BAB 5. Kesimpulan dan Saran

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 Pameran dan Pengunjung Galeri Etnografi Museum Nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. perhatian di museum. Pedagogi adalah teori tentang instruksi; sebuah rencana untuk melakukan. xiv

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Rosyadi (2006) menjelaskan bahwa kebudayaan Cina banyak memberikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II KAJIAN TEORITIS

UNIVERSITAS INDONESIA PEDAGOGI DI MUSEUM DI INDONESIA: STUDI KASUS MUSEUM NASIONAL

UKDW BAB I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan pemerintah. mengeluarkan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakannya adalah mengganti

BAB I PENDAHULUAN. makanan tidak hanya sekadar untuk mengenyangkan perut, kini orang. Globalisasi merupakan proses berkembangnya era baru dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merawat, meneliti, dan memamerkan benda-benda yang bermakna penting bagi

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN TENTANG PERSEPSI KONSUMEN TELKOMSEL TERHADAP PROGRAM HOOQ & VIU

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kasus Proyek

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan pada Bab IV di atas, maka dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadaan Museum di Indonesia

MODUL PEMETAAN SOSIAL BERBASIS KELOMPOK ANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Council of Museum (ICOM), lembaga internasional

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan. hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penciptaan

KISI-KISI PENILAIAN TENGAH SEMESTER 2 TAHUN AJARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perancangan

R PENGEMBANGAN MODUL INTERAKTIF LITERASI SAINS UNTUK PEMBELAJARAN IPA TERPADU PADA TEMA BIOTEKNOLOGI DI BIDANG PRODUKSI PANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lokasi yang direkomendasikan Peruntukan lahan Zoning plan Rencana tapak Zona skematik Arsitektur bangunan Tata pamer Program ruang MUSEUM BATIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ><

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. budaya, ideologi, ekonomi, dan politis. Keputusan dalam penyajian pameran

BAB I PENDAHULUAN. A. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. sumber devisa negara. Industri yang mengandalkan potensi pada sebuah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

Kegiatan Belajar-3 Belajar Berbasis Aneka Sumber

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini permasalahan pendidikan merupakan permasalahan yang. merupakan bagian dari upaya membangun karakter dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan. Konsep toleransi seperti yang dapat disimpulkan dalam film ini sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi, seperti kebutuhan untuk mengetahui berita tentang dunia fashion,

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Setelah peneliti selesai melakukan penelitian dapat diperoleh simpulan sebagai berikut:

dapat menghadapi satu sama lain secara fisik, legal, kultural, dan psikologis. Maka dari itu, pendidikan dengan adanya keragaman budaya memberikan keu

BAB I PENDAHULUAN. kota Jakarta pada akhirnya menuntut tersedianya wadah fisik untuk menampung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Kusrianto, Adi Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Andi Offset halaman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penciptaan

01 Berkomunikasi di Tempat Kerja

KAJIAN PUSTAKA. mendalam mengenai makna hasil belajar, akan dibahas. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006: 3), hasil belajar merupakan hasil dari

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

BAB I PENDAHULUAN. Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, PT Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 80.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Peran edukasi..., Zahir Widadi, FIB UI, Universitas Indonesia

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB 3: TINJAUAN TEMA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kreativitas menurut para ahli psikologi penjelasannya masih berbeda-beda

BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945

TINJAUAN PUSTAKA. sendiri. Belajar dapat diukur dengan melihat perubahan prilaku atau pola pikir

BAB I PENDAHULUAN. martabat manusia secara holistik. Hal ini dapat dilihat dari filosofi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Seiring dengan perkembangan zaman, desain kebaya

BAB I PENDAHULUAN. sepatutnyalah potensi Sumberdaya Budaya (Culture Resources) tersebut. perlu kita lestarikan, kembangkan dan manfaatkan.

BAB I PENDAHULUAN. juga semakin pesat seperti tiada henti. Dapat dilihat dari alat-alat teknologi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

RANCANG BANGUN APLIKASI VIRTUAL TOUR MUSEUM PROVINSI KALIMANTAN BARAT UNTUK EDUKASI SEJARAH

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Buku adalah jendela ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan, kita bisa

BAB I PENDAHULUAN. budaya karena dapat membantu melestarikan warisan budaya sebagai jati diri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PERANCANGAN INTERIOR PADA PUSAT KEBUDAYAAN BETAWI DIJAKARTA PROPOSAL PENGAJUAN PROYEK TUGAS AKHIR YULI HELVINA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG LEMBAGA SENSOR FILM

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

MUSEUM BATIK PEKALONGAN PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR NEO-VERNAKULAR

BAB I PENDAHULUAN. penerapannya yang semakin luas ke berbagai bidang tak terkecuali dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahayu Kusumaningratyas,2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. menerapkan konsep belajar kolaboratif. Dalam konsep ini, siswa dapat saling

SELASAR SENI RUPA KONTEMPORER DI SURAKARTA (Penekanan Desain Arsitektur Morphosis)

Keterampilan Dasar Memimpin dan Membimbing Diskusi Kelompok Kecil

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB 7 PENUTUP. Visi Museum La Galigo belum menyiratkan peran museum sebagai pembentuk identitas Sulawesi Selatan sedangkan misi

BAB II METODOLOGI. 2. Manfaat Perancangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Transkripsi:

BAB 5 Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Pedagogi di museum melibatkan penciptaan narasi di museum dan bagaimana museum menyampaikan narasinya tersebut kepada pengunjung. Tidak adanya pedagogi di museum mengindikasikan kurangnya respon dan pemahaman museum terhadap perubahan konsep edukasi di luar museum. Banyak museum yang belum begitu memahami proses belajar pengunjungnya. Bentuk edukasi yang didaktik masih diterapkan di banyak museum saat ini. Potensi museum sebagai sumber daya pembelajaran sepanjang hayat masih belum diakui secara luas, dan maka dari itu, pedagogi sebagai dasar museum belum banyak didiskusikan dan diteliti. 187 Setelah mengalami begitu banyak perubahan dan perkembangan selama beberapa dekade, pedagogi di museum Barat kini didasarkan pada berbagai cara untuk mengetahui, menginterpretasi dan penciptaan makna. Museum tidak lagi berperan sebagai sumber pengetahuan yang otoriter. Museum lebih berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar pengunjung. Hasil-hasil penelitian terkini juga telah membuktikan bahwa kunjungan museum turut melibatkan konteks personal dan interaksi sosial. Pembelajaran tidak hanya tentang akumulasi pengetahuan kognitif, tetapi juga seluruh pengalaman yang didapat pengunjung di museum. Pedagogi dalam era post-museum dibangun untuk memenuhi kebutuhan dan cara belajar yang berbeda-beda. 187 Eilean Hooper-Greenhill, Museums in the Interpretation of Visual Culture, hlm. 1-3. xciii

Dengan konteks dan karakteristiknya tersendiri, museum di negara-negara berkembang berjalan dalam alur yang berbeda dengan museum di negara-negara maju. Museum di negara berkembang seharusnya dapat menciptakan budaya museum sendiri sehingga dapat berfungsi dengan sesuai di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai museum Barat atau internasional tidak selalu sesuai bagi museum di negara-negara berkembang. Beberapa faktor tertentu harus dipertimbangkan dan adaptasi khusus perlu dilakukan. Dengan status poskolonialnya, Indonesia adalah sebuah negara yang masih memarjinalisasikan museum. Museum di Indonesia berjalan pada jalurnya sendiri, tanpa mengenali konteks sekitarnya. Warisan kolonialisme masih berakar dalam cara museum memfungsikan dirinya sebagai penerjemah budaya. Museum di Indonesia dilihat sebagai sebuah institusi yang memegang teguh warisan budaya, namun di sisi lain belum memaksimalkan potensinya sebagai sumber daya pembelajaran. Edukasi di museum di Indonesia hanya terbatas dalam mendukung pendidikan formal sekolah. Bahkan di Museum Nasional, sebagai museum terbesar dan salah satu museum tertua di Indonesia, tidak memiliki tujuan atau kerangka edukasi khusus yang seharusnya dapat memandu museum dalam melayani audiensnya. Tanpa pedagogi yang sesuai, Museum Nasional masih mempertahankan sudut pandang kolonial dalam membangun narasinya. Salah satu contoh adalah Galeri Etnografi. Kebudayaan Indonesia di dalam galeri disajikan dan ditampilkan menurut kerangka pengetahuan Barat. Kerangka tersebut kemudian secara tidak sadar tertanam dalam pengelolaan museum sehari-hari. Kebudayaan materi dari seluruh Indonesia yang dianggap sebagai objek etnografi sebagian besar diperlakukan dalam konteks Barat, dimana Museum Nasional menekankan aspek perbedaannya dan menampilkannya sebagai seni. Tidaklah sesuai untuk menerapkan eksotisasi dan penerapan tampilan seni pada objek etnografi di museum sendiri. Kedua pendekatan tersebut ternyata lebih menonjolkan aspek keragaman Indonesia dan mengecualikan aspek kesatuan. Maka jelas bahwa konstruksi etnografi dalam kerangka Barat tidak bisa diterapkan di museum di Indonesia dengan Museum Nasional sebagai contohnya. Lebih jauh lagi, strategi eksotisasi xciv

sedang mengalami penilaian ulang dalam era multikultural seperti saat ini, konsep diri ( self ) dan yang lain ( other ) yang mendasari strategi tersebut tidak lagi berarti apa-apa. 188 Dengan mempertahankan sudut pandang kolonial dan kurangnya pemahaman terhadap konteks sekitarnya, museum mengecualikan kebudayaan Indonesia modern masa kini. Sebagai salah satu galeri yang menyajikan seluruh kebudayaan Indonesia, Galeri Etnografi setidaknya dapat membahas tentang dinamikan kebudayaan Indonesia dan menyiratkan konsep kesatuan pada keberagaman. Namun sayangnya, galeri ini lebih menonjolkan konsep perbedaan. Sebagai tambahan, Galeri Etnografi juga tidak menampilkan sedikitnya perubahan dan perkembangan yang telah terjadi selama ini dalam kehidupan setiap kelompok etnis dan budaya di Indonesia. Dengan melihat pedagogi Barat dan mempertimbangkan kondisi museum di Indonesia, nilai-nilai pedagogi Barat bisa diterapkan namun dengan melalui beberapa adaptasi mengingat Indonesia memiliki konteks dan karakteristiknya sendiri. Adaptasi tersebut kemudian bisa dijadikan dasar dalam menciptakan kerangka pedagogi yang sesuai untuk museum di Indonesia secara umum dan Museum Nasional secara khusus. Dalam penciptaan kerangka pedagogi tersebut, museum di Indonesia terlebih dahulu bisa menerapkan konsep idiom lokal 189 yang nantinya tidak hanya bisa digunakan dalam konstruksi pedagogi tetapi juga dalam aspek pengelolaan museum lainnya. Idiom lokal ini memiliki ciri-ciri sendiri yang pada dasarnya berfokus pada segala sesuatu yang bersifat lokal. Maka ciri-ciri dari idiom lokal ini adalah: 1. Memperhatikan lingkungan sekitar termasuk masyarakat sekitar dan unsur-unsur lainnya. 2. Memberi konstribusi pada masyarakat lokal yang bisa berarti masyarakat Indonesia, masyarakat daerah atau bahkan masyarakat sekitar museum. 3. Mengedepankan unsur lokal daerah sekitar. 4. Menggali potensi-potensi lokal dalam pengembangan museum. 5. Menyesuaikan perkembangan museum dengan unsur-unsur lokal. 188 Jan Nederveen Pieterse, Multiculturalism and Museums, Gerard Corsane, Heritage, Museums and Galleries: An Introductory Reader, hlm. 163-183. 189 Adaptasi dari konsep yang diciptakan oleh Corinne A. Kratz dan Ivan Karp untuk museum-museum agar lebih berfokus pada konstituen lokal dan memberi kontribusi pada masyarakat lokal. Introduction Ivan Karp, et al., Museum Frictions: Public Cultures/Global Transformation, xcv

6. Menggunakan dan memanfaatkan sumber daya lokal. Maka dengan menggunakan idiom lokal ini bisa dibangun kerangka pedagogi yang bisa diterapkan di museum di Indonesia. Kerangka pedagogi yang sesuai dimulai dari penciptaan narasi terlebih dahulu. Narasi yang diciptakan semestinya dapat menghilangkan kerangka pengetahuan Barat dalam melihat objek dan dalam menyajikan informasi di dalam pameran. Juga diupayakan agar dapat menghilangkan jarak atau gap antara yang melihat kebudayaan yaitu pengunjung dan yang memproduksi kebudayaan yaitu masyarakat di balik kebudayaan materi yang bersangkutan. Dalam setiap tema pameran juga sebaiknya dapat menonjolkan aspek kekinian yang relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini sehingga pengunjung dapat mengaitkan tema yang disajikan dengan konteks sehari-harinya. Dalam merencanakan pameran juga lebih baik menggunakan sudut pandang yang didasari oleh informasi atau nilai-nilai yang terkandung dalam objek sehingga tema yang akan disajikan dapat lebih luas dan menghadirkan tema-tema yang menarik. Dalam kaitannya dengan sudut pandang, narasi di museum bisa didasarkan juga dari sudut pandang yang sama sekali berbeda dan non-konvensional, dan bisa membahas tema-tema yang selama ini tertutup namun dengan cara yang halus. Sebagai tambahan, dalam penyajian yang dibuat relevansinya dengan masyarakat, sebaiknya dapat merepresentasikan seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Sedangkan dalam cara penyampaian narasi, beberapa pendekatan yang bisa diterapkan adalah: 1. Penyajian dengan menampilkan berbagai suara, tidak hanya dari kurator atau museum, tetapi juga dari pihak lain seperti mungkin ahli dan nara sumber dan masyarakat umum. Namun harus ditekankan juga jika ingin menggunakan berbagai suara dari berbagai pihak, bahwa yang ditampilkan itu bukan semata-mata pendapat museum tetapi pendapat orang lain yang berkaitan dengan tema yang disajikan dalam pameran. 2. Penyajian bisa dilakukan dengan menerapkan konsep partisipasi pengunjung dan interaksi sosial antar pengunjung tanpa menggunakan teknologi digital yang canggih dan rumit. xcvi

3. Dalam cara penyampaian melalui berbagai instrumen seperti label atau mungkin video, bisa mencoba mengajak pengunjung untuk berpartisipasi dalam hal mengajukan pendapat, berpikir dan berdiskusi. 4. Memasukkan unsur-unsur yang disukai masyarakat dalam penyajian seperti ukuran yang besar, cerita rakyat dan mitos tapi dalam konteks yang sesuai. 5. Mengurangi kadar eksotis atau mistis. Tetapi karena tetap disukai masyarakat mungkin bisa dilakukan dalam konteks yang sesuai misalnya pada objek-objek seremonial. Beberapa aspek dalam kerangka pedagogi tersebut mungkin adalah hal baru bagi pengunjung museum dan bahkan bagi pihak museum sendiri. Maka dari itu penerapannya harus dilakukan secara bertahap dan pelan juga dikarenakan beberapa faktor juga. Pertama adalah kurangnya sumber daya manusia dan dana pada saat ini. Kedua, hal tersebut tentunya berkaitan dengan kebijakan dan anggapan pemerintah terhadap museum. Jika memang ada kemungkinan untuk merevisi kebijakan tentang museum, kebudayaan dan pendidikan, atau membuat kebijakan baru, maka kedua sumber daya manusia dan dana tersebut bisa dimaksimalkan. Ketiga adalah kondisi masyarakat Indonesia sendiri. Selama ini mereka terbiasa melihat penyajian di pameran yang bersifat didaktif dan mereka memiliki anggapan datang ke museum untuk diberitahu tentang suatu ilmu. Bisa diperkirakan bahwa mereka mungkin akan terkejut jika disajikan informasi dan pengetahuan melalui pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya merangsang mereka untuk berpikir dan berdiskusi. Masyarakat juga belum terbiasa menggunakan sarana teknologi tinggi, sehingga sebaiknya menggunakan teknologi yang sederhana dulu dan perlahan-lahan bisa menerapkan teknologi yang lebih canggih seiring dengan meningkatnya literasi teknologi mereka. Terakhir adalah bahwa masyarakat di Indonesia belum terbiasa melihat tema-tema yang non-konvensional atau sedikit kontroversial di museum. Maka jika ingin menampilkan tematema khusus tertentu tersebut, bisa dilakukan dengan cara yang halus dan tidak begitu terangterangan. 5.2. Saran Sebagai tambahan, kesimpulan dari penelitian ini juga bisa menjadi saran bagi Museum Nasional dalam penciptaan pedagoginya yang akan bermuara pada keberhasilan pembelajaran xcvii

pengunjung di museum. Museum Nasional bisa melakukan penyesuaian di Galeri Etnografi berdasarkan hasil penelitian dari evaluasi pengalaman pengunjung. Museum Nasional juga bisa membangun ulang narasinya berdasarkan kerangka pedagogi yang sesuai khususnya pada Galeri Etnografi dengan mengikutsertakan dinamika kebudayaan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang ditampilkan di galeri. Narasi di galeri dan bahkan di museum seharusnya bisa lebih menekankan pada aspek identitas nasional daripada keberagaman budaya Indonesia. Hal pertama yang harus dilakukan oleh museum adalah studi pengunjung dan evaluasi pameran terlebih dahulu. Sehingga pihak museum mengetahui profil pengunjungnya dan pendapat serta keinginan mereka terhadap museum dan isinya. Dibutuhkan evaluasi pembelajaran pengunjung dengan metode didaktik yang diterapkan oleh Museum Nasional untuk mengetahui sejauh mana pengunjung memahami dan mendapatkan pengetahuan dari pameran. Selain Museum Nasional, hasil penelitian ini juga bisa menjadi saran bagi instansiinstansi pemerintah terkait. Terutama dalam hal kebijakan tentang museum, kebudayaan dan pendidikan yang tampaknya belum menempatkan museum sebagai sumber daya pendidikan informal. Diharapkan pemerintah dapat merubah cara pandangnya terhadap museum dan kebudayaan, khususnya pada edukasi di museum. Satu hal yang sangat penting dalam konstruksi pedagogi di museum di Indonesia adalah dengan mengetahui bagaimana masyarakat melihat museum dan bagaimana mereka belajar di museum. Sehingga sangat dibutuhkan studi pengunjung dan evaluasi pembelajaran masyarakat di museum yang diharapkan bisa dilakukan di seluruh museum di Indonesia. Dengan begitu, setelah kita tahu profil mereka dan profil cara belajarnya, tujuan edukasi museum bisa dirancang untuk memenuhi kebutuhan museum. Sehingga museum benar-benar dapat berperan dalam kehidupan masyarakat melalui edukasi. Sebagai penutup, penelitian ini adalah penelitian awal tentang pedagogi di museum di Indonesia. Seperti yang sudah disebutkan tadi bahwa penelitian tentang aspek pedagogi di museum masih kurang. Diharapkan akan ada penelitian lainnya tentang pedagogi di museum yang dapat merancang kerangka pedagogi secara lebih menyeluruh dan mendalam. Penelitian ini juga bisa membuka penelitian-penelitian lanjutan tentang konsep museum di Indonesia sebagai warisan kolonial Belanda yang bisa dikaji menggunakan pendekatan poskolonial. Sehingga baik xcviii

dalam tataran akademis dan praktis, gambaran utuh tentang karakteristik museum di Indonesia beserta masyarakatnya bisa dibuat. Daftar Pustaka BUKU DAN JURNAL xcix