels 2001). Identifikasi secara molekuler ini penting untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang penyebab penyakitnya. Selain itu, untuk tujuan jangka panjang informasi ini akan berguna sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya. Teknik molekuler yang digunakan untuk mendukung identifikasi bakteri secara non-molekuler adalah menggunakan sekuensing gen 16Sr-RNA. Hal ini karena ribosomal RNA ada pada semua organisme dan merupakan target molekul yang baik. Sekuensing gen 16Sr-RNA dapat dilakukan dengan mengamplifikasi bagian 16Sr-RNA dari DNA dengan menggunakan teknik PCR (polymerase chain reaction) dan primer universal untuk prokaryot. Produk amplifikasi PCR dapat langsung disekuen atau dipurifikasi dahulu dan diligasikan ke dalam vektor. Hasil

5 sekuensing dapat dianalisis dengan menggunakan database internet dengan menggunakan fasilitas program BLAST (Dickstein et al. 2001). Hasil analisis dengan program BLAST ini dapat menunjukkan apakah spesies bakteri yang menyebabkan penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa sama dengan spesies yang sudah ada atau merupakan spesies baru. Deteksi dan identifikasi secara non-molekuler berdasarkan pada karakterisasi morfologi sel maupun koloni, uji fisiologi dan biokimia termasuk uji patogenisitas dari patogen biasanya membutuhkan waktu yang lama. Dengan makin berkembangnya teknik identifikasi patogen baik teknik serologi maupun teknik molekuler maka waktu yang dibutuhkan untuk deteksi dan identifikasi patogen jauh lebih cepat, akurat, spesifik, dan sensitif. Contohnya, untuk mendeteksi Pseudomonas avellanae agen penyebab menurunnya hazelnut di Northern Greece dan central Italy membutuhkan sedikitnya 6-7 bulan untuk identifikasi patogen secara lengkap berdasarkan teknik tradisional, sedangkan dengan menggunakan teknik repetitive-pcr dengan primer ERIC hanya dibutuhkan 4-6 hari (Scortichini dan Marchesi 2001). Pengadaan bibit tanaman A. crassicarpa dalam jumlah banyak dan secara terus menerus sepanjang tahun dapat memicu ledakan (epidemi) penyakit di pembibitan tanaman akasia. Menurut Sinaga (2003) beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya epidemik penyakit adalah tersedianya inang secara berkesinambungan dan bersifat rentan, adanya patogen yang virulen, dan adanya faktor lingkungan yang mendukung perkembangan patogen. Untuk itu perlu dikaji beberapa faktor yang dapat meningkatkan perkembangan penyakit di pembibitan tanaman A. crassicarpa. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan perkembangan gejala penyakit hawar daun bakteri serta pembuktian uji Postulat Koch, (2) mengetahui morfologi bakteri dan mengidentifikasi bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa dengan cara uji fisiologi dan biokimia, (3) mengidentifikasi bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa dengan teknik molekuler, (4) mengetahui pengaruh kultur teknis

6 terhadap perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa, (5) mengetahui populasi bakteri patogen hawar daun di sekitar tanaman inang, (6) mengetahui pengaruh curah hujan dan bibit asal biji dan stek terhadap perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam menyediakan informasi dasar tentang bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa terutama tentang spesies yang menyerang, karakteristik fenotipik dan molekuler, serta faktor yang mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit. Informasi ini diharapkan dapat membantu dalam menyusun pengelolaan penyakit yang tepat. Strategi Penelitian Strategi penelitian yang ditempuh untuk mencapai tujuan penelitian yang sudah diuraikan tersebut meliputi kelompok tahapan penelitian sebagai berikut: (1) survei, koleksi, isolasi dan uji postulat Koch bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa, (2) karakterisasi dan identifikasi bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa dengan uji fisiologi dan biokimia dan dengan teknik molekuler, (3) kajian faktor epidemik penyakit hawar daun bakteri. Bagan alur dari strategi penelitian disajikan pada Gambar 1.

7 Penyakit Hawar Daun Bakteri Pada Tanaman Acacia crassicarpa Masalah di Pembibitan Pengamatan Gejala dan Perkembangan Penyakit Koleksi tanaman sakit dan isolasi bakteri patogen hawar daun Isolat Murni Patogen Hawar daun Uji Postulat Koch Identifikasi Bakteri Patogen Hawar Daun Kajian Epidemi Penyakit *Pengaruh kultur teknis *Deteksi patogen pada benih, air, dan media tanam *Pengaruh curah hujan *Pengaruh bibit asal biji & stek Uji morfologi, Uji Fisilogi dan Biokimia Uji Molekuler Isolasi DNA Uji Genus PCR dan Purifikasi DNA Uji Spesies Sekuen Gen 16S-rRNA Spesies teridentifikasi Program BLAST Spesies Sama/Baru Informasi Dasar Gambar 1. Bagan kerangka alur penelitian