PENDAHULUAN Latar Belakang Studi terhadap kitosan telah banyak dilakukan baik dalam bentuk serpih, butiran, membran, maupun gel. Kemampuan kitosan yang diterapkan dalam berbagai bidang industri modern, seperti farmasi, biokimia, kosmetika, industri pangan, dan industri tekstil mendorong untuk terus dikembangkannya berbagai penelitian yang menggunakan kitosan, termasuk melakukan modifikasi kimia atau fisik dari kitosan. Modifikasi kimia menghasilkan perbaikan stabilitas kitosan melalui fungsionalisasi gugus fungsi yang ada, perbaikan ukuran pori kitosan dengan menggunakan senyawa porogen, dan dapat menaikkan kapasitas adsorpsi kitosan apabila kitosan dipadukan dengan polimer lain. Modifikasi kimia kitosan salah satunya dapat dilakukan melalui pembentukan ikatan silang dalam struktur kitosan menghasilkan gel kitosan. Penambahan polivinil alkohol (PVA) pada pembentukan gel kitosan dapat memperbaiki sifat gel, yaitu menurunkan waktu gelasi dan meningkatkan kekuatan mekanik gel (Wang et al. 2004, Aisyah 2005). Modifikasi kimia pada gel kitosan yang telah dilaporkan ialah dengan menggunakan pengikat silang glutaraldehida yang juga diikuti penambahan hidrokoloid alami, di antaranya gom guar (Sugita et al. 2006a), alginat (Cardenas et al. 2003; Tan et al. 2003; Sugita et al. 2006b), dan karboksimetil selulosa (CMC) (Sugita et al. 2007a). Modifikasi ini meningkatkan sifat reologi gel kitosan meliputi kekuatan mekanik, titik pecah, ketegaran, pembengkakan, dan pengerutan yang sesuai untuk sistem pengantaran obat. Jenis modifikasi gel kitosan yang sifat reologinya telah dioptimumkan untuk pengantaran obat ialah gel kitosan-gom guar (Sugita et al. 2006a) dan gel kitosan- CMC (Sugita et al. 2007a). Gel tersebut telah diaplikasikan dalam penyalutan obat ketoprofen dalam bentuk mikrokapsul. Selain itu, Rosa et al. (2008) melaporkan modifikasi kimia kitosan melalui pembuatan garam kitosan kuarterner dengan glisidiltrimetil amonium klorida dan pengikat silang glutaraldehida. Hasilnya, garam kitosan kuarterner dapat mengurangi zat warna reaktif jingga 16 (RO16) dari limbah tekstil.
Sejauh ini sistem pengantaran obat dengan menggunakan kitosan hanya terbatas pada modifikasi kimia pada kitosan saja. Apabila modifikasi kimia kitosan ini akan diterapkan sebagai sistem pengantaran obat ke dalam tubuh maka harus mempertimbangkan kemampuan kitosan untuk bisa melewati penghalang (barrier) dalam sistem metabolisme tubuh, dapat mencapai target pengobatan, dan melepaskan zat aktif pada tempat yang spesifik di dalam tubuh sebagai sasaran pengobatan. Oleh karena itu, modifikasi fisik melalui pengaturan ukuran partikel kitosan menjadi hal yang sangat penting. Modifikasi fisik kitosan yang telah dilakukan adalah dalam bentuk mikrokapsul dan telah diterapkan untuk pengantaran obat ketoprofen ke dalam tubuh. Modifikasi fisik pada kitosan mencakup perubahan ukuran partikel atau butir kitosan menjadi lebih kecil untuk pemanfaatan yang lebih luas. Bentuk mikrokapsul memiliki kelemahan, salah satunya adalah kemampuan penetrasi ke dalam jaringan tubuh terbatas. Oleh karena itu, perkembangan modifikasi fisik mengarah ke bentuk nanopartikel. Pembuatan nanopartikel dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komposisi material dan metode yang digunakan. Untuk nanopartikel kitosan, komposisi material yang digunakan adalah kitosan, TPP, dan surfaktan. Penggunaan kitosan dalam bentuk nanopartikel dipilih karena kemampuannya untuk meningkatkan penetrasi molekul-molekul besar. Selain itu, dengan kemudahan masuk ke dalam tubuh, nanopartikel dapat berpindah mengikuti sirkulasi darah ke bagian tubuh. Nanopartikel hidrofilik umumnya memiliki sirkulasi yang lebih lama di dalam darah (Wu et al. 2005). Komposisi material yang sesuai akan menghasilkan nanopartikel kitosan dengan ukuran kecil dan morfologi seragam. Menurut Xu (2003), pembentukan nanopartikel hanya terjadi pada konsentrasi tertentu kitosan dan TPP. Xu berhasil membuat nanopartikel kitosan berukuran 20 200 nm dengan menggunakan konsentrasi kitosan 1.5 mg/ml dan konsentrasi TPP 0.7 mg/ml. Selain itu, Wu et al. (2005) juga berhasil membuat nanopartikel kitosan berukuran 20 80 nm dengan menggunakan konsentrasi kitosan 1.44 mg/ml dan konsentrasi TPP 0.6 mg/ml. Oleh karenanya, pemilihan komposisi material yang sesuai merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembuatan nanopartikel.
Metode pembuatan nanopartikel merupakan faktor lain yang menentukan selain komposisi material. Banyak metode dikembangkan untuk menghasilkan nanopartikel dengan ukuran kecil dan morfologi yang seragam. Wu et al. (2005) dan Xu (2003) berhasil membuat nanopartikel kitosan menggunakan metode pengadukan magnetik pada suhu kamar. Akan tetapi, penentuan ukuran partikel yang terbentuk dilakukan dengan metode berbeda, yaitu dengan dynamic light scattering (DLS) pada penelitian Wu et al. (2005) dan dengan transmission electron microscope (TEM) pada penelitian Xu (2003). Selain itu, Kim et al. (2006) berhasil membuat nanopartikel kitosan berukuran 50 200 nm menggunakan metode ultrasonikasi, dilanjutkan dengan metode pengering beku (freeze dry), dan analisis TEM. Sampai saat ini penelitian nanopartikel kitosan terus dikembangkan, baik dalam penentuan komposisi maupun pencarian metode yang sesuai. Qi et al. (2005) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh nanopartikel kitosan pada perkembangbiakan sel carcinoma tipe MGC803 pada lambung manusia secara in vitro. Hasilnya, nanopartikel kitosan yang berukuran 65 nm secara nyata menghambat perkembangbiakan sel MGC803 dengan nilai IC 50 5,3 µg/ml setelah 48 jam perlakuan. Selain itu, Kim et al. (2006) melaporkan penelitiannya tentang pembuatan dan karakterisasi retinol tersalut nanopartikel kitosan, yang telah digunakan dalam bidang kosmetika dan farmasi. Hasilnya, retinol tersalut nanopartikel kitosan memiliki ukuran partikel sekitar 50 200 nm dan retinol efektif tersalut di dalam kitosan. Berbagai penelitian tentang modifikasi nanopartikel kitosan pun saat ini telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Diebold et al. (2007) yang membuat kompleks antara liposom (gelembung lemak) dengan nanopartikel kitosan untuk melihat kemampuan nanopartikel kitosan sebagai pembawa obat. Hasilnya, kompleks tersebut berpotensi sebagai pembawa obat (drug carrier) untuk permukaan lensa mata. Selain itu, Sarmento et al. (2007) melaporkan bahwa nanopartikel tersalut kitosan-alginat yang berisi hormon insulin secara in vivo menurunkan tingkat glukosa streptozotosin pada dosis 50 dan 100 IU/kg sampai 59 dan 55% dari tingkat dasarnya. Selain itu, nanopartikel kitosan tersalut alginat lebih stabil dan pelepasannya terkontrol untuk pengiriman
vaksin yang dilakukan secara in vivo dibandingkan tanpa tersalut alginat (Borges et al. 2006). Penelitian nanopartikel kitosan termodifikasi umumnya menggunakan senyawa pengikat silang dan surfaktan. Zat pengikat silang yang sering digunakan adalah glutaraldehida, sedangkan surfaktan yang banyak dipakai adalah surfaktan nonionik (Tween 80 dan Span 80). Selain itu, ada senyawa yang bisa berfungsi sebagai pengikat silang sekaligus sebagai surfaktan, yaitu asam oleat. Untuk bidang farmasi sebagai sistem pengantaran obat (drug delivery system), penggunaan zat pengikat silang dan surfaktan melalui penambahan zat kimia memiliki kelemahan, yaitu toksisitas dari zat kimia yang digunakan (Tarirai 2005). Oleh karena itu, sistem pengantaran obat harus dibuat dari material yang memiliki tingkat toksisitas minimum. Tarirai (2005) telah melakukan penelitian tentang pembuatan gel kitosan sebagai pembawa obat ibuprofen dengan menggunakan senyawa pengikat silang tripolifosfat dan senyawa surfaktan yang sekaligus berfungsi sebagai pengikat silang, yaitu asam oleat, sodium lauril sulfat (SLS), dan Tween 80. Hasilnya, Tween 80 memiliki kemampuan mengikat silang yang relatif rendah pada kisaran konsentrasi 0,1 15% (v/v). Hal ini disebabkan Tween 80 bersifat nonionik sehingga interaksi dengan polikationik kitosan sangat rendah. Pada konsentrasi 1 2,5% (b/v), SLS belum mampu membentuk ikatan silang antar polimer kitosan dan interaksinya menghasilkan hidrogel yang di dalamnya terdapat struktur seperti butiran. Penggunaan glutaraldehida sebagai zat pengikat silang untuk sistem pengantaran obat umumnya banyak dihindari. Selain glutaraldehida bersifat toksik, ikatan silang glutaraldehida yang terjadi melalui reaksi pembentukan basa Schiff antara gugus aldehida-ujung pada glutaraldehida dengan gugus amino pada kitosan membentuk imina akan menghasilkan ikatan kimia yang kuat antar polimer kitosan. Untuk nanopartikel kitosan sebagai sistem pengantaran obat, hal ini harus dihindari karena dapat mengakibatkan sulitnya proses pelepasan obat dari dalam nanopartikel. Umumnya, pembentukan ikatan silang ionik antara polikationik kitosan dengan senyawa polianion akan lebih disukai dibandingkan dengan pembentukan ikatan kimia yang kuat antar polimer kitosan.
Pembentukan ikatan silang ionik salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa tripolifosfat. Tripolifosfat dianggap sebagai zat pengikat silang yang paling baik. Shu dan Zhu (2002) melaporkan bahwa penggunaan tripolifosfat untuk pembentukan gel kitosan dapat meningkatkan kekuatan mekanik dari gel yang terbentuk. Hal ini karena tripolifosfat memiliki rapatan muatan negatif yang tinggi sehingga interaksi dengan polikationik kitosan akan lebih besar. Oleh karena itu, penelitian ini membuat nanopartikel kitosan yang terikat silang secara ionik dengan menggunakan zat pengikat silang polianion tripolifosfat. Penggunaan surfaktan nonionik Tween 80 dan Span 80 dalam proses pembuatan mikrosfer kitosan untuk sistem pengantaran hemoglobin ke dalam tubuh telah dilaporkan oleh Silva et al. (2006). Hasilnya, kedua surfaktan tersebut dapat menurunkan diameter rata-rata mikrosfer kitosan, yaitu dari 132,6 µm menjadi 24,9 µm untuk Span 80, dan dari 198 µm menjadi 181,3 µm untuk Tween 80. Selain itu, surfaktan Span 80 juga dapat menurunkan efisiensi enkapsulasi dari 91.2% menjadi 90.9%. Berdasarkan penelitian Silva et al. (2006) inilah diketahui bahwa penambahan surfaktan dapat memperkecil ukuran partikel kitosan. Oleh karena itu, penggunaan surfaktan lainnya menjadi perhatian penting dalam perkembangan berbagai penelitian yang berhubungan dengan sistem pengantaran obat ke dalam tubuh. Pembuatan nanopartikel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan komponen tripolifosfat, sebagai pengikat silang dan asam oleat, sebagai surfaktan. Hal ini dilakukan karena untuk menghindari sifat toksik dari glutaraldehida yang selama ini banyak digunakan. Selain itu, penggunaan asam oleat yang stabil dalam kondisi asam sebagai surfaktan sampai saat ini belum banyak diteliti dan diharapkan asam oleat ini dapat berperan dalam sistem penghantaran obat ke dalam tubuh.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan membuat nanopartikel kitosan dengan metode ultrasonikasi dan sentrifugasi melalui variasi konsentrasi kitosan, TPP, dan surfaktan, serta menentukan karakterisasi nanopartikel yang meliputi morfologi, efisiensi penyalutan ketoprofen, dan ukuran nanopartikel. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Metode sonikasi dan sentrifugasi dapat digunakan untuk membuat nanopartikel kitosan yang menyalut ketoprofen dengan efisiensi di atas 50%. 2. Efisiensi penyalutan ketoprofen dalam nanopartikel kitosan dipengaruhi oleh komposisi nanopartikel yang mencakup jumlah kitosan, TPP, dan surfaktan yang digunakan.