V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang

IV. BAHAN DAN METODE

PERBANDINGAN PROSPEK PENGEMBANGAN KEGIATAN PERBURUAN RUSA DI KEBUN BURU PERUM PERHUTANI (BKPH JONGGOL) DAN TAMAN WISATA ALAM PANANJUNG PANGANDARAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1.Populasi Minimum Lestari Pengertian

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kuliah ke-2. R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

IV. METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN

PENDUGAAN POPULASI RUSA TOTOL ( Axis axis ) DI ISTANA BOGOR DENGAN METODE CONTENTRATION COUNT. Oleh :

I. PENDAWLUAN. A. Latar Belakang

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

MANAJEMEN PEMELIHARAAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

IV. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Satwa dalam mencari makan tidak selalu memilih sumberdaya yang

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

AD1. FAKTOR IKLIM 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3. FAKTOR SPESIES 4. FAKTOR MANAJEMEN/PENGELOLAAN 1. RADIASI SINAR MATAHARI

Vegetasi Alami. vegetasi alami adalah vegetasi atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami tanpa adanya pembudidayaan.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

KESINPULAN DAN SARAN. ponen habitat utama yang terdiri dari daerah. hutan, daerah terbuka bertumbuhan rumput, sumber air

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Faktor-faktor yang Mempengaruhi lingkungan Usaha Peternakan. Faktor Lingkungan Makro. Faktor Lingkungan Mikro

II. TINJAUAN PUSTAKA. ayam yang umumnya dikenal dikalangan peternak, yaitu ayam tipe ringan

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung

Ekologi Padang Alang-alang

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas 2.2 Kondisi Fisik Geologi dan Tanah

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman okra adalah sebagai berikut: Tanaman okra merupakan tanaman terna tahunan dengan batang yang tegak.

PEMBAHASAN. Tipe Pangkasan

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi kebutuhan manusia. Untuk meningkatkan produktivitas ternak

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

Metode Pembelajaran. Bobot Nilai (%) 1, Mampu menjelaskan dengan benar tentang definisi, ruang lingkup, tujuan serta manfaat

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik flora

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

Ditulis oleh Mukarom Salasa Jumat, 03 September :04 - Update Terakhir Sabtu, 18 September :09

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses mempengaruhi peserta didik agar dapat. menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap lingkungannya serta

Mata pelajaran : Ilmu Pengetahuan Sosial Paket : A Kelas : VIII Waktu : 60 Menit

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Pesawaran merupakan kabupaten baru yang dibentuk berdasarkan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

Transkripsi:

41 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran tahun 2011 adalah 68 ekor. Angka tersebut merupakan ukuran populasi tertinggi dari 6 kali pengulangan sensus yang dilakukan. Pengukuran populasi rusa di TWA dan CA Pananjung Pangandaran juga pernah dilakukan dalam penelitian-penelitian sebelumnya, yakni dari tahun 2004 hingga tahun 2009 (Kangiras 2009). Ukuran Populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 tercatat sebanyak 141 ekor dan dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun populasi sudah berkurang lebih dari 50%. Beberapa penyebab menurunnya populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran akan di bahas pada sub bab peluang hidup. Ukuran populasi TN Alas Purwo didapatkan dari hasil penelitian yang telah dipublikasi yaitu berdasarkan penelitian Santosa (2008). Pendugaan populasi rusa timor di TN Alas Purwo dilakukan dengan teknik sampling. TN. Alas Purwo tidak memiliki data time series. Adapun data populasi rusa timor di TN Alas Purwo pada tahun 2004 dan 2005 hanya pada salah satu daerah yang ada di Taman Nasional tersebut. Rekapitulasi ukuran populasi di kedua lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.1 berikut ini. Tabel. 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor Tahun TWA dan CA Pananjung Pangandaran (530 ha) TN. Alas Purwo (40786 ha) 2004 141** - 2005 124** - 2006 118** 7992*** 2007 102** - 2008 73** - 2009 73** - 2010 - - 2011 68* - Sumber: * Data Primer 2011, ** Kangiras 2009, *** Santosa 2008.

42 5.2. Struktur Umur dan Sex Rasio Stuktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi (Alikodra 1990). struktur umur suatu populasi dapat digunakan untuk menilai prospek kelestarian populasi satwa tersebut. Menurut Van Lavieren (1982) dalam Alikodra (1990) terdapat 4 jenis struktur umur populasi, yaitu struktur umur seimbang, struktur umur dalam keadaan populasi yang mundur, struktur umur dalam keadaan populasi berkembang dan struktur umur dalam keadaan populasi yang mengalami gangguan. Jumlah individu dalam setiap kelas umur dan jenis kelamin di ketiga lokasi penelitian tersaji pada Tabel berukut ini: Tabel 5.2. Struktur Umur dan Sex Rasio Rusa Timor TWA dan CA Pananjung Kelas TN. Alas Purwo (2006) Pangandaran (2011) Umur Jantan Betina Total Jantan Betina Total Anak 5 11 16 292 1112 1404 Remaja 7 14 21 369 1401 1770 Dewasa 14 17 31 1853 2965 4818 Total 26 42 68 2514 5478 7992 Penggolongan individu dalam populasi kedalam kelas umur tidaklah mudah. Pada rusa timor, penentuan kelas umur secara akurat dapat dilakukan dengan memeriksa susunan geligi. Sedangkan pendugaan umur melalui pertumbuhan rangga hanya akurat pada rusa dibawah umur 2 tahun (Semiadi 2006). Pada penelitian ini penentuan umur rusa dilihat dari morfologinya, yakni ukuran tubuh. Penggolongan kelas umur hanya dibagi menjadi tiga kelas yaitu anak, remaja dan dewasa. Pada struktur umur yang menyusun populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran jumlah individu terbanyak adalah pada kelas umur dewasa, lalu kelas umur remaja dan yang paling sedikit adalah pada kelas umur anak. Apabila dibuat piramida struktur umur, kondisi ini akan membentuk piramida terbalik dimana populasi akan mengalami kemunduran. Tetapi karena setiap kelas umur memiliki selang umur berbeda maka struktur umur yang sebenarnya adalah jumlah individu pada kelas umur tersebut dibagi dengan selang

43 umurnya. Setelah dibagi dengan selang umurnya struktur umur populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran adalah seperti tersaji pada Gambar 5.1. Gambar 5.1 Struktur Umur rusa timor TWA dan CA Pananjung Pangandaran Piramida struktur umur tersebut menunjukan keadaan populasi yang berkembang. Dimana jumlah individu anak lebih banyak dibandingkan dengan jumlah individu pada kelas umur di atasnya. Piramida tersebut juga menunjukan sex rasio antara jantan dan betina pada setiap kelas umur. Sex rasio kelas umur remaja dan dewasa didapatkan dari pengamatan langsung dilapangan. Sedangkan sex rasio anak didapatkan dari sex rasio pada kelas umur diatasnya yaitu remaja, karena sangat sulit untuk membedakan anak jantan dan betina di lapangan. Sex rasio jantan remaja dan betina remaja di TWA dan CA Pananjung Pangandaran adalah 1: 2 sedangkan sex rasio jantan dewasa dan betina dewasa adalah 1:1,2. secara general kondisi sex rasio pada populasi tersebut tergolong normal dimana jumlah betina lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jantan. Namun menurut Garsetiasih (2007), satu ekor rusa jantan bisa mengawini 4 ekor rusa betina. Oleh karena itu agar kondisi populasi lebih seimbang, perlu adanya penambahan populasi rusa betina atau pengurangan populasi rusa jantan di TWA dan CA Pananjung Pangandaran.

44 Gambar 5.2. Struktur Umur Rusa Timor di TN Alas Purwo Piramida struktur umur di TN Alas Purwo juga menunjukan keadaan populasi yang berkembang. Kelas umur anak dan remaja memiliki jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan dengan kelas umur di atasnya. Kecuali pada kelas umur jantan remaja. Kelas umur remaja jantan mengalami gangguan populasi. sehingga ukuran populasinya lebih sedikit dibandingkan dengan kelas umur jantan dewasa. Pada kelompok satwa dengan sistem perkawinan mengumpulkan harem seperti rusa timor ini, ukuran tubuh dan kekuatan merupakan faktor yang menentukan dalam hal interaksi jantan dengan jantan (Semiadi 2006), sehingga kemungkinan rusa jantan remaja lebih sering kalah bersaing dengan rusa jantan dewasa dalam mendapatkan sumber daya termasuk pakan dan harem. Hal tersebutlah yang mengakibatkan gangguan pada populasi rusa jantan remaja. Sex rasio jantan dan betina pada populasi rusa timor di TN Alas Purwo juga tergolong normal dimana jantan lebih banyak dari betina dengan perbandingan 1:4 pada kelas umur remaja dan 1:2 pada kelas umur dewasa. Penurunan sex rasio jantan dan betina dewasa di kedua lokasi penelitian juga terjadi pada populasi rusa timor di Pulau Peucang (Tim Fakultas kehutanan IPB 1977 dalam Mukhtar 1996). Hal ini menimbulkan dugaan bahwa rusa betina memiliki umur yang lebih pendek dibandingkan dengan rusa jantan, sehingga angka kematian di kelas umur dewasa meningkat dan sex rasio menjadi berkurang.

45 5.3 Peluang Hidup Peluang hidup merupakan kemampuan individu kelas umur tertentu untuk hidup pada kelas umur diatasnya. Dalam kajian ekologi peluang hidup biasa di sebut survivorship. Setiap makhluk hidup memiliki tipe kurva survivorship yang berbeda-beda. Secara umum tipe survivorship dibedakan menjadi 3 tipe seperti tergambar pada kurva survivorship berikut ini: Peluang Hidup Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Umur Gambar 5.3. Kurva survivorship (Caughley, 1977) Kurva tipe 1 merupakan gambaran populasi yang setelah kelahiran tidak mengalami penurunan, akan tetapi menjelang periode umur tertentu mengalami penurunan yang drastis. Bebrapa populasi vertebrata besar dan manusia termasuk kedalam kurva tipe 1 (Alikodra 1990). Kurva tipe 2 menggambarkan angka kematian yang relatif tetap untuk setiap kelas umur dari suatu populasi, kurva tersebut membentuk garis diagonal. Kurva tipe ini merupakan ciri dari kurva survivorship pada binatang pengerat, beberapa jenis burung dan populasi invertebrata (Anderson 1985 dalam Alikodra 1990). Kurva tipe 3 menyatakan suatu keadaan laju kematian sangat tinggi pada awal hidupnya, seperti yang terjadi pada ikan, kemudian berangsur-angsur menurun sampai tahap akhir dari satu periode hidup. Berdasarkan penghitungan peluang hidup rusa timor di lokasi penelitian dapat disimpulkan bahwa tipe kurva survivorship untuk rusa adalah tipe 1. Gambar 5.4 menunjukan grafik

46 peluang hidup rusa timor di kedua lokasi penelitian. Keduanya mendekati bentuk kurva tipe1. Walaupun ada kematian di awal kelahiran (pada kelas umur anak) namun cenderung bertahan sampai kelas umur dewasa hingga akhirnya menurun drastis. Gambar 5.4. Grafik Peluang hidup Rusa Timor Peluang hidup pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.4. pada populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran peluang hidup dari kelas umur anak ke remaja sangat kecil yaitu 0,375 dan meningkat pada saat kelas umur remaja ke dewasa yakni 0,5. ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kecilnya peluang hidup dan besarnya angka kematian pada kelas umur anak di TWA dan CA Pananjung Pangandaran. Yakni adanya predator yaitu anjing liar yang sering mengejar dan memangsa anak rusa dan kematian yang disebabkan terjerat jaring nelayan. Hal ini disebabkan oleh penyimpangan kebiasaan rusa timor yang sering keluar kawasan sehingga anak-anak rusa dapat bertemu dengan anjing-anjing penduduk dan juga dapat terjerat jaring nelayan yang sedang tergantung untuk dikeringkan. Peluang hidup pada kelas umur remaja ke dewasa lebih besar dibandingkan dengan peluang hidup kelas umur anak ke remaja, karena individu-individu remaja sudah mempunyai tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi dari serangan predator dalam hal ini adalah anjing liar. Penyimpangan perilaku rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran secara tidak langsung mengurangi kemampuan rusa-rusa tersebut untuk mencari pakan alami karena ketergantungan dengan sampah dan sisa makanan pemberian

47 manusia. Selain itu juga sifat anti predator rusa rusa tersebut juga berkurang. Gambar berikut ini merupakan salah satu contoh ketergantungan rusa timor terhadap manusia. Gambar 5.5. Penyimpangan Perilaku Makan Rusa Peluang hidup rusa timor di TN Alas Purwo jauh lebih besar dibandingkan dengan peluang hidup di TWA dan CA Pananjung Pangandaran, hal ini terjadi karena kondisi populasi rusa timor di TN Alas Purwo tidak banyak berinteraksi dengan manusia sehingga perilakunya masih alami, termasuk perilaku anti predator sehingga rusa timor di TN Alas Purwo lebih dapat mempertahankan hidupnya. Berkebalikan dengan kondisi di TWA dan CA Pananjung Pangandaran, tingginya peluang hidup pada kelas umur anak ke remaja disebabkan karena dalam satu kelompok anak berada dalam pengawasan induknya, berbeda dengan kelas umur remaja yang cenderung memisahkan diri dari kelompok dan membentuk kelompok sosial baru, sehingga anak lebih terhindar dari predator (Santosa 2008). Tabel 5.3. Peluang Hidup Rusa Timor TWA dan CA TN. Alas Purwo Pananjung Pangandaran Anak ke Remaja 0,375 0,84 Remaja ke Dewasa 0,5 0,68

48 5.4.Fekunditas Fekunditas atau keperidian merupakan kemampuan betina untuk melahirkan anak dalam satu periode kelahiran. Fekunditas pada mamalia besar biasanya dihitung untuk jangka waktu satu tahun (Alikodra 1990). Dalam penelitian ini fekunditas dihitung dengan cara membagi jumlah individu anak dengan jumlah individu betina produktif. Umur betina produktif yang digunakan yaitu umur 1,5-12 tahun (Garsetiasih 2007). Karena kesulitan dilapangan untuk membedakan anak dari induk kelas umur muda atau dewasa, dalam penelitian ini fekunditas dihitung secara general. Fekunditas rusa timor di kedua lokasi penelitian tersaji pada Tabel berikut ini: Tabel 5.4. Fekunditas Rusa Timor di Lokasi Penelitian Pananjung Alas purwo Pangandaran Muda 0,6 0,45 Dewasa 0,6 0,45 Dalam ekologi terdapat istilah potential fecundity dan realized fecundity (Krebs 1994). Dimana potential fecundity merupakan kemampuan suatu betina untuk menghasilkan anak dalam satu periode kelahiran secara teori, sedangkan realized fecundity merupakan kemampuan suatu betina untuk menghasilkan anak dalam satu periode kelahiran pada kehidupan nyata. Rusa timor memiliki potential fecundity satu ekor anak setiap periode kelahiran (Kangiras 2009, Garsetiasih 2007). Berdasarkan hasil penelitian ini fekunditas rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran dan TN Alas Purwo memiliki nilai dibawah potential fecundity. Nilai fekunditas tersebut merupakan realized fecundity untuk rusa timor di masing-masing lokasi penelitian. Angka realized fecundity tersebut menunjukan bahwa dalam satu tahun rusa dapat melahirkan satu ekor anak namun kecil kemungkinan untuk melahirkan lagi di tahun berikutnya, karena setelah melahirkan rusa betina dewasa memerlukan waktu untuk merawat anaknya sebelum mengandung anak berikutnya. Masa kebuntingan rusa timor adalah 252 hari atau 8,4 bulan

49 dengan interval kelahiran 271-372 hari. Setelah melahirkan rusa betina akan menyusui anaknya selama 4 bulan. 5.5. Produktivitas Pakan dan Daya Dukung Berdasarkan penghitungan produktivitas pakan rusa yang dilakukan, keenam padang rumput yang berada di TWA dan CA Pananjung Pangandaran menghasilkan rumput sebanyak 308.345,5 kg pertahunnya. Angka produktivitas tersebut merupakan akumulasi dari produktivitas rumput musim hujan dan musim kemarau. Penelitian dilakukan pada saat musim kemarau. Data produktivitas pada musim hujan didapatkan dari penggandaan angka produktivitas pada musim kemarau, karena produktivitas pada musim hujan adalah dua kali lipat dari produktivitas pakan di musim kemarau (Susetyo 1980). Tidak semua area dari masing-masing padang rumput digunakan atau dimanfaatkan sebagai sumber pakan oleh rusa timor. Susetyo (1980) membagi proper use menjadi tiga yakni, proper use untuk lapangan datar dan bergelombang dengan kemiringan 0%-11% adalah 60%-70%, pada lapangan bergelombang dan berbukit dengan kemiringan 11%- 51% adalah 40%-45% dan pada lapangan berbukit sampai curam dengan kemiringan lebih dari 51% adalah 25%-30%. Padang Penggembalaan Cikamal, Nanggorak dan Badeto memiliki kelerengan 11%-51 % sehingga nilai proper use yang digunakan adalah 40%-45%. Sedangkan padang rumput di kawasan TWA memiliki kelerengan yang cukup datar sehingga nilai proper use yang digunakan adalah 60%-70%. Produktivitas pakan rusa di TWA dan CA Pananjung Pangandaran yang tersaji pada Tabel 5.5. Dari Keenam padang rumput di atas, tiga diantaranya sudah terinvasi oleh tumbuhan semak. Padang penggembalaan Badeto dan Nanggorak sudah tidak pernah digunakan lagi oleh rusa untuk merumput. Sedangkan padang rumput terbesar di kawasan cagar alam yaitu Cikamal sekitar 40% nya sudah tertutupi oleh tumbuhan semak. Tumbuhan semak

50 yang memenuhi padang-padang rumput tersebut diantaranya adalah kirinyuh (Eupatorium odoratum), harendong (Melastoma malabatrikum) dan sembung (Blumea balsamifera). Penghitungan tutupan semak dilakukan dengan meretifikasi citra yang didapatkan dari Google Earth, dengan menggunakan software ArcGis 9,3. Kumpulan- kumpulan semak dicari titik koordinatnya lalu dihitung luasannya. Tabel 5.5. Produktivitas Pakan Rusa di TWA dan CA Pananjung Pangandaran Lokasi Produktivitas Pakan Musim Hujan (kg/musim) Produktivitas Pakan Musim Kemarau (kg/musim) Total (kg/tahun) Rengganis 2.610,7 1.305,4 3.916,1 Ciborok 1.389,6 694,8 2.084,4 Cikamal 176.995,0 88.497,5 265.492,5 Info Center 1.427,8 713,9 2.141,7 Badeto 7.256,3 3.628,1 10.884,4 Nanggorak 20.182,5 10.091,3 30.273,8 Total 314.792,3 Produktivitas pakan di TN Alas Purwo didapatkan dari hasil penelitian Santosa (2008) yakni 62.667.025 kg/tahun. Produktivitas di TN Alas Purwo secara keseluruhan paling tinggi dibandingkan dengan TWA dan CA Pananjung Pangandaran. Namun apabila dibagi dengan luasan padang penggembalaan yang tedapat di kedua lokasi produktivitas pakan di TWA dan CA Pananjung Pangandaran jauh lebih besar dibandingkan dengan TN Alas Purwo. Padang Penggembalaan di TWA dan CA Pananjung Pangandaran menghasilkan 7.620,05 kg rumput/ha/tahun. Sedangkan TN Alas Purwo hanya menghasilkan 1.536,48 kg rumput/ha/tahun. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang berbeda di kedua lokasi penelitian.

51 a b Gambar 5.6. Invasi semak di Padang Penggembalaan Badeto (a) dan Nanggorak (b) dan Cikamal (c). Daya Dukung c Secara umum daya dukung adalah jumlah satwa liar yang dapat di tampung oleh suatu habitat atau jumlah satwa liar yang terdapat pada suatu habitat yang dapat mendukung kesehatan dan kesejahteraannya (Dasmann 1664, Moen 1973, Boughey 1973 dalam Alikodra 1990). Secara khusus daya tampung padang rumput atau penggembalaan adalah jumlah satwa yang dapat ditampung oleh suatu luasan padang rumput tanpa melebihi kapasitas dan tanpa merusak pertumbuhan kembali rumput dan kondisi tanah pada padang penggembalaan tersebut (Harlan 1956). Dari hasil produktivitas pakan rusa di kedua lokasi penelitian maka didapatkan daya dukung pada tiap lokasi dengan cara membaginya dengan kebutuhan pakan rusa selama satu tahun. Hasil penghitungan daya dukung ini masih jauh diatas populasi rusa yang ada pada masing-masing lokasi penelitian. TWA/ CA Pananjung Pangandaran hanya memiliki 68 ekor rusa dengan daya dukung (128 ekor/tahun dan TN Alas Purwo 7992 ekor dengan daya dukung 38.844

52 ekor/tahun. Berdasarkan data tersebut, daya dukung bukanlah faktor penghambat pertumbuhan populasi. Sesuai dengan produktivitas pakannya, daya dukung TN Alas Purwo lebih kecil dibandingkan dengan daya dukung TWA dan CA Pananjung Pangandaran apabila dibagi luasan masing- masing lokasi penelitian. Satu hektar di TWA dan CA Pananjung Pangandaran mampu menampung 3 ekor rusa sedangkan di TN Alas purwo hanya 1 ekor saja. 5.6. Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan Iklim mikro seperti suhu udara, kelembaban dan curah hujan secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan satwa liar termasuk reproduksinya. Pada herbivora, suhu, kelembaban dan curah hujan lebih banyak berpengaruh terhadap produktivitas pakan nya yang berupa tumbuhan. Ketersediaan pakan yang dipengaruhi oleh iklim mikro tersebutlah yang menyebabkan adanya musim kawin pada satwa (Lincoln 1985). Data mengenai suhu udara, kelembaban udara, dan curah hujan di masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.8 berikut ini: Tabel 5.8. Suhu Udara, Kelembaban udara dan curah hujan Lokasi Penelitian Faktor Pananjung Alas purwo Lingkungan Pangandaran Suhu 27,5 C 28 C Kelembaban 85% 78% Curah Hujan 3196 mm/thn 1631mm/thn Suhu udara di kedua lokasi penelitian tidak jauh berbeda. Suhu yang tinggi berpengaruh terhadap percepatan metabolisme tanaman, selain itu suhu yang tinggi juga berpengaruh terhadap tanah. Pada suhu yang tinggi pelapukan tanah mineral dan dekomposisi bahan organik tanah akan tinggi (Sumarsono 2009). Dalam pertumbuhan rumput, pada lokasi dengan temperatur yang lebih tinggi produktivitas rumput lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas di lokasi yang temperatur nya lebih

53 rendah. Pertumbuhan rumput memiliki suhu optimum yaitu 20-25 C (Hopkins 2000). Selain suhu udara, produktivitas rumput juga dipengaruhi oleh cahaya dalam membantu proses fotosintesis, air dan nutrisi tanah (Hopkins 2000) Air sangat penting dalam pertumbuhan rumput. Air berfungsi sebagai pelarut dan media pengangkutan unsur- unsur nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan, air juga memberikan turgor bagi sel yang penting untuk bembelahan sel dan perbesaran sel. Curah hujan yang tinggi di TWA dan CA Pananjung Pangandaran memberikan asupan air yang cukup bagi pertumbuhan rumput sehingga produktivitas rumput dipangandaran lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas rumput di TN Alas Purwo yang memiliki curah hujan yang lebih rendah. Pengaruh air terhadap pertumbuhan, produksi dan kualitas rumput juga pernah dikaji oleh Dewi (1998). Dari hasil penelitiannya tanaman yang digenangi air pertambahan tinggi, jumlah anakan, dan produksi bahan keringnya lebih tinggi dibangding dengan tanaman yang tidak digenangi oleh air. Tetapi kandungan protein nya lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang tidak digenangi air. 5.7. Ukuran Populasi Minimum Lestari Berdasarkan hasil penghitungan populasi minimum lestari dengan persamaan aljabar linear didapatkan ukuran populasi minimum lestari di kedua lokasi penelitian seperti pada Tabel 5.9. Tabel 5.9. Ukuran populasi minimum lestari Lokasi Anak Muda Dewasa Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Total TWA dan CA Pangandaran 11 21 16 31 8 10 97 TN. Alas Purwo 1.121 4.484 298 1.190 1.091 2.183 10.367

54 Ukuran populasi minimum lestari rusa timor di kedua lokasi penelitian menunjukan ukuran yang berbeda. Ukuran populasi minimum lestari bervariasi pada setiap spesies dan pada setiap populasi, tergantung pada parameter demografi, lingkungan dan faktor genetik (Shaffer 1981). Ukuran populasi minimum lestari pada gajah Asia yang dihitung oleh Sukumar (1993) dengan menggunakan perangkat lunak Vortex menunjukan ukuran populasi yang berbeda pada dua populasi yang memiliki laju pertumbuhan populasi yang berbeda. 25-30 ekor untuk populasi gajah Asia dengan laju pertumbuhan 0,02 (2% pertahun) dan 65-80 ekor untuk populasi dengan laju pertumbuhan yang lebih lambat yakni 0,005 (0,5% pertahun). Hardcourt (2002) menyatakan bahwa ukuran populasi minimum lestari pada primata juga bervariasi sesuai dengan luas wilayah. 5.8 Ukuran Populasi Optimum Lestari Proyeksi matriks Leslie terpaut kepadatan menghasilkan ukuran ukuran populasi pada tahun-tahun mendatang. Populasi yang diproyeksikan pada penelitian ini adalah 110 tahun untuk TWA dan CA Pananjung Pangandaran dan 100 Tahun untuk TN Alas Purwo. Dari hasil proyeksi tersebut didapatkan selisih populasi pada tiap tahunnya. Selisih populasi tersebut di Gambarkan dalam grafik 5.8 dan 5.9. Individu 25 20 15 10 5 0 nt Rusa Timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran 2011 2016 2021 2026 2031 2036 2041 2046 2051 2056 2061 2066 2071 2076 2081 2086 2091 2096 2101 2106 Tahun ke nt Gambar 5.8. Grafik selisih populasi rusa timor per tahun di TWA dan CA Pananjung Pangandaran.

55 ukuran populasi 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 nt Rusa Timor TN Alas Purwo 2006 2012 2018 2024 2030 2036 2042 2048 2054 2060 2066 2072 2078 2084 2090 2096 2102 tahun nt Gambar 5.9. Grafik selisih populasi rusa timor per tahun di TN Alas Purwo Berdasarkan hasil Gambaran selisih populasi pertahun didapatkan jumlah produksi terbesar yaitu titik puncak pada grafik. Populasi optimum lestari di TWA dan CA Pananjung Pangandaran tercapai pada N(37) yaitu pada tahun 2047. Sedangkan di TN Alas Purwo ukuran populasi optimum lestari tercapai pada N (13) yaitu pada tahun 2018. Pada tahun tersebut laju pertumbuhan populasi mencapai angka maksimal sehingga menghasilkan jumlah individu terbanyak sebelum laju pertumbuhan menurun lagi akibat adanya batasan kepadatan di tahun berikutnya. Pada tahun 2047 tersebut ukuran populasi rusa di TWA dan CA Pananjung Pangandaran mencapai 751 ekor dengan jumlah anak betina 153 ekor, anak jantan 77 ekor, betina remaja 186 ekor, jantan remaja 93 ekor, Betina dewasa 132 ekor dan jantan dewasa 110 ekor. Sedangkan ukuran populasi optimum lestari di TN Alas Purwo adalah 21.682 ekor dengan jumlah individu anak betina 6.386 ekor, anak jantan 1.597 ekor betina remaja 5.277 ekor, 1.319 ekor jantan remaja, 4.735 ekor betina dewasa, dan 2.367 ekor jantan dewasa. 5.9 Pertumbuhan Populasi Berdasarkan Proyeksi Matriks Leslie Terpaut Kepadatan Berdasarkan hasil penghitungan ukuran populasi minimum dan optimum lestari di kedua lokasi penelitian tidak ada lokasi yang memiliki ukuran

56 populasi melebihi ukuran populasi minimum lestari dan ukuran populasi optimum lestarinya. Untuk itu dapat diprediksi waktu pencapaiannya dengan memproyeksikan populasi berdasarkan matrik Leslie terpaut kepadatan pada masing-masing lokasi penelitian. Hasil proyeksi matriks Leslie terpaut kepadatan di kedua lokasi penelitian disajikan dalam grafik pertumbuhan populasi (Gambar 5.10 dan 5.11) Jumlah Individu 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 2011 Pertumbuhan Populasi Rusa Timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran 2018 2025 2032 2039 2046 2053 2060 2067 2074 2081 2088 2095 2102 2109 2116 anak Muda Dewasa Gambar 5.10. Pertumbuhan populasi Rusa Timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran. ukuran populasi 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 Pertumbuhan Populasi Rusa Timor di TN Alas Purwo 2006 2012 2018 2024 2030 2036 2042 2048 2054 2060 2066 2072 2078 2084 2090 2096 2102 tahun Anak Muda Dewasa Gambar 5.11. Pertumbuhan populasi Rusa Timor di TN Alas Purwo Berdasarkan kedua grafik tersebut, populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran akan mencapai ukuran populasi minimum Lestarinya

57 pada tahun 2020 yakni 9 tahun mendatang, sedangkan TN Alas Purwo sudah mencapai ukuran populasi minimum lestarinya pada tahun ke 5 yakni tahun 2010 yang lalu. Pencapaian ukuran populasi minimum lestari di TN Alas Purwo lebih cepat dibandingkan dengan di TWA dan CA Pananjung Pangandaran karena peluang hidup rusa timor di TN Alas Purwo lebih besar dibandingkan dengan di TWA dan CA Pananjung Pangandaran. hal ini sesuai dengan hasil penelitian Surya (2010) yang menyatakan bahwa peluang hidup lebih berpengaruh terhadap ukuran populasi minimum lestari dibandingkan dengan nilai fekunditas. Walaupun nilai fekunditas di TWA dan CA Pananjung Pangandaran lebih besar dari fekunditas di TN Alas Purwo, namun hal tersebut tidak terlalu berpengaruh karena dengan peluang hidup yang kecil berarti individu produktif yang dapat menghasilkan keturunan semakin berkurang.