BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

Areté Volume 02 Nomor 02 September 2013 RESENSI BUKU 2. Simon Untara 1

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, banyak manusia menghidupi kehidupan palsu. Kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Natal Nasional, Jakarta, 27 Desember 2012 Kamis, 27 Desember 2012

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme:

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia,

PEDOMAN OBSERVASI. No Aspek yang diamati Keterangan. dalam menjaga hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. prasejarah. Pada zaman yunani kuno misalnya, sudah mulai mempertanyakan

KEPENUHAN HIDUP MANUSIA DALAM RELASI I AND THOU 1 (Antonius Hari Purnanto)

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai potret kehidupan masyarakat dapat dinikmati,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mubarak Ahmad, 2014

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

CARUT MARUT KURIKULUM DI INDONESIA BERSUMBER DARI DISTORSI LANDASAN PENDIDIKAN. Oleh : I Made Bagus Andi Purnomo NIM :

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD

BAB I PENDAHULUAN. 1 William Chang, Berkaitan Dengan Konflik Etnis-Agama dalam Konflik Komunal Di Indonesia Saat Ini, Jakarta, INIS, 2002, hlm 27.

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERGESERAN POLA PIKIR REMAJA TENTANG KONSEP PANDANGAN HIDUP DAN UPAYA MENJADIKAN PANCASILA SEBAGAI SEMANGAT HIDUP REMAJA.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Pancasila yang dikenal

PENANAMAN ETIKA LINGKUNGAN MELALUI SEKOLAH PERDULI DAN BERBUDAYA LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pendidikan saat ini masih dipercaya sebagai media yang ampuh dalam

Tujuan pembangunan suatu negara adalah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakatnya supaya mereka dapat hidup baik dan sejahtera. Untuk itu pembangunan

Paham Nasionalisme atau Paham Kebangsaan

Pendidikan Pancasila. Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis

Pancasila; sistem filsafat dan ideologi Negara

BAB 1 PENDAHULUAN. Eksistensialisme religius..., Hafizh Zaskuri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Kelima butir sila yang

I. PENDAHULUAN. Berbagai permasalahan yang terjadi pada bangsa kita saat ini sangatlah

PANCASILA IDEOLOGI TERBUKA

2015 KAJIAN PEMIKIRAN IR. SUKARNO TENTANG SOSIO-NASIONALISME & SOSIO-DEMOKRASI INDONESIA

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

Pendidikan Pancasila. Implementasi Sila Ke 2 dan 3 Pancasila. Dr. Saepudin S.Ag. M.Si. Modul ke: Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen

Filsafat eksistensialisme

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

Apakah pancasila sebagai pembangunan sudah diterapkan di Indonesia atau belum?

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Invaliditas aplikasi..., Bio In God Bless, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI

IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini disebabkan karena seorang penulis itu memiliki kepekaan terhadap hal-hal

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA KELOMPOK 4 ANANDA MUCHAMMAD D N AULIA ARIENDA HENY FITRIANI

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS KEARIFAN LOKAL* 1

IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

Modul ke: Pancasila. Pancasila sebagai Ideologi Negara. Fakultas MKCU. Finy F. Basarah, M.Si. Program Studi MKCU

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan

K. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SDLB TUNARUNGU

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

2015 KONTRIBUSI PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL TERHADAP KEPEDULIAN SOSIAL DI KALANGAN SISWA SMA.

RELEVANSI FILSAFAT MANUSIA DALAM KEHIDUPAN. Oleh Dr. Raja Oloan Tumanggor

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sastrawan dalam mengemukakan gagasan melalui karyanya, bahasa sastra

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari, seperti halnya puisi karya Nita Widiati Efsa yang berisi tentang

BAB IV TANTANGAN DAN RESPON UMAT ISLAM TERHADAP ALIRAN KEROKHANIAN SAPTA DARMA DI DESA BALONGDOWO

PENDIDIKAN PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Permasalahan. I.1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. sistem yang lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan

TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Fahrudin

commit to user BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pergaulan Mahasiswa dan Kehidupan Sosial dalam Menerapkan Sila Persatuan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. suatu upaya melalui pendidikan. Pendidikan adalah kompleks perbuatan yang

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan perubahan di segala bidang kehidupan. Kemajuan ini tentu

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. permasalahan yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu. Berdasarkan hasil analisis

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan hasil sastra yang berupa puisi, prosa, maupun

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada

BAB I PENDAHULUAN. mengalami gejolak dalam dirinya untuk dapat menentukan tindakanya.

SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. suatu masyarakat karena dapat menjadi suatu rambu-rambu dalam kehidupan serta

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

Modul ke: Kematian. 11Fakultas PSIKOLOGI. Shely Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamika perubahan sosial budaya masyarakat. mengembangkan dan menitikberatkan kepada kemampuan pengetahuan,

G. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SMALB TUNAGRAHITA

G. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SDLB TUNANETRA

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, budaya tidak hanya. konvensi atau tradisi yang mengelilinginya.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

Eksistensi Pancasila dalam Konteks Modern dan Global Pasca Reformasi

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apabila dilihat dari sudut pandang spiritual, dunia ini terbagi ke dalam dua karakter kehidupan spiritual, yaitu: Bangsa-bangsa barat yang sekuler dalam arti memisahkan antara kehidupan duniawinya dengan kehidupan spiritualnya dan bangsa-bangsa timur yang spiritual dalam arti kehidupan duniawinya adalah kehidupan spiritualnya. Indonesia adalah salah satu contoh negara yang mewakili pola kehidupan spiritual bangsa timur. Sebagai bagian dari bangsa timur yang cenderung mengejar kehidupan spiritual, kehidupan spiritual rakyat indonesia pada umumnya idealnya, yakni adalah diterapkannya nilai-nilai spiritual tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi jika dilihat dari sila pertama dasar negara kita Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, maka mengharap adanya satu kehidupan yang religius dalam praktek kehidupan seharihari tentunya bukanlah hal yang berlebih-lebihan. Namun, fakta yang terlihat dalam perjalanan bangsa ini di beberapa tahun terakhir memperlihatkan banyaknya pelanggaran atas hak asasi manusia yang justru dilakukan oleh seseorang pribadi atau bahkan oleh kelompok orang (masyarakat) yang mengaku dirinya beragama. Hal tersebut disebabkan agama sebagai institusi memberikan landasan ideologis dan pembenaran simbolis. Pembenaran ini bukan hanya berfungsi meringankan atau memberi alibi tanggung jawab pribadi, tetapi juga semakin meneguhkan tekad, mempertajam permusuhan dan memistiskan motif pertentangan menjadi perjuangan membela iman dan kebenaran, perbuatan yang dilakukan adalah demi Tuhan. 1 Dengan fungsi agama yang demikian tentu akan timbul pemahaman sempit para umatnya dan akan timbul berbagai konflik kemanusiaan. Atas dasar kenyataan yang demikian, penulis memandang perlu mempersoalkan masalah penghayatan kehidupan keagamaan yang telah kehilangan arah tersebut. 1 Haryatmoko, Etika: Politik dan Kekuasaan. (Jakarta: Kompas, 2003), hal 63. 1

2 Jika sepintas kita memperhatikan pelaksanaan kehidupan beragama pada warga masyarakat dan di antara para pemeluk agama apa pun maka segala sesuatunya terlihat hikmat dan syahdu. Akan tetapi, kerusuhan atau gejolakgejolak sosial di tengah-tengah masyarakat di beberapa bagian negeri ini dalam satu atau dua dekade terakhir, memperlihatkan bahwa keharmonisan hubungan antara para pemeluk agama di bangsa kita sebenarnya semu. Kita dapat melihat beberapa contoh gejolak sosial tersebut. 2 Bertolak dari kenyataan demikian, agaknya nilai-nilai agama sebagai bagian dari kehidupan spiritualitas yang penting dari bangsa yang bersemangatkan kehidupan religius dari hari ke hari semakin mengalami degradasi. Spiritualitas terasa bukan lagi hal yang utama dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia sehingga spiritualitas terkesan tidak lagi memiliki makna. Singkatnya, spiritualitas dijadikan tak lebih dari sebuah ritual yang berfungsi sebagai pelengkap dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, sudah selayaknyalah jika nilai-nilai spiritual tersebut dapat dimaknai sebagai satu bentuk kebutuhan pribadi akan komunikasi manusia sebagai ciptaan dengan Yang Tak Terbatas, dalam hal ini Tuhan sebagai Sang Pencipta. Dalam rangka hidup manusia, memang pengesampingan terhadap persoalan spiritualitas tetap dapat mengantarkan manusia ke dalam kehidupan yang maju. Hal itu tetap dimungkinkan karena spiritualitas hanyalah salah satu dimensi di dalam diri dan di dalam kehidupan manusia. Kita mengetahui bahwa di samping spiritualitas, manusia juga dikaruniai rasionalitas yang dengannya manusia akhirnya dapat membangun kehidupannya menjadi lebih maju. Apalagi, rasionalitas juga akhirnya mengantarkan manusia pada arah penemuan otonomi manusia yang bertumpu pada apa yang kemudian disebut dengan kebebasan. Oleh karena manusia menemukan kebebasan di dalam dirinya, maka akhirnya manusia sampai pada apa yang kemudian kita sebut dengan otonomi atau kedirian manusia sebagai fundasi hidupnya. 2 Hakimul Ikhwan Affandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal 165-166.

3 Menurut hemat penulis, potensi-potensi manusiawi di dalam diri manusia, baik yang spiritual (sakral) maupun yang orientasinya keduniawiaan profan, hendaknya dapat terpadu secara utuh. Oleh karena itu, bagi penulis, berbagai bentuk kehidupan antara umat beragama yang penuh gejolak dalam satu dekade menjelang dan di awal abad ke-21 ini memperlihatkan adanya gejala penurunan pemahaman dan penghayatan akan makna spiritualitas pada para pemeluk agama resmi di negeri ini. Dengan demikian, perlu bagi kita untuk segera mencari jalan keluarnya karena jika tidak maka cepat atau lambat akan terjadi pendangkalan kemanusiaan pada masyarakat Indonesia dalam hal manifestasi nilai-nilai ajaran agama dalam praktik kehidupan sosial dengan pemeluk agama yang berbeda yang kemudian terwujud dalam interaksi antar individu atau pun antar pemeluk agama. Keadaan demikian ini tentu akan menjadi sesuatu yang ironis mengingat bangsa Indonesia ingin menjadi bangsa yang tetap religius sebagaimana terlihat melalui sila pertama Pancasila. Pemikiran kebebasan eksistensial-religius Kierkegaard dapat dijadikan dasar pemahaman bagi manusia Indonesia untuk menjadi manusia yang bereksistensi baik dalam lingkungan sosial maupun spiritualnya. Eksistensi diri yang merupakan bentuk kedewasaan seorang manusia sangat berguna bagi perkembangan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang maju dalam berbagai hal. Eksistensi manusia Indonesia yang terwujud dalam dua dimensi kehidupan, yaitu: spiritual dan sosial diharapkan tak dapat dipisahkan dari kehidupan dan harus tetap berjalan harmonis. Dengan demikian tentunya agar tercipta suatu kondisi yang akan membawa bangsa ini pada keadaan bangsa yang mendekati prinsipprinsip kebahagiaan yang ideal. Dengan adanya pemahaman dari setiap individu bangsa ini akan betapa pentingnya dua dimensi kehidupan yang harus tetap berjalan harmonis, diharapkan bahwa ketika manusia Indonesia hadir dengan eksistensi-religiusnya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka akan tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dikarenakan masyarakatnya sudah memiliki kedewasaan moral keagamaan.

4 1.2 Perumusan Masalah Sehubungan dengan gejala sosial keagamaan sebagaimana telah dipaparkan di atas dan dalam rangka mencari jalan keluar dari kondisi sosial keagamaan yang disharmonis, maka dipandang perlu untuk mendekati persoalan yang amat mendasar dalam hal penghayatan atas nilai-nilai keagamaan dan pelaksanaannya di antara para pemeluk agama terhadap rendahnya pemahaman akan kedudukan religiositas dalam kehidupan batin manusia dan mengaitkannya dengan nilai-nilai lain. Pemikiran Kierkegaard akan digunakan untuk memberikan pemahaman ulang dalam rangka memperbaiki kualitas pemahaman dalam hal moralitas keagamaan pada tingkat individu yang diharapkan akan berdampak pada terwujudnya kehidupan sosial keagamaan yang berkualitas. Sehubungan dengan hal tersebut penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk: 1. Merefleksikan kembali apa sesungguhnya makna kebebasan itu? 2. Apakah perwujudan eksistensi otentik itu perlu bertumpu di atas kebebasan agar eksistensi otentik di bidang kehidupan religius pada diri pibadi manusia itu dapat diwujudkan dalam kondisi yang memungkinkan tercapainya harapan kehidupan sosial antarpemeluk agama yang dapat diandalkan? 1.3 Landasan Teori Mengingat skripsi ini hendak menerangi kembali persoalan ketidakrukunan antarumat beragama pada masyarakat Indonesia, maka pendeskripsian dan menganalisa atas berbagai peristiwa keretakan hubungan antara mereka dilakukan terlebih dahulu. Dengan pemahaman atas kondisi yang ada dalam masyarakat kita, maka persoalan kebebasan yang tak dapat dilepaskan dari eksistensial diri manusia, mau tidak mau juga dipandang amat fundamental untuk dibicarakan kembali agar pemahaman atas kebebasan dapat dipahami kembali secara baru dan dapat dipertanggungjawabkan untuk menghindari terulangnya berbagai peristiwa konflik antar umat beragama yang hanya memperkeruh kenyataan hidup berbangsa dan bernegara yang semestinya secara bersama-sama mengarah pada tercapainya kehidupan bersama yang sejahtera dan damai.

5 Sejalan dengan jenis kebebasan yang dibahas dalam skripsi ini, yakni kebebasan eksistensial-religius, maka pemikiran berorientasi religius dari filsuf Denmark, yakni Soren Aabye Kierkegaard, dipilih atas dasar pertimbangan bahwa filsuf yang satu ini memposisikan kebebasan religius sebagai tahap tertinggi dalam kehidupan manusia. Memang terdapat filsuf lain yang juga berorientasi religius, yakni Karl Jaspers akan tetapi ia tidak menekankan kebebasan religius sebagai tahap tertinggi dalam kehidupan manusia sehingga yang lebih relevan sebagai bahan permenungan sebagai jalan menuju kedewasaan moral keagamaan masyarakat Indonesia adalah pemikiran dari Kierkegaard. Dengan subjudul idealitas kedewasaan moral keagamaan masyarakat Indonesia dimaksudkan bahwa skripsi ini ingin mengajak para pelaku konflik atau pun pemeluk agama pada umumnya untuk kembali merenungkan kualitas pemahaman dan penghayatan atas nilai-nilai agama yang dianutnya dan bersedia mengevaluasi bentuk keyakinannya masing-masing agar penghayatan atas nilai-nilai kegamaan tersebut mengantarkan masing-masing pada satu bentuk pemahaman yang dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka kehidupan sebagai seorang pribadi di tengah perbedaan dalam hal dasar keyakinan dengan pribadi lain atau pun kelompok lain. Atas dasar paparan tersebut di atas, dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemikiran yang menekankan pembahasan pada persoalan manusia, terutama pada masalah keunikan dari setiap individu. Keunikan yang dimaksud disini amat terkait erat dengan keputusan seorang individu dalam rangka menjalani hidup sebagai seorang pribadi yang mengaitkan dirinya secara sadar pada Tuhan sebagai pencipta. Apabila ditinjau dari segi sejarah perkembangan eksistensialisme di khasanah pemikiran Barat, eksistensialisme terbagi ke dalam dua bagian, yaitu: eksistensialisme teis dan eksistensialisme ateis. Eksistensialisme teis adalah aliran eksistensialisme yang berujung pada pemahaman individu dan pengakuan akan adanya Tuhan, sementara eksistensialisme ateis adalah sebaliknya, yaitu menekankan pada kemampuan manusia sebagai makhluk yang mampu ber-ada tanpa membutuhkan keber-adaan Tuhan sebagai wujud eksistensi dirinya. Para pemikir eksistensialisme teis tersebut diantaranya adalah Kierkegaard dan Karl Jaspers. Kierkegaard

6 menampilkan tema eksistensialisme teistisnya dalam bentuk pertanyaan tentang arti kekristenan sejati. Ia menggabungkan gagasan tentang bentuk hidup individu dengan ide tentang yang Trasenden yang dimengerti sebagai unsur pokok dalam filsafat eksistensialisme. Sementara itu Karl Jaspers sebagai seorang eksistensialis memberi warna teistis dalam filsafatnya dengan amat menyolok. Pertama-tama, ia mempermasalahkan kemerosotan ilmu dan filsafat sebagai suasana yang merugikan perkembangan kepribadian individu yang dalam kebebasannya ingin mencari dasar-dasar kehidupannya. Individu terhambat oleh positivisme, idealisme dan rasionalisme dalam menemukan dirinya. Menurutnya filsafat harus membuka jalan bagi individu untuk kembali kepada keaslian dirinya, yaitu sebagai individu yang bereksistensi dan sekaligus ber-tuhan. 3 Dari kedua sudut pandang tokoh eksistensialisme teistis tersebut penulis lebih memilih Kierkegaard sebagai kerangka pemikiran dalam penulisan skripsi ini karena Kierkegaard memposisikan kebebasan religius sebagai tahap tertinggi dalam kehidupan manusia. Pemikiran tokoh ini akan lebih tepat bila dikaitkan dengan keadaan bangsa ini yang mengalami kemerosotan moral, tepat dalam artian bahwa bangsa ini sebagai bangsa yang religius, yang menekankan segala bentuk perilaku dalam kehidupannya sebagai bentuk kereligiousitasannya atau bentuk iman dan rasa cintanya pada Tuhan. Penggunaan pemikiran Kierkegaard melalui tiga tahap eksistensialnya dalam penulisan skripsi dapat dijadikan dasar permenungan bagi umat beragama di Indonesia untuk menuju pada tingkat kedewasaan moral keberagamaan. 1.4 Tujuan Penelitian Manusia modern yang sudah sedemikian mapannya, mapan dalam arti stabil, aman dan nyaman tentunya harus diimbangi dengan kualitas individu yang mandiri dalam berpikir, bertanggung jawab terhadap segala tindakannya dan memiliki kekhasan atau keunikan masing-masing di setiap individunya agar tidak tercipta kolektivitas (kebersamaan yang cenderung menghilangkan kedirian manusia) yang akan membawa manusia ke dalam kehancuran secara eksistensial 3 Martin Sardy, Kapita Selekta Masalah-Masalah Filsafat. (Bandung: Alumni, 1983), hal 118.

7 sebagai seorang manusia yang bebas dan bertanggung jawab terhadap segala bentuk perilakunya. Oleh karena itu, di dalam kolektivitas tiap individu tidak memunculkan identitasnya sebagai individu yang unik dan berbeda dengan yang lainnya. Di dalam kolektivitas atau kerumunan yang ada hanyalah kebersamaan yang menghilangkan kekhasan dan keunikan dari setiap individu di dalamnya. Tentunya manusia yang kehilangan identitasnya sebagai makhluk yang unik dan khas telah mati secara eksistensi karena terlalu larut dalam kebersamaan dalam komunitas. Kierkegaard melihat fenomena orang masuk dalam kerumunan karena takut dan tidak percaya diri. Ia tak mampu menghadapi sendiri hidupnya. Ia selalu mengharapkan bantuan orang lain. Ia baru merasa nyaman kalau berada bersama orang lain. 4 Kemapanan manusia harus diimbangi dengan sikap percaya diri yang tinggi dari setiap individu karena dengan rasa percaya diri yang tinggi manusia dapat menghadapi berbagai macam tantangan di dalam kehidupannya. Kepercayaan diri manusia diperoleh ketika ia dekat dengan Tuhan atau jika pernyataannya dibalik maka ketika dekat dengan Tuhan manusia akan memperoleh kepercayaan dirinya. Hal tersebut disebabkan semua jawaban dari keraguan, tanda tanya, dan kecemasan dapat diraih ketika manusia merasa dekat dengan Tuhan. Dengan dekat padanya dan bertaubat (Kierkegaard mengatakannya sebagai lompatan iman), kepercayaan diri akan pulih dan sebagai seorang individu telah siap untuk menghadapi segala macam tantangan kehidupan. Jadi, tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah kita dapat mengetahui alasan yang cukup kuat mengapa kebebasan teistis dapat mempengaruhi kehidupan spiritualitas manusia, khususnya dalam perkembangan kedewasaan moral keagamaannya. Besarnya pengaruh tersebut terhadap perkembangan spiritualitas manusia disebabkan eksistensialisme melihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang otonom, bebas, terbatas dan bertanggung jawab tentunya. Pengungkapan relevansi antara kebebasan teistis Kierkegaard dan kedewasaan moral keagamaan yang berkembang pada masyarakat Indonesia menjadi sebuah tanda tanya yang besar yang oleh karena itu dijadikan sebagi 4 Margaretha Paulus, Perjumpaan dalam Dimensi Ketuhanan: Kierkegaard dan Buber. (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2006), hal 55.

8 tujuan dari penulisan skripsi ini. Tentu akan menjadi sesuatu yang sangat menarik dan relevan apabila ternyata pola kebebasan teistis Kierkegaard yang mewakili pemikiran dari dunia Barat ternyata dapat menjadi semacam kaca untuk bercermin kembali atas kenyataan moral keagamaan yang memburuk dalam perjalanan masyarakat bangsa Indonesia dalam rangka hidup bersama dengan pemelukpemeluk agama yang berbeda. 1.5 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah hermeneutika. Penulis menggunakan metode hermeneutik untuk menginterpretasikan bahwa agama merupakan salah satu akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik kemanusiaan di negeri ini dan pemikiran Kierkegaard dapat dijadikan jalan keluar bagi masyarakat Indonesia untuk mencapai tingkat kedewasaannya. Pemikirannya yang bercorak eksistensial-religius dan juga asosial dapat diinterpretasikan sebagai sebuah dasar pemikiran bagi masyarakat Indonesia untuk merefleksikan diri sebagai masyarakat yang beragama dan masyarakat yang hidup dalam lingkungan sosial. Hermeneutika sebagai suatu studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dijadikan metode untuk menginterpretasikan pemikiran kebebasan eksistensial-religius Kierkegaard sebagai suatu jalan yang dapat membawa bangsa ini pada tingkat kedewasaan moral keagamaannya. Pemikirannya yang asosial dapat dijadikan dasar eksistensial seorang individu untuk menuju kepada kehidupan sosialnya. Pemikiran Kierkegaard diinterpretasikan sebagai suatu pemikiran yang dapat menjadikan masyarakat Indonesia mampu mencapai tingkat kedewasaan moralnya untuk menuju pada kehidupan sosial-religius yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 1.6 Thesis Statement Konflik kemanusiaan yang terjadi pada bangsa Indonesia yang erat sekali dengan identitas keagamaannya merupakan sebuah pertanda bahwa masyarakat bangsa ini belum memiliki tingkat kedewasaan moral keagamaan.

9 1.7 Sistematika Penulisan Skripsi ini disajikan dalam lima bab. Bab pertama, bab pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi ini, menjelaskan mengapa skripsi dengan judul Kebebasan eksistensial-religius dengan subjudul idealitas kedewasaan moral keagamaan masyarakat Indonesia, perlu diangkat dan dibahas. Dalam bab ini juga dipaparkan masalah yang diteliti, landasan teori, tujuan penelitian, metode penelitian, thesis statement (bentuk pernyataan tentang skripsi ini), dan yang terakhir adalah sistematika penulisan Bagian atau bab selanjutnya, yaitu: kehidupan sosial masyarakat Indonesia menjelang dan di awal dekade abad ke-21, memuat contoh-contoh kasus konflik sosial; fanatisme keagamaan sebagai salah satu akar konflik yang terdiri dari dua bagian, yaitu kedangkalan dalam pemahaman atas nilai-nilai keagamaan dan kedangkalan dalam pemahaman atas eksistensi Tuhan; dibahas juga mengenai degradasi kualitas manusia Indonesia sebagai akibat krisis dalam dunia pendidikan di tengah situasi global pergantian abad; gambaran umum buruknya kualitas manusia Indonesia, dan yang terakhir ditutup dengan rangkuman. Bab ketiga memuat penjelasan mengenai moral, moralitas, moralitas keagamaan; moralitas religius sebagai dasar perilaku masyarakat yang terdiri dari dua, yaitu moralitas religius dan nilai-nilai religius sebagai acuan tertinggi dalam berperilaku; sub bab selanjutnya adalah ketuhanan sebagai dasar dan kiblat eksistensi otentik religius masyarakat Indonesia dan terakhir ditutup dengan rangkuman. Pada bab keempat dibahas persoalan kebebasan yang terdiri dari beberapa bagian, yaitu: kebebasan sebagai prasyarat menuju kedewasaan, kebebasan sebagai tujuan pada dirinya sendiri kebebasan sebagai struktur fundamental bagi pertautan antara pemeluk agama dengan Tuhan partikular, dan kebebasan sebagai implikasi eksistensi manusia; menuju kedewasaan moral keagamaan yang terdiri dari beberapa bagian, yaitu: kedewasaan sebagai ruang perwujudan eksistensi otentik dan kedewasaan sebagai kualitas moral pribadi; sub bab selanjutnya adalah idealitas moral keagamaan menurut Kierkegaard yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: sekelumit sejarah kehidupan Kierkegaard, tiga tahapan moral menurut Kierkegaard dan manusia yang terbatas menuju kepada dan menyatu dalam Yang Ilahi Yang Tak-Terbatas dan kemudian diakhiri sub bab

10 rangkuman.bagian penutup atau bab kelima berisikan pengantar kesimpulan satu sub bab terakhir yaitu kesimpulan itu sendiri.