KEPENUHAN HIDUP MANUSIA DALAM RELASI I AND THOU 1 (Antonius Hari Purnanto)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEPENUHAN HIDUP MANUSIA DALAM RELASI I AND THOU 1 (Antonius Hari Purnanto)"

Transkripsi

1 KEPENUHAN HIDUP MANUSIA DALAM RELASI I AND THOU 1 (Antonius Hari Purnanto) 1. Pengantar Manusia tidak bisa hidup seorang diri. Ia adalah Homo Socius. Ia hidup di dalam realitas yang saling berkaitan antara pribadi satu dengan lainnya. Hidupnya ada karena orang lain dan untuk orang lain. Manusia berusaha mencari kepenuhan hidupnya di dalam setiap perjumpaan yang dialaminya bersama dengan orang lain. Kepenuhan itu memuncak pada saat manusia mengalami perjumpaan yang ia bangun bersama dengan realitas Absolut, yakni Tuhan sendiri. Melalui relasi I and thou (manusia), manusia berziarah menuju kepenuhan hidupnya dalam relasi I and Eternal Thou (Tuhan). 2. Manusia yang Berdialog Manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial. Keberadaan manusia menjadi sangat berarti ketika ia mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang individu di dalam kehidupan sosial di mana berbagai individu dengan segala kekhasan dan keunikan bercampur di dalamnya. Kehidupan sosial inilah yang kemudian membawa manusia mengalami perjumpaan satu dengan yang lain. Sebuah perjumpaan yang membawa manusia kepada pemurnian identitas diri, karena ia selalu berdialog dengan orang yang dijumpainya, dan terlebih lagi ia berdialog terus menerus dengan dirinya atas peristiwa dan pengalaman hidup yang sudah ia lalui. Kebergantungan manusia dengan manusia yang lain menjadi tampak di dalam upaya untuk berkembang secara pribadi. Dalam upaya tersebut, manusia membutuhkan sebuah komunikasi sebagai sarana untuk mengungkapkan dan menangkap nilai terdalam yang diperlukan manusia untuk perkembangannya. Manusia tidak dapat hidup dan berkembang sebagai pribadi di dalam isolasi atau keterasingan dari masyarakat manusia. Ia menghayati kehidupan bersama yang sifatnya komunikatif. 2 Maka, keberadaan manusia, bahkan awal mula beradanya di dunia, merupakan 1 2 Relasi I and Thou merupakan konsep pemikiran Martin Buber dalam filsafat dialogisnya. Dr. P. Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm

2 buah dari hubungan antar pribadi, 3 bersama dengan manusia lainnya. sehingga eksistensi manusia ada Arah dialog manusia Dialog menjadi dasar realitas hidup manusia, sehingga dialog tidak bisa dipisahkan dari hidup manusia. Dialog menjadi sebuah kewajiban yang harus dimiliki manusia mengingat eksistensinya sebagai manusia. Berdasarkan dialog, manusia membangun sebuah komunitas-komunitas, bahkan masyarakat yang didiaminya. Dialog itu terjadi di dalam sebuah perjumpaan yang melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia. Manusia hadir dengan seluruh pengalaman hidupnya. Dialog membawa manusia kepada sebuah pengenalan diri dan pribadi orang lain ke arah yang lebih dalam. Dialog semakin mendekatkan, bila terjadi kesinambungan atas apa yang terungkap. Dialog bisa saling menjauhkan jika terjadi sebuah kemandekan di dalam komunikasi yang dibangun. Kuncinya adalah manusia bisa mengungkapkan apa yang dimaksudkannya dengan baik, sehingga manusia lain bisa menangkap maksud itu dengan baik dan memberikan timbal balik atas maksud tersebut. Komunikasi di dalam dialog akan mampu menjadi sarana untuk membangun komunitas yang berlandaskan kekayaan dan keunikan setiap pribadi manusia. Pada titik inilah manusia membangun sebuah relasi; relasi yang mempertemukan I and Thou, Aku dan Engkau. All real living is meeting 4. Demikianlah Martin Buber menilai sebuah relasi dalam kehidupan manusia. Baginya perjumpaan merupakan sebuah kehidupan yang nyata. Buber memandang manusia sebagi makhluk yang terus menerus berjumpa dengan aneka manusia lain dengan aneka pengalaman yang dibawanya serta dan di dalam perjumpaan itu dialog terjadi. Dalam kaca mata inilah, Buber menamakan perjumpaan ini dengan Aku-Engkau. Aku tidak pernah tanpa relasi, 5 sehingga manusia sebagai seorang pribadi selalu berelasi dengan aku-aku yang lain, yang disebut dengan Engkau Ibid., hlm Martin Buber, I and Thou (Second Edition), terj. Ronald Gregor Smith, New York: Charles Scribener s Son, 1958, hlm. 11. K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1981, hlm

3 Aku-Engkau bukan memaksudkan things melainkan sebuah relasi-relasi kesadaran dan komunikasi kedekatan. 6 Relasi-relasi kesadaran dan komunikasi kedekatan ini merupakan gambaran perjumpaan yang terjadi di dalam relasi Aku-Engkau. Kesadaran mengandung arti bahwa manusia hadir dengan keseluruhan dirinya, bukan hanya secara fisik tetapi juga pengalaman suka-duka yang dialaminya. Kedekatan yang juga ditampilkan dalam sebuah komunikasi Aku-Engkau semakin menguatkan realitas manusia sebagai aku subjek. Dialog Aku-Engkau Buber melihat relasi manusia dengan bertitik tolak pada keberadaan manusia dalam relasi Aku-Engkau. Relasi ini menandaskan bahwa hubungan antara manusia satu dengan lainnya bukan merupakan relasi subjek-objek, yang disebut Buber dengan relasi I and It; Aku-Itu. Buber berpegang pada prinsip pokok relasi Aku-Engkau, di mana manusia berada pada posisi sebagai subjek. Orang lain bukan lagi objek bagi subjek yang bersangkutan, tetapi orang lain adalah aku yang lain, yakni engkau. Dengan demikian, Aku-Engkau menghadirkan diri sebagai subjek yang saling berdialog di dalam relasi yang dibangun manusia satu dengan lainnya. Keberadaan subjek-subjek yang saling berjumpa membawa arti lain jika dibandingkan dengan perjumpaan subjek-objek. Aku-Engkau sebagai realitas subjek-subjek mengisyaratkan adanya cinta yang hadir di dalam perjumpaan tersebut. Buber mengatakan,... Love is between I and Thou. 7 Adanya cinta ini membawa Aku-Engkau kepada perwujudan diri yang sebenarnya. Manusia hadir dengan segala suka-duka pengalaman yang ada pada dirinya, sehingga tidak ada kepalsuan di dalamnya. Cinta membawa manusia kepada keterbukaan dan keberanian untuk menerima segala kekurangan dan kelebihan subjek lainnya. 3. Manusia Menuju ke Kedalaman Pada dasarnya, manusia mengejar kesempurnaan di dalam hidupnya. Kesempurnaan ini dikejar, karena manusia memiliki idealisme di dalam dirinya. 8 Melalui akal budi, perasaan, dan segenap kemampuan yang Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Filsafat Aku, dalam Aku dan Liyan. Kata Filsafat dan Sayap, Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Marcellius Ari Christy, Paulus Punjung., (ed.), Malang: Widya Sasana Publication, 2011, hlm. 20. Martin Buber, op. cit., hlm Dr. P. Hardono Hadi, op. cit., hlm

4 dimilikinya, manusia berusaha menjadi sempurna. Berdasarkan pemikiran ini, Buber pun ingin mengajak manusia untuk mengejar kesempurnaannya melalui relasi Aku-Engkau yang dibangunnya. Cinta telah mendasari dialog yang terjadi antara Aku-Engkau. Cinta inilah yang melahirkan manusia-manusia yang terus menyempurnakan dirinya. Relasi yang dibangun Aku-Engkau tidak lagi memikirkan apa, siapa, atau bagaimana manusia itu berada, melainkan relasi ini menyempurnakan manusia untuk menemukan identitas dirinya, tanpa adanya keraguan, rasa malu, atau perasaan-perasaan sentimentil yang terwujud di dalam sisi luar manusia. Adalah Gabriel Marcel yang juga mendasarkan relasi yang dibangun manusia berdasarkan cinta. Cinta membawa manusia kepada keterbukaan diri dan kemampuan diri untuk terbuka dengan sapaan atau bahkan teguran dari orang lain. Cinta itu membawa manusia keluar dari dirinya sendiri, tanpa membalik lagi. 9 Keberadaan cinta di tengah-tengah relasi yang kemudian manusia bangun semakin menunjukkan otentisitas masing-masing pribadi yang berjumpa. Dalam hal ini, Marcel dan Buber memiliki pemikiran yang sejalan tentang fondasi yang mengeratkan relasi manusia. Kekhawatiran Buber terhadap relasi-relasi yang terjadi di zaman modern ini adalah relasi Aku-Itu. Artinya, relasi didasarkan pada subjekobjek. Tidak ada kedekatan di antara keduanya. Yang ada hanyalah sikap untuk menguasai, memperalat, atau bahkan memosisikannya sebagai It sebagai bagian yang terpisah dari Aku. Maka, kesatuan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan hanya sebatas angan-angan belaka. Relasi Aku-Itu ini juga bisa terjadi di dalam relasi Aku-Engkau yang sudah dibangun. Ini dinamakan dengan kemerosotan Aku-Engkau. 10 Dialog yang sejati pun tidak terjadi Dialog yang sejati akan terjadi ketika Aku menyapa Engkau dan Engkau menyapa Aku. 11 Aku tidak memperalat atau memanfaatkan Engkau, melainkan, Aku berjumpa dengan Engkau dengan segala sukaduka hidupnya. Kekhawatiran Buber terhadap kemerosotan relasi dunia modern menandakan perlakuan terhadap orang lain bukan sebagai Engkau. Engkau bagi Aku tidak lagi dipandang sebagai sesama manusia. 12 Situasi semacam ini menyebabkan tidak adanya cinta yang Dr. Harun Hariwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hlm Pancha Wiguna Yahya, Mengenal Martin Buber dan Filsafat Dialogisnya, dalam Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan edisi 2/1 (April 2001), hlm. 44. K. Bertens, op. cit., hlm Ibid. 50

5 melandasi relasi yang terjadi. Cinta sebagaimana digambarkan Marcel dan Buber tidak menjiwai relasi dalam hidup manusia. Aku-Itu mematikan upaya manusia di dalam menyelami kedalaman hidupnya. Satu-satunya cara untuk mencapai kedalaman hidupnya, manusia harus kembali kepada kesadaran relasi hidup manusia, yakni Aku-Engkau. 4. The Eternal Thou Relasi Aku-Engkau (manusia) membawa manusia kepada proses pencarian hidupnya untuk semakin meneguhkan kesadaran eksistensinya. Pencarian itu membuat manusia semakin mengenal kesejatian dirinya. Manusia akan semakin memperdalam pencarian hidupnya ketika ia masuk ke wilayah Aku-Engkau (Tuhan). Buber menyebut relasi ini dengan I and Eternal Thou. Deskripsi tentang Eternal Thou disebut Buber dengan Tuhan. Ia mengatakan bahwa Tuhan dalam deskripsi manusia memiliki banyak nama. 13 Nama-nama yang merujuk kepada Tuhan merupakan wujud dari pengakuan bahwa Tuhan adalah realitas tertinggi, di mana manusia berjalan dan berjuang untuk menuju ke sana. Kendati manusia berusaha memberi nama kepada realitas tertinggi ini, manusia tetap tidak bisa membatasi deskripsi terhadap-nya, karena pada dasarnya Ia tidak terbatas. Yang bisa dilakukan manusia adalah menjalani perziarahan di dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan hidupnya, yakni bersatu dengan Eternal Thou yang tak lain adalah Tuhan. Puncak Perziarahan Hidup Manusia Posisi Tuhan dalam relasi Aku-Engkau merupakan arah yang hendak dicapai manusia di dalam relasi Aku-Engkau (manusia). Perjumpaan manusia dengan Tuhan dalam relasi Aku-Engkau (Tuhan) menandakan tingkat religiusitas manusia tersebut. 14 Inilah puncak religiusitas manusia. Dialog yang ditumbuhkan antara manusia dengan Tuhan membawa manusia kepada sebuah titik tujuan perziarahan manusia di dalam upaya menemukan kesejatian dirinya. Dalam Tuhanlah manusia menemukan kesejatian hidupnya. Perjumpaan yang terjadi antara manusia dengan Tuhan bukan merupakan sebuah perjalanan singkat. Manusia tidak langsung berjumpa dengan Tuhan dan mendapatkan jawaban atas penemuan kesejatian dirinya. Manusia melakukan perziarahan di dalam hidupnya. Dari sinilah manusia 13 Martin Buber, op. cit., hlm Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, op. cit., hlm

6 mengalami aneka perjumpaan yang pada akhirnya membawa manusia kepada titik di mana ia berjumpa dengan Tuhan, Sang Eternal Thou. Perjumpaan Aku-Engkau (Tuhan) menjadi berarti ketika manusia datang dengan keseluruhan hidupnya. 15 Manusia datang kepada Tuhan dan menjalin dialog dengan-nya. Manusia tidak datang dalam kepalsuan, karena ia tidak mungkin melakukan itu di hadapan-nya. Manusia datang kepada Tuhan tanpa ada sekat atau batas yang membuat manusia menunjukkan kepalsuan-kepalsuan dirinya. Manusia hanya bisa membawa dirinya dengan segala pengalaman suka-duka yang dimilikinya. Dari Tuhan Menuju Tuhan Manusia sebagai makhluk ciptaan ada karena Sang Pencipta. Ia berada di dunia untuk mengalami perziarahan hidup guna menemukan kesempurnaan hidupnya. Buber menilai bahwa sebagai pencipta, Tuhan tetap membutuhkan manusia. 16 Mungkin hal ini kurang disadari manusia, karena Tuhan dianggap manusia sebagai kesempurnaan itu sendiri, sehingga manusialah yang membutuhkan Tuhan. Manusia memang membutuhkan Tuhan. Jiwa yang terdapat dalam diri manusia adalah bagian dari milik Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia. Dalam hal ini manusia terikat dengan Tuhan, karena ia adalah milik Tuhan yang telah menciptakannya. Antara manusia dengan Tuhan telah mengalami sebuah keterikatan sejak adanya manusia. Manusia membutuhkan Tuhan dan Tuhan juga membutuhkan manusia. Pertanyaannya, apa yang dibutuhkan Tuhan dari manusia? Manusia berada di antara ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain. Ia tidak terhindar dari kejahatan-kejahatan yang terjadi di dunia ini, bahkan manusia sendiri melakukan kejahatan terhadap Tuhan dengan memperlakukan Tuhan sebagai objek. 17 Dari manusia, Tuhan menghendaki agar manusia bisa menjalin relasi yang menimbulkan harmonis antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam semesta ini. Keharmonisan inilah yang menimbulkan cinta di antara manusia, alam, dan Tuhan. Cinta itu menjadi daya bagi siapa pun yang saling berjumpa untuk menciptakan kedamaian di dalam setiap relasi. Maka, kehadiran cinta menjadikan Aku-Engkau meresapi setiap kehidupan yang terjadi di dunia ini. 15 Maurice S. Friedman, Martin Buber The Life of Dialogue, New York: Harper Torchbook, 1960, hlm Ibid., hlm K. Bertens, op. cit., hlm

7 Kepenuhan Hidup Manusia Manusia telah mengalami perjumpaan dengan manusia yang lain. Relasi Aku-Engkau yang dibangun manusia telah membuat manusia mengalami keterbukaan untuk memberikan keaslian dirinya dan menerima keterbukaan Engkau. Pada taraf ini, manusia belum mengalami kepenuhan di dalam hidupnya. Ia sedang berjalan pada tahap akhir menuju kepenuhan itu. Ia berjalan menuju Eternal Thou yang adalah kesempurnaan sejati. Gambaran perziarahan manusia ini mengisyaratkan bahwa relasi Aku-Engkau (manusia) menjadi jalan bagi manusia menuju puncak perziarahan hidup manusia, yakni relasi Aku-Engkau (Tuhan). Dengan demikian, manusia memiliki tugas yang tidak mudah, karena ia harus menjalin relasi yang baik di dalam relasi Aku-Engkau (manusia). Ia harus menjalin relasi perdamaian dengan sesamanya. 18 Syarat yang kemudian menjadi tugas manusia adalah kesadaran manusia akan keberadaannya sebagai aku. Kesadaran ini juga menjadi syarat bagi setiap orang yang menjalin sebuah relasi. Dengan adanya kesadaran ini, manusia akan memahami bahwa mereka adalah satu kesatuan aku yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Pada tingkat relasi Aku-Engkau (manusia), manusia memperoleh sebuah titik terang untuk mencapai kepenuhan hidupnya. Kedamaian relasi Aku-Engkau yang manusia bangun membuka jalan bagi perjumpaan manusia dengan Tuhan dalam relasi Aku-Engkau (Tuhan). Dengan demikian, manusia telah mencapai puncak religiusitas di dalam hidupnya, di mana ia mengalami kepenuhan hidup melalui relasi yang ia bangun bersama dengan Tuhan. 5. Penutup Keberadaan manusia tidak bisa dipisahkan dari ciptaan-ciptaan yang lain, terlebih Sang Pencipta sendiri. Ia akan terus bergumul dengan hidup dan dunia sekitarnya untuk meraih kesempurnaan hidupnya. Perjumpaan demi perjumpaan manusia dengan semuanya itu akan membawanya kepadanya kesempurnaan hidupnya. Dari perjumpaanperjumpaan itulah manusia akan membangun sebuah relasi. Relasi yang mengandung banyak arti dan penuh kedalaman makna, karena manusia membangun relasi atas dasar I and Thou dan berpuncak pada pada I and Eternal Thou, sehingga manusia mengalami kepenuhan hidupnya. 18 Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, op. cit., hlm

8 KEPUSTAKAAN Bertens, K. Filsafat Barat Dalam Abad XX. Jakarta: Gramedia Buber, Martin. I and Thou (second edition). terj. Ronald Gregor Smith. New York: Charles Scribener s Son Hadi, Hardono, Dr. P. Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta: Kanisius Hadiwiyono, Harun, Dr. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius Riyanto, Armada. Prof. Dr., dkk. Aku dan Liyan. Kata Filsafat dan Sayap. Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Marcellius Ari Christy, Paulus Punjung (ed.). Malang: Widya Sasana Publication S. Friedman, Maurice. Martin Buber The Life of Dialogue. New York: Harper Torchbook Jurnal Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan. Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Edisi 2/1 April

BAB I PENDAHULUAN. diri. Sebagai person manusia memiliki keunikan yang membedakan dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. diri. Sebagai person manusia memiliki keunikan yang membedakan dengan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia secara kodrati memiliki dua dimensi yaitu dimensi personal dan sosial. Dimensi personal pada manusia menyatakan sisi rohani atau kualitas dalam diri. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar belakang masalah 1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar belakang masalah Dalam semua agama ditemukan pola mistik sebagai puncak penghayatan keagamaan. Dalam hal ini ekstase adalah tahap akhir dari pengalaman mistik itu, dimana jiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan manusia menjadi penunjang keberlangsungan hidup manusia. Manusia dengan akal budinya

Lebih terperinci

Areté Volume 02 Nomor 02 September 2013 RESENSI BUKU 2. Simon Untara 1

Areté Volume 02 Nomor 02 September 2013 RESENSI BUKU 2. Simon Untara 1 199 RESENSI BUKU 2 Simon Untara 1 Judul Buku : Tema-tema Eksistensialisme, Pengantar Menuju Eksistensialisme Dewasa Ini Pengarang : Emanuel Prasetyono Penerbit : Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apabila dilihat dari sudut pandang spiritual, dunia ini terbagi ke dalam dua karakter kehidupan spiritual, yaitu: Bangsa-bangsa barat yang sekuler dalam arti memisahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Ia mustahil dapat hidup sendirian saja. Seseorang yang mengalami

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Ia mustahil dapat hidup sendirian saja. Seseorang yang mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk sosial karena merupakan bagian dari masyarakat. Ia mustahil dapat hidup sendirian saja. Seseorang yang mengalami kecelakaan lalu lintaspun pasti

Lebih terperinci

PASTORAL DIALOGAL. Erik Wahju Tjahjana

PASTORAL DIALOGAL. Erik Wahju Tjahjana PASTORAL DIALOGAL Erik Wahju Tjahjana Pendahuluan Konsili Vatikan II yang dijiwai oleh semangat aggiornamento 1 merupakan momentum yang telah menghantar Gereja Katolik memasuki Abad Pencerahan di mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dan mengalami fenomena kehidupan konkrit manusia di jaman

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dan mengalami fenomena kehidupan konkrit manusia di jaman BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Melihat dan mengalami fenomena kehidupan konkrit manusia di jaman modern sangat sulit untuk menemukan sebuah kehadiran dan relasi yang bermakna. Karena, perjumpaan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latarbelakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latarbelakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latarbelakang Masalah Kehidupan saat ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan yang saling berelasi satu dengan yang lain dan selalu berpengaruh bagi setiap aspek kehidupan manusia.

Lebih terperinci

Nama Mata Kuliah. Modul ke: Filsafat Manusia. Fakultas Fakultas Psikologi. Masyhar MA. Program Studi Program Studi.

Nama Mata Kuliah. Modul ke: Filsafat Manusia. Fakultas Fakultas Psikologi. Masyhar MA. Program Studi Program Studi. Nama Mata Kuliah Modul ke: Filsafat Manusia Fakultas Fakultas Psikologi Masyhar MA Program Studi Program Studi www.mercubuana.ac.id HUBUNGAN ANTARSUBJEKTIF DAN HUBUNGAN DENGAN DUNIA INFRAHUMAN Template

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Sebagai makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Sebagai makhluk yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Sebagai makhluk yang bermartabat, manusia memiliki di dalam dirinya akal budi, rasa, hati dan kehendak. Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, banyak manusia menghidupi kehidupan palsu. Kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, banyak manusia menghidupi kehidupan palsu. Kehidupan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dewasa ini, banyak manusia menghidupi kehidupan palsu. Kehidupan yang ditampilkan di luar tidak ditopang dengan penghayatan hidup yang dipilihnya. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Pancasila yang dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Pancasila yang dikenal BAB I PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Pancasila yang dikenal menghargai keanekaragamaan budaya dan agama yang ada di dalamnya. Pancasila ini menjadi inti dari tindakan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap makhluk hidup maupun benda (objek) yang ada di dunia ini

BAB I PENDAHULUAN. Setiap makhluk hidup maupun benda (objek) yang ada di dunia ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Setiap makhluk hidup maupun benda (objek) yang ada di dunia ini mempunyai nilai keindahan. Nilai keindahan tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang khas dengan pluralitas agama dan budaya. Pluralitas sendiri dapat diterjemahkan sebagai kemajemukan yang lebih mengacu pada jumlah

Lebih terperinci

KONSEP RELASI MANUSIA BERDASARKAN PEMIKIRAN MARTIN BUBER

KONSEP RELASI MANUSIA BERDASARKAN PEMIKIRAN MARTIN BUBER MELINTAS 30.3.2014 30.3.2014 [303-322] KONSEP RELASI MANUSIA BERDASARKAN PEMIKIRAN MARTIN BUBER Robeti Hia Graduate Student Department of Theology Parahyangan Catholic University Bandung, Indonesia Abstract:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aristoteles merupakan salah seorang filsuf klasik yang mengembangkan dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin bahwa politik

Lebih terperinci

Filsafat Manusia. Manusia Sebagai Persona. Cathrin, M.Phil. Modul ke: 05Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

Filsafat Manusia. Manusia Sebagai Persona. Cathrin, M.Phil. Modul ke: 05Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi Modul ke: 05Fakultas Shely PSIKOLOGI Filsafat Manusia Manusia Sebagai Persona Cathrin, M.Phil Program Studi Psikologi Pokok Bahasan Abstract Membahas mengenai manusia sebagai persona Kompetensi Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN. Ada tiga hal dari realitas hidup bersama secara khusus dalam teks

BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN. Ada tiga hal dari realitas hidup bersama secara khusus dalam teks BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN Ada tiga hal dari realitas hidup bersama secara khusus dalam teks Etika Nikomakea IX, 12, yaitu faktor yang menyebabkan hidup bersama, sarana yang menunjang hidup bersama

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latarbelakang Pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat lagi dihindari atau disisihkan dari kehidupan masyarakat umat beragama. Kenyataan akan adanya pluralitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan jabaran dari kehidupan yang terjadi di muka bumi ini. Sastra merupakan salah satu seni yang

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tak dapat dilepaskan dari spiritualitas. Spiritualitas melekat dalam diri setiap manusia dan merupakan ekspresi iman kepada Sang Ilahi. Sisi spiritualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang misterius dan kompleks. Keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang misterius dan kompleks. Keberadaan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk hidup yang misterius dan kompleks. Keberadaan dan cara beradanya mengandung sejumlah teka-teki yang sudah, sedang dan akan terus dicari jawabannya.

Lebih terperinci

RESPONS - DESEMBER 2009

RESPONS - DESEMBER 2009 Judul : Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme Penulis : Kasdin Sihotang Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, 2009 Tebal : 166 halaman Harga : Rp 35.000 Tiada makhluk yang lebih paradoksal selain

Lebih terperinci

Modul ke: FILSAFAT MANUSIA INTELEKTUAL (PENGETAHUAN) Ahmad Sabir, M. Phil. Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI.

Modul ke: FILSAFAT MANUSIA INTELEKTUAL (PENGETAHUAN) Ahmad Sabir, M. Phil. Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI. Modul ke: FILSAFAT MANUSIA INTELEKTUAL (PENGETAHUAN) Fakultas PSIKOLOGI Ahmad Sabir, M. Phil. Program Studi PSIKOLOGI www.mercubuana.ac.id Pengertian Intelektual (pengetahuan) Inteletual (Pengetahuan)

Lebih terperinci

Pendidikan Agama Katolik

Pendidikan Agama Katolik Modul ke: 14Fakultas Psikologi Pendidikan Agama Katolik MENJAGA KEUTUHAN CIPTAAN Program Studi Psikologi Drs. Sugeng Baskoro, M.M PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DALAM REFLEKSI IMAN KRISTIANI Untuk apa kita diciptakan?

Lebih terperinci

MENJADI MANUSIA OTENTIK

MENJADI MANUSIA OTENTIK MENJADI MANUSIA OTENTIK Penulis : Reza A.A. Wattimena G. Edwi Nugrohadi A. Untung Subagya Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gereja hidup di tengah masyarakat. Gereja kita kenal sebagai persekutuan orangorang percaya kepada anugerah keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Yesus Kristus

Lebih terperinci

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGHAYATAN ROH KUDUS JEMAAT KRISTEN INDONESIA INJIL KERAJAAN DI SEMARANG

BAB IV TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGHAYATAN ROH KUDUS JEMAAT KRISTEN INDONESIA INJIL KERAJAAN DI SEMARANG BAB IV TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGHAYATAN ROH KUDUS JEMAAT KRISTEN INDONESIA INJIL KERAJAAN DI SEMARANG Pada Bab ini, penulis akan menggunakan pemahaman-pemahaman Teologis yang telah dikemukakan pada

Lebih terperinci

FILSAFAT MANUSIA. Historisitas Manusia. Firman Alamsyah, MA. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

FILSAFAT MANUSIA. Historisitas Manusia. Firman Alamsyah, MA. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi Modul ke: FILSAFAT MANUSIA Historisitas Manusia Fakultas PSIKOLOGI Firman Alamsyah, MA. Program Studi Psikologi http://www.mercubuana.ac.id Historisitas Manusia Dunia manusia, bukan sekedar suatu dunia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang senantiasa memerlukan interaksi dengan orang lain. Saat berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti memiliki tujuan hidup. Tujuan tersebut menjadi salah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti memiliki tujuan hidup. Tujuan tersebut menjadi salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Setiap manusia pasti memiliki tujuan hidup. Tujuan tersebut menjadi salah satu patokan untuk pengambilan keputusan-keputusan serta tindakan-tindakan dalam hidupnya.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia. 1. Beberapa ciri dalam eksistensialisme, diantaranya: 2

BAB II KAJIAN TEORI. esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia. 1. Beberapa ciri dalam eksistensialisme, diantaranya: 2 BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Eksistensi Soren Kierkegaard Eksistensialisme secara etimologi yakni berasal dari kata eksistensi, dari bahasa latin existere yang berarti muncul, ada, timbul, memilih keberadaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. dalam penelitian maka peneliti menggunakan crosstab agar dapat menjawab

BAB IV ANALISIS DATA. dalam penelitian maka peneliti menggunakan crosstab agar dapat menjawab BAB IV ANALISIS DATA A. Temuan Penelitian Pada penelitian ini, untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian maka peneliti menggunakan crosstab agar dapat menjawab rumusan masalah. Adapun

Lebih terperinci

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD)

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD) 11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN 1.1.1 Latar Belakang Masalah Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah Gereja mandiri bagian dari Gereja Protestan Indonesia (GPI) sekaligus anggota Persekutuan Gereja-Gereja

Lebih terperinci

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta BAB V PENUTUP. Pemilihan suatu gagasan yang diwujudkan kedalam karya seni berawal

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta BAB V PENUTUP. Pemilihan suatu gagasan yang diwujudkan kedalam karya seni berawal BAB V PENUTUP Pemilihan suatu gagasan yang diwujudkan kedalam karya seni berawal dari berbagai pengalaman yang dicermati dari lingkungan sosialnya. Seperti hadirnya ruang interaksi dalam kehidupan bermasyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara sastra berarti berbicara manusia. Terlebih lagi sastra membicarakan

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara sastra berarti berbicara manusia. Terlebih lagi sastra membicarakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara sastra berarti berbicara manusia. Terlebih lagi sastra membicarakan manusia dengan segala permasalahannya. Begitu juga filsafat, secara khusus membicarakan

Lebih terperinci

Modul ke: FILSAFAT MANUSIA KEHENDAK & KEBEBASAN. Ahmad Sabir, M. Phil. Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI.

Modul ke: FILSAFAT MANUSIA KEHENDAK & KEBEBASAN. Ahmad Sabir, M. Phil. Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI. Modul ke: FILSAFAT MANUSIA KEHENDAK & KEBEBASAN Fakultas PSIKOLOGI Ahmad Sabir, M. Phil. Program Studi PSIKOLOGI www.mercubuana.ac.id Kehendak dan Kebebasan Kecuali memiliki pengetahuan yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di dunia memungkinkan manusia untuk terarah pada kebenaran. Usahausaha

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di dunia memungkinkan manusia untuk terarah pada kebenaran. Usahausaha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kebenaran selalu aktual di zaman yang dipengaruhi perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi. Berbagai perkembangan yang terjadi di dunia memungkinkan manusia

Lebih terperinci

UNISITAS DAN UNIVERSALITAS KESELAMATAN YESUS DALAM KONTEKS PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA. Fabianus Selatang 1

UNISITAS DAN UNIVERSALITAS KESELAMATAN YESUS DALAM KONTEKS PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA. Fabianus Selatang 1 UNISITAS DAN UNIVERSALITAS KESELAMATAN YESUS DALAM KONTEKS PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA Fabianus Selatang 1 Abstrak Konsep keselamatan dalam Katolik jelas berbeda dengan pengertian keselamatan dalam agama-agama

Lebih terperinci

10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E)

10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E) 10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi

Lebih terperinci

Nama Mata Kuliah. Modul ke: Filsafat Manusia. Fakultas Fakultas Psikologi. Masyhar MA. Program Studi Program Studi.

Nama Mata Kuliah. Modul ke: Filsafat Manusia. Fakultas Fakultas Psikologi. Masyhar MA. Program Studi Program Studi. Nama Mata Kuliah Modul ke: Filsafat Manusia Fakultas Fakultas Psikologi Masyhar MA Program Studi Program Studi www.mercubuana.ac.id Kegiatan dan Penyebaban manusia berkomunikasi Template Modul FILSAFAT

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Kelima butir sila yang

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Kelima butir sila yang 209 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Kelima butir sila yang memuat nilai luhur bangsa diringkas Soekarno ke dalam nilai gotong-royong. Fakta bahwa masyarakat Indonesia

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. A. Kesimpulan. berikut ini. Pertama, dinamika historis masyarakat Hatuhaha Amarima selalu

BAB V P E N U T U P. A. Kesimpulan. berikut ini. Pertama, dinamika historis masyarakat Hatuhaha Amarima selalu 441 BAB V P E N U T U P Kajian dalam bab ini memuat catatan-catatan kesimpulan dan saran, yang dilakukan berdasarkan rangkaian ulasan, sebagaimana yang termuat pada bab-bab sebelumnya. Kesimpulan, dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan di Indonesia pluralitas agama merupakan realitas hidup yang tidak mungkin dipungkiri oleh siapapun. Di negeri ini semua orang memiliki kebebasan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan akhir dari penelitian tentang teologi kontekstual berbasis budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata peribadahan GKJ di dalam menanamkan

Lebih terperinci

Sumber dan Tujuan Pendidikan yang Benar. Pengetahuan orang kudus adalah pengertian, Kenalilah akan Dia.

Sumber dan Tujuan Pendidikan yang Benar. Pengetahuan orang kudus adalah pengertian, Kenalilah akan Dia. Sumber dan Tujuan Pendidikan yang Benar Pengetahuan orang kudus adalah pengertian, Kenalilah akan Dia. Pemikiran kita tentang pendidikan terlalu sempit dan dangkal. Karena hanya mengejar suatu arah pelajaran

Lebih terperinci

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan 11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan

Lebih terperinci

RELASI GURU-MURID-BIDANG STUDI BAGI GURU SEJATI

RELASI GURU-MURID-BIDANG STUDI BAGI GURU SEJATI 1 RELASI GURU-MURID-BIDANG STUDI BAGI GURU SEJATI Seminar Pendidikan, UWM, Surabaya 29 September 2012 Paul Suparno, S.J. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Pengantar Sering terdengar relasi yang tidak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi, buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah

Lebih terperinci

etika sederhana teologi ekonomi

etika sederhana teologi ekonomi etika sederhana teologi ekonomi Latar belakang kasus ekonomi (bisnis) dan teologi (gereja). Perkembangan sejak awal - pertengahan - reformasi. Eka darmaputra kewirausahaan - bambang harjono Eka dharmaputra

Lebih terperinci

1 Wawancara dengan bpk sumarsono dan remaja di panti asuhan Yakobus

1 Wawancara dengan bpk sumarsono dan remaja di panti asuhan Yakobus BAGIAN IV TINJAUAN KRITIS ATAS UPAYA PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN BAGI REMAJA YANG BERAGAMA KRISTEN DAN NON KRISTEN DIPANTI ASUHAN YAKOBUS YANG SESUAI DENGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL. 4.1 Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni yang merekam kembali alam kehidupan, akan tetapi yang memperbincangkan kembali lewat suatu

Lebih terperinci

"HUMANISME DAN GERAKAN ZAMAN BARU"

HUMANISME DAN GERAKAN ZAMAN BARU Dikutip dari buku: "HUMANISME DAN GERAKAN ZAMAN BARU" Oleh: Ir. Herlianto, M.Th. Penerbit: Yayasan Kalam Hidup GERAKAN PENGEMBANGAN PRIBADI Dewasa ini, setidaknya sejak tahun 1970-an, terjadi kebangunan

Lebih terperinci

Pendidikan Pancasila. Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis

Pendidikan Pancasila. Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis Modul ke: Pendidikan Pancasila Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Akuntansi www.mercubuana.ac.id Pancasila

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pembicaraan tentang alam atau sekitarnya sudah dibicarakan banyak orang baik itu dalam artikel, skripsi dan begitu banyak sekali buku yang membahas tentang

Lebih terperinci

ONTOLOGI PENDIDIKAN MENURUT BERAGAM FILSAFAT DUNIA: IDEALISME, REALISME, PRAGMATISME, EKSISTENSIALISME

ONTOLOGI PENDIDIKAN MENURUT BERAGAM FILSAFAT DUNIA: IDEALISME, REALISME, PRAGMATISME, EKSISTENSIALISME ONTOLOGI PENDIDIKAN MENURUT BERAGAM FILSAFAT DUNIA: IDEALISME, REALISME, PRAGMATISME, EKSISTENSIALISME Indah Wahyuni, Titsa Raky Andjani, Annisa Setyawati A. Definisi Ontologi Kata Ontologi berasal dari

Lebih terperinci

UKDW BAB I : PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

UKDW BAB I : PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I : PENDAHULUAN I. Latar Belakang Keberagaman merupakan sebuah realitas yang tidak dapat dipisahkan di dalam dunia. Terkadang keberagaman menghasilkan sesuatu yang indah, tetapi juga keberagaman dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah bumi dan di atasnya. Manusia ditempatkan ke dalam pusat dunia. 1 Pada masa itu budi

BAB I PENDAHULUAN. bawah bumi dan di atasnya. Manusia ditempatkan ke dalam pusat dunia. 1 Pada masa itu budi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zaman modern adalah zaman dimana manusia dikembalikan kepada kemampuan dan keperkasaan dirinya sendiri. Manusia diletakkan didalam pusat seluruh tata kenyataan di bumi,

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB II TELAAH EKSISTENSI SECARA UMUM. berasal dari bahasa Inggris yaitu excitence; dari bahasa latin existere yang berarti

BAB II TELAAH EKSISTENSI SECARA UMUM. berasal dari bahasa Inggris yaitu excitence; dari bahasa latin existere yang berarti 20 BAB II TELAAH EKSISTENSI SECARA UMUM A. Pengertian Eksistensi Secara etimologi, eksistensialisme berasal dari kata eksistensi, eksistensi berasal dari bahasa Inggris yaitu excitence; dari bahasa latin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kelompok sosial yang terdiri dari sejumlah individu di dalamnya tentu memiliki

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kelompok sosial yang terdiri dari sejumlah individu di dalamnya tentu memiliki BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Kehidupan manusia yang seiring berjalan waktu semakin berkembang, dalam kenyataannya ada berbagai macam hal yang membawa pengaruh positif maupun negatif dalam perkembangan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Katekisasi merupakan salah satu bentuk pelayanan pendidikan kristiani yang dilakukan oleh gereja. Istilah katekisasi berasal dari kerja bahasa Yunani: katekhein yang

Lebih terperinci

Definisi Filsafat. lahir. Super-sadar. bawah-sadar. tua. muda. dewasa. 1 Noh Pengantar Filsafat

Definisi Filsafat. lahir. Super-sadar. bawah-sadar. tua. muda. dewasa. 1 Noh Pengantar Filsafat Definisi Filsafat Istilah filsafat dalam bahasa Yunani disebut philosophia dari akar kata philos artinya cinta dan sophos berarti hikmat, kebijaksanaan, kearifan atau sahabat. Philosophia berarti mencintai

Lebih terperinci

03. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia.

03. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. 03. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna,

Lebih terperinci

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida Manusia dilahirkan dalam keadaan yang sepenuhnya tidak berdaya dan harus menggantungkan diri pada orang lain. Seorang anak memerlukan waktu

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN

BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN 84 BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN Keyakinan agama dewasa ini telah dipinggirkan dari kehidupan manusia, bahkan harus menghadapi kenyataan digantikan oleh ilmu pengetahuan. Manusia modern merasa tidak perlu

Lebih terperinci

RELEVANSI FILSAFAT MANUSIA DALAM KEHIDUPAN. Oleh Dr. Raja Oloan Tumanggor

RELEVANSI FILSAFAT MANUSIA DALAM KEHIDUPAN. Oleh Dr. Raja Oloan Tumanggor RELEVANSI FILSAFAT MANUSIA DALAM KEHIDUPAN Oleh Dr. Raja Oloan Tumanggor Pokok Persoalan Apakah filsafat manusia itu? Apa perbedaan filsafat manusia dengan ilmu lain (dalam hal ini psikologi klinis)? Apa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Masyarakat dewasa ini dapat dikenali sebagai masyarakat yang berciri plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, kelompok budaya dan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini pada akhirnya menemukan beberapa jawaban atas persoalan yang ditulis dalam rumusan masalah. Jawaban tersebut dapat disimpulkan dalam kalimat-kalimat sebagai

Lebih terperinci

et{tá t et{tá t V Çàt 1

et{tá t et{tá t V Çàt 1 et{tá t et{tá t V Çàt 1 CINTA TAK BERSYARAT Sesungguhnya, dalam Kebenaran, hanya ada Cinta tak bersyarat. Segala hal yang lain hanyalah ilusi. Dengan cara inilah Tuhan mencintai kita: Cinta Nya tanpa syarat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB 2 ETIKA BISNIS DAN RUANG LINGKUPNYA. khotbah-khotbah, patokan-patokan, serta kumpulan peraturan dan

BAB 2 ETIKA BISNIS DAN RUANG LINGKUPNYA. khotbah-khotbah, patokan-patokan, serta kumpulan peraturan dan BAB 2 ETIKA BISNIS DAN RUANG LINGKUPNYA 2.1 Pengertian Etika Bisnis Apakah yang dimaksud dengan etika? Pengertian etika sering kali disamakan begitu saja dengan pengertian ajaran moral. Franz Magnis-Suseno

Lebih terperinci

RENUNGAN KITAB 1Timotius Oleh: Pdt. Yabes Order

RENUNGAN KITAB 1Timotius Oleh: Pdt. Yabes Order RENUNGAN KITAB 1Timotius Oleh: Pdt. Yabes Order HARI 1 JEJAK-JEJAK PEMURIDAN DALAM SURAT 1-2 TIMOTIUS Pendahuluan Surat 1-2 Timotius dikenal sebagai bagian dari kategori Surat Penggembalaan. Latar belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tak dapat dielakkan jika manusia dalam kehidupannya selalu memiliki keinginan yang kuat akan suatu hal. Inilah yang kita kenal sebagai hasrat. Suatu dorongan

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang permasalahan Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang besar yang dikenal karena keberagaman budaya dan banyaknya suku yang ada di dalamnya. Untuk mengelola

Lebih terperinci

KEMITRAAN SEKOLAH. Prof. Dr. Sodiq A. Kuntoro

KEMITRAAN SEKOLAH. Prof. Dr. Sodiq A. Kuntoro KEMITRAAN SEKOLAH Workshop Strategi Pengembangan Mutu Sekolah Bagi Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah diselenggarakan Prodi S2 Manajemen Pendidikan dan S3 Ilmu Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas

Lebih terperinci

MENJADI PRIBADI RELIGIUS DAN HUMANIS

MENJADI PRIBADI RELIGIUS DAN HUMANIS MENJADI PRIBADI RELIGIUS DAN HUMANIS Penulis: G. Edwi Nugrohadi A. Suyono Adisetyanto Antonius Yuniarto H.A. Budi Harijono A. Untung Subagya A.W. Susmono Edisi Kedua Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013

Lebih terperinci

Persembahan, Bukan Sumbangan! Ditulis oleh Pancha W. Yahya Rabu, 29 April :24

Persembahan, Bukan Sumbangan! Ditulis oleh Pancha W. Yahya Rabu, 29 April :24 Setelah beberapa kali berupaya, akhirnya seorang Kristen berhasil mengajak seorang tetangganya yang belum percaya untuk datang ke gereja. Pada Minggu pagi itu, orang yang belum memeluk agama apa pun itu

Lebih terperinci

Modul ke: Materi Penutup. Fakultas PSIKOLOGI. Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi

Modul ke: Materi Penutup. Fakultas PSIKOLOGI. Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi Modul ke: 12 Shely Fakultas PSIKOLOGI Materi Penutup Cathrin, M.Phil Program Studi Psikologi Pokok Bahasan Abstract Rangkuman Perkuliahan Filsafat Manusia Kompetensi Mahasiswa dapat memahami mengenai manusia

Lebih terperinci

PANCASILA IDEOLOGI TERBUKA

PANCASILA IDEOLOGI TERBUKA PANCASILA IDEOLOGI TERBUKA Era global menuntut kesiapan segenap komponen Bangsa untuk mengambil peranan sehingga pada muara akhirnya nanti dampak yang kemungkinan muncul, khususnya dampak negatif dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ibadah merupakan sebuah bentuk perjumpaan manusia dengan Allah, pun juga dengan corak masing-masing sesuai dengan pengalaman iman dari setiap individu atau

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan UKDW

Bab 1. Pendahuluan UKDW Bab 1 Pendahuluan 1. 1 Latar Belakang Keadilan menjadi salah satu persoalan di abad ke-21 ini. Persoalan keadilan muncul karena jauhnya ketimpangan antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin. Ketimpangan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suku bangsa Sabu atau yang biasa disapa Do Hawu (orang Sabu), adalah sekelompok masyarakat yang meyakini diri mereka berasal dari satu leluhur bernama Kika Ga

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. mempunyai objek kajian sebagaimana dijelaskan Wolff dibagi menjadi 3

BAB VI PENUTUP. mempunyai objek kajian sebagaimana dijelaskan Wolff dibagi menjadi 3 342 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan bab demi bab di atas, maka dapat penulis simpulkan: 1. Metafisika merupakan proto philosophy atau filsafat utama yang membahas segala sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah pembelajaran sangat ditentukan keberhasilannya oleh masingmasing guru di kelas. Guru yang profesional dapat ditandai dari sejauh mana

Lebih terperinci

KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM MEMBANGUN KEBERSAMAAN

KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM MEMBANGUN KEBERSAMAAN KLIPING AGAMA KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM MEMBANGUN KEBERSAMAAN KELOMPOK 2 : o PUTRO DEN ARDANTO / 07 o RICKY JITRO SIMATUPANG / 08 o STANISLAUS KRIS BANGKIT TRI PUTRA / 09 o DAME DISNA SITUMORANG

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. 1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. Dorongan beragama merupakan dorongan psikis yang merupakan landasan ilmiah dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Pendeta adalah seorang pemimpin jemaat, khususnya dalam hal moral dan spiritual. Oleh karena itu, dia harus dapat menjadi teladan bagi jemaatnya yang nampak

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. diajukan dalam rumusan masalah skripsi. Dalam rumusan masalah skripsi ini,

BAB V PENUTUP. diajukan dalam rumusan masalah skripsi. Dalam rumusan masalah skripsi ini, BAB V PENUTUP Pada bab V penulis menyimpulkan keseluruhan pembahasan dalam skripsi. Kesimpulan tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan penulis ajukan dalam pembatasan masalah. Disamping itu penulis

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Permasalahan The Meeting Place of World Religions. 1 Demikianlah predikat yang dikenakan pada Indonesia berkaitan dengan kemajemukan agama yang ada. Selain majemuk

Lebih terperinci

PENGERTIAN FILSAFAT (1)

PENGERTIAN FILSAFAT (1) PENGERTIAN FILSAFAT (1) Jujun S. Suriasumantri, orang yang sedang tengadah memandang bintang-bintang di langit, dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam kesemestaan galaksi; atau orang yang berdiri di

Lebih terperinci

1. Seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya;

1. Seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya; IDEALISME Arti kata IDEALIS secara umum: 1. Seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya; 2. Seseorang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana

Lebih terperinci

Posisi Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar Filsafat Pemikiran

Posisi Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar Filsafat Pemikiran Posisi Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar Filsafat Pemikiran Paradigma Memandang Realitas : Sebuah Fondasi Awal Pemahaman semiotika tidak akan mudah terjebak pada urusan-urusan yang teknik metodologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah satunya karena Indonesia berdasar pada Pancasila, dan butir sila pertamanya adalah Ketuhanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Emily Pia & Thomas Diez, Conflict and Human Rights: A Theoretical Framework, SHUR Working Paper Series, 1/07, 2007, h. 1.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Emily Pia & Thomas Diez, Conflict and Human Rights: A Theoretical Framework, SHUR Working Paper Series, 1/07, 2007, h. 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Penulis mengarahkan fokus kepada fenomena yang selalu terjadi di sepanjang kehidupan manusia; konflik. Konflik pada umumnya kita pahami sebagai hasil

Lebih terperinci

@UKDW BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG MASALAH

@UKDW BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG MASALAH Berhadapan langsung dengan perkembangan ekonomi pasar global, tentunya masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang posisinya berada di luar lingkaran praktekpraktek

Lebih terperinci