BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Bandura self efficacy adalah kepercayaan individu pada kemampuannya untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Istilah procrastination berasal dari bahasa latin procrastinare dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah murid pada pendidikan tinggi dan memulai jenjang. kedewasaan (Daldiyono, 2009). Mahasiswa digolongkan pada tahap

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

2014 GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PROKRASTINASI AKAD EMIK D ALAM MENYELESAIKAN SKRIPSI PAD A MAHASISWA PSIKOLOGI UPI

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. warga negara yang domokratis serta bertanggung jawab. sumber daya manusia yang berkualitas.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah prokrastinasi berasal dari bahasa latin procrastinasi dengan awalan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Prokrastinasi Akademik.

BAB II LANDASAN TEORI. Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan seseorang

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta cakupan dan batasan masalah.

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Self-efficacy mengarah pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. di perguruan tinggi dengan jurusan tertentu. Mahasiswa diharapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. maju dan akhiran crastinus yang berarti keputusan hari esok. Jadi prokrastinasi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. juga merupakan calon intelektual atau cendikiawan muda dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang mengutamakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dyah Kusuma Ayu Pradini, 2014

BAB I PENDAHULUAN. karena pada dasarnya belajar merupakan bagian dari pendidikan. Selain itu

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kata, mahasiswa adalah seorang agen pembawa perubahan, menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. yang membedakan dengan makhluk lainnya. Kelebihan yang dimiliki manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang, pendidikan merupakan salah satu sarana utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. siswa. Menurut Sarwono (1978) mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah label yang diberikan kepada seseorang yang sedang menjalani

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah prokrastinasi berasal dari bahasa Latin procrastination dengan awalan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self-Efficacy. berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya mampu atau tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Solihah, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi kehidupan. Menurut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal (1) ayat 1,

BAB I PENDAHULUAN. perilaku prokrastinasi itu sendiri membawa dampak pro dan kontra terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menjalani peran sebagai penuntut ilmu, mahasiswa pada umumnya selalu

BAB I PENDAHULUAN. konseling konselor penddikan, dalam bidang industri HRD (Human Resources

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menggunakan waktu dengan efektif sehingga efisiensi waktu menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutlah ilmu setinggi bintang di langit, merupakan semboyan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat menjadi generasi-generasi yang tangguh, memiliki komitmen terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan akhiran crastinus yang berarti keputusan hari esok. Jika

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. informal (seperti pendidikan keluarga dan lingkungan) dan yang terakhir adalah

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan Indonesia bisa lebih tumbuh dan berkembang dengan baik disegala

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian lain dari social loafing adalah kecenderungan untuk mengurangi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

sendiri seperti mengikuti adanya sebuah kursus suatu lembaga atau kegiatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Universitas Bina Nusantara yang sedang mengerjakan skripsi. Penyebaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk membagi waktunya dengan baik dalam menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang dan karenanya kita dituntut untuk terus memanjukan diri agar bisa

BAB 2 TINJAUAN REFERENSI

kelas, yang bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi atau Universitas merupakan lembaga pendidikan tinggi di

BAB I PENDAHULUAN. Masa kini semakin banyak orang menyadari arti pentingnya pendidikan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. segala usia baik melalui pendidikan formal, non formal maupun informal.

SS S TS STS SS S TS STS

1.1 Latar Belakang. Hubungan Antara..., Bagus, Fakultas Psikologi 2016

BAB I PENDAHULUAN. yang berkualitas dan berkompeten di bidangnya masing-masing.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TEORI SELF-EFICACY

BAB I PENDAHULUAN. pada setiap individu tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau statusnya sebagai

BAB II LANDASAN TEORI. Konsep self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Self-efficacy

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. semua kebutuhan dalam kehidupannya. Tidak ada seorangpun yang. menginginkan hidup berkekurangan. Oleh karena itu, setiap individu

BAB V PEMBAHASAN. Bandura 1997 mengungkapkan bahwa self efficacy membuat individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan siswa sering melakukan prokrastinasi tugas-tugas akademik. Burka dan Yuen

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tugas. Terkadang manusia merasa semangat untuk melakukan sesuatu namun

BAB I PENDAHULUAN. sekolah tertentu. Siswa SMP dalam tahap perkembangannya digolongkan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi ini, pertumbuhan di bidang pendidikan kian

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi. dan negara. Contoh peran pendidikan yang nyata bagi perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Di tahun 2009 angka pengangguran terdidik telah mencapai

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya ( Oleh

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas tersebut diciptakan melalui pendidikan (

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Bab ini akan dibahas beberapa landasan teori sebagai dasar untuk melihat

BAB I PENDAHULUAN. hasil penelitian yang memenuhi syarat-syarat ilmiah dan digunakan sebagai

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB 1 PENDAHULUAN. Mahasiswa pada umumnya diakhir perkuliahan akan diwajibkan untuk mengerjakan

PENDAHULUAN. sehingga efisiensi waktu menjadi sangat penting. Mahasiswa sebagai subjek yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sehari-hari manusia. Nevid (2005) berpendapat bahwa kecemasan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Individualization) siswa dengan kelompok heterogen. Sedangkan, Sunal dan Hans

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Self Efficacy 1. Pengertian Self Efficacy Self efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu. Konsep self efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Self efficacy mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1986). Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan self efficacy sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi diri dalam melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi suatu masalah. Alwisol (2007) menyatakan bahwa self efficacy sebagai persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu, self efficacy berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Kreitner dan Kinicki (2005) berpendapat bahwa self efficacy adalah keyakinan yang dimiliki oleh seseorang akan peluang keberhasilan dalam mengerjakan sesuatu. Selain itu Pajares & Schunk (2001) juga mengatakan bahwa self efficacy sangat penting perannya dalam mempengaruhi usaha yang dilakukan, seberapa kuat usahanya dan memprediksi keberhasilan yang akan dicapai. 10

11 Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu dan evaluasi terhadap kemampuannya dalam mengatur, melaksanakan tindakan untuk mencapai suatu tujuan. 2. Dimensi Self efficacy Bandura (1997) membedakan sel fefficacy menjadi tiga dimensi, yaitu level, generality, dan strength. a. Dimensi Level Dimensi ini mengacu pada derajat kesulitan tugas yang dihadapi. Penerimaan dan keyakinan seeorang terhadap suatu tugas berbeda-beda. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas Persepsi terhadap tugas yang sulit dipengaruhi oleh kompetensi yang dimiliki individu. Ada yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin merasa tidak demikian. Keyakinan ini didasari oleh pemahamannya terhadap tugas tersebut. b. Dimensi Generality Dimensi ini mengacu sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas yang biasa dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam serangkaian tugas atau situasi sulit dan bervariasi.

12 c. Dimensi Strength Dimensi strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki ketika menghadapi tuntutan tugas atau permasalahan. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya. Self efficacy yang lemah dapat dengan mudah menyerah dengan pengalaman yang sulit ketika menghadapi sebuah tugas yang sulit. Sedangkan bila self efficacy tinggi maka individu akan memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas dan akan terus bertahan dalam usahannya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self efficacy Menurut Bandura (1997) ada beberapa faktor yang mempengaruhi self efficacy, antara lain: a. Jenis Kelamin Zimmerman (dalam Bandura, 1997) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan pada perkembangan kemampuan dan kompetensi lakilaki dan perempuan. Laki-laki berusaha untuk sangat membanggakan dirinya, perempuan sering kali menganggap remeh kemampuan mereka. Hal ini berasal dari pandangan orang tua terhadap anaknya. Semakin seorang wanita menerima perlakuan perbedaan gender ini, maka semakin cenderung rendah

13 penilaian mereka terhadap kemampuan dirinya. Pada bidang pekerjaan tertentu para pria memiliki self efficacy yang lebih tinggi dibanding dengan wanita, begitu juga sebaliknya wanita lebih cakap dalam beberapa pekerjaan dibandingkan dengan pria. b. Usia Individu yang usianya lebih tua tentunya memiliki rentang waktu dan pengalaman yang lebih banyak dalam menghadapi suatu hal yang terjadi di hidupnya bila dibandingkan dengan individu yang usianya lebih muda, yang mungkin masih memiliki sedikit pengalaman dalam kehidupan. Individu yang lebih tua cenderung akan lebih mampu dalam mengatasi rintangan dalam hidupnya dibandingkan dengan individu yang usianya lebih muda. c. Pendidikan Individu yang menjalani jenjang pendidikan yang lebih tinggi biasanya memiliki self efficacy yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tingkat pendidikannya rendah, karena pada dasarnya mereka lebih banyak belajar dan lebih banyak menerima pendidikan formal serta akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar dalam mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi dalam hidupnya. d. Pengalaman Self efficacy terbentuk sebagai suatu proses adaptasi dan pembelajaran individu dalam kehidupannya. Semakin banyak

14 pengalaman, maka semakin tinggi self efficacy yang dimiliki individu tersebut, akan tetapi tidak menutup kemungkinann bahwa self efficacy yang dimiliki oleh individu tersebut justru cenderung menurun atau tetap. Hal ini juga sangat tergantung kepada bagaimana individu menghadapai keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya. 4. Sumber-Sumber Self efficacy Menurut Bandura (1997) ada empat sumber penting yang digunakan individu dalam membentuk self efficacy, yaitu : a. Mastery experience Mastery experience adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa lalu. Pengalaman menyelesaikan masalah adalah sumber yang paling penting mempengaruhi self efficacy seseorang, karena mastery experience memberikan bukti yang paling akurat dari tindakan apa saja yang diambil untuk meraih suatu keberhasilan atau kesuksesan, dan keberhasilan tersebut dibangun dari kepercayaan yang kuat didalam keyakinan individu. Kegagalan akan menentukan self efficacy individu terutama bila perasaan keyakinannya belum terbentuk dengan baik. Jika individu hanya mengalami keberhasilan/ kesuksesan dengan mudah, individu akan cenderung mengharapkan hasil yang cepat dan mudah menjadi lemah karena kegagalan. Padahal beberapa kegagalan dan rintangan dalam usaha manusia mengajarkan bahwa

15 kesuksesan membutuhkan kerja keras. Setelah individu diyakinkan bahwa individu tersebut memiliki hal-hal yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan, individu akan berusaha untuk bangkit dan keluar dari kegagalan, karena self efficacy yang kuat membutuhkan pengalaman menghadapi rintangan melalui usaha yang tekun. b. Vicarious experience Pengalaman orang lain adalah pengalaman pengganti yang disediakan untuk model sosial. Mengamati perilaku dan pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu. Melalui model ini self efficacy individu dapat meningkat, terutama apabila individu merasa memiliki kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang menjadi subjek belajarnya. Individu akan mempunyai kecenderungan merasa mampu melakukan hal yang sama. Meningkatkan self efficacy individu ini dapat meningkatkan motivasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Melihat orang lain yang mirip dengan dirinya berhasil/sukses melalui usaha keras dapat meningkatkan kepercayaan pengamat bahwa dirinya juga mempunyai kemampuan untuk berhasil, dan sebaliknya dengan mengamati kegagalan orang lain akan menurunkan keyakinan dan usaha dari individu tersebut.

16 c. Persuasi verbal Persuasi verbal adalah cara ketiga untuk meningkatkan kepercayaan seseorang mengenai hal-hal yang dimilikinya untuk berusaha lebih gigih untuk mencapai tujuan dan keberhasilan/kesuksesan. Persuasi verbal mempunyai pengaruh yang kuat pada peningkatan self efficacy individu dan menunjukkan perilaku yang digunakan secara efektif. Seseorang mendapat bujukan atau sugesti untuk percaya bahwa dirinya dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapinya. Persuasi verbal berhubungan dengan kondisi yang tepat bagaimana dan kapan persuasi itu diberikan agar dapat meningkatkan self efficacy seseorang. Kondisi individu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi dan sifatnya realistik dari apa yang dipersuasikan. Seseorang yang dikenai persuasi verbal bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan, maka orang tersebut akan menggerakkan usaha yang lebih besar dan akan meneruskan penyelesaian tugas tersebut. d. Keadaan fisiologis dan emosional Situasi yang menekan kondisi emosional dapat mempengaruhi self efficacy. Gejolak emosi, goncangan, kegelisahan yang mendalam dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami individu akan dirasakan sebagai isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, maka situasi yang menekan dan

17 mengancam akan cenderung dihindari. Ketika melakukan penilaian terhadap kemampuan pribadi, seseorang tidak jarang berpegang pada informasi somatic yang ditunjukkan melalui fisiologis dan keadaan emosional. Individu mengartikan reaksi cemas, takut, stres dan ketegangan sebagai sifat yang menunjukkan bahwa performansi dirinya menurun. Penilaian seseorang terhadap self efficacy dipengaruhi oleh suasana hati. Suasana hati yang positif akan meningkatkan self efficacy sedangkan suasana hati yang buruk akan melemahkan self efficacy. Mengurangi reaksi cemas, takut dan stress individu akan mengubah kecenderungan emosi negatif dengan salah interpretasi terhadap keadaan fisik dirinya sehingga akhirnya akan mempengaruhi self efficacy yang positif terhadap diri seseorang. 5. Proses Pembentukan Self Efficacy Menurut Bandura (1997), proses psikologis dalam self-efficacy yang turut berperan dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasional, afeksi dan proses pemilihan/seleksi. a. Proses kognitif Proses kognitif merupakan proses berfikir, termasuk pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan tindakan manusia bermula dari sesuatu yang difikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi lebih senang membayangkan tentang kesuksesan.

18 Sebaliknya individu yang self efficacynya rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan (Bandura, 1997). Bentuk tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu, maka individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya (Bandura, 1997). b. Proses motivasi Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif. Individu memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan mereka dalam menghadapi kesulitankesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan (Bandura, 1997). Menurut Bandura (1997), ada tiga teori motivator, teori pertama yaitu causal attributions (atribusi penyebab), teori ini mempengaruhi motivasi, usaha dan reaksi-reaksi individu. Individu yang memiliki self efficacy tinggi bila menghadapi kegagalan cenderung menganggap kegagalan tersebut diakibatkan

19 usaha-usaha yang tidak cukup memadai. Sebaliknya individu yang self efficacy-nya rendah, cenderung menganggap kegagalanya diakibatkan kemampuan mereka yang terbatas. Teori kedua outcomes experience (harapan akan hasil), motivasi dibentuk melalui harapan-harapan. Biasanya individu akan berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang dapat mereka lakukan. Teori ketiga goal theory (teori tujuan), di mana dengan membentuk tujuan terlebih dahulu dapat meningkatkan motivasi. c. Proses afektif Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Menurut Bandura (1997) keyakinan individu akan coping mereka turut mempengaruhi level stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi self efficacy tentang kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasaan. Individu yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung mengalami level kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman, membesar-besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi (Bandura, 1997).

20 d. Proses seleksi Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang di luar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial mereka (Bandura, 1997). B. Prokrastinasi Akademik 1. Pengertian Prokrastinasi Akademik Istilah prokrastinasi pertama kali dicetuskan oleh Brown & Holtzman (dalam Rumiani, 2006) pada tahun 1967 yang berakar dari bahasa latin procrastinare yang berarti menunda sampai hari selanjutnya. Menurut Solomon dan Rothblum (1984) prokrastinasi adalah penundaan mulai mengerjakan atau penyelesaian tugas yang disengaja. Selanjutnya Solomon dan Rothblum (1984) mengemukakan bahwa prokrastinasi akademik diartikan sebagai suatu penundaan yang dilakukan berulang-ulang secara sengaja pada tugas-tugas akademik dan menimbulkan perasaan tidak nyaman secara subyetif yang dirasakan oleh individu yang melakukannya. Burka dan Yuen (2008) menambahkan bahwa

21 seorang prokrastinator memiliki pandangan bahwa suatu tugas harus diselesaikan dengan sempurna sehingga ia merasa lebih aman untuk tidak melakukannya dengan segera. Hal ini terjadi karena kalau mengerjakan tugas dengan segera akan menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal. 2. Aspek Aspek Prokrastinasi Akademik Ferrari, Johnson, McGown (1995) mengatakan bahwa terdapat beberapa aspek pada prokrastinasi, diantaranya: a. Perceived time, seseorang yang cenderung prokrastinasi adalah orang- orang yang gagal menepati deadline. Mereka berorientasi pada masa sekarang dan tidak mempertimbangkan masa mendatang. Prokrastinator tahu bahwa tugas yang dihadapinya harus segera diselesaikan, tetapi ia menunda-nunda untuk mengerjakannya atau menunda menyelesaikannya jika ia sudah memulai pekerjaannya tersebut. Hal ini mengakibatkan individu tersebut gagal memprediksikan waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas. b. Intention-action, celah antara keinginan dan tindakan. Perbedaan antara keinginan dengan tindakan senyatanya ini terwujud pada kegagalan dalam mengerjakan tugas walaupun terdapat keinginan untuk mengerjakannya. Ini terkait pula dengan kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual.

22 Prokrastinator mempunyai kesulitan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan batas waktu. Seorang individu mungkin telah merencanakan untuk mulai mengerjakan tugasnya pada waktu yang telah ia tentukan sendiri, akan tetapi saat waktunya sudah tiba dia tidak juga melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang telah ia rencanakan sehingga menyebabkan keterlambatan atau bahkan kegagalan dalam menyelesaikan tugas secara memadai. c. Emotional distress, adanya perasaan cemas saat melakukan prokrastinasi. Perilaku menunda-nunda akan membawa perasaan tidak nyaman pada pelakunya, konsekuensi negatif yang ditimbulkan memicu kecemasan dalam diri pelaku prokrastinasi. Pada mulanya individu tenang karena merasa waktu yang tersedia masih banyak. Tanpa terasa waktu sudah hampir habis, ini menjadikan mereka merasa cemas karena belum menyelesaikan tugas. d. Perceived ability, atau keyakinan terhadap kemampuan diri. Walaupun prokrastinasi tidak berhubungan dengan kemampuan kognitif seseorang, namun keragu-raguan terhadap kemampuan dirinya dapat menyebabkan seseorang melakukan prokrastinasi. Hal ini ditambah dengan rasa takut akan gagal menyebabkan seseorang menyalahkan dirinya sebagai yang tidak mampu, untuk menghindari munculnya

23 dua perasaan tersebut maka seseorang dapat menghindari tugas-tugas akademik karena takut akan pengalaman kegagalan. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prokrastinasi Akademik Berdasarkan beberapa kajian literatur tentang faktor-faktor prokrastinasi, Rumiani (2006) menyimpulkan bahwa terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi prokrastinasi yaitu faktor internal dan eksternal. a. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari individu yang turut membentuk perilaku prokrastinasi yang meliputi faktor fisik dan psikologis. Faktor fisik meliputi keadaan fatigue atau seseorang yang kondisi kesehatannya mengalami lelah memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan prokrastinasi. Sedang faktor psikologis yang memengaruhi prokrastinasi akademik meliputi tingkat kecemasan dalam berhubungan sosial, rendahnya motivasi dan rendahnya kontrol diri. b. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar individu dapat berupa tugas yang banyak (overloaded tasks) yang menuntut penyelesaian yang hampir bersamaan. Hal ini akan diperparah apabila lingkungan kondusif dalam membentuk prokrastinasi semisal pada kondisi lingkungan yang rendah dalam pengawasan.

24 Menurut Ferrari (1995) prokrastinasi dipengaruhi oleh dua hal yaitu faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang salah satunya adalah self efficacy dan faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri seseorang. Setiap orang yang melakukan prokrastinasi akademik memiliki alasan yang berbeda-beda dari takut untuk mengalami kegagalan hingga memang karena malas saja. Faktor internal memang memiliki potensi yang lebih besar untuk memunculkan prokrastinasi, namun jika terjadi interaksi antara faktor internal dan eksternal maka prokrastinasi yang terjadi akan semakin buruk. 4. Bentuk-Bentuk Prokrastinasi Akademik Solomon dan Ruthblum (1984) mengemukakan bahwa prokrastinasi akademik terdiri dari beberapa bentuk, yakni sebagai berikut: a. Berupa penundaan mengerjakan tugas mengarang, meliputi penundaan melaksanakan kewajiban atau tugas-tugas menulis, misalnya menulis makalah, membuat laporan, menyusun skripsi, atau tugas mengarang lainnya. b. Penundaan belajar menghadapi ujian, mencakup penundaan belajar untuk menghadapi ujian, misalnya ujian tengah semester dan akhir semester. Dalam hal ini juga termasuk dalam belajar ketika hanya mau menghadapi ujian.

25 c. Penundaan tugas membaca, meliputi adanya penundaan untuk membaca buku atau referensi yang berkaitan dengan tugas akademik yang diwajibkan. d. Penundaan kinerja tugas administratif, misalnya menyalin catatan pelajaran, membayar SPP, mendaftarkan diri dalam presensi kehadiran. e. Penundaan menghadiri pertemuan, penundaan maupun keterlambatan dalam menghadiri perkuliahan dan pertemuan-pertemuan lainnya. Dalam hal ini, terlambat masuk kelas juga masuk pada kriteria prokrastinasi. f. Penundaan kinerja akademis secara keseluruhan, menunda mengerjakan atau menyelesaikan tugas-tugas akademik secara keseluruhan. C. Mahasiswa USU yang Sedang Mengerjakan Skripsi Mahasiswa berasal dari kata maha yang berarti besar atau tinggi dan siswa yang berarti pelajar atau dengan kata lain mahasiswa adalah pelajar yang berada pada strata tertinggi. Berdasarkan peraturan pemerintah RI No. 30 tahun 1990 mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI), mahasiswa didefinisikan sebagai orang yang belajar di Perguruan Tinggi (Sugiono, 2008). Menurut Siswoyo (2007) mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu di tingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi.

26 Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas (Hartaji, 2012). Menurut Pikatan (1997) ada dua unsur penting dalam kegiatan skripsi (tugas akhir) yaitu meneliti dan membuat tulisan. Slamet (dalam Gunawati, Hartati, & Listiara, 2006) menyebutkan bahwa banyak mahasiswa yang tidak mempunyai kemampuan dalam menuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan, prestasi akademis yang kurang memadai, serta kurangnya ketertarikan mahasiswa pada. Hal ini ditambahkan oleh Riewanto (dalam Gunawati, Hartati, & Listiara, 2006), bahwa kegagalan dalam penyusunan skripsi juga disebabkan kesulitan mahasiswa dalam mencari judul, kesulitan mencari literatur dan bahan bacaan, dana yang terbatas serta kecemasan saat menghadapi dosen pembimbing. D. Hubungan Self Efficacy dengan Prokrastinasi Akdemik pada Mahasiswa yang Sedang Mengerjakan Skripsi Untuk menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan gelar sarjana, seorang mahasiswa harus membuat skripsi. Skripsi merupakan karya ilmiah yang ditulis oleh mahasiswa program sarjana pada akhir masa studinya berdasarkan hasil penelitian, atau kajian kepustakaan, atau pengembangan terhadap suatu masalah yang dilakukan secara seksama (Darmono dan Hasan, 2002). Skripsi dapat dijadikan sebagai sebuah bukti kemampuan akademik mahasiswa yang

27 bersangkutan dalam penelitian yang berhubungan dengan masalah pendidikan sesuai dengan bidang studinya. Skripsi bertujuan agar mahasiswa mampu menyusun dan menulis suatu karya ilmiah, sesuai dengan bidang ilmunya. Mahasiswa yang mampu menulis skripsi dianggap mampu memadukan pengetahuan dan keterampilannya dalam memahami, menganalisis, menggambarkan, dan menjelaskan masalah yang berhubungan dengan bidang keilmuan yang diambilnya. Skripsi merupakan persyaratan untuk mendapatkan status sarjana (S1) di setiap Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang ada di Indonesia. Menyusun skripsi merupakan salah satu area akademik yang penting karena menjadi salah satu syarat mahasiswa untuk mendapatkan gelar S1. Namun, hal ini tetap saja ditunda (Catrunada, 2008). Kecenderungan seseorang dalam mengerjakan sesuatu disebut dengan istilah prokrastinasi. Secara umum, prokrastinasi dapat didefinisikan sebagai sebuah kecenderungan perilaku untuk memulai sesuatu dengan lambat yang dapat membawa akibat atau konsekuensi yang buruk bagi orang melakukan prokrastinasi (dalam Deyling, 2008). Penelitian yang dilakukan McCown (dalam Fibriana, 2009) menemukan bahwa prokrastinasi terkait dengan kecenderungan untuk menunda tugas dan waktu untuk mengerjakan tugas. Penundaan dilakukan karena perilaku untuk mengerjakan tugas tidak sesuai dengan niat yang telah ditetapkan, juga karena ada penundaan niat untuk memulai mengerjakan tugas. Noran (dalam Akinsola, dkk, 2007) menyebutkan bahwa prokrastinasi dilakukan sebagai bentuk penghindaran dalam mengerjakan suatu tugas yang seharusnya dikerjakan individu tersebut.

28 Prokrastinasi dalam bidang akademik disebut dengan prokrastinasi akademik. Ferrari (dalam Gufron,2003) berpendapat bahwa prokrastinasi akademik adalah jenis penundaan yang dilakukan pada jenis tugas formal yang berhubungan dengan tugas akademis. Rothblum, Beswick, dan Mann (dalam Rizki, 2009) menambahkan bahwa prokrastinasi akademik sebagai kecenderungan melakukan penundaan dalam mengerjakan tugas-tugas akademis dan kecenderungan individu mengalami kecemasan yang berhubungan dengan penundaan yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Muhid (2009) menunjukkan hasil bahwa aspek-aspek pada diri individu yang mempengaruhi seseorang untuk mempunyai suatu kecenderungan perilaku prokrastinasi, antara lain rendahnya kontrol diri (self control), self consciuous, rendahnya self esteem, self efficacy, dan kecemasan sosial. Self efficacy merupakan istilah yang dikemukakan oleh Bandura (1997) untuk mendefinisikan keyakinan akan kemampuan yang dimiliki dalam diri seseorang dalam mengerjakan suatu tugas. Kreitner dan Kinicki (2005) berpendapat bahwa self efficacy adalah keyakinan yang dimiliki oleh seseorang akan peluang keberhasilan dalam mengerjakan sesuatu. Self efficacy merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri atau self knowledge yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia sehari-hari karena self efficacy yang dimiliki ikut mempengaruhi indifidu dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, termasuk didalamnya perkiraan terhadap tantangan yang akan dihadapi (Gufron & Wita, 2012).

29 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan self efficacy memiliki hubungan dalam munculnya prokrastinasi akademik pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Self efficacy dapat membuat mahasiswa yakin akan kemampuan yang mereka miliki dalam menyelesaikan tugas akademiknya. E. Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian teoritis dan paradigma penelitian yang telah dijabarkan, maka peneliti mengajukan suatu hipotesa : terdapat hubungan yang negatif antara self efficacy dengan prokrastinasi akademik pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Semakin tinggi self efficacy maka semakin rendah prokrastinasi akademik pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Sebaliknya, semakin rendah self efficacy maka semakin tinggi prokrastinasi akademik pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi.