UNIVERSITAS INDONESIA PEDAGOGI DI MUSEUM DI INDONESIA: STUDI KASUS MUSEUM NASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA PEDAGOGI DI MUSEUM DI INDONESIA: STUDI KASUS MUSEUM NASIONAL"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA PEDAGOGI DI MUSEUM DI INDONESIA: STUDI KASUS MUSEUM NASIONAL TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora ANNE PUTRI YUSIANI FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ARKEOLOGI DEPOK, MEI 2010 i

2 SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya. Depok, 12 Mei 2010 Anne Putri Yusiani ii

3 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Anne Putri Yusiani NPM : Tanda Tangan : Tanggal : 12 Mei 2010 iii

4 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah saya ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Irmawati M. Johan selaku pembimbing yang dengan sabar membantu dan membimbing saya hingga penulisan tesis ini selesai. Prof. Dr. Noerhadi Magetsari yang telah membagikan ilmunya yang sangat berharga dan membantu saya dalam menerapkan konsep-konsep penelitian. Dr. Heriyanti Ongkodharma dan Dr. Kresno Yulianto yang telah bersedia menguji materi tesis. Dr. Ninie Soesanti dan Isman Pratama Nasution, M.Si yang memberikan saya semangat dan dorongan untuk menyelesaikan tesis ini hingga selesai. 2. Tidak lupa kepada staf pengajar Departemen Arkeologi lainnya yang turut memberi bantuan dan dorongan moril selama masa perkuliahan hingga masa penulisan tesis. 3. Beasiswa Unggulan dari Dikti Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberi kesempatan pada saya untuk melanjutkan kuliah ke jenjang Magister. 4. Kepada pihak Museum Nasional, Pak Oting, Pak Widodo dan Kepala Bidang Pembinaan Koleksi Sejarah dan Antropologi yang membantu saya dalam pencarian data untuk tesis ini. 5. Kepada Ahmad Bagus Santoso, Anton Ferdianto, Chaidir Ashari dan Elymart Jastro Situmorang yang telah meluangkan waktunya untuk membantu saya dalam pengumpulan data di lapangan. 6. Yunus Arbi M.A. atas ide-idenya dan diskusi tentang Museum Studies dan perkembangan museum di Indonesia. iv

5 7. Teman-teman seangkatan Program Magister, Dian, Arum, Mas Budi, Mas Oki, Mbak Misra, Mbak Inyo, Mas Pri dan Mas Eko, membuat masa-masa kuliah menjadi menyenangkan. Terima kasih atas persahabatan dan sharing ilmunya selama ini. 8. Terakhir kepada orang tua saya dan adik saya yang juga tidak kalah menyemangati saya dalam penulisan tesis ini. Terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas apapun yang telah kalian berikan selama ini. Pengalaman kuliah di jenjang Magister merupakan pengalaman yang membantu proses berpikir dan pendewasaan diri saya. Terutama dalam penulisan tesis yang membuat saya belajar lebih banyak lagi dan berkembang lebih jauh. Semoga hasil karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Depok, 12 Mei 2010 Penulis v

6 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Anne Putri Yusiani NPM : Program S tudi : Arkeologi Departemen : Arkeologi Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya Jenis Kary a : Tesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti (Non-exclusive Royalty-free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Pedagogi di Museum di Indonesia: Studi Kasus Museum Nasional beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-ekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama masih mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tangg al : 12 Mei 2010 Yang menyatakan (Anne Putri Yusiani) vi

7 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS iii LEMBAR PENGESAHAN iv KATA PENGANTAR v LEMBAR PERSETUJUAN KARYA ILMIAH vii ABSTRAK viii ABSTRACT ix DAFTAR ISI x DAFTAR DIAGRAM xii DAFTAR FOTO xiii DAFTAR LAMPIR AN xiv 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Tujuan dan Manfaat Penelitian Tinjauan Literatur Ruang Lingkup Penelitian Metodologi Pengamb ilan Data Pengolahan dan Interpretasi Data Sistematika Penulisan PEDAGOGI DI MUSEUM Edukasi Museum Pembelajaran di Museum Pedagogi Museum Barat MUSEUM DI INDONESIA Museum di Negara-Negara Berkembang Karakteristik Museum di Indonesia PAMERAN DAN PENGUNJUNG GALERI ETNOGRAFI Museum Nasional Galeri Etnografi Pengalaman Pengunjung 67 ix

8 Tujuan dan Harapan Pengunjun g Pendapat Pengunjung tentang Galeri Etnografi Pedagogi Museum di Indonesia Pedagogi di Museum Nasiona l Konteks Perkembangan Museum di Indonesia Karakteristik Pembelajaran Masyarakat Aplikasi dan Adaptasi Pedagogi Barat KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 89 DAFTAR PUSTAKA 91 LAMPIRAN 103 x

9 DAFTAR DIAGRAM Diagram Diagram Diagram xi

10 DAFTAR FOTO Foto Peta Suku Bangsa Indonesia 62 Foto Label Kelompok 64 Foto Label Individual 64 Foto Topeng Sumatera Utara 65 Foto Foto Suku Dayak 65 Foto Patung Nenek Moyang Nias 65 Foto Keris Bali 68 Foto Senjata Nias 68 Foto Peta Indonesia 68 Foto Peta Pulau Jawa 68 Foto Kebudayaan Nusa Tenggara Timur 68 Foto Kano Asmat 68 Foto Rumah Tongkonan Toraja 69 Foto Keris Jawa 69 Foto Patung Nogowarno 69 Foto Pertunjukan Seni Papua 69 Foto Patung Nenek Moyang 69 Foto Kebudayaan Sangir 69 Foto Kebudayaan Asmat 70 Foto Koteka 70 Foto Kebudayaan Papua 74 Foto Barong dan Rangda 74 Foto Mandau 74 xii

11 DAFTAR LAMPIRAN 1. Lembar Wawancara Pengunjung Lembar Tracking Study Denah Galeri Etnografi Kerangka Pertanyaan Staf Museum 109 xiii

12 ABSTRAK Name Study P rogramme Title : Anne Putri Yusiani : Arkeologi : Pedagogi di Museum di Indonesia: Studi Kasus Museum Nasional Penelitian ini merupakan penelitian awal tentang pedagogi di museum di Indonesia. hasil dari tracking study dan wawancara pengunjung di Galeri Etnografi di Museum Nasional memperlihatkan cara pembelajaran pengunjung Indonesia di museum. Observasi di galeri dan wawancara dengan staf museum juga mengungkap bagaimana museum menciptakan dan menyampaikan narasinya kepada pengunjung. Dengan melihat pada proses belajar pengunjung museum dan konteks museum di Indonesia, beberapa nilai dari pedagogi Barat dapat diadaptasi sebagai dasar dari pedagogi museum di Indonesia. Kata kunci: Museum, pembelajaran, pedagogi vii

13 ABSTRACT Name Study P rogramme Title : Anne Putri Yusiani : Archaeology : Museum Pedagogy in Indonesia: Case Study of the National Museum This research is a preliminary research towards a museum pedagogy in Indonesia. The findings based on tracking study and interview of visitors in the Gallery of Ethnography in the National Museum reveals how Indonesian visitors learn in museums. Observation in the gallery and interview with the museum s staff also shed a light in knowing how the museum construct and convey its narratives to visitors. By looking at the learning processes of Indonesian visitors and the museum context in Indonesia, some of the values of the Western pedagogy can be adapted as a basis for the Indonesian museum pedagogy. Keywords: Museum, learning, pedagogy viii

14 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Medici Palace dan Museum Louvre 1 sebagai contoh dari bentuk museum modern tertua di dunia, merupakan salah satu bukti bahwa konsep mengumpulkan seluruh koleksi benda dalam aturan tertentu berasal dari peradaban Eropa 2. Susan Pearce menyatakan bahwa museum adalah karakter dari pola budaya Eropa modern dan dari dunia yang mendapat pengaruh Eropa. 3 Museum pertama kali muncul di dalam peradaban Eropa dan kemudian menyebar ke seluruh bagian dunia di bawah premis kolonialisme dan globalisasi. Terlebih lagi, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, filosofi museum sebagai institusi pendidikan publik dan tren dalam pemikiran museologi masih berkembang di Eropa atau dunia Barat. Walaupun dalam dekade terakhir sudah terdapat banyak kontribusi pada bidang Museologi dari masyarakat non- Barat, pertumbuhan ide dan teori museum masih terpusat di dunia Barat. Museum Barat sebagai pelopor perkembangan praktik museum di dunia selama ini telah melalui berbagai adaptasi pada segala perubahan yang terjadi di luar ranah museum. Sebut saja pergeseran epistemologi ilmu pengetahuan, perkembangan teori pembelajaran (learning theory), meningkatnya akuntabilitas publik museum, munculnya konstruksi identitas di museum dan berkembangnya poskolonialisme (postcolonialism). Adaptasi tersebut terjadi di seluruh aspek museum baik secara struktural maupun kultural. Pedagogi sebagai unsur penting di dalam edukasi di museum juga telah mengalami banyak perubahan besar. Pedagogi di museum berkembang sejak edukasi dan pembelajaran mulai menjadi perhatian di museum. Pedagogi adalah teori tentang instruksi; sebuah rencana untuk melakukan 1 Eilean Hooper-Greenhill, Museums and the Shaping of Knowledge. London: Routledge, Tomislav Sola, Essays on Museums and Their Theory: Towards the Cybernetic Museum. Helsinki: Finnish Museum Association, hlm Susan Pearce, Museums, Objects, Collections: A Cultural Study. Washington DC: Smithsonian Institution Press, hlm. 1. xiv

15 aktifitas edukasi. 4 Sehingga pedagogi di museum berfungsi sebagai kerangka dasar sebuah museum dalam merancang isi dan cara penyampaiannya kepada audiens museum. Maka dari itu, pedagogi sebagai teori pengajaran merupakan bagian dari pemahaman edukasi di museum bersama teori pengetahuan dan teori pembelajaran. Sebagai sebuah kerangka yang mendasari bagaimana museum menentukan dan menyampaikan narasinya, pedagogi merupakan aspek penting di dalam museum. Pedagogi bisa menjadi acuan bagi museum dalam menerapkan konsep penyajian pameran, merancang program edukasi publik dan kegiatan edukasi lainnya. Terdapat berbagai jenis model pedagogi yang bisa diterapkan di museum yang didasarkan pada metode-metode pembelajaran yang berbeda-beda. 5 Adanya metode pembelajaran yang berbeda-beda tersebut mulai dipertimbangkan sejak museum mengenali perbedaan-perbedaan cara belajar pengunjungnya. Sehingga dalam menentukan pedagoginya, museum harus juga mempertimbangkan karakteristik pembelajaran pengunjungnya terlebih dahulu. Karakteristik pembelajaran pengunjung meliputi bagaimana cara belajar pengunjung di museum dan bagaimana pengunjung memaknai pengalaman mereka di museum. Karakteristik pembelajaran pengunjung bersama-sama dengan kebijakan edukasi museum kemudian bisa menjadi dasar penyusunan pedagogi di museum. Sehingga akan tercipta sebuah kerangka pedagogi yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pembelajaran masyarakat yang juga sesuai dengan tujuan edukasi museum. Kolonialisme di beberapa bagian di dunia memiliki peranan dalam pendirian museum di wilayah kolonial. Seiring dengan konsep cabinet of curiosities, pemerintah kolonial Eropa di beberapa wilayah kekuasaannya mulai mengoleksi benda-benda budaya dan ilmiah selama masa pendudukannya. Sebagai contoh adalah museum pertama di India di bawah kekuasaan Inggris 6 dan koleksi museum di Ghana 7 dan Vietnam 8, ketika kedua negara tersebut berada di bawah 4 George E. Hein, Learning in the Museum. New York: Routledge, hlm Ibid., hlm Arjun Appadurai dan Carol Breckenridge, Museums Are Good To Think: Heritage on View in India, Donald Preziosi, ed., Grasping the World: the Idea of the Museum. Hants: Ashgate, hlm (hlm.689). 7 Mark Crinson, Nation-building, Collecting and the Politics of Display: the National Museum, Ghana, Journal of the History of Collections, vol. 13 no. 2 (2001), hlm.231. Hhttp://jhc.oxfordjournals.org.ezproxy.lib.le.ac.uk/cgi/reprint/13/2/231H, 5 November Ho Tai Hue-Tam, Representing the Past in Vietnamese Museums, Curator, vol. 41 no. 3 (Walnut Creek: Altamira Press, 1998), Hhttp://unweb.hwwilsonweb.com.ezproxy.lib.le.ac.ukH, 5 November xv

16 kolonialisasi Perancis. Setelah masa kemerdekaan dari sebagian besar negara-negara kolonial, lalu datanglah globalisasi sebagai permulaan dari penyebaran ide, nilai, obyek, keahlian dan unsur budaya internasional lainnya ke seluruh dunia. Dalam dunia museum, globalisasi berarti perkembangan konsep museum internasional beserta nilai dan prinsipnya. 9 Sebagaimana yang diajukan oleh Moira G. Simpson, karena globalisasi, berbagai tempat dengan konteks yang berbeda-beda di dunia telah mengimplementasikan konsep museum sebagai sistem Barat, membuatnya sesuai dengan konteks lokal, dan mengadaptasinya ke dalam kerangka mereka. Simpson memberi contoh komunitas lokal di Australia dan mengacu pada contoh museum lainnya di Afrika, Indonesia, Pasifik dan Amerika Utara. 10 Tetapi studi kasus yang dia sebutkan tidak cukup dijadikan sebagai acuan. Maka contoh-contoh tersebut tidak dapat mewakili seluruh komunitas non-barat di dunia. Lebih jauh lagi, karena museum adalah institusi publik yang sangat bergantung pada konteks sekitarnya, konsep internasional museum tidak dapat dengan mudah diaplikasikan di tempat yang berbeda-beda atau di negara-negara dimana museum dimarjinalisasikan. 11 Dengan kata lain, teori dan praktik terkini yang berkembang di dunia museum internasional tidak bisa atau tidak bisa sepenuhnya relevan di seluruh dunia. Khususnya ketika adaptasi tersebut terjadi di tempat dimana museum tidak dianggap sebagai institusi yang bermakna bagi masyarakat. Satu contoh adalah museum-museum di negara berkembang. Sebagian besar negara-negara berkembang di dunia dahulu merupakan bagian dari teritori kolonial Eropa. Museum di negara-negara berkembang adalah warisan dari pemerintah kolonial dan karena negara-negara tersebut memiliki permasalahan ekonomi, politik dan sosial yang cukup signifikan, maka museum di negara-negara tersebut berbeda dari museum di negara maju. Museum-museum tersebut memiliki karakteristik dan tantangan yang serupa dalam perkembangannya. Maka tidaklah mudah untuk mencoba mendefinisikan museum di negara-negara berkembang. Dengan karakter uniknya, museum di negara-negara berkembang masih harus menghadapi perkembangan dunia luar dan kebingungan akan identitas mereka di saat yang sama. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang belum melihat museum sebagai sebuah 9 Andrew J. Pekarik, Global by Any Other Name, Curator, vol. 48 no. 1. Walnut Creek: Altamira Press, Moira G. Simpson, Charting Boundaries: Indigenous Models and Parallel Practices in the Development of the Post-museum, Simon J. Knell, ed., Museum Revolutions. London: Routledge, hlm Op cit., xvi

17 aset. Peran dan fungsi museum di Indonesia masih belum jelas dan belum memiliki kepentingan di mata pemerintah. Sementara di bagian dunia yang lain, museum dianggap sebagai pilar masyarakat yang berpartisipasi aktif dalam mempertahankan kondisi masyarakat yang sehat, museum di Indonesia didirikan hanya sebagai penjaga warisan budaya dan sebagai simbol dari negara modern. Museum sebagai sumber pengetahuan berdiri untuk mengedukasi masyarakat, namun museum di Indonesia belum dilihat sebagai sumber pembelajaran seumur hidup. Museum di Indonesia memiliki potensi yang besar dalam memberikan pengetahuan kepada masyarakat. Museum sebenarnya bisa menjadi bagian dari area pembelajaran selain untuk pembelajaran sekolah, seperti untuk dewasa dan keluarga atau untuk pendidikan informal. Peran edukasi museum di Indonesia di dalam masyarakat dan juga menurut pemerintah hanya hadir untuk mendukung pendidikan formal di sekolah. Museum di Indonesia belum memiliki tujuan pendidikan dan maka dari itu belum memiliki target pencapaian edukasi kepada masyarakat. Belum adanya kebijakan edukasi dan tujuan mengindikasikan kurangnya pemahaman museum di Indonesia dalam mengenali pengunjung dan lingkungan sekitarnya, yang menyebabkan absennya kerangka pedagogi dalam agenda edukasi mereka. Untuk mendapat pemahaman yang lebih baik terhadap fungsi edukasi pada museum di Indonesia, kita harus mengetahui terlebih dahulu karakteristik museum yang terdiri dari konteks sosial, budaya dan politik di Indonesia. Dalam hal konteks yang melatarbelakangi museum di Indonesia, terdapat dua tantangan yang harus dihadapi. Kedua tantangan tersebut adalah dukungan pemerintah dan citra museum di mata masyarakat. Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya mendukung keberadaan museum dan belum melihat museum sebagai sarana pendidikan informal, dan maka dari itu hanya menganggap museum sebagai salah satu institusi kebudayaan yang tidak harus selalu diperhatikan. Persepsi masyarakat pun terhadap museum tidak jauh dari situ. Mereka melihat museum hanya sebagai tempat penyimpanan benda-benda warisan budaya dan bersejarah, yang mana tidak seluruhnya salah, namun mereka belum melihat museum sebagai bagian dari perkembangan mereka. Di sisi lain, museum sendirilah yang tampaknya membuat jarak dengan masyarakat umum dan bersikap sebagai tempat yang sakral dan eksklusif yang terkesan kurang bersahabat pada audiensnya. xvii

18 1.2. Permasalahan Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa museum di Indonesia belum dianggap sebagai tempat dimana pendidikan informal bisa terjadi. Museum kehilangan tempatnya di dalam kerangka pendidikan masyarakat dan belum memiliki struktur pedagogi. Pedagogi merupakan aspek yang jarang dilihat dalam penelitian tentang museum. Terlebih lagi di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian tentang pedagogi di museum. Museum Nasional adalah salah satu museum tertua di Indonesia yang memiliki bendabenda koleksi yang merupakan representasi dari seluruh daerah di Indonesia. Sebagai sebuah museum yang menyandang status nasional, tentunya museum ini berfungsi sebagai tempat dimana kita bisa melihat gambaran Indonesia secara utuh dari semua aspek kehidupan alam dan kebudayaan. Museum Nasional memiliki kedudukan dan fungsi yang cukup signifikan dalam perkembangan museum di Indonesia. Maka Museum Nasional sebagai museum terkemuka di Indonesia bisa dijadikan contoh dalam melihat pedagogi di museum. Sebagai tambahan, Museum Nasional merupakan pelopor museum di Indonesia yang sekiranya memiliki kelebihankelebihan tertentu dibandingkan museum-museum negeri lainnya. Dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia memiliki konteks khususnya sendiri baik di dalam dan di luar museum, nilai museologi Barat atau internasional tidak bisa begitu saja diaplikasikan di museum di Indonesia. Maka penelitian ini akan mencari tahu apakah pedagogi Barat relevan bagi museum di Indonesia dan adaptasi seperti apa yang dibutuhkan untuk menerapkan pedagogi tersebut. Untuk menuju kesana, maka terdapat tiga pertanyaan yang harus dijawab: 1. Apakah Museum Nasional memiliki pedagoginya sendiri? Jika ya, seperti apakah pedagoginya tersebut? 2. Bagaimanakah konteks museum di Indonesia dalam kaitannya dengan pedagogi? 3. Bagaimanakah karakteristik pembelajaran masyarakat Indonesia di dalam museum? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian xviii

19 Berdasarkan permasalahan dan pertanyaan penelitian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kerangka pedagogi Museum Nasional yang bisa menjadi acuan dari museum-museum negeri di Indonesia. 2. Mengetahui konteks yang mengelilingi pertumbuhan di museum, terutama dalam kaitannya dengan tujuan edukasi museum. 3. Mengetahui kecenderungan cara pembelajaran masyarakat Indonesia melalui pameran di museum. 4. Mengetahui adaptasi seperti apa yang dibutuhkan oleh museum di Indonesia dalam mengaplikasikan pedagogi Barat. 5. Memberi dasar pada kerangka pedagogi yang sesuai bagi museum di Indonesia. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi akademis, penelitian ini bisa menjadi pengenalan tentang signifikansi pedagogi di museum dalam membangun kerangka narasi yang akan disampaikan kepada masyarakat. Penelitian ini juga bisa menjadi awal dari evaluasi pembelajaran pengunjung terhadap pameran di museum sehingga tujuan edukasi yang diharapkan bisa tercapai. 2. Bagi Museum Nasional, hasil penelitian ini bisa menjadi referensi dalam mengetahui kecenderungan cara belajar masyarakat di Indonesia di museum, sehingga museum diharapkan dapat menerapkan cara penyampaian yang sesuai dengan karakter pembelajaran masyarakat tersebut. Selain itu juga, hasil penelitian ini bisa menjadi dasar untuk museum dalam menciptakan pedagogi yang sesuai Tinjauan Literatur Menurut Concise Oxford English Dictionary 12 dan Chambers 21 st Century Dictionary 13, pengertian sederhana dari pedagogi adalah teori pengajaran atau ilmu dan prinsip pengajaran. Henry Giroux mendefinisikan pedagogi sebagai sebuah konfigurasi tekstual, verbal dan praktik visual yang bertujuan untuk terlibat dalam sebuah proses dimana seseorang memahami dirinya 12 Concise Oxford English Dictionary, 11 th edition. Oxford: Oxford University Press, hlm Mairi Robinson, ed., Chambers 21 st Century Dictionary. Edinburgh: Chambers, hlm xix

20 sendiri dan bagaimana dia berinteraksi dengan orang lain dan lingkungannya. Lebih jauh lagi, Giroux menambahkan bahwa pedagogi terimplikasi dalam konstruksi dan organisasi pengetahuan, keinginan, nilai-nilai dan praktik-praktik sosial. 14 Istilah pedagogi juga berkaitan dengan bagaimana seseorang belajar dan maka dari itu tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran itu sendiri. Dalam museum, pedagogi bisa dijelaskan sebagai bagaimana museum menciptakan narasinya dan bagaimana museum itu menyampaikan narasinya tersebut melalui pameran dengan menggunakan gaya dan metode tertentu. Terkait dengan pembelajaran, pedagogi di museum juga berkenaan dengan bagaimana pengunjung menginterpretasi dan menciptakan makna. Eilean Hooper-Greenhill menyatakan bahwa pameran adalah lingkungan utama dimana pembelajaran terjadi. Pameran bisa dianggap sebagai kerangka dalam proses penciptaan makna (meaningmaking) dalam caranya menggunakan objek dan konsep. 15 Tidak dapat disangsikan lagi bahwa pergeseran epistemologi ilmu pengetahuan mempengaruhi bagaimana museum menciptakan narasinya. Pergeseran dari modernisme ke posmodernisme menandai era dimana pengetahuan tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang utuh dan absolut, melainkan terbuka dan multi makna. 16 Maka museum merubah pandangannya terhadap narasi di museum, sebagai pengetahuan satu-satunya yang otoriter menjadi sebuah produksi aktif antara museum dan audiensnya. Dalam beberapa tulisannya, Eilean Hooper- Greenhill menyatakan bahwa pedagogi di museum modernis ditandai oleh model komunikasi transmisi. 17 Hooper-Greenhill menilai kembali museum modernis dan menciptakan istilah postmuseum sebagai sebuah formulasi dimana museum akan menampilkan berbagai perspektif dan nilai. 18 Pedagogi di dalam post-museum ditandai oleh model komunikasi sebagai kebudayaan, yang berfungsi sebagai sebuah proses yang membantu pengunjung dalam menciptakan makna dan interpretasi mereka sendiri Henry Giroux, Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education. London: Routledge, hlm Eilean Hooper-Greenhill, Education, Communication and Interpretation Towards a Critical Pedagogy in Museums, ed. Eilean Hooper-Greenhill, Eilean. The Educational Role of Museum. London: Routledge, , hlm Charles Jencks, The Postmodern Agenda, Charles Jencks, ed., The Post-Modern Reader. London: Academy Editions, hlm Eilean Hooper-Greenhill, Education, Communication and Interpretation, 18 Eilean Hooper-Greenhill, Museums and the Interpretation of Visual Culture. London: Routledge, Eilean Hooper-Greenhill, Interpretive Communities, Strategies, Repertoires, Sheila Watson, ed., Museums and Their Communities. London: Routledge, hlm xx

21 Perkembangan teori pembelajaran juga turut mempengaruhi berjalannya pedagogi di museum Barat. Dari Behaviorisme hingga konsep pembelajaran aktif (active learning) 20, berbagai perkembangan dalam teori pembelajaran telah bercampur di dalam bagaimana museum menciptakan dan menampilkan narasinya. Berbagai temuan tentang pengalaman pengunjung dan akumulasi pengetahuan kognitif juga telah memberi kontribusi pada perkembangan pembelajaran di museum. 21 Dengan Konstruktivisme dan teori sosial-budaya (socio-cultural theories) 22, pembelajaran kini dilihat sebagai sebuah konstruksi pengetahuan dan identitas dan juga sebagai interaksi aktif antara individu dan lingkungannya. John H. Falk dan Lynn D. Dierking mengajukan Model Pembelajaran Kontekstual dalam pembelajaran pengunjung di museum. Mereka mengatakan bahwa pembelajaran dipengaruhi oleh tiga konteks personal, sosio-kultural dan fisik yang saling melengkapi, sehingga pembelajaran bisa dibangun dari integrasi dan interaksi dari ketiga konteks tersebut. 23 George E. Hein juga mengajukan beberapa faktor yang mempengaruhi pembelajaran di museum. Faktorfaktor tersebut adalah persiapan latar pembelajaran yang meliputi unsur-unsur penyajian, pembelajaran dilihat sebagai proses perkembangan diri yang meliputi pembagian jenis-jenis pengunjung, pembelajaran dilihat sebagai proses sosial yang meliputi konteks sosial pengunjung seperti keluarga dan kelompok-kelompok budaya (cultural groups) dan faktor interpretasi dalam pembelajaran yang meliputi keseluruhan pengalaman kunjungan, narasi museum dan penciptaan model di museum. 24 Di antara literatur-literatur tentang museum khususnya tentang sejarah museum, belum terdapat penelitian tentang perkembangan museum di negara-negara berkembang selama masa kolonial. Dalam penelitian atau karya ilmiah lainnya, yang dibahas hanyalah perbedaan antara 20 George E. Hein dan Mary Alexander, Museums: Places of Learning. Washington: American Association of Museums, John H. Falk dan Lynn D. Dierking, eds., Public Institutions for Personal Learning: Establishing A Research Agenda. Washington D.C.: American Association of Museums, hlm George E. Hein, Learning in the Museum, hlm dan Marlene Chambers, Real Pearls at the Postmodern Museum Potluck: Constructivism and Inclusiveness, Bonnie Pitman, ed., Presence of Mind: Museums and the Spirit of Learning. Washington D.C.: American Association of Museums, 1999, hlm John H. Falk dan Lynn D. Dierking, Learning from Museums: Visitor Experiences and the Making of Meaning. Walnut Creek: Altamira Press, hlm George E. Hein, Learning in the Museum, hlm xxi

22 museum di negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Namun terdapat banyak literatur tentang museum di negara-negara poskolonial, yang sebagian besar ditulis oleh Moira G. Simpson 25, Flora E.S. Kaplan 26, Christina F. Kreps 27, and Andrea Witcomb dan Chris H ealy 28. Selain itu juga Tony Bennet yang mendiskusikan tentang kolonialisasi di Australia dalam kaitannya dengan evolusi museum. 29 Meskipun begitu, diantara literatur-literatur di atas, belum ada yang mengkaji tentang bagaimana museum di negara poskolonial menciptakan narasinya dan bagaimana masyarakatnya melihat museum. Pendirian museum di teritori-teritori kolonial diawali oleh keinginan pihak kolonialis untuk mengoleksi spesimen sejarah alam dan karya seni yang mereka anggap primitif. Mereka menciptakan suatu tatanan koleksi, mempelajarinya dan mengaturnya sesuai dengan kerangka pengetahuan Barat. Setelah masa kemerdekaan, dengan karakter kolonialnya, museum di teritori kolonial tumbuh sebagai sarana pengembangan identitas budaya dan nasional. 30 Namun, karena museum-museum tersebut sangat dipengaruhi oleh kolonialisme 31 dan dibangun secara superfisial 32, penguatan identitas budaya dan nasional merupakan tema yang masih sulit untuk dibahas dalam museum di negara-negara berkembang. Dengan karakternya tersendiri, tidaklah mudah untuk mengadaptasi nilai-nilai museum internasional atau Barat dalam praktik museum di negara-negara berkembang. Mereka harus mempertimbangkan konteks di sekeliling mereka, yang terdiri dari faktor sosial dan politik, karakteristik pembelajaran masyarakat, kebutuhan dari audiens mereka dan lain-lain. Dengan 25 Simpson membahas tentang bagaimana merepresentasikan kebudayaan lokal dan repatriasi dengan memberikan contoh museum di Amerika, Australia, New Zealand dan Papua Nugini. Moira G. Simpson, Making Representations: Museums in the Post-Colonial Era. London: Routledge, Kaplan mendiskusikan tentang peran obyek dalam mendefiniskan identitas nasional di negara-negara poskolonial. Flora E.S. Kaplan, ed., Museums and the Making of Ourselves: The Role of Objects in National Identity. London: Leicester University Press, Kreps mendiskusikan karakter lokal dalam praktik museum dan preservasi warisan budaya di Indonesia, Pasifik, Afrika dan Amerika Utara. Christina F. Kreps, Liberating Culture: Cross-Cultural Perspectives on Museums, Curation, and Heritage Preservation. London: Routledge, Witcomb mendiskusikan tentang budaya museum di negara-negara di Pasifik Selatan. Andrea Witcomb dan Chris Healy, eds., South Pacific Museums: Experiments in Culture. Clayton, Victoria: Monash University Press, Tony Bennet, Pasts Beyond Memory: Evolution, Museums, Colonialism. London: Routledge, Moira G. Simpson, From Treasure House to Museum.. and Back, Sheila Watson, ed., Museums and Their Communities. London: Routledge, hlm Stuart Hall, Cultural Identity and Diaspora, in Jonathan Rutherford, ed., Identity: Community, Culture and Difference. London: Lawrence and Wishart, Edward W. Said, Orientalism. Harmondsworth: Penguin, xxii

23 kata lain, dibutuhkan konsep budaya museum (museum culture) lokal, yang juga mengacu pada idiom lokal (local idiom). 33 Pembahasan yang lebih dalam tentang pedagogi dan karakter museum di negara-negara berkembang akan didiskusikan di bab-bab berikutnya Ruang Lingkup Penelitian Pedagogi adalah suatu konsep yang dimiliki museum dalam merancang seluruh kegiatan edukasinya. Pedagogi bisa dikatakan merupakan benang merah yang mengaitkan setiap kegiatan edukasi di museum. Kegiatan edukasi di museum terdiri dari pameran, aktifitas interpretatif yang mendampingi pameran, dan program publik. Dalam mengkaji pedagogi museum dan karakteristik pembelajaran pengunjungnya, penelitian ini akan membatasi lingkupnya pada sebuah pameran permanen khusus. Hal ini dikarenakan pameran adalah satu-satunya implementasi yang sangat menonjol dari kerangka narasi yang dimiliki museum. Pedagogi di museum bisa dilihat melalui pameran karena pameranlah yang memberi kesan paling kuat dalam kunjungan ke museum. 34 Sehingga dari pameran bisa diketahui informasi tentang bagaimana museum merancang narasinya tersebut. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan keterangan yang mendalam dan komprehensif tentang perilaku pengunjung terhadap narasi tertentu dalam sebuah bentuk pameran. Maka dari itu, penelitian ini hanya menggunakan satu museum sebagai studi kasusnya yaitu Museum Nasional. Terdapat beberapa alasan mengapa Museum Nasional yang dipilih menjadi studi kasus. Pertama adalah karena Museum Nasional berlokasi di Jakarta yang merupakan ibukota Indonesia. Dengan kurang lebih 8 juta jiwa 35, Jakarta memiliki populasi terpadat di Indonesia dengan penduduk yang beragam yang berasal dari latar belakang budaya sosial, ekonomi dan pendidikan yang berbeda-beda. Alasan kedua adalah karena Museum 33 Corinne A. Kratz and Ivan Karp, Introduction, in Ivan Karp, et al., Museum Frictions: Public Cultures/Global Transformation. London: Duke University Press, , hlm Eilean Hooper-Greenhill, Museums and the Interpretation of Visual Culture, hlm Berdasarkan sensus terkini di tahun 2005, terdapat juta jiwa di Indonesia. Sensus berikutnya akan dilakukan pada tahun Hhttp:// 17 Juni xxiii

24 Nasional adalah museum berskala nasional dan dapat dianggap sebagai museum pelopor dan museum yang paling populer di Indonesia. Tidak hanya karena museum ini berada langsung di bawah pemerintah pusat, juga karena museum ini memiliki koleksi dengan ragam dan jumlah terbanyak di Indonesia, dan maka dari itu memiliki jumlah pengunjung yang tinggi. 36 Maka dengan melakukan penelitian di Jakarta, penelitian ini bisa menjadi langkah awal dalam meneliti kecenderungan dalam bagaimana museum di Indonesia menciptakan dan menyampaikan narasinya dan juga bagaimana respon pengunjung terhadap narasi tersebut. Museum Nasional memiliki tiga belas galeri tetapi hanya satu galeri yang akan digunakan sebagai contoh dalam penelitian ini. Galeri yang dipilih adalah Galeri Etnografi yang terdiri dari kebudayaan-kebudayaan materi dari seluruh wilayah di Indonesia. Galeri ini secara khusus dipilih karena galeri ini menggambarkan keragaman kebudayaan Indonesia. Di dalam galeri ini pengunjung dapat melihat kebudayaan dari seluruh etnis di Indonesia. Konsep identitas budaya selalu menjadi salah satu permasalahan di Indonesia. Masyarakat Indonesia seringkali melihat diri mereka berbeda satu sama lain karena alasan etnis. Maka akan sangat menarik untuk mengamati perilaku pengunjung dan interaksi mereka di galeri ini. Selain itu juga akan terlihat bagaimana masyarakat Indonesia melihat diri mereka sendiri dan yang lainnya melalui penggambaran museum. Pengunjung Museum Nasional dalam penelitian ini dianggap sebagai representasi dari masyarakat Indonesia. Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa lokasi Museum Nasional berada di Jakarta dan memiliki kedudukan sebagai museum terpopuler di Indonesia, maka pengunjungnya tidak hanya berasal dari wilayah Jakarta saja. Sebagai tambahan, mengingat Jakarta adalah ibukota Indonesia yang sangat multikultural, pengunjung Museum Nasional terdiri dari masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dari aspek budaya, sosial dan ekonomi. Pengunjung yang dijadikan subjek penelitian adalah pengunjung umum yang terdiri dari keluarga, pengunjung individual dan pengunjung dalam kelompok sosial dan budaya tertentu. Penelitian ini tidak mengikutsertakan pengunjung dari kategori kunjungan 36 Catatan jumlah pengunjung terakhir adalah pada tahun 2007, sekitar pengunjung dalam satu tahun. Hhttp:// 8 Juli xxiv

25 sekolah karena penelitian ini bermaksud mengetahui karakteristik pembelajaran masyarakat dalam museum sebagai tempat pendidikan informal. Selain pengunjung museum, wawancara juga dilakukan pada nara sumber, yaitu pengelola museum yang terdiri dari Kepala Bidang Bimbingan dan Publikasi, Kepala Bidang Pembinaan Koleksi Sejarah dan Antropologi dan Kepala Bidang Konservasi dan Penyajian Metodologi Pedagogi di museum berkisar di antara apa yang dikatakan di dalam sebuah museum dan bagaimana cara mengatakannya. Maka langkah pertama dalam mengatasi permasalahan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan observasi pada pameran di museum karena pameran merupakan ilustrasi dari kerangka pedagogi. Langkah kedua adalah dengan mengeksplor pengalaman pengunjung dan bagaimana mereka menciptakan makna dari pengalaman tersebut. Namun dibutuhkan sebuah metodologi untuk mengatur kedua langkah di atas. Metodologi adalah kerangka khusus yang mendasari sebuah penelitian. Metodologi merupakan paradigma tertentu dalam melihat dunia dan berfungsi membatasi sebuah penelitian. 37 Penelitian ini didasarkan pada paradigma naturalistik yang mengambil konteks alamiah sebagai latar belakangnya. 38 Maka pendekatan kualitatif akan sesuai karena pendekatan tersebut menerapkan sifat interpretif dan naturalistik pada kajiannya. Pendekatan kualitatif mempelajari sebuah fenomena dalam latar belakang alamiahnya, menempatkan si pengamat di dunia dan mencoba menginterpretasi sebuah fenomena dalam kaitannya dengan makna yang dibawa seseorang. 39 Penelitian ini akan menggunakan studi kasus dengan observasi dan wawancara sebagai teknik pengambilan data. Alasan menggunakan studi kasus terletak pada karakternya, yaitu bahwa studi kasus didasari oleh latar belakang alamiah, penelitian yang mendalam (in-depth study), berfokus pada hubungan dan proses juga di dalamnya dapat diaplikasikan beragam metode dan sumber Loraine Blaxter, et al., How to Research, 2 nd edition. Buckingham: Open University Press, George E. Hein, Learning in the Museum, hlm Norman S. Denzin dan Yvonne S. Lincoln, Introduction: Entering the Field of Qualitative Research, Norman S. Denzin et al., Collecting and Interpreting Qualitative Materials. London: Sage Publications, , hlm Martyn Denscombe, The Good Research Guide: For Small Scale Social Research Projects. Buckingham: Open University Press, xxv

26 Pengambilan Data Observasi pada pameran di Galeri Etnografi dilakukan dengan cara menyusuri alur pameran dari ruang barat hingga ke ruang timur dan mengamati tiap-tiap penyajian. Sebagai tambahan, di dalam observasi juga dilakukan pengambilan foto objek, label dan keseluruhan penyajian. Untuk mengeksplor pengalaman pengunjung di Galeri Etnografi juga diterapkan metode observasi khusus, yaitu spatial tracking study yang menyatakan bahwa pengunjung mengikuti jalur individual tertentu. Spatial tracking study digunakan karena metode ini dapat memberi tahu kita tentang jalur pengunjung yang sesungguhnya melalui sebuah galeri dan durasi waktu yang mereka habiskan di galeri tersebut. 41 Tujuan dari spatial tracking study adalah untuk merekam pergerakan pengunjung pada skema kasar galeri dengan menggunakan format observasi terstruktur sebagai acuan. Berpijak pada pemikiran bahwa kunjungan ke museum dan ke sebuah galeri pada khususnya merupakan suatu bentuk pembelajaran, dengan mengetahui pergerakan pengunjung maka bisa didapatkan keterangan mengenai perilaku pengunjung dalam proses belajarnya tersebut. Maka kita bisa mengetahui kecenderungan gaya belajar pengunjung yang berbeda-beda. Selain itu juga bisa didapatkan keterangan mengenai pendapat pengunjung tentang isi pameran dan metode penyampaiannya dalam kaitannya dengan pembelajaran di museum. Instrumen untuk spatial tracking study dalam penelitian ini didasarkan pada tracking study yang pernah dilakukan di Boston Museum of Science dalam pameran Two of Every Sort. 42 Pengunjung yang diamati adalah pengunjung yang datang sendiri dan pengunjung yang berada dalam kelompok sosial tertentu, maka di dalam lembar observasi terdapat keterangan tentang pengunjung yang diamati yang terdiri dari: - Tanggal kunjungan - Waktu kedatangan, waktu selesai dan durasi kunjungan - Jenis kelamin, yang dikelompokkan menjadi Laki-laki, Perempuan atau Campuran; yang berarti pengunjung yang diamati lebih dari satu orang dan memiliki jenis kelamin yang berbeda-beda. 41 George E. Hein, Learning in the Museum, hlm Ibid., hlm xxvi

27 - Cakupan umur yang terdiri dari 19-24, 25-32, dan di atas 45 tahun. - Jenis kelompok pengunjung yang terdiri dari Dewasa dan Campuran; yang berarti pengunjung terdiri dari orang dewasa dan anak-anak. Selain itu, struktur observasi yang digunakan menerapkan format yang terdiri dari variabel-variabel yang mewakili perilaku tertentu yang telah diperkirakan (predetermined behaviours) untuk membantu merekam data perilaku pengunjung. 43 Dengan menggunakan format kode ini sebagai acuan, proses perekaman perilaku pengunjung di dalam galeri akan lebih mudah. Variabel-variabel tersebut antara lain adalah: - Membaca label - Menyentuh objek - Berbicara atau berdiskusi dengan pengunjung lain Namun variabel-variabel tersebut tidak mencegah perekaman perilaku pengunjung lainnya yang tidak termasuk ke dalam variabel-variabel di atas. Sebagai tambahan, dalam melakukan spatial tracking study, peran pengamat dalam penelitian ini adalah sebagai pengamat penuh dengan menerapkan systematic eavesdropping 44 sehingga si pengamat dapat mendengarkan percakapan pengunjung dalam jarak tertentu. Wawancara yang dilakukan mengambil bentuk wawancara semi-structured. Dalam jenis wawancara ini, meskipun pertanyaan standar yang meliputi keterangan seperti umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan dan sebagainya dimasukkan, juga terdapat pertanyaan terbuka (open-ended question) yang dirancang untuk mendapatkan informasi yang lebih kualitatif. 45 Serangkaian topik penting yang harus dibahas ditetapkan, namun setiap pertanyaan 43 Format observasi terstruktur yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada studi observasional yang dilakukan di National Museums and Galleries, Merseyside, Liverpool. Patrick Sudbury dan Terry Russell, Evaluation of Museum and Gallery Displays. Liverpool: Liverpool University Press, Raymond L. Gold, Roles In Sociological Field Observations, George J. McCall dan J.L. Simmons, eds., Issues In Participant Observation: A Text and A Reader. Reading, Massachusetts: Addison-Wesley, hlm Alan Clarke and Ruth Dawson, Evaluation Research: An Introduction to Principles, Methods and Practice. London: Sage Publications, hlm. 72 xxvii

28 bergantung pada situasi di saat wawancara terjadi. 46 Pertanyaan dapat diperluas dan diperdalam sesuai dengan respon pengunjung ketika diwawancara. Model semi-structured dipilih karena model ini fleksibel dan dapat menggali sebuah topik lebih dalam lagi. Model ini juga membuka kemungkinan yang lebih besar dalam mengeksplorasi pendapat pengunjung. Dalam wawancara terlebih dahulu dicantumkan data demografis pengunjung dan keterangan kunjungan ke museum, yaitu umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, detil kunjungan, jumlah kunjungan; kunjungan yang pertama, kedua, ketiga atau lebih dari tiga kali, tujuan kunjungan dan ekspetasi kunjungan. Data demografis tentunya dibutuhkan untuk melihat profil pengunjung yang bisa digunakan museum sebagai data pengunjungnya. Sementara detil kunjungan, jumlah kunjungan dan tujuan kunjungan dapat mengungkap harapan dan motivasi di balik kunjungan yang termasuk ke dalam karakteristik pembelajaran pengunjung di museum. 47 Wawancara dilakukan kepada pengunjung Galeri Etnografi untuk lebih mengetahui lebih jauh tentang karakteristik pembelajaran pengunjung di dalam galeri. Hasil wawancara berperan sebagai data tambahan dari hasil obervasi yang dapat membantu pemetaan karakteristik pembelajaran masyarakat Indonesia di museum. Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara semi-structured ini berperan sebagai pedoman untuk mengeksplor pengalaman pengunjung di Galeri Etnografi. Terdapat enam pertanyaan yang terdiri dari: a. Apakah ini kunjungan pertama anda ke museum? b. Apakah anda menyukai galeri ini? Mengapa? (jika ya atau tidak) c. Penyajian atau objek mana yang menurut anda menarik? Mengapa? d. Apakah anda sudah mengetahui tentang penyajian atau objek tersebut? Jika ya bagaimana anda bisa tahu? e. Setelah mengelilingi galeri ini, apakah pengetahuan anda bertambah tentang penyajian atau objek tersebut? f. Penyajian dan objek mana yang paling anda ingat? Mengapa? 46 Judy Diamond, Practical Evaluation Guide: Tools for Museums and Other Informal Educational Settings. Walnut Creek: Altamira Press, hlm John H. Falk dan Lynn D. Dierking, Learning from Museums: Visitor Experiences and the Making of Meaning, hlm. 13. xxviii

29 Latar belakang pemilihan pertanyaan dalam wawancara ini terdiri dari berbagai pemikiran dan teori yang berkenaan dengan proses pembelajaran pengunjung di museum. Pertanyaan pertama dan enam didasarkan pada adanya konteks personal dalam pembelajaran pengunjung di museum yaitu motivasi, memori dan kenangan yang turut mempengaruhi proses pembelajaran dan interpretasi. Pertanyaan dua dan tiga didasarkan pada preferensi pribadi pengunjung terhadap Galeri Etnografi secara umum dan tiap-tiap penyajiannya. Pertanyaan empat dan lima didasarkan pada pemikiran tentang proses pembelajaran dan interpretasi di museum yang menyatakan bahwa pengunjung memiliki pengetahuan awal (prior knowledge) dalam mengkonstruksi makna di dalam museum melalui pameran. Sebagai tambahan, pertanyaan lima juga dibuat untuk mengetahui sejauh mana museum berperan dalam penambahan pengetahuan pengunjung tentang sesuatu yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Ukuran sampel dan metode sampling merupakan bagian penting dalam memilih subyek untuk sebuah penelitian. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, cukup dibutuhkan ukuran sampel yang kecil. Sekitar 60 subjek akan dipilih untuk penelitian ini dan tiap-tiap teknik pengumpulan data menggunakan metode sampling yang berbeda. Spatial tracking study menggunakan behaviour sampling yang membolehkan pengamat untuk mengamati sekelompok subjek dan kemudian merekam setiap perilaku tertentu. Pengamat juga mencatat konteks dimana perilaku tersebut terjadi, siapa yang terlibat atau pada pameran yang mana perilaku tersebut terjadi. 48 Untuk wawancara, digunakan maximum variation sampling yang bertujuan untuk menangkap tema sentral dan keluaran utama dengan cara menyeleksi karakteristik-karakteristik yang berbeda untuk menciptakan sampel. 49 Sementara wawancara yang dilakukan kepada nara sumber memiliki pertanyaan yang berbeda-beda. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Kepala Bidang Bimbingan dan Publikasi berkenaan dengan edukasi museum yang mencakup pembelajaran pengunjung dan penyampaian narasi di museum. Kepala Bidang Pembinaan Koleksi Sejarah dan Antropologi diberi pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut tujuan, dasar pemilihan objek dan narasi di 48 Ibid, hlm Ibid, hlm. 48. xxix

30 Galeri Etnografi. Sedangkang pertanyaan-pertanyaan untuk Kepala Bidang Konservasi dan Penyajian berkisar pada tata pameran di museum dan metode penyampaian narasinya Pengolahan dan Interpretasi Data Analisis dari pengumpulan data adalah langkah berikutnya dalam sebuah penelitian untuk dapat menjawab masalah penelitian dan untuk mencapai kesimpulan penelitian. Penelitian ini akan menggunakan analisis isi (content analysis) yang sebenarnya merupakan teknik interpretasi dalam pendekatan sosiologi dalam analisis media. Teknik ini didasarkan pada pengukuran jumlah sesuatu hal dari suatu bentuk komunikasi dalam sampling acak. 50 Teknik ini juga bisa digunakan dalam penelitian evaluasi selain analisis media. Analisis isi dapat menspesifikasi tema, pola dan isu penting dalam data. Kutipan dan observasi yang memiliki kesamaan diatur di bawah tema utama dan juga dilakukan referensi silang pada seluruh data sebelum membangun kesimpulan Sistematika Penulisan BAB 1: PENDAHULUAN Bab ini membahas tentang latar belakang penelitian, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan literatur, ruang lingkup penelitian dan metodologi. BAB 2: PEDAGOGI DI MUSEUM Bab ini membahas sejarah dan konsep edukasi di museum, pembelajaran di museum, teori dan konsep pedagogi dan perkembangan pedagogi di museum Barat. BAB 3: MUSEUM DI INDONESIA Bab ini membahas tentang karakteristik dan perkembangan museum di negara-negara berkembang dan asal usul pendirian museum di Indonesia beserta konteks sekitarnya yang berpengaruh terhadap perkembangan museum. 50 Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, revised edition. London: Sage Publication, 1991, hlm Op Cit, hlm xxx

31 BAB 4: ANALISIS PAMERAN DAN PENGUNJUNG GALERI ETNOGRAFI Bab ini membahas tentang analisis dari pengambilan data yang dilakukan di Galeri Etnografi Museum Nasional. Analisis meliputi pembahasan mengenai museum, hasil pengamatan pameran di Galeri Etnografi, dan hasil pengamatan dan wawancara pengunjung. Juga dibahas interpretasi dari analisis yang menjawab permasalahan penelitian. BAB 5: KESIMPULAN Bab ini membahas kesimpulan dan saran yang dapat diberikan kepada pihak Museum Nasional sebagai hasil dari penelitian ini. BAB 2 Pedagogi di Museum 2.1. Edukasi Museum Asal usul museum bisa diikuti jejaknya hingga ke Mouseion of Alexandria 52 dan kemudian selama masa Renaissance dalam bentuk koleksi-koleksi para bangsawan. 53 Pada pertengahan abad 19, koleksi koleksi para bangsawan yang terdiri dari karya seni dan spesimen 52 Jeffrey Abt, The Origins of the Public Museum, Sharon MacDonald ed., A Companion to Museum Studies. Oxford: Blackwell Publishing, hlm Sebagai contoh adalah Medici Palace dan Kunstkammer yang hanya bisa diakses oleh kaum elit. Eilean Hooper - Greenhill, Museums and the Shaping of Knowledge, xxxi

32 sejarah alam tersebut kemudian dapat diakses oleh publik. 54 Pada masa itu, museum sebagai sebuah institusi dianggap sebagai sebuah instrumen budaya oleh pemerintah. Museum dianggap sebagai bagian dari simbol kesadaran nasional dan dilihat dapat memberi kontribusi pada kesejahteraan rakyat. Museum merupakan sumber pengetahuan dan memiliki kekuatan untuk mengatur dan berjalan dalam mempertahankan keteraturan dalam masyarakat sipil. 55 Pada awalnya, museum pada abad 19 di Eropa secara besar-besaran menunjukkan kekayaan dan kekuasaan pemerintah. Tetapi seiring dengan perubahan yang disebabkan oleh industrialisasi dan pengenalan konsep sekolah untuk semua, museum berkembang menjadi sebuah sarana pendidikan publik untuk masyarakat umum. 56 Di akhir abad 19, museum telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu peran utamanya dan memberikan dukungan pada pendidikan formal dan informal. Pengajaran di museum dan keterlibatan objek untuk tujuan pembelajaran merupakan dua perkembangan dalam edukasi museum pada awal abad 20 di Eropa. 57 Menurut Alma S. Wittlin, sejarah awal edukasi museum di Eropa dapat dibagi menjadi dua periode. Periode pertama berlangsung dari pertengahan abad 19 hingga masa Perang Dunia I dan periode kedua berlangsung pada masa perang Periode pertama menekankan dan menggambarkan kekuatan nasional dan imperial yang juga berfungsi sebagai instrumen penyelidikan masalah ilmiah dan penelitian, sedangkan periode kedua diwarnai oleh tema-tema nasionalisme dan politik dan konsep terbaru dalam memamerkan seni dan sains. 58 Di Amerika Serikat, perkembangan edukasi museum terjadi pada kurun waktu yang sama. Edward P. Alexander mengajukan argumen kuat dan memberikan bukti yang mendukung bahwa edukasi museum merupakan konsep Amerika. 59 Berdasarkan model museum di Eropa, museum-museum di Amerika pada akhir abad 19 dibangun dan dikelola secara independen oleh rakyat biasa. Mereka lalu berubah menjadi institusi publik dan mengenal istilah edukasi dikarenakan oleh demokrasi 54 Sebagai contoh adalah Museum Louvre atau museum South Kensington (kini menjadi Victoria and Albert Museum). 55 Tony Bennet, The Birth of the Museum: History, Theory, Politics. London: Routledge, George E. Hein, Learning in the Museums, hlm Eilean Hooper-Greenhill, Museum and Gallery Education. Leicester: Leicester University Press, 1991, hlm Alma S. Wittlin, The Museum, Its History and Its Tasks in Education. London: Routledge and Keagan Paul, 1949, hlm Edward P. Alexander, The American Museum Chooses Education, Curator vol. 31, no. 1 Walnut Creek:Altamira Press, hlm xxxii

33 dan karena berfokus pada nasionalisme budaya dan kesadaran kebangsaan, menyediakan pelayanan publik dan stabilitas sosial. 60 Pada tahun 1900, museum-museum di Amerika menjadi pusat edukasi dan pencerahan publik, dan meneruskan kepeloporan mereka dalam programprogram edukasi. 61 Museum pertama yang didirikan berdasarkan tujuan pendidikan adalah museum anak-anak pada tahun Banyak museum di Amerika yang kemudian menciptakan departemen edukasi di dalam museum mereka pada awal abad 20 dengan kolaborasi bersama sekolah-sekolah. 62 Dalam kurun waktu yang panjang, fungsi edukasi museum telah meningkat tidak hanya karena perubahan definisi pembelajaran tetapi juga karena meluasnya peran museum dalam konteks sosial dan politik seperti yang diajukan oleh Richard Sandell dan Robert R. Janes. 63 Dalam tujuannya museum dapat mengacu pada masyarakat yang lebih setara dan pada perubahan sosial politik di sekitar mereka. Sebagai tambahan, museum juga dapat mempertahankan peran tradisionalnya dalam mempreservasi kebudayaan yang dapat membangun identitas budaya dan nasional. 64 Hal tersebut membawa museum pada tugas lainnya, yaitu untuk memenuhi keinginan publik untuk menjadi responsif secara sosial, baik ketika museum berdiri sebagai institusi penelitian atau sebagai forum publik. 65 Pembelajaran kini dilihat sebagai sebuah partisipasi aktif individu melalui interaksi dengan lingkungannya. Pembelajaran telah bergeser dari tulisan pada partisipasi fisik. 66 Dalam konteks museum, konsep pendidikan tidak lagi membatasi dirinya pada sekolah formal dan pembelajaran di dalam kelas. David Anderson mengamati konsep pembelajaran seumur hidup 60 Jeffrey Abt, The Origins of the Public.. dan Lisa C. Roberts, From Knowledge to Narrative: Educators and the Changing Museum. Washington: Smithsonian Institution Press, hlm Edward P. Alexander and Mary Alexander, Museums In Motion, 2 nd edition. Plymouth: Altamira Press, 2008, hlm George E. Hein, Museum Education, Sharon MacDonald, ed., A Companion to Museum Studies. Oxford: Blackwell Publishing, hlm Richard Sandell, Museums, Prejudice and the Reframing of Difference. London: Routledge, 2007; Museums, Society, Inequality. London: Routledge, 2002 dan Robert R. Janes, Museums, Social Responsibility and the Future We Desire, Simon J. Knell, et al., Museum Revolutions: How Museums Change and Are Changed. London: Routledge, hlm George E. Hein, Learning in the Museum, hlm Duncan Cameron, The Museum, a Temple or the Forum?, Curator, vol. 14 no. 1 (Walnut Creek: Altamira Press, 1995), pp dan Viv Golding, Learning At the Museum Frontiers: Democracy, Identity and Difference, Simon J. Knell, et al., Museum Revolutions, hlm Op Cit, hlm. 6 xxxiii

34 dan konsep ini sudah diakui secara luas. 67 Pembelajaran seumur hidup menekankan bahwa pembelajaran tidak terbatas pada tempat-tempat yang disetujui secara formal, namun dapat terjadi dimana dan kapan saja. Maka dari itu apa yang dipelajari tidak bisa selalu dikontrol dan juga tidak selalu dianggap sebagai sesuatu yang bermakna. 68 Museum kini bersifat terbuka kepada seluruh kelas masyarakat dan maka dari itu memberikan kesempatan kesetaraan sosial yang bisa dicapai melalui pembelajaran. 69 Jika pada awalnya edukasi di museum hanya terbatas pada pelayanan kelompok sekolah atau tur kelompok dewasa, kini edukasi di museum telah dipahami turut berperan serta dalam penyajian pameran, program publik dan workshop. Pekerjaan edukator di museum telah meluas hingga turut berperan serta dalam perkembangan pameran dan studi pengunjung juga dalam pengaturan dan pelaksanaan program-program edukasi. 70 Lisa C. Roberts menyatakan bahwa keterlibatan edukator museum dalam persiapan eksibisi telah memposisikan ulang fungsi inti museum, sebagaimana edukasi museum tidak lagi berisi fakta dan informasi namun lebih menekanan pada makna personal melalui narasi dan pengalaman. 71 Perkembangan terkini tentang signifikansi edukasi di museum di dunia Barat terjadi di Amerika Serikat dan Inggris. Tidak dapat dibantah bahwa tentunya perkembangan museum dan edukasi di museum berpijak pada kebijakan yang memayungi institusi museum. Pertama kali pada tahun 1969, American Association of Museums (AAM) di Amerika Serikat menerbitkan The Belmont Report yang mengutarakan adanya tekanan pada museum untuk melayani publik dan kebutuhan museum pada sumber daya untuk menjalankan misi museum. 72 AAM kemudian membentuk komisi Museums for a New Century pada tahun 1984 yang mengakui pentingnya edukasi di museum dan mengatakan bahwa museum belum menyadari potensinya sebagai 67 David Anderson, Gradgrind Driving Queen Mab s Chariot: What Museums Have (and Have Not) Learnt from Adult Education, Alan Chadwick and Annette Stannertt, eds., Museums and the Education of Adults, (Leicester: National Institute for Adult Continuing Education, 1995), Usher, Robin et al. Adult Education and the Postmodern Challenge : Learning Beyond the Limits. London: Routledge, 1997, hlm Eilean Hooper-Greenhill, Museum and Gallery Education, hlm Eilean Hooper-Greenhill, Education, Communication and Interpretation: Towards a Critical Pedagogy in Museums, hlm Lisa C. Roberts, From Knowledge to Narrative: Educators and the Changing Museum, 72 American Association of Museums, America s Museums: The Belmont Report. Washington DC: American Association of Museums, xxxiv

35 institusi pendidikan. 73 Kesimpulan dari Museums for a New Century menyatakan bahwa fungsi edukasi museum tidak hanya penting, tetapi sama pentingnya dengan aspek lainnya dalam praktik museum. 74 Pada tahun 1992, AAM bersama dengan sekelompok pendidik professional di museum menerbitkan Excellence and Equity: Education and the Public Dimension of Museums. Kesimpulan dari laporan tersebut menyatakan bahwa: komunitas museum di Amerika Serikat membagi tanggung jawab dengan institusi pendidikan lainnya untuk memperkaya kesempatan belajar untuk seluruh individual dan untuk membimbing kewarganegaraan yang tercerahkan dan berkemanusiaan yang menghargai nilai pengetahuan tentang masa lalu, memiliki sumber daya dan bersifat sensitif dalam keterlibatannya di masa kini, dan bertujuan untuk membentuk masa depan yang memberi kesempatan bersuara bagi beragam pengalaman dan sudut pandang. 75 Di Inggris, diperkenalkannya kurikulum nasional pada tahun menyebabkan kemunculan banyak publikasi resmi tentang penggunaan museum untuk mendukung tujuan pendidikan yang diamanatkan oleh negara. 77 Berikutnya pada tahun 1997 ketika diterbitkannya A Common Wealth: Museums in the Learning Age oleh United Kingdom Museums and Galleries Commission. 78 Publikasi tersebut mengidentifikasi dua belas target untuk perkembangan edukasi museum yang akan merubah peran publik museum dan mengajukan pernyataan-pernyataan filosofis tentang museum sebagai institusi pendidikan. 79 Sebagai akibatnya, kebijakan pemerintahan Inggris kini menyatakan bahwa pendidikan baik itu dalam kerangka formal dan pembelajaran sepanjang hidup harus menjadi fungsi inti dari museum. 73 American Association of Museums, Museums for a New Century. Washington DC: American Association of Museums, hlm George E. Hein, Learning in Museums, hlm American Association of Museums, Excellence and Equity: Education and the Public Dimension of Museums. Washington DC: American Association of Museums, hlm H. Moffat, Using Museums: Teachers Guide. Warwick: Educational Television Company Limited, 1996; School Curriculum and Assessment Authority, A Guide to the National Curriculum for Staff of Museums, Galleries, Historic Houses and Sites. London: School Curriculum and Assessment Authority, 1995; J. Yorath ed., Learning About Science and Technology in Museums. London: Sout Eastern Museum Service, George E. Hein, Learning in Museums, hlm David Anderson, A Common Wealth: Museums and Learning in the United Kingdom. London: Department of National Heritage, Eilean Hooper-Greenhill, Preface, in Eilean Hooper-Greenhill, The Educational Role of Museums, (London: Routledge, 1999). hlm xiii xxxv

36 Kebijakan ini kemudian mendominasi rencana strategis museum-museum di Inggris yang meliputi alokasi pendanaan dari pemerintah Pembelajaran di Museum Dalam kaitan edukasi museum dengan penciptaan makna oleh pengunjung, kita tidak dapat mengindahkan perkembangan teori pembelajaran. Literatur-literatur teori pembelajaran menyaksikan perubahan dramatis yang terjadi di abad 20, yaitu tumbuh dan berakhirnya Behaviorisme, munculnya teori perkembangan (developmental theories), dikenalnya signifikansi faktor lingkungan dalam pembelajaran, dan tumbuhnya model pembelajaran aktif yang secara umum dikenal dengan Konstruktivisme. 81 Hein mengajukan bahwa teori edukasi bisa diatur dalam sebuah diagram ortogonal yang merupakan kombinasi dari teori pengetahuan atau epistemologi dan teori pembelajaran. Menurut Hein, teori pengetahuan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu yang disebut dengan realism dan idealism. Kedua jenis konsep pengetahuan tersebut berada pada dua sisi ekstrim yang berlawanan yang bisa digambarkan dalam sebuah kontinum dua sisi. Diagram Teori Pengetahuan oleh Hein Konsep pengetahuan realism percaya bahwa dunia nyata berada di luar pemikiran manusia, bahwa persepsi kita terhadap dunia hanyalah imitasi belaka, sehingga pengetahuan dianggap berdiri sendiri di luar kepala manusia. Sedangkan konsep idealism menyatakan 80 Graham Black, The Engaging Museum: Developing Museums for Visitor Involvement. London: Routledge, Hlm George E. Hein dan Mary Alexander, Museums: Places of Learning, xxxvi

37 bahwa pengetahuan hanya berada di dalam pikiran manusia dan tidak berkaitan dengan dunia nyata di luar sana, bahwa ide dan hukum alam hanya ada di dalam kepala mereka yang menciptakan dan mempercayainya. Sementara itu, Hein juga membagi teori pembelajaran ke dalam kontinum dua sisi berlawanan yang sangat berbeda. Sisi pertama adalah konsep pembelajaran transmisi-penyerapan (transmission-absorption) yang meyakini bahwa manusia belajar dengan cara menyerap informasi yang telah disampaikan kepada mereka. Penyerapan informasi tersebut dilakukan secara perlahan-lahan, dengan menambahkan sedikit demi sedikit informasi ke dalam tempat penyimpanan informasinya. Sedangkan di sisi lain terdapat konsep pembelajaran yang didasarkan bahwa manusia mengkonstruksi pengetahuan. Konsep tersebut menekankan partisipasi aktif otak dalam pembelajaran dan mengenali bahwa proses belajar merupakan sebuah transformasi skema yang mana si pelajar berperan aktif dan melibatkan proses pemaknaan atas serangkaian fenomena yang terjadi di depannya. 82 Diagram Teori Pembelajaran oleh Hein Maka diagram ortogonal tentang teori edukasi tersebut terbagi ke dalam empat area, yang masing-masing dapat menjelaskan tiap-tiap teori edukasi. Setiap teori berada pada dua sisi epistemologi dan teori pembelajaran, dan setiap dua teori memiliki dasar epistemologi dan teori pembelajaran yang sama. 82 George E. Hein, Learning in Museums, hlm xxxvii

38 Diagram Bagan Ortogonal Teori Edukasi oleh Hein. Teori-teori edukasi yang dikelompokkan oleh Hein terdiri dari teori didactic-expository, discovery, stimulus-response dan constructivism. Tiap-tiap teori edukasi tersebut memiliki kerangka pedagoginya sendiri dan karakteristik-karakteristik khusus di museum, yang secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Didactic-Expository - Memiliki eksibisi yang berurutan, dengan awal dan akhir yang jelas serta urutan yang teratur - Memiliki komponen didaktik, seperti contohnya label dan panil yang menjelaskan apa yang akan dipelajari dari eksibisi - Pengaturan subjek eksibisi yang hirarkis dari yang sederhana ke yang rumit 2. Stimulus-Response Teori ini memiliki karakteristik yang sama dengan teori Didactic-Expository, namun tidak menyatakan kebenaran objektif dari apa yang dipelajari. Sebagai tambahan, eksibisi yang xxxviii

39 didasari oleh teori ini akan menggunakan komponen yang secara berulang-ulang menekan stimulus pengunjung dan memberi hadiah yang sesuai bagi mereka. 3. Discovery - Memiliki eksibisi yang mengandung unsur eksplorasi - Memiliki serangkaian mode pembelajaran aktif - Memiliki komponen didaktik yang memasukkan pertanyaan dan memberi petunjuk pada pengunjung atas jawabannya - Memiliki beberapa sarana untuk pengunjung dalam menilai interpretasi mereka terhadap interpretasi yang tepat 4. Constructivism - Memiliki banyak titik awal dalam eksibisi, tidak memiliki jalur khusus dan tidak memiliki awal dan akhir - Memiliki serangkaian mode pembelajaran aktif - Menampilkan sudut pandang yang berbeda-beda - Memudahkan pengunjung untuk beraktifitas dengan objek dan ide melalui aktifitas yang menggunakan pengalaman hidup pengunjung. 83 Pembelajaran di museum juga kini mulai mempertimbangkan gaya belajar pengunjung yang berbeda-beda. Beberapa ahli telah mengajukan berbagai gaya belajar individual, seperti adanya individu-individu yang lebih menyukai Concrete Experience, Reflective Observation, Abstract Conceptualization, dan Active Experimentation. 84 Terdapat juga gaya pembelajaran 4Mat system yang terdiri dari pelajar tipe Satu hingga Empat yang tiap-tiapnya lebih cenderung menyukai mendengar dan berbagi ide, menyukai fakta dan detil, mengaplikasikan logika dan menyukai trial and error. 85 Selain itu juga terdapat pembagian jenis gaya belajar individu yang dikelompokkan menjadi Theorist, Reflectors, Pragmatists dan Activists. 86 Lebih jauh lagi, gaya 83 Ibid., hlm D.A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, Bernice McCarthy, The 4Mat System: Teaching Learning Styles Using Right/Left Mode Techniques. Barrington, IL: Excel, Hlm rd P. Honey dan A. Mumford, The Manual of Learning Styles, 3 edition. Maidenhead, Birkshire: Honey, xxxix

40 belajar pengunjung bisa dikategorikan juga ke dalam Analytical Learners, Imaginative Learners, Common-sense Learners dan Experiental Learners. 87 Disamping gaya belajar, banyak pengaruh internal dan eksternal yang mempengaruhi proses belajar di museum. Pengaruh-pengaruh tersebut terdiri dari minat pribadi, motivasi, pengetahuan dasar, keahlian belajar, kesempatan belajar, ketersediaan waktu, pengalaman belajar yang lalu, tingkah laku terhadap pembelajaran, tingkah laku keluarga dan teman-teman, pekerjaan, tingkah laku atasan pada pembelajaran di tempat kerja, kebutuhan, kualitas tutor, materi pembelajaran, pendukung pembelajaran lainnya dan penghalang proses pembelajaran lainnya. 88 Dalam kaitannya dengan aspek-aspek yang mempengaruhi pembelajaran, maka kita kembali pada Model Pembelajaran Kontekstual yang menyatakan bahwa pembelajaran di museum dipengaruhi oleh tiga konteks yaitu konteks personal, sosiokultural dan fisik. Pada konteks personal terdapat tiga aspek yang dilihat berpengaruh terhadap pembelajaran di museum, yaitu: a. Motivasi dan Ekspektasi; bahwa pengunjung memiliki motivasi dan ekspektasi tertentu sebelum berkunjung ke museum b. Pengetahuan awal, Minat dan Keyakinan; bahwa makna yang diciptakan pengunjung di museum berada di dalam batasan pengetahuan awal, minat dan keyakinan c. Pilihan dan Kontrol; bahwa pengunjung mengalami proses belajar yang ideal ketika mereka dapat memilih dan mengontrol apa dan bagaimana mereka belajar di museum Sedangkan pada konteks sosiokultural terdapat dua aspek yaitu: a. Mediasi di dalam kelompok sosiokultural; bahwa sebagian besar pengunjung datang ke museum sebagai bagian dari kelompok sosial. Setiap kelompok saling mempergunakan satu sama lain dalam menyerap dan menyimpulkan informasi, penciptaan makna, dan menguatkan kepercayaan bersama. b. Mediasi yang difasilitasi oleh orang lain; bahwa interaksi sosial dengan orang asing di luar kelompok sosial pengunjung juga berpengaruh dalam proses belajar Terakhir, terdapat tiga aspek dalam konteks fisik yaitu: 87.Beverly Serrell, Exhibit Labels: An Interpretive Approach. Walnut Creek: Altamira Press, Graham Black, The Engaging Museum: Developing Museums for Visitor Involvement, hlm xl

41 a. Pengaturan dan Orientasi; bahwa pengunjung belajar dengan lebih baik jika mereka merasa nyaman dengan lingkungannya dan mengetahui apa yang diharapkan dari mereka b. Desain; bahwa pembelajaran dipengaruhi oleh desain. Sebagai contohnya pameran yang didesain dengan baik merupakan media pembelajaran terbaik dalam memfasilitasi proses pemahaman terhadap dunia sekitar c. Kegiatan dan Pengalaman di luar museum; bahwa pengunjung membutuhkan kegiatan pembelajaran di luar museum sehingga melengkapi pengalaman kunjungan mereka secara utuh Pedagogi Museum Barat Seluruh dinamika dalam konteks sosial politik dan pembelajaran yang mengitari museum pada akhir abad 19 dan awal abad 20 membawa museum pada tujuan edukasi yang lebih khusus. Maka pedagogi pun mulai diaplikasikan di museum. Pedagogi merupakan hal yang penting di dalam museum. Pedagogi menggambarkan bagaimana museum menciptakan narasinya dan bagaimana narasi tersebut disampaikan kepada audiensnya. Pedagogi adalah sebuah kerangka yang mengilustrasikan bagaimana fungsi museum sebagai institusi pendidikan dan bagaimana museum melihat audiensnya. Seperti yang kita tahu bahwa terdapat banyak aktifitas edukasi di museum, namun yang paling jelas dan paling menonjol adalah pameran. Pameran adalah media utama dimana pengunjung menangkap narasi museum dan dimana sebagian besar pembelajaran dan proses interpretasi terjadi. Pedagogi adalah unsur yang penting dalam museum karena secara langsung berkenaan dengan isi dan bagaimana pengetahuan disampaikan kepada publik. Tidak hanya dipengaruhi oleh proses pembelajaran, pedagogi juga turut dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti perubahan budaya dan sosial di luar museum. Perkembangan pedagogi museum Barat tidak bisa terlepas dari perubahan dari modernisme ke posmodernisme, pergeseran pandangan terhadap pengetahuan dan perkembangan teori pembelajaran. Modernisme bisa dijelaskan sebagai sebuah era ketika intensifikasi dari dominasi manusia terhadap alam meningkat dan konsep narasi besar yang tersirat dalam kontrol 89 John H. Falk dan Lynn D. Dierking, Learning from Museums: Visitor Experiences and the Making of Meaning, hlm xli

42 dan kekuasaan berkembang. 90 Pandangan modernis terhadap pengetahuan menyatakan bahwa pengetahuan bersifat pasti dan absolut dan bisa disampaikan sebagai kebenaran universal yang berasal dari rasionalitas dan objektifitas. 91 Disiplin ilmu pengetahuan dibangun di bawah premis satu kebenaran universal dan hanya disampaikan melalui kurikulum yang disetujui oleh sistem pendidikan. 92 Narasi dalam museum modernis disampaikan sebagai pengetahuan otoriter yang utuh dan objektif. Narasi tersebut diatur ke dalam disiplin ilmu yang didasarkan pada benda (object-based disciplines). Pedagogi di museum dibangun dengan pendekatan didaktik yang menerapkan transmisi ahli-pada-orang awam (expert-to-novice transmission) yang menganggap audiens museum sebagai sekumpulan masyarakat yang serupa. Pendekatan ini menggunakan bentuk komunikasi sebagai sebuah proses transmisi 93 yang didasari oleh pandangan modernis terhadap pengetahuan dan teori stimulus-respon atau Behaviorisme. Karena pengetahuan dianggap objektif dan bebas nilai, maka pengetahuan dapat ditransfer dari mereka yang berpengetahuan kepada mereka yang tidak. Model komunikasi transmisi diimplementasikan dalam sebuah proses satu arah yang menyampaikan pesan pasti dari ahli yang berpengetahuan di museum kepada penerima atau audiens yang pasif. 94 Proses ini kemudian membawa kita kepada teori Behaviorisme yang juga turut mempengaruhi pendekatan komunikasi ini. Behaviorisme percaya bahwa stimulus adalah instrumen utama dalam pembelajaran dan bahwa manusia adalah individu-individu berbeda tanpa kebutuhan, hanya sebagai penyerap stimuli eksternal. 95 Secara keseluruhan, komunikasi dalam museum modernis mengecualikan keberadaan pengunjung dan diaplikasikan sebagai proses teknis. Informasi yang disampaikan hanya informasi yang bersifat faktual yang diambil dari bidang kajian ilmu (subject matter) dan biasanya ditampilkan dengan menggunakan suara kuratorial dan akademis. Proses interpretasi dan penciptaan makna 90 Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition. Minneapolis: University of Minnesota Press, Gerard Corsane, Issues in Heritage, Museums and Galleries: A Brief Introduction, Gerard Corsane, ed., Heritage, Museums and Galleries: An Introductory Reader. London: Routledge, 2005, 1-14, hlm Robin Usher et al., Adult Education and the Postmodern Challenge : Learning Beyond the Limits. London: Routledge, Model transmisi melihat komunikasi sebagai proses perpindahan, pengiriman dan transfer sinyal atau pesan dalam jarak tertentu untuk tujuan penguasaan atau kontrol. James W. Carey, Communication as Culture. Boston: Unwin Hyman, 1989, hlm Eilean Hooper-Freenhill, Education, Communication and Interpretation, hlm Peter Jarvis et al., The Theory and Practice of Learning. London: Kogan Page Limited, 2003, hlm xlii

43 pengunjung tidak dipertimbangkan sama sekali. Praktik komunikasi transmisi ini masih dipertahankan sebagai metode komunikasi yang valid di sebagian besar museum hingga kini. 96 Pedagogi di museum modernis diatur pada tiga tingkatan yang berbeda. Tingkatan pertama adalah subjek yang ditampilkan terbatas pada fakta dan informasi yang hanya bisa dipahami melalui kognisi. Otak pengunjung diharapkan bersifat reseptif hanya pada informasi yang berkaitan dengan pengetahuan yang sudah mereka miliki. Tingkatan kedua adalah bagaimana fakta dan informasi tersebut bisa dipelajari. Tubuh bekerja untuk menyampaikan kesan dari indera kepada otak yang kemudian diurai untuk membantu informasi otoriter tersebut. Tingkatan ketiga adalah penggunaan fakta dan informasi tersebut yang dimaksudkan untuk menciptakan perilaku yang lebih baik dalam masyarakat sipil. 97 Apabila disimpulkan, museum modernis dibangun untuk menciptakan pandangan dunia yang ensiklopedik dari sudut pandang Barat dan berperan sebagai simbol negara, dengan pameran sebagai instrumen utama dalam komunikasi. 98 Seiring dengan munculnya pandangan posmodernisme, pengetahuan mulai dipertimbangkan baik di luar dan di dalam museum. Jean-Francois Lyotard mendefinisikan posmodernisme sebagai sebuah konsep skeptisisme terhadap narasi besar yang diajukan oleh pandangan modernis. 99 Posmodernisme merupakan fenomena kultural dan intelektual yang menyaksikan runtuhnya hirarki pengetahuan, selera dan pendapat dan lebih tertarik pada sesuatu yang lokal daripada yang bersifat universal. 100 Pandangan ini juga menekankan konsepnya pada hibridisasi ide-ide dari modernisme yaitu multi makna dan nilai, pengaturan diri sendiri, nonlinear, terbuka dan kreatif. 101 Pengetahuan tidak lagi diperlakukan sebagai kebenaran utuh, melainkan sebagai sesuatu yang diciptakan oleh manusia dengan minat dan nilai mereka. Maka dalam hal ini konteks dan makna telah menggantikan kedudukan fakta dan kepastian Eilean Hooper-greenhill, Museums and the Interpretation of Visual Culture, hlm Ibid., hlm Eilean Hooper-Greenhill, Interpretive Communities, Strategies, Repertoires, hlm Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition, 100 David Lyon, Postmodernity. Buckingham: Open University Press, hlm Charles Jencks, The Postmodern Agenda, hlm Gerard Corsane, Issues in Heritage, Museums and Galleries: A Brief Introduction, hlm. 8 dan Lisa C. Roberts, From Knowledge to Narratives, hlm. 3. xliii

44 Maka seperti yang dinyatakan oleh Hooper-Greenhill, bahwa museum modernis mengalami penelaahan ulang, penilaian ulang dan formulasi ulang agar lebih sensitif pada narasi lainnya dan pada situasi-situasi lokal, agar lebih berguna bagi kelompok masyarakat yang lebih luas dan menyesuaikan diri dengan masa kini. 103 Hooper-Greenhill lalu menciptakan istilah postmuseum untuk sebuah konsep museum baru yang sejalan dengan ide-ide posmodernisme dan bersifat reaktif terhadap perubahan di luar museum. Post-museum berfokus pada hubungan dinamis antara museum dan audiensnya. Konteks manusia sehari-hari dari pengunjung dan nonspesialis diikutsertakan dalam penciptaan pengetahuan di dalam museum. Dengan kata lain, emosi dan interpretasi pengunjung akan dilibatkan. 104 Dalam post-museum, pameran bukan merupakan satu-satunya sarana komunikasi. Pameran menjadi bagian dari serangkaian sumber daya museum terintegrasi yang menampilkan serangkaian perspektif, pengalaman dan nilai yang berbeda-beda. Sumber daya tersebut menyampaikan pengetahuan yang terpisah-pisah dan multi suara. Post-museum tidak lagi mendasarkan praktiknya pada objektifitas dan keteraturan, melainkan mendorong kemitraan dan mengangkat keragaman. 105 Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa post-museum memiliki pedagogi yang berbeda dari museum modernis. Post-museum tidak hanya berfokus kepada pengunjungnya dalam penciptaan pengetahuan, tetapi juga akan merespon pada perkembangan komunikasi dan teori pembelajaran untuk membuat proses interpretasi dan penciptaan makna yang lebih baik bagi audiensnya. Proses interpretasi dan penciptaan makna adalah keluaran penting dari sebuah pengalaman kunjungan ke museum. Kedua proses tersebut tidak bisa tercapai melalui penggunaan model komunikasi transmisi. Terdapat model komunikasi yang lebih sesuai untuk diaplikasikan ke dalam konsep postmuseum, yang melihat komunikasi sebagai bagian dari kebudayaan dan yang mengikutsertakan proses interpretif. Komunikasi tidak hanya dilihat sebagai proses transmisi tetapi lebih sebagai proses yang dibentuk oleh agen-agen aktif melalui jejaring sosial. Ahli yang berpengetahuan di 103 Eilean Hooper-Greenhill, Museums and the Interpretation of Visual Culture, hlm Ibid., hlm Eilean Hooper-Greenhill, Interpretive Communities, Strategies, Repertoires, hlm xliv

45 museum sebagai komunikator hanya memfasilitasi pengalaman bagi pengunjung untuk menciptakan makna dengan menggunakan pendekatan interpretasi dan pengetahuan awal mereka sendiri. Maka, tugas utama dari si komunikator tersebut adalah untuk menciptakan kesempatan bagi pengunjung untuk menambah pengetahuan mereka tidak hanya sebagai individu-individu yang sedang belajar tetapi juga sebagai agen sosial. 106 Museum dalam era posmodernisme menantang narasi besar modernis, otoritas kurator terhadap pengetahuan dan objek menjadi dipertanyakan. Maka dari itu, pengunjung memiliki lebih banyak kesempatan dalam menentukan interpretasi berdasarkan kriteria makna menurut mereka. Hal tersebut membuat fungsi edukasi di museum adalah untuk mengantisipasi dan menegosiasi makna-makna yang diciptakan oleh pengunjung dan museum. 107 Hubungan antara museum dan pengunjungnya telah diperdalam dan maka dari itu museum menjadi lebih terfokus pada pengalaman pengunjung di museum. Sebagai tambahan, telah diakui secara luas bahwa pengalaman pembelajaran di museum dipengaruhi oleh konteks personal, sosio-kultural dan lingkungan pengunjung. Pengalaman di masa lalu dan memori merupakan konstituen yang penting dalam proses belajar. 108 Lebih jauh lagi, pengetahuan kognitif bukan satu-satunya yang bisa dibawa oleh pengunjung dari pengalaman kunjungan ke museum. Kenangan, interaksi sosial dan berbagai tautan antara pengalaman hidup dan yang dipamerkan di museum juga merupakan dari pengalaman luas yang bisa didapatkan pengunjung selama proses belajar berlangsung. 109 Seperti yang dinyatakan oleh Hooper-Greenhill, bahwa pengunjung museum bukanlah sekumpulan individu-individu yang pasif, melainkan individuindividu dengan kebutuhan dan agenda sosial dan budaya masing-masing Op Cit., hlm Lisa C. Roberts, From Knowledge to Narratives, hlm John H. Falk dan Lynn D. Dierking, Learning From Museums. Walnut Creek: Altamira Press, Lois Silverman, Visitor Meaning Making for a New Age, Curator, 38 (3). Walnut Creek: Altamira Press, 1995, Eilean Hooper-Greenhill, Museum Learners as Active Post-Modernists: Contextualising Constructivism, Journal of Education in Museum, no. 18. Group for Education in Museums, 1997, 1-4, hlm. 1. xlv

46 Maka pengetahuan awal dan pengalaman sebelumnya dapat membentuk kesimpulan pengunjung di dalam pembelajaran di museum. 111 Semua temuan terkini tentang pengalaman pengunjung di museum membawa kita pada model pembelajaran Konstruktivisme yang menggambarkan berbagai jalur untuk mendapatkan pengetahuan yang berfokus pada pengunjung. Sementara model pembelajaran didaktik didasarkan pada konsep bahwa pengetahuan berdiri secara terpisah pada guru dan murid, model Konstruktivis melihat pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dapat diubah oleh murid. Model tersebut membutuhkan partisipasi aktif dari murid, pemahaman bisa dicapai bukan karena pengetahuan tersebut divalidasi oleh kebenaran yang solid. Dalam model Konstruktivisme, terdapat ruang untuk kekeliruan, ketidaksetujuan dan perspektif lainnya dan mendorong penciptaan makna bersama-sama antara museum dan pengunjung. 112 Pembelajaran kini dapat dilihat sebagai sebuah proses interpretasi dan berkenaan dengan identitas karena lebih berfokus pada individu yang belajar. Munculnya Konstruktivisme dan teori pembelajaran sosio-kultural menandai pergeseran dalam jalur pengetahuan. Indera dan pendekatan tubuh lainnya dianggap sebagai sebuah cara belajar yang efektif yang juga dapat melibatkan seluruh audiens museum dengan berbagai latar belakang. 113 Cara memamerkan objek-objek secara tradisional tidak lagi sesuai. Gaya pedagogis dalam museum kini sudah menggunakan model pembelajaran partisipatif dan performatif yang bertujuan untuk mencapai peran edukasi museum. 114 Sehingga bila disimpulkan, penggambaran pedagogi museum Barat sekarang bisa dilihat dalam museum-museum yang mengkonstruksi dan menyampaikan narasinya berdasarkan pluralitas masyarakat di sekitar mereka. Museum-museum tersebut membuat ruang mereka sebagai ruang yang terbuka dan multi makna tanpa absolutisitas seraya menggunakan berbagai 111 Jeremy Roschell, Learning in Interactive Environments: Prior Knowledge and New Experience, John H. Falk and Lynn D. Dierking, eds., Public Institutions for Personal Learning: Establishing A Research Agenda. Washington D.C.: American Association of Museums, 1995, hlm George E. Hein, Learning in the Museum, hlm dan Marlene Chambers, Real Pearls at the Postmodern Museum Potluck: Constructivism and Inclusiveness, hlm Eilean Hooper-Greenhill, Education, Postmodernity and the Museum, Simon J. Knell, et al., Museum Revolution. London: Routledge, 2007, , hlm Eilean Hooper-Greenhill, Museums and Education: Purpose, Pedagogy, Performance. New York: Routledge, 2007, hlm. 13. xlvi

47 pendekatan dalam menginterpretasi kebudayaan. Tidak hanya terbatas pada pameran, narasi dalam museum-museum tersebut dikomunikasikan melalui bermacam-macam cara yang memudahkan interaksi sosial dan kenangan diantara pengunjungnya. Kerangka pedagoginya dibangun berdasarkan pada beragam kebutuhan dan cara belajar yang berbeda-beda. BAB 3 Museum di Indonesia 3.1. Museum di Negara-Negara Berkembang xlvii

48 Negara-negara yang dikategorikan menjadi negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga dianggap memiliki karakteristik yang serupa. Karakteristik yang membedakan mereka dari negara-negara maju adalah status poskolonial mereka, ketergantungan pada kapitalisme Barat, kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi, kecenderungan terhadap kekuasaan otoriter, kurangnya stabilitas, korupsi dan meningkatnya politik identitas etnis dan keagamaan. 115 Istilah negara dunia ketiga diciptakan oleh Nehru di tahun 1950 sebagai acuan pada negara-negara nonblok. Namun selama beberapa dekade, seperti yang telah digambarkan sebelumnya, istilah tersebut kini mengandung konotasi negatif. 116 Seiring dengan munculnya teori poskolonial 117, penggunaan istilah dunia ketiga pada beberapa negara juga kemudian dipertanyakan. 118 Sepanjang Asia, Afrika, Amerika Latin dan Karibia, negara-negara berkembang ini memiliki banyak permasalahan yang harus diatasi. Mereka masih harus berjuang menghadapi populasi yang terus meningkat, kelaparan, kemiskinan, kurangnya pendidikan, pengangguran, konflik etnis dan agama dan lain-lain. Pendirian museum di negara-negara berkembang biasanya merupakan warisan dari masa pendudukan kolonial di masa lalu. Kolonialisme dan imperialisme Eropa merupakan salah satu hal yang menyebabkan terjadinya difusi museum di seluruh dunia. Model museum Eropa yang diperkenalkan oleh kolonialisasi di beberapa bagian di dunia dibawa dengan konsep keteraturan dunia. 119 Pendirian museum di wilayah kolonial ditandai oleh para kolonialis yang pertama mengoleksi spesimen sejarah alam dan benda-benda primitif yang bisa mereka pelajari dan mereka atur dalam urutan tertentu. Jika kita melihat premis pendirian museum sejarah alam Eropa, tujuannya adalah untuk menaruh masyarakat Barat di tempat teratas dalam tingkatan 115 Peter Burnell dan Vicky Randall, eds., Introduction, Politics in the Developing World, 2 nd edition. Oxford: Oxford University Press, 2008, 1-11, hlm Richard Ingersoll, The Third World Is Dead, Long Live the Third World, Conference Review, Journal of Architectural Education, vol. 44 no. 4. Berkeley: Blackwell Publishing, 1991, , hlm.245. Hhttp:// 6 November Istilah poskolonial semakin sering digunakan untuk menggambarkan sebuah bentuk kritik sosial yang menyaksikan ketidaksetaraan proses representasi pengalaman kesejarahan dari negara-negara dunia ketiga dalam kerangka Barat. Homi Bhabha, Caliban Speaks to Prospero: Cultural Identity and the Crisis of Representation, Philomena Mariani, ed., Critical Fictions: the Politics of Imaginative Writing. Seattle: Bay Press, hlm Gayatri C. Spivak, Poststructuralism, Marginality, Postcoloniality and Value, Padmini Mongia, ed., Contemporary Postcolonial Theory : A Reader. London: Arnold, hlm Martin Prosler, Museums and Globalization, Sharon MacDonald and Gordon Fyfe, eds., Theorizing Museums. Oxford: Blackwell, , hlm. 22. xlviii

49 kehidupan alam. 120 Tentunya di atas penduduk lokal yang mana negaranya mereka duduki. Tony Bennet menyatakan bahwa pada pertengahan abad 19 di Eropa, konsepsi arkeologis manusia (the archaeological conception of the person) mengajukan bahwa penduduk primitif atau lokal berada di tingkatan terendah dalam tangga evolusi manusia dan karena itu dianggap tidak mampu menjadi masyarakat yang beradab. 121 Maka dalam masa pasca kemerdekaan, museum yang mereka tinggalkan kehilangan landasan dan tujuannya. Hanya setelah beberapa dekade ketika wilayah-wilayah merdeka ini berkembang, masyarakat mereka mulai tumbuh dan mulai mengenali pentingnya museum. Museum di negara-negara yang baru merdeka tumbuh seiring dengan masyarakatnya yang mulai mempreservasi tradisi kebudayaan mereka, untuk mengembangkan identitas nasional dan yang paling penting untuk menyatukan seluruh kelompok suku dan linguistik yang berbeda. 122 Penguatan identitas budaya adalah salah satu isu utama setelah tempat tinggal dan makanan di negara-negara berkembang. Maka dari itu, museum di negara-negara ini dapat menjadi sarana yang potensial dalam mengembangkan identitas budaya 123 dan nasional. Museum dapat berfungsi sebagai basis identitas yang akan menolong masyarakat dalam menyadari kekuatan mereka yang dapat membawa menuju kemajuan. 124 Masalah identitas budaya merupakan hal yang krusial di negara-negara poskolonial. Seperti yang dikatakan oleh Stuart Hall, identitas tidak bersifat pasti melainkan sebuah proses yang tidak akan berhenti dan selalu terbentuk di dalam representasi. Maka dia menyatakan lebih lanjut bahwa terdapat dua cara dalam mendefinisikan sebuah identitas budaya. Pertama adalah sebagai jati diri kolektif yang serupa dimana sekelompok orang berbagi sejarah dan leluhur yang sama. Kedua adalah sebagai sebuah perbedaan signifikan yang mengacu pada alur sejarah, budaya dan kekuasaan. Berdasarkan sudut pandang yang kedua, dapatlah dimengerti bahwa pengalaman kolonial secara tidak langsung mempengaruhi bagaimana negara-negara poskolonial ini membentuk dan melihat identitas budaya mereka. Para kolonialis dengan rezim representasi mereka menciptakan 120 Stephen E. Weil, The Museum and the Public, Sheila Watson, ed., Museums and Their Communities. London: Routledge, hlm Tony Bennet, Pasts Beyond Memory: Evolution, Museums, Colonialism, hlm Moira G. Simpson, From Treasure House to Museum.. and Back, hlm Lorena San Roman, Politics and the Role of Museums in the Rescue of Identity, Patrick Boylan, ed., Museums 2000: Politics, People, Professionals and Profit. London: Museums Association and Routledge, , hlm Tomislav Sola, Essays on Museums and Their Theory, hlm xlix

50 penduduk asli sebagai sesuatu yang berbeda di dalam kerangka pengetahuan Barat. Maka para kolonialis memiliki kekuasaan untuk membuat penduduk asli melihat dan mengalami diri mereka sebagai yang lain (other). 125 Identitas nasional adalah elemen lainnya yang masih sulit untuk didefinisikan oleh negara-negara poskolonial. Identitas nasional dibentuk secara artifisial dan dapat digambarkan melalui representasi budaya 126, maka museum bisa berfungsi sebagai instrumen yang tepat dalam pembentukan identitas nasional. Dalam mengambil bagian dalam menginterpretasi kebudayaan visual, museum juga dapat menyimbolkan dan mempertahankan kesadaran nasional kolektif dan menciptakan sebuah pandangan tentang pembentukan sejarah dan politik sebuah bangsa. 127 Lebih jauh lagi, objek museum merupakan dokumentasi bangsa yang terdiri dari kehidupan komunitas manusia sepanjang ruang dan waktu. Objek museum mewakili semua yang berada di dalam wilayah sebuah negara dan menjadi ilustrasi mikrokosmik bangsa tersebut. 128 Negara-negara berkembang membutuhkan museum untuk memperkuat identitas nasional mereka dan untuk memberi mereka status di dalam komunitas dunia. 129 Museum di negara-negara berkembang belum berhasil menjalankan perannya dalam merepresentasikan identitas nasional dan budaya. Di dalam konteks dimana masyarakat masih harus berjuang setiap hari untuk bertahan hidup, kesan museum sebagai pilar identitas belum diakui sebagai prioritas. Negara-negara berkembang sebagai negara yang masih dalam perkembangan dini memiliki hasrat untuk berkembang sebagai komunitas dengan peradaban tinggi, dan museum merupakan bukti dari sebuah peradaban besar yang mencerahkan masyarakat dan mencerminkan citra sebuah komunitas yang maju dan cerdas. 130 Oleh sebab itu, 125 Hall menaruh negara-negara Afrika and Karibia sebagai contoh yang dapat menggambarkan identitas budaya di negara-negara poskolonial. Stuart Hall, Cultural Identity and Diaspora, 126 Edward W. Said, Orientalism, 127 Brian Wallis, Selling Nations: International Exhibitions and Cultural Diplomacy, Daniel J. Sherman and Irit Rogoff, eds., Museum Culture: Histories, Discourses, Spectacles. London: Routledge, hlm Martin Prosler, Museums and Globalization, hlm Kenneth Hudson and Ann Nicholls, Directory of Museums and Living Display. London: MacMillan, hlm. x. 130 Persyaratan museum pada akhir abad 19 di Eropa seperti yang dikatakan George Brown Goode. Museum memenuhi kebutuhan yang dirasakan oleh setiap masyarakat cerdas dan mengisi kebutuhan yang tidak bisa diberikan oleh sarana lain. Museum tidak akan berdiri kecuali di tengah-tengah rakyat yang tercerahkan dan museum berada dalam perkembangan tertingginya hanya dalam peradaban besar. George Brown Goode, Relationships and Responsibilities of Museums, in Hugh G. Genoways dan Mary Anne Andrei, eds., l

51 negara-negara berkembang merasa perlu untuk mengembangkan museum mereka sesuai dengan nilai-nilai museum internasional. Melainkan memperkuat identitas untuk inspirasi, museum di negara-negara berkembang masih mengimpor model museum Barat yang kemudian tidak bisa berfungsi dengan semestinya. 131 Maka museum-museum tersebut seharusnya dapat berubah agar dapat beradaptasi pada berbagai latar belakang dan berbagai pemahaman lokal. Sebagai tambahan, Corinne A. Kratz dan Ivan Karp menyatakan adanya budaya museum dan mengajukan bahwa setiap museum seharusnya memiliki idiom lokal. Pemikiran tersebut didasarkan pada beberapa hal, seperti memperhatikan audiens dan unsur lokal, pemahaman terhadap identitas dan pengenalan pasar bebas. Idiom lokal tampaknya akan sulit untuk didefinisikan di tengah pesatnya perkembangan nilai-nilai transnasional dan global di masa kini. 132 Meskipun begitu, museum di beberapa bagian di dunia telah mengaplikasikan idiom lokal ini dan membangun ulang museum di daerah masing-masing. 133 Idiom lokal perlu dibangun karena museum di negara-negara berkembang hingga saat ini hanya melayani turis dan orang asing. Komunitas sekitar mereka belum mendapatkan manfaat dari keberadaan museum. Seperti yang diajukan oleh Molly Harrison, museum di negara-negara berkembang seharusnya bisa menjadi lambang kebanggaan nasional, menjadi pusat penelitian bagi identitas masyarakat, dan sebuah bank data warisan budaya dan sebagai sarana pertahanan preservasi warisan budaya. 134 Untuk mencoba menjadi museum yang ideal di negara-negara berkembang bukan merupakan proses yang mudah. Terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan, seperti karakteristik museum, nilai-nilai internasional dalam teori dan praktik museum, konteks yang mengitari pertumbuhan museum dan karakter khusus negara berkembang. Museum Origins: Readings in Early Museum History and Philosophy. Walnut Creek: Left Coast Press, , hlm Tomislav Sola, Discussion in Politics and the Role of Museums in the Rescue of Identity, Patrick Boylan, ed., Museums 2000: Politics, People, Professionals and Profit. London: Museums Association and Routledge, , hlm Corinne A. Kratz dan Ivan Karp, Introduction, 133 Perkembangan Culture Houses developments di Zimbabwe dan museum-museum di India. Peter J. Ucko, Museums and Sites: Cultures of the Past Within Education Zimbabwe, Some Ten Years On, Peter G. Stone dan Brian L. Molyneaux, eds., The Presented Past: Museums and Heritage in the Post-Modern World. London: Routledge, hlm , dan Arjun Appadurai dan Carol Breckenbridge, Museums Are Good To Think: Heritage on View in India, 134 Molly Harrison, Education in Museum, Museums and Monument Series IX hlm. 92 in Tomislav Sola, Essays on Museums and Their Theory, hlm. 57. li

52 3.2. Karakteristik Museum di Indonesia Republik Indonesia terletak di Asia Tenggara dan dikategorikan sebagai negara berkembang. Indonesia memiliki pulau 135, memanjang dari ujung Asia Tenggara hingga pantai barat Australia. 136 Indonesia memiliki populasi terpadat keempat di dunia 137 dengan hanya $1,650 sebagai pendapatan nasional per kapita. 138 Dengan memiliki lebih dari 500 kelompok etnis, Indonesia juga dikategorikan sebagai negara dengan beragam kebudayaan, dengan lebih dari satu dimensi perbedaan. 139 Selain itu juga terdapat populasi lain yang sebagian besar terdiri dari keturunan Cina, India dan Arab. Mereka telah datang ke Indonesia sejak masa awal peradaban Indonesia dan telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Islam adalah mayoritas agama yang dipeluk di Indonesia dengan persentase sekitar 85,2 %, yang membuat Indonesia menjadi negara muslim terbesar di dunia. Sementara sisa dari populasi lainnya memeluk agama Protestan (8,95), Katolik (3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%), dan kepercayaan lainnya (0,3%). Meskipun Indonesia memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa resminya, rakyat Indonesia dalam proporsi yang besar masih menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-harinya. Dikarenakan wilayahnya yang luas, wilayah Indonesia terbagi menjadi propinsipropinsi. Saat ini, terdapat 33 propinsi dengan gubernur sebagai kepala daerah. Sementara ekonomi Indonesia sebagian besar bergantung pada ekspor dan pariwisata. 140 Sejarah Indonesia terbentang dari masa prasejarah hingga masa kolonialisasi Eropa dan Jepang. Sejarah Indonesia yang panjang menyebabkan terjadinya percampuran kebudayaan yang 135 Edward Aspinall, Indonesia: Coping with Fragmentation, Disintegration or Nation-Building, Peter Burnell, ed., Politics in the Developing World, hlm , hlm Hhttp:// Juli Sekitar jiwa menurut Populasi Dunia 2007, Hhttp://siteresources.worldbank.org/DATASTATISTICS/Resources/POP.pdfH,7 November Pendapatan per kapita 2007, Hhttp://siteresources.worldbank.org/DATASTATISTICS/Resources/GNIPC.pdfH, 7 November James R. Scarrit, Ethnopolitics and Nationalism, Peter Burnell, ed., Politics in Developing World, hlm , hlm Dengan pendapatan sekitar 7.377, 39 juta US dollar di tahun Hhttp:// 5 Juli lii

53 terlihat dari aspek arsitektur, bahasa, seni dan tradisi. Di antara seluruh periodisasi sejarah tersebut, hanya masa kolonialisasi Belanda yang membentuk karakteristik museum di Indonesia. Sebelum menjelaskan konteks museum di Indonesia, sebelumnya akan digambarkan bagaimana pemerintah kolonial Belanda memperlakukan Indonesia dalam cara tertentu sehingga turut mempengaruhi karakteristik museum. Benedict Anderson menyatakan bahwa museum adalah salah satu di antara tiga institusi selain sensus dan peta yang secara intens membentuk cara sebuah wilayah kolonial membayangkan negara penjajahnya sebagai cerminan. Terdapat tiga unsur yang menandai bagaimana negara kolonial seperti Indonesia mencari cerminan pada negara penjajah nya, yang terdiri dari kondisi alamiah manusia yang dikuasai, geografi wilayahnya dan legitimasi akan asal usulnya. Sebagai permulaan, karena Anderson juga mengajukan bahwa sebuah negara merupakan sebuah cerminan komunitas politis, kedaulatan Indonesia pertama kali dibayangkan di dalam struktur rasis Hindia Belanda pada awal abad 20. Maka asal usul pendirian museum di Indonesia sendiri bersifat politis. Proses pendirian museum dipengaruhi oleh pembentukan arkeologi kolonial pada saat itu. Prestise Indonesia sebagai sebuah wilayah kolonial dikaitkan pada negara superiornya, yaitu Belanda. Rezim kolonial Belanda melibatkan diri pada kepurbakalaan sedalam mereka melibatkan diri pada penaklukkan 141. Monumen-monumen kuno seperti Borobudur dan Prambanan dimuseumisasikan 142, dimasukkan ke dalam peta koloni, diatur berdasarkan keinginan koloni dan diposisikan ulang sebagai simbol kekuasaan untuk sebuah negara kolonial sekuler. Monumen-monumen kuno yang dimuseumisasikan tersebut kemudian menjadi simbol kekuasaan negara. Perilaku museumisasi politis ini diwarisi oleh Indonesia setelah masa kemerdekaan. Hingga kini, Indonesia masih mempertahankan sudut pandang kolonial dalam melihat segala sesuatu yang menyimbolkan negara. 143 Maka museum pun dilihat sebagai monumen negara yang menyimbolkan kekuasaan. 141 Benedict Anderson, Imagined Communities, revised edition. London: Verso, Di tahun 1901, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Komisi Kepurbakalaan atau Oudheidkundige Commissie. Komisi ini berfungsi untuk melakukan survei, merekam dan mengelola setiap monumen kuno di wilayah kolonialnya. N.J. Krom, Inleiding tot de Hindoe-Javansche Kunst, second revised edition. The Hague: Nijhoff, Op Cit., liii

54 Beberapa pengamat menyatakan bahwa Indonesia modern masa kini merupakan ciptaan superfisial dari Belanda daripada sebuah negara utuh yang bersatu berdasarkan faktor-faktor tertentu yang mengikat. 144 Namun Ricklefs menyanggah bahwa Belanda tidak menciptakan Indonesia, mereka hanya menciptakan daerah teritorialnya saja. Sekitar tahun 1910, tentara kolonial Belanda telah membuat batasan-batasan dari wilayah Indonesia kini. Mereka menaruh dasar sebuah negara baru yang disatukan selama berabad-abad melalui tradisi budaya dan politik yang sama dan oleh pengalaman imperialisme Belanda. Walaupun begitu, pada masa pasca kemerdekaan setelah 1945, rakyat Indonesia masih terpecah-pecah satu sama lain. Latar belakang etnis masih berakar sangat kuat. Identitas tunggal dan bersama bangsa Indonesia belum muncul. 145 Identitas Indonesia, baik itu nasional maupun budaya masih merupakan permasalahan yang harus diatasi. Kesatuan negara dan kurangnya kohesi sosial juga merupakan bagian dari isu identitas. Sebagai negara yang baru merdeka, Republik Indonesia menciptakan semboyan, Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti Berbeda-beda tapi Tetap Satu. Semboyan tersebut sejauh ini hanyalah sebatas ucapan belaka. Terdapat beberapa faktor dalam keragaman di Indonesia yang belum berubah hingga kini. Pertama adalah faktor geografis, etnis dan budaya yang membuat satu daerah serupa dengan atau sama sekali berbeda dengan daerah lain. Kedua adalah perbedaan yang mencolok antara jenis aktifitas ekonomi di Indonesia. Ketiga adalah pembagian horisontal yang berpengaruh pada kesatuan sosial. 146 Keempat adalah faktor perbedaan agama yang secara halus dan terkadang masih menimbulkan konflik. Kesemua faktor ini menjadi bagian dalam kompleksitas kondisi Indonesia modern. Bentuk museum pertama di Indonesia sebenarnya diawali oleh koleksi spesimen ilmiah dan karya seni yang dikumpulkan oleh seorang pejabat VOC bernama G.E. Rumphius. Dia membuat koleksinya terkenal di kalangan bangsa Belanda dan menamainya De Ambonsch Rairteitenkamer di tahun Sayangnya tidak ada catatan tertulis yang ditemukan tentang perkembangan koleksi tersebut. Pendirian berikutnya adalah ketika beberapa intelektual Belanda membentuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Westenschappen di tahun J.D. Legge, Indonesia. Sydney: Prentice Hall, hlm Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2 nd edition. London: Macmillan Press Ltd, 1993., hlm Op Cit, hlm Direktorat Museum, Pedoman Pengelolaan Museum. Jakarta: Direktorat Jendral of Sejarah dan Arkeologi Deparetmen Kebudayaan dan Pariwisata, hlm. 2. liv

55 Seperti Rumphius, kelompok ini juga mengumpulkan berbagai objek seni, budaya dan ilmiah dari seluruh kepulauan Indonesia. Mereka ingin mempromosikan penelitian di bidang seni dan sains, terutama di bidang sejarah, arkeologi, etnografi dan fisika, dan mempublikasikan hasilhasil penelitiannya tersebut. Di tahun 1862 pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membangun museum yang dapat menyimpan, merawat dan memamerkan koleksi kelompok ini. Maka museum tersebut pun dibuka secara resmi di tahun 1868 dan di tahun 1962 diserahkan kepada pemerintah Indonesia dan menjadi Museum Pusat. Dengan dekrit Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.092/0/ Mei museum berganti nama menjadi Museum Nasional. 148 Selama masa pendudukan Belanda, juga didirikan beberapa museum di Indonesia, yaitu Museum Aceh di tahun 1915, Museum Mpu Tantular di tahun 1922, Museum Bali di tahun 1932 dan Museum Sonobudoyo di tahun Ketika pertama kali didirikan, mereka masih berfungsi sebagai lembaga yang mendukung kepentingan pemerintah Belanda. 150 Setelah masa kemerdekaan, konsep museum sebagai sebuah institusi yang didasari oleh pengetahuan dan kebudayaan kemudian dipertahankan. Perkembangan museum di Indonesia menjadi kuat ketika pemerintah Indonesia membentuk Direktorat Permuseuman di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 151 Adanya perubahan politik yang terus berubah-berubah, maka kebijakan pemerintah mengalami penyesuaian selama beberapa kali. Hal yang sama juga terjadi pada Direktorat Permuseuman yang memiliki nama yang berbeda dan berada di posisi yang berbeda di dalam pemerintahan. Maka dari tahun 2005 hingga kini, namanya menjadi Direktorat Museum dan berada di bawah wewenang Direktorat Jendral Sejarah dan Arkeologi, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 152 Dalam kedudukannya yang terbaru, Direktorat Museum bertanggung jawab atas penyusunan kebijakan, standar, norma, kriteria dan prosedur dan memberikan bimbingan teknis dan evaluasi di sektor museum. 153 Kini terdapat kurang lebih Hhttp:// 7 November Op cit, 150 Christina F. Kreps, Liberating Culture: Cross-Cultural Perspectives on Museums, Curation, and Heritage Preservation. London: Routledge, hlm Amir Sutaarga, Introduction to Museums in Indonesia, The International Council of Museums National Committee in Indonesia. Jakarta: Direktorat Museum, hlm Hhttp:// November Hhttp:// 8 November lv

56 museum di Indonesia yang seluruhnya dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah dan oleh swasta. 154 Dalam website Direktorat Museum, dinyatakan bahwa terdapat dua sumber kebijakan yang digunakan, yaitu Kode Etik International Council of Museum (ICOM) dan Pedoman Pengelolaan Museum. 155 Indonesia termasuk ke dalam anggota ICOM dan mengikuti definisi museumnya dan sebagian besar kebijakannya. Di Indonesia sebenarnya terdapat beberapa asosiasi museum, yaitu Asosiasi Museum Indonesia, Badan Musyawarah Musea dan Paramita Jaya. Namun gaungnya belum begitu kuat dan belum cukup berperan dalam pengelolaan museum di Indonesia. Direktorat Museum mengeluarkan beberapa pedoman untuk praktik museum di Indonesia. Pedoman yang terbaru adalah Pedoman Pengelolaan Museum yang diterbitkan tahun Di dalam pedoman tersebut, kita bisa melihat bagaimana pemerintah melihat keberadaan museum. Pemerintah Indonesia mengenali pentingnya museum dalam meningkatkan kualitas masyarakat melalui pembelajaran, meningkatkan penghargaan masyarakat terhadap warisan budaya dalam rangka meningkatkan identitas dan kebanggaan nasional. Di sisi lain, mereka cukup menekankan peranan museum dalam merawat dan mengkomunikasikan berbagai warisan budaya Indonesia sebagai salah satu aset dari pariwisata. Mereka percaya bahwa museum juga telah menjadi jendela dalam memperkenalkan kebudayaan sebuah negara dan sebagai tempat untuk memamerkan koleksi yang menarik dan bernilai tinggi. Mereka juga melihat museum sebagai sebuah landmark dari suatu daerah dan menjadi destinasi wisata sehingga setiap daerah wajib memiliki museum. Tugas dan fungsi museum dinyatakan untuk melayani penyajian informasi kepada masyarakat dalam rangka pembelajaran dan peningkatan apresiasinya. 156 Terdapat dua dimensi yang memiliki efek langsung pada sektor museum di Indonesia, yaitu dimensi politik dan ekonomi. Sejauh ini, dimensi politik adalah pengaruh utama terhadap segala perubahan dan perkembangan di bidang museum, terutama bagi museum negeri. Dalam hal ini, terdapat dua aspek dari dimensi politik yang mempengaruhi karakteristik dan 154 Direktorat Museum, Pedoman Pengelolaan Museum, hlm Hhttp:// 6 Juli Direktorat Museum, Pedoman Pengelolaan Museum, lvi

57 perkembangan museum secara keseluruhan. Dua aspek tersebut adalah kontrol pemerintah terhadap museum negeri dan prosedur resmi pemerintah atau birokrasi. Pada tahun 1999, sebagai akibat dari berubahnya pemerintahan dan kebijakan, pemerintah mengeluarkan peraturan otonomi baru yang memberikan wewenang penuh kepada pemerintah daerah dalam mengatur propinsi, kota dan kabupaten masing-masing. 157 Sebagai akibat dari otonomi daerah, semakin banyak propinsi baru yang ingin membangun museum mereka sendiri sebagai kebanggaan daerah. Dengan bernaung di bawah nama otonomi, pemerintah daerah memiliki rasa memiliki yang lebih kuat terhadap daerahnya dan mereka sebenarnya ingin memperkuat identitas daerah mereka. Mereka juga dapat membuat dan memiliki seluruh sumber daya daerah, baik itu sumber daya alam, ekonomi, budaya dan pariwisata. Namun yang banyak terjadi adalah museum daerah yang didirikan oleh pemerintah tidak cukup merepresentasikan seluruh masyarakat yang ada di daerah yang bersangkutan. Dengan sumber dayanya, pemerintah daerah mendirikan museum tanpa tujuan dan petunjuk yang jelas. Maka banyak museum daerah yang kini hanya berdiri sebagai sebuah landmark simbolis dari daerah mereka. Terdapat aspek lainnya yang berkaitan dengan keterlibatan pemerintah dalam kebijakan museum. Sebagai konsekuensi lainnya dari wewenang penuh pemerintah daerah, museum propinsi atau kota harus sesuai dengan peraturan dan tindakan pemerintah. Dimulai dari kebijakan yang paling umum hingga pada aspek yang terkecil, semuanya harus sejalan dengan peraturan. Dengan kata lain pemerintah telah menetapkan tugas pokok dan fungsi museum yang tidak bisa dilanggar oleh museum. Jika kita berpikir tentang kontrol pemerintah terhadap museum, maka logikanya adalah karena museum didanai oleh pemerintah maka museum seharusnya mengacu kepada pemerintah sepenuhnya. Namun museum juga merupakan institusi publik yang memiliki akuntabilitas publik, museum memiliki tanggung jawab kepada masyarakat dan perkembangannya seharusnya disebabkan dan ditujukan kepada masyarakat yang dilayaninya. Maka dari itu museum di 157 Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Hhttp:// 8 November lvii

58 Indonesia memiliki tugas yang tidak mudah untuk terus berkembang bersama masyarakat namun juga tetap berada dalam jalur kebijakan pemerintah. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang masih harus berurusan dengan kemiskinan dan pengangguran dalam skala besar. Mungkin karena itu pemerintah belum memberi perhatian yang cukup besar pada sektor budaya dan karena Direktorat Museum berada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, museum di Indonesia turut termarjinalisasikan. Berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 dari Departemen Keuangan, dari tahun pemerintah hanya mengalokasikan tidak lebih dari 1% dalam anggaran mereka pada sektor budaya. Hal yang sama terjadi pada rencana anggaran , ketika pemerintah menyatakan akan berfokus pada kemiskinan, kesejahteraan dan perkembangan. Sementara sektor pariwisata diberikan bagian anggaran yang lebih besar dari sektor budaya. 158 Hal tersebut dikarenakan pariwisata adalah sektor penyumbang pendapatan terbesar di Indonesia dan pemerintah tampaknya selalu berpikir bahwa kebudayaan adalah pariwisata. Pemerintah juga selalu melihat museum sebagai aset yang dapat memberikan pendapatan regional, karena seluruh museum negeri menarik biaya masuk. Hal tersebut tidaklah salah karena museum yang baik akan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya, baik secara materi dan non-materi. Museum-museum maju di luar Indonesia sudah menjadi destinasi wisata dari seluruh dunia. Dengan begitu, mereka tidak hanya memberi kontribusi bagi masyarakatnya tetapi juga pada negaranya. Namun museum di Indonesia belum siap untuk menjadi seperti itu. Museum belum memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat sekitar, apalagi kepada negara. Walaupun terdapat beberapa contoh kasus dimana museum telah memberi kontribusi yang nyata pada masyarakat, namun itu pun terjadi karena program inisiatif dari pihak luar Indonesia. 159 Jika kita kembali pada rancangan anggaran pemerintah Indonesia, mereka menyatakan bahwa mereka akan berfokus pada pemberantasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan 158 Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009, Departemen Keuangan Republik Indonesia, (Hhttp:// 8 November Program Pengembangan Museum Propinsi Kalimantan Tengah dan Museum Kayan Mentarang, Christina F. Kreps, Liberating Culture, hlm dan hlm lviii

59 dan perkembangan rakyat. Sudut pandang mereka sudah jelas dilatari oleh indikator ekonomi. Di sisi lain, kebudayaan juga adalah bagian dari perkembangan di dalam sebuah negara. Seperti yang dinyatakan oleh Christina F. Kreps bahwa perkembangan tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa pengakuan kekuatan kebudayaan, karena kebudayaan merepresentasikan totalitas dari kerangka hidup rakyat. 160 Hal ini berarti bahwa sektor kebudayaan seharusnya tidak dipandang sebelah mata dan dilewatkan dalam agenda perkembangan negara. Jika pemerintah tetap menganggap kebudayaan sebagai sektor tambahan, kondisi museum di Indonesia yang stagnan tampaknya tidak akan membaik. Dalam membicarakan konteks sekitar museum, tentunya regulasi dan kebijakan pemerintah sebagai pedoman konsep dan pengelolaan museum juga harus diperhatikan. Seperti sudah disebutkan tadi, Direktorat Museum mengadopsi kebijakan ICOM dalam pedoman pengelolaan museum namun disesuaikan dengan kondisi Indonesia dan sudut pandang pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1995 menyatakan museum adalah lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda bukti materil hasil budaya manusia, alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa. 161 Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, bisa terlihat kata-kata kunci yang menggambarkan museum di Indonesia, yaitu penyimpanan, perawatan dan pemanfaatan untuk melindungi dan melestarikan budaya bangsa. Hal itu mengindikasikan bahwa museum di Indonesia memang belum dilihat sebagai sebuah institusi pendidikan atau institusi yang berkaitan dengan pendidikan. Museum masih dilihat sebagai institusi pelestarian budaya bangsa. Dalam kaitannya dengan museum sebagai institusi pendidikan masyarakat yang memfasilitasi pembelajaran, perlu dilihat Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam Undang-Undang tersebut tertera dalam Pasal 1 tentang Ketentuan Umum, bahwa: 160 Ibid, hlm Direktorat Museum, Pedoman Pengelolaan Museum, lix

60 a. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana b. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar c. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan Pada Pasal 2 tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, bahwa: a. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat dan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. b. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. 162 Jika melihat aspek pertama, museum bisa termasuk ke dalam sumber daya pendidikan, tidak hanya sebagai sarana penyimpanan, perawatan dan pemanfaatan hasil budaya manusia yang selama ini dilihat oleh pemerintah. Museum bisa memiliki tenaga kependidikan yang lebih dikenal dengan nama learning officer yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran tertentu, seperti learning officer untuk setiap jenjang pendidikan, untuk kebutuhan khusus, untuk pendidikan usia dini atau untuk masyarakat umum. Masyarakat, dana, sarana dan prasarana sudah tentu saja bisa disediakan oleh museum sebagai institusi pendidikan publik. Sementara di dalam Undang-Undang, pendidikan sudah dianggap sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan yang berlangsung sepanjang hayat atau lifelong learning. Sebagai tambahan, pendidikan dianggap sebagai suatu kesatuan dengan sistem terbuka dan multimakna. Dari kedua pernyataan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya museum dengan setiap karakteristiknya bisa turut mendukung pendidikan yang berlangsung di Indonesia. Pembelajaran di museum adalah pembelajaran sepanjang hayat dan idealnya bersifat terbuka dan multimakna. Begitu juga dengan pengertian pembelajaran yang menekankan aspek interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar, dan semuanya itu bisa terjadi di museum. Namun sayangnya pendidikan informal dalam Undang-Undang ini lebih dimaksudkan ke dalam 162 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lx

61 pendidikan yang sesuai dengan kerangka pendidikan formal yang dilakukan dalam keluarga dan lingkungan. Padahal berdasarkan pasal-pasal sebelumnya, pembelajaran di museum bisa dikategorikan juga ke dalam pendidikan informal. Dalam Pedoman Pengelolaan Museum, edukasi di museum termasuk ke dalam ranah pelayanan publik. Menurut pedoman, pelayanan publik adalah upaya untuk memberikan kemudahan dan fasilitasi kepada masyarakat dalam pelayanan informasi, pemanfaatan museum, maupun peran sertanya dalam pengembangan museum, sesuai dengan tugas dan fungsi museum. Strategi pelayanan publik museum dilakukan melalui kegiatan bimbingan edukasi, publikasi, promosi, dan hubungan masyarakat. Bimbingan dan edukasi di museum meliputi pemanduan dan pengelolaan pengunjung. Bimbingan dan edukasi tersebut bisa berupa ceramah, pemutaran film, bimbingan karya tulis, pameran khusus untuk anak, hands on activity, dan lokakarya atau seminar. 163 Berdasarkan pedoman ini, aspek edukasi yang diimplementasikan dalam istilah kegiatan bimbingan edukasi berada dalam payung strategi pelayanan publik dan disejajarkan dengan publikasi, promosi dan hubungan masyarakat. Memang tidak ada yang salah dalam pengkategorian itu, namun dengan begitu, pelaksanaan edukasi di museum tentunya menjadi terbatas dan berada di dalam kerangka pelayanan publik. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa edukasi di museum lebih luas dan bisa mencakup semua aspek di dalam konsep dan pengelolaan museum sehingga bimbingan edukasi secara mendasar bisa berdiri sendiri di luar ranah pelayanan publik. Namun di sisi lain, dalam kegiatan bimbingan edukasi sudah disebutkan pameran khusus untuk anak dan hands on activity yang menekankan pada proses belajar interaktif dan berfokus pada kebutuhan pengunjung yang berbeda-beda. Di dalam Pedoman Pengelolaan Museum juga tersirat pandangan yang masih berdasarkan koleksi dalam menyajikan pameran, tidak melihat dari sudut pandang informasi yang terkandung di dalam koleksi. Hal itu dapat menyebabkan keterbatasan dalam mengeksplor kemungkinan dan pendekatan-pendekatan dalam menyajikan sebuah tema dalam pameran. Maka aspek tata pamer dan pameran diimplementasikan dalam istilah penyajian koleksi. Pedoman Pengelolaan Museum menyatakan terdapat faktor-faktor pendukung penyajian koleksi yang 163 Direktorat Museum, Pedoman Pengelolaan Museum, hlm lxi

62 terdiri dari pengelola museum, koleksi museum, pengunjung museum dan sarana dan prasarana museum. Dikatakan bahwa pengunjung museum memiliki latar belakang yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini akan menyebabkan perbedaan tingkat ketertarikan dan pemahaman pengunjung terhadap koleksi yang disajikan. Berdasarkan keterangan tersebut jelas bahwa keberadaan pengunjung sebagai target dari penyajian koleksi sudah diakui secara signifikan. Pengunjung pun sudah dianggap sebagai individual-individual berbeda yang memiliki karakteristik dan cara belajar yang berbeda-beda. Dari sudut pandang tersebut, seharusnya penyajian pameran di museum sudah bisa menerapkan metode dan pendekatan yang berbedabeda pula sehingga dapat memfasilitasi setiap kebutuhan pengunjung. Selain pandangan pemerintah terhadap museum yang terlihat dari kebijakan, regulasi dan pedoman pemerintah, pandangan masyarakat juga merupakan unsur yang tidak dapat dikesampingkan dalam perkembangan museum. Meskipun belum mewakili masyarakat Indonesia secara keseluruhan, berdasarkan hasil penelitian tentang Pandangan Masyarakat Terhadap Peran dan Pengelolaan Museum, dapat diketahui bahwa: a. Pandangan masyarakat berdasarkan pengetahuan dan pemahaman, menunjukkan bahwa kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan khususnya sekolah menengah umum dan sederajat, mengartikan museum sebagai pusat informasi sejarah dan pendidikan. Kelompok masyarakat umum dan siswa pendidikan sekolah menengah pertama melihat arti museum dari segi fungsi dasar berkaitan dengan koleksi. b. Pandangan masyarakat dalam kondisi kekinian museum dinilai kurang baik, manfaat berkunjung ke museum sangat rendah untuk mendapatkan pengetahuan baru. Sementara harapan berkunjung untuk mendapatkan pengetahuan benda dan koleksi sangat tinggi. c. Pengamatan masyarakat terhadap kondisi museum saat ini salah satunya adalah kurangnya pelayanan informasi oleh museum. Pengunjung lebih tertarik pada benda- lxii

63 benda yang dipamerkan, khususnya benda-benda yang berbeda dengan kebudayaan mereka Penelitian dilakukan di Kabupaten Belitung, Bangka Belitung; Kabupaten Sikka, NTT; dan Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Pandangan Masyarakat Terhadap Peran dan Pengelolaan Museum. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, lxiii

64 BAB 4 Pameran dan Pengunjung Galeri Etnografi 4.1. Museum Nasional Abad 18 di Eropa diwarnai oleh munculnya perkumpulan-perkumpulan ilmiah, salah satu diantaranya adalah De Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen (Perkumpulan Ilmiah Belanda) yang didirikan pada tahun 1752 di Haarlem, Belanda. Dari perkumpulan inilah kemudian berdiri Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Westenschappen yang dibentuk oleh beberapa intelektual Belanda pada 24 April 1778 di Batavia. Dengan tujuan untuk mempromosikan bidang seni dan sains, semboyan dari kelompok ini adalah "Ten Nutte van het Algemeen" (Untuk Kepentingan Masyarakat Umum). Namun seperti karakteristik setiap kelompok aristokratik dan hirarkis lainnya, hasil penelitian, buku-buku dan koleksi objek hanya bisa diakses oleh para kaum intelektual Belanda saja. Di tahun 1862, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mendirikan museum untuk menyimpan dan merawat seluruh koleksi kelompok ini di Koningsplein West, sekarang Jalan Medan Merdeka Barat no. 12. Setelah masa kemerdekaan, kelompok ini berubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia pada 26 Januari Perubahan ini disesuaikan dengan kondisi waktu itu, sebagaimana tercermin dalam semboyan barunya yaitu memajukan ilmu-ilmu kebudayaan yang berfaedah untuk meningkatkan pengetahuan tentang kepulauan Indonesia dan negeri-negeri sekitarnya. Pada 17 September 1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia menyerahkan museum ke tangan pemerintah Indonesia, yang merubah namanya menjadi Museum Pusat. Akhirnya pada 28 Mei 1979, Museum Pusat berganti nama menjadi Museum Nasional dan secara langsung berada di bawah wewenang Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hhttp:// 7 Juli 2009 dan Museum Nasional, Pengembangan Museum Nasional. Jakarta: Museum Nasional, hlm lxiv

65 Hingga kini Museum Nasional memiliki sekitar buah objek, yang dikategorikan dalam koleksi prasejarah, arkeologi, keramik, numismatika-heraldik, sejarah, etnografi dan geografi. Museum kini terdiri dari dua buah bangunan. Bangunan pertama, atau Gedung A adalah bangunan bekas Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Westenschappen dulu, dimana terdapat ruang penyimpanan koleksi dan sebagian besar pameran permanen. Bangunan lainnya yaitu Gedung B adalah bangunan baru yang dibangun pada tahun 2003 dan sekarang menjadi kantor museum, beberapa pameran permanen dan biasanya digunakan sebagai tempat pameran temporer. Jika pengaturan galeri di Gedung A didasarkan pada bidang ilmu kajian (subject matter), bahan dan wilayah, seperti ruang Prasejarah, ruang Perunggu, ruang Tekstil dan lainnya, pengaturan pameran di Gedung B didasarkan pada tema aspek budaya dalam kehidupan manusia. Galeri di Gedung B terdiri dari empat tema yaitu Manusia dan Lingkungan, Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Eknonomi, Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman dan Khasanah Emas dan Keramik. 166 Pihak museum tidak merubah pengaturan penyajian di Gedung A karena mereka ingin mempertahankan konsep lama. Menurut Kepala Bidang Konservasi dan Penyajian, pihak museum ingin mempertahankan masa lalu dan bangunan Gedung A memang bangunan kolonial sehingga penyajian lama warisan dari masa kolonial tersebut akan dipertahankan. 167 Visi dari Museum Nasional mengacu pada tujuan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yaitu Terwujudnya Museum Nasional sebagai pusat informasi budaya dan pariwisata yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan peradaban dan kebanggaan terhadap kebudayaan nasional, serta memperkokoh persatuan dan persahabatan antar bangsa. Pemerintah melihat museum sebagai institusi warisan budaya dan sebagai pusat edukasi informasi rekreatif budaya. Pemerintah menyatakan bahwa kewajiban museum adalah untuk menyelamatkan dan merawat objek-objek warisan budaya Indonesia, dalam rangka membuat masyarakat mengetahui dan berpartisipasi dalam preservasi warisan budaya bangsa. 168 Sementara dalam upaya pencapaian visi, Museum Nasional mengemban misi sebagai berikut: 1. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas SDM yang profesional, dan saranaprasarana di lingkungan Museum Nasional yang berdampak pada peningkataan keamanan dan kenyamanan; 166 Ibid., diunduh pada 7 Juli Kepala Bidang Konservasi dan Penyajian, wawancara dengan penulis, tape recording, 4 Mei Ibid., diunduh pada 7 Juli lxv

66 2. Meningkatkan penyajian informasi koleksi yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa serta menumbuhkan daya apresiatif, inovatif, dan imajinatif; 3. Meningkatkan kualitas pemeliharaan dan penyajian koleksi yang mampu meningkatkan pelestarian budaya dan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan nasional; 4. Meningkatkan kualitas pelayanan informasi yang berdampak pada peningkatan apresiasi masyarakat dan kunjungan ke Museum Nasional; 5. Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pelayanan registrasi dan dokumentasi melalui database koleksi dan kepustakaan yang mudah diakses oleh pengguna data/user baik secara offline maupun online. 169 Dalam visi museum sekaligus sebagai tujuan kementerian, tertera frase mencerdaskan kehidupan bangsa yang secara tersirat bisa kita lihat sebagai suatu usaha mendidik masyarakat. Frase-frase lainnya seperti kebanggaan terhadap kebudayaan nasional, memperkokoh persatuan bangsa dan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan nasional adalah beberapa sasaran dari edukasi di museum di Indonesia. Ketiga hal tersebutlah yang bisa dilihat sebagai urgensi dari tujuan edukasi di museum di Indonesia. Dalam misinya, yang ditekankan untuk mendukung usaha mencerdaskan bangsa tersebut adalah dengan meningkatkan penyajian informasi koleksi. Penyajian informasi koleksi secara umum bisa diturunkan dalam upaya-upaya yang berkaitan dengan eksebisi, pengantar interpretif eksebisi dan program publik yang bertujuan untuk memberikan layanan edukasi kepada pengunjung. Sehingga sebenarnya Museum Nasional bisa melihat konsep edukasi dalam tataran yang lebih luas yang tidak hanya terbatas pada guiding di museum. Pihak kementerian pun bisa menyesuaikan tugas pokok dan fungsi museum sehingga dapat menjalankan edukasi di museum secara ideal. Di tahun 2003, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata mengeluarkan dekrit tentang organisasi dan tata kerja Museum Nasional. Di dalam dekrit dinyatakan bahwa Museum Nasional merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah dan bertanggung jawab kepada Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Tugas museum adalah untuk mengoleksi, merawat, meneliti, memamerkan, mempublikasikan setiap hasil penelitian dan memberikan bimbingan edukasi budaya yang berkaitan dengan objek kesejarahan, 169 Museum Nasional, Pengembangan Museum Nasional. Jakarta: Museum Nasional, hlm. 5. lxvi

67 budaya dan ilmiah. Struktur organisasi museum terdiri dari dari Direktur yang mengepalai bidang Administrasi dengan bidang Keuangan, Sumber Daya Manusia dan Urusan Dalam di bawah wewenangnya. Direktur juga memiliki wewenang langsung pada Bidang Pembinaan Koleksi Prasejarah dan Arkeologi, Bidang Pembinaan Koleksi Sejarah dan Antropologi, Bidang Konservasi dan Penyajian, Bimbingan dan Publikasi dan Registrasi dan Dokumentasi. Setiap bidang kemudian membawahi seksi-seksi yang lebih banyak. 170 Maka dikarenakan peranannya sebagai UPT dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Museum Nasional tidak dapat membuat kebijakannya sendiri dalam pengelolaan museum. Seluruh kebijakan diatur oleh kementerian dan segala keputusan dan tindakan juga harus mendapat persetujuan dari kementerian. Hal ini dapat membatasi ruang gerak dan kreatifitas museum dalam upaya mengembangkan museum untuk memenuhi permintaan masyarakat. Segala perubahan baik itu revitalisasi atau perbaikan dalam konteks organisasi dan teknis pengelolaan museum harus mendapat persetujuan dari kementerian atau datang sendiri dari inisiatif pihak kementerian. Selain keterbatasan, dengan birokrasi seperti ini museum kehilangan aspek dinamisnya sebagai institusi publik yang terbuka tapi lebih terlihat sebagai institusi negara yang pasif. Aktifitas edukasi museum berada di bawah bidang Bimbingan dan Publikasi. Istilah bimbingan disini mengacu pada setiap pelayanan edukasi yang bisa diberikan oleh museum. Istilah tersebut digunakan karena museum dianggap memberikan sebuah bimbingan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan pengunjung. Tetapi sayangnya, Museum Nasional tidak memiliki kebijakan edukasi yang dapat mempersempit tujuan umum museum dalam hal mengedukasi masyarakat. Kebijakan edukasi yang dimaksud disini adalah berupa pedoman atau acuan yang mendasari setiap kegiatan edukasi yang ditetapkan dan dilakukan oleh museum. Kebijakan edukasi bisa berisi tentang tujuan dan visi misi edukasi museum, target audiens, akses masyarakat terhadap museum dan regulasi museum dalam merancang dan melaksanakan kegiatan edukasi. Berdasarkan dekrit Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, tugas bidang Bimbingan dan Publikasi adalah untuk melaksanakan segala kegiatan bimbingan edukasi dan budaya, publikasi koleksi dan hubungan masyarakat. Bidang Bimbingan secara khusus bertugas 170 Dekrit Menteri Kebudayaan dan Pariwisata KM.45/OT.001/MKP/2003 tentang Organisasi dan Sistem Kerja Museum Nasional, 5 Desember lxvii

68 untuk memberi bimbingan tentang koleksi museum kepada pengunjung. 171 Tujuan dari pemberian bimbingan tersebut adalah untuk mencerahkan masyarakat untuk mengenal kebudayaan sendiri yang nantinya akan bermuara pada pengenalan dan penguatan jati diri. Edukasi sebagai pelayanan masyarakat di Museum Nasional diimplementasikan dalam pemanduan kunjungan sekolah ke museum, kuliah atau seminar, lomba anak dan remaja yang berkaitan dengan seni dan budaya dan museum keliling ke propinsi-propinsi di Indonesia yang kini sudah tidak dilaksanakan lagi. Namun dalam hal pelayanan masyarakat, pihak museum hingga kini belum pernah melakukan studi pengunjung (visitor strudies) dalam bentuk apapun atau bahkan evaluasi pameran. 172 Hal ini cukup mencengangkan karena studi pengunjung dan evaluasi pameran merupakan dua kegiatan yang sangat prinsipil dalam pengelolaan museum, juga mengingat Museum Nasional sudah sangat lama berdiri sebagai museum tingkat nasional. Maka hingga kini pihak museum belum memiliki profil pengunjung museum yang menyangkut data demografi pengunjung, minat pengunjung hingga pendapat pengunjung tentang museum. Sebagai tambahan, karena belum pernah dilakukan evaluasi pameran, maka museum sama sekali tidak mengetahui apakah sasaran dan tujuan dari penyajian informasi dan koleksinya selama ini sudah tercapai atau belum. Maka museum tidak mengetahui apa keinginan masyarakat terhadap museum dan jika begitu maka kemampuan museum untuk melayani masyarakat sebagai pengunjung turut dipertanyakan. Konsep bimbingan dianggap sebagai pelayanan masyarakat, maka bidang bimbingan pun berada di bawah payung yang sama dengan publikasi, hubungan masyarakat dan pemasaran. Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, hal ini tentunya membatasi konsep dan pergerakan edukasi di museum. Edukasi memang salah satu bentuk dari pelayanan masyarakat, namun edukasi memiliki signifikansinya sendiri di dalam museum. Begitu juga dengan bidang publikasi, hubungan masyarakat dan pemasaran. Edukasi adalah tujuan museum dan alasan mengapa sebuah museum berdiri, dan tidak hanya sekedar pelayanan masyarakat. Maka akan lebih baik jika edukasi berdiri sendiri sebagai satu bidang atau departemen di museum. 171 Ibid., 172 Kepala Bidang Bimbingan dan Publikasi, wawancara dengan penulis, tape recording, 4 Mei lxviii

69 Tidak adanya kebijakan edukasi mengindikasikan bahwa Museum Nasional masih melihat pengunjungnya sebagai sebuah kelompok manusia yang umum yang memiliki kebutuhan, latar belakang dan gaya belajar yang serupa, sehingga mereka diperlakukan dengan pendekatan yang sama. Museum mengecualikan audiens dalam menciptakan narasinya dan dalam proses penyampaiannya. Selain itu juga, hal tersebut mengakibatkan bimbingan di museum hanya terbatas pada pelayanan publik dan belum merambah pada konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan edukasi yang dapat memenuhi kebutuhan setiap lapisan masyarakat. Sebagai contoh karena pengunjung dianggap sebagai individual-individual yang sama, maka akses museum sendiri masih tertutup bagi masyarakat dengan kebutuhan khusus dan bagi kelompok masyarakat lainnya seperti etnis minoritas karena mereka tidak direpresentasikan di dalam museum. Pemerintah menganggap bahwa Museum Nasional tidak hanya berdiri sebagai institusi modern milik bangsa yang menunjukkan kekayaan warisan budaya dan tradisi Indonesia, tetapi juga sebagai aset pariwisata. Namun peran museum di tengah-tengah masyarakat sekitarnya belum terlihat dengan jelas, terlebih lagi dalam membangun masyarakat Indonesia dalam skala nasional Galeri Etnografi Galeri Etnografi terletak di Gedung A yang memamerkan bermacam-macam koleksi etnografi dari kepulauan Indonesia. Sebagian besar koleksi etnografi di museum dikumpulkan pada masa Hindia Belanda pada pertengahan abad 19 dan awal abad 20. Koleksi etnografi dibangun melalui ekspedisi ilmiah dan militer Hindia Belanda, atau dilakukan oleh individual seperti pejabat pemerintah dan misionaris. Galeri ini terbagi ke dalam tiga ruangan. Ruang pertama atau ruang Barat 173 memamerkan peta etnis dan bahasa Indonesia dan juga kebudayaankebudayaan materi pulau Sumatera dan Jawa. Ruang kedua terdiri dari Bali, Kalimantan dan 173 Nama ruang barat diberikan pada ruang pertama oleh para staf museum karena ruang tersbeut memamerkan kebudayaan dari Indonesia bagian barat. lxix

70 Sulawesi. Sementara ruang ketiga atau ruang Timur 174 terdiri dari Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Menurut Kepala Bidang Koleksi Sejarah dan Antropologi, tujuan dari Galeri Etnografi adalah untuk menampilkan beragam kebudayaan Indonesia. Itulah mengapa objek-objek di galeri adalah objek yang dianggap unik dan yang dapat merepresentasikan setiap kelompok budaya dan etnis di Indonesia. 175 Cara museum dalam menampilkan beragam kebudayaan Indonesia adalah dengan memamerkannya dalam pengaturan tertentu berdasarkan kategori-kategori. Pengaturan ini telah diaplikasikan sejak museum menerima statusnya sebagai Museum Nasional dan terbuka untuk publik. Konsep yang mendasari kategori dalam pengaturan tersebut cukup sulit didefinisikan, karena terlihat saling menumpuk antara daerah atau geografis, kelompok budaya dan etnis. Sebagai contoh terdapat pameran yang diatur berdasarkan kategori daerah atau geografis seperti kebudayaan Jawa Barat atau kebudayaan Bali. Juga terdapat pameran yang diatur berdasarkan kelompok budaya dan etnis seperti kebudayaan Cirebon dan kebudayaan Asmat dan Toraja. Di dalam kategori, juga terdapat tema-tema khusus. Sebagai contoh, dalam sebagian besar kategori terdapat tema-tema seperti topeng, alat musik, perhiasan, senjata dan lain-lain. Tema-tema tersebut dipilih berdasarkan objek di dalam koleksi etnografi. Pengaturan pameran di gedung A yang didasarkan pada bidang kajian ilmu dan bahan merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda ketika mereka membuat klasifikasi koleksi mereka selama masa Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Westenschappen. Hal yang sama juga terjadi pada pengaturan di Galeri Etnografi. Museum masih mempertahankan sudut pandang kolonial Belanda dalam melihat wilayah kolonialnya. Selama masa kolonial, mereka telah lama mempelajari kebudayaan negara yang mereka duduki dan membuatnya sebagai bagian dari studi etnografi. 176 Jadi melalui ekspedisi ilmiah dan militer yang sudah disebutkan di atas, kolonial Belanda mempelajari berbagai etnis dan kelompok komunitas yang memiliki ciri-ciri kebudayaan yang sama. Lalu mereka membuat pengelompokan mereka sendiri berdasarkan hasil 174 Ruang ini memamerkan kebudayaan dari Indonesia bagian timur. 175 Kepala Bidang Pembinaan Koleksi Sejarah dan Antropologi, wawancara dengan penulis, tape recording, 4 Mei Etnografi adalah kajian dan perekaman sistematis tentang kebudayaan manusia. Hhttp:// 10 Juli lxx

71 studi mereka 177 dan menampilkannya dalam pengaturan tertentu. Dalam urutan mereka, penduduk lokal dilihat dan ditampilkan sebagai yang lain. Sudut pandang ini secara tidak sadar masih dipegang oleh museum. Satu contoh yang jelas adalah seperti bagaimana museum memperlakukan Galeri Etnografi. Tetapi satu contoh lainnya yang sedikit tidak terlihat adalah ketika salah seorang pemandu museum memandu sebuah sekolah dalam kunjungan museum ke Galeri Etnografi. Pemandu tersebut membawa murid-murid sekolah ke dalam galeri dari pintu masuk di ruang pertama. Pameran pertama yang dia jelaskan adalah peta suku bangsa Indonesia (foto 4.2.1). Lalu dia berkata pada murid-murid sekolah yang dipandunya: jadi anak-anak, ini adalah peta suku bangsa di Indonesia. Coba lihat! Mereka adalah suku Papua, suku Batak dan suku Bugis dan lain-lain. 178 Berdasarkan penyampaian dari pemandu tersebut, tersirat bahwa orang-orang yang digambarkan di dalam peta berbeda darinya dan dari para murid sekolah tersebut. Dia melihat kelompok etnis yang digambarkan di dalam peta sebagai yang lain, sementara sebenarnya mereka sama-sama berasal dari Indonesia. 177 Bangsa Belanda bahkan member nama pada kelompok budaya tertentu yang masih digunakan di Indonesia kini. Sebagai contoh adalah masyarakat dari Papua, bangsa Belanda menamakan mereka orang Irian, yang digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam mengacu pada pulau Papua beberapa tahun yang lalu (Irian Jaya). Benedict Anderson, Imagined Communities, 178 Pengamatan pribadi di Galeri Etnografi Museum Nasional, 30 April lxxi

72 Foto Peta Suku Bangsa di Indonesia. 179 Tata pamer setiap objek secara umum dirancang dalam gaya yang sama. Objek ditaruh di dalam vitrin kayu yang diwarisi dari masa kolonial. Tetapi terdapat beberapa objek yang dipamerkan di luar vitrin. Sebagai contoh adalah patung, alat musik, kano Asmat dan lain-lain. Disamping objek yang dipamerkan, juga terdapat video tentang pertunjukan wayang dan seni topeng. Video pertama ditempatkan tepat di sebelah penyajian pertunjukan wayang kulit di ruangan tengah antara ruang pertama dan ruang kedua. Video kedua terletak di ruang ketiga atau ruang timur dimana terdapat tempat duduk untuk pengunjung beristirahat. Video hanyalah satusatunya sarana audio visual yang terdapat di dalam galeri ini, bahkan satu-satunya di museum. Pihak museum sudah pernah mencoba menaruh sarana teknologi lainnya seperti touch screen, namun ternyata yang terjadi adalah tidak sampai satu bulan, touch screen tersebut sudah rusak karena sering digunakan secara berlebihan oleh pengunjung. Maka pihak museum belum berencana untuk menempatkan sarana teknologi seperti touch screen tersebut dalam waktu dekat. 180 Hal ini mengindikasikan tingkat kemampuan teknologi pengunjung belum cukup sehingga mereka cenderung memperlakukan sarana teknologi seperti touch screen dengan berlebihan. 179 Seluruh foto diambil oleh penulis, Mei Kepala Bidang Konservasi dan Penyajian, wawancara dengan penulis, 4 Mei lxxii

73 Bersama dengan objek yang dipamerkan juga terdapat label yang berisi informasi dan gambar atau foto yang berkaitan dengan objek tersebut. Label di galeri ini terdiri dari label kelompok dan label individual. Sebagian besar label kelompok ditaruh pada penyajian yang memamerkan objek dalam kategori yang sama. Biasanya label kelompok dimulai dengan latar belakang cerita objek dan label individual membicarakan tentang tiap-tiap objek lebih jauh lagi (foto 4.2.2). Label individual berisi informasi tentang bahan, asal-usul, nomor inventarisasi dan deskripsi dan fungsi objek (foto 4.2.3). Keletakan objek dan tata cahaya di dalam vitrin cenderung menekankan eksotisisme objek, seperti penyajian Topeng Sumatera Utara (foto 4.2.4). Lebih jauh lagi, gambar dan foto yang menemani label membuat kesan eksotis lebih kuat lagi (foto 4.2.5). Pencahayaan yang gelap ditemukan di ruang pertama dan ruang kedua. Sementara ruang ketiga sudah menerapkan pencahayaan yang cukup terang sehingga sedikit mengurangi kesan eksotis objek. Dalam hal ini dan seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya tentang sudut pandang kolonial, objek-objek di Galeri Etnografi sebagian besar diperlakukan dalam konteks pengetahuan Barat. Meminjam dari Ivan Karp, untuk memamerkan objek etnografis dengan menekankan perbedaan mereka dinamakan exoticizing atau eksotisasi. 181 Perbedaan yang dimaksud tentunya adalah perbedaan antara mereka yang menciptakan objek-objek tersebut dan mereka yang melihat objek-objek tersebut dipamerkan. Pendekatan konvensional ini digunakan dalam representasi penduduk lokal yang dikolonisasi di museum-museum Barat. Sebagai tambahan, Museum Nasional juga memperlakukan objek sebagai seni (foto 4.2.6). Seperti yang dinyatakan oleh James Clifford, bahwa perlakuan artefak sebagai seni adalah cara paling efektif dalam mengkomunikasikan aspek kualitas, makna dan kepentingan dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain. 182 Kedua pendekatan dianggap sebagai strategi kontemporer yang paling sering digunakan dalam memamerkan objek-objek etnografi. Namun kedua pendekatan tersebut hanya berlaku dalam museum yang memiliki objek etnografi yang berasal dari kebudayaan lain. Dengan kata lain, objek etnografi di Museum Nasional berasal dari kebudayaan Indonesia 181 Ivan Karp dan Steven D. Lavine, Exhibiting Cultures: The Poetics and Politics of Museum Display. Washington: Smithsonian Institution Press, hlm James Clifford, Northwest Coast Museums: Travel Reflections, ibid., hlm lxxiii

74 sendiri, maka tampaknya kedua pendekatan tersebut tidak sesuai diterapkan di Museum Nasional. Eksotisasi dan perlakuan objek etnografi sebagai seni hanya akan mengedepankan keragaman Indonesia seraya mengecualikan konsep kesatuan. Hal tersebutlah yang terlihat dari keseluruhan pameran di Galeri Etnografi. Tujuan galeri memang tercapai, yaitu untuk menampilkan keragaman budaya Indonesia. Tetapi sebaliknya, objek-objek tersebut diperlakukan dengan menekankan perbedaan mereka seakan-akan mereka berbeda dari museum dan pengunjung. Maka pesan yang tersirat adalah bahwa masyarakat dan budaya Indonesia berbeda satu sama lain dan tidak memiliki kesamaan yang dapat mengikat secara bersama-sama. Foto Label Kelompok. Foto Label Individual. Foto Topeng Sumatera Utara. Foto Foto kelompok suku Dayak lxxiv

75 Foto Patung Nenek Moyang Nias. Berdasarkan pengamatan pribadi di dalam galeri, tidak ada penyajian tentang DKI Jakarta atau kebudayaan Betawi. Hal tersebut cukup aneh karena walaupun kemungkinannya akan dipamerkan di bawah kategori daerah atau kelompok budaya, seharusnya Jakarta ikut dipamerkan di dalam galeri karena Jakarta memiliki kebudayaannya sendiri dan tidak ada daerah atau kelompok budaya yang memiliki ciri khas yang sama. Kemungkinan tidak adanya kebudayaan Betawi juga dikarenakan warisan pandangan kolonial terhadap Indonesia. Tampaknya kolonial Belanda tidak mengkategorikan kebudayaan Betawi ke dalam kebudayaan yang lain seperti kelompok etnis lainnya. Pandangan itu kemudian masih dipertahankan oleh museum. Jawaban yang didapat dari pihak museum mengenai hal tersebut adalah karena sudah ada museum tentang Jakarta, yaitu Museum Sejarah Jakarta yang sepatutnya menampilkan kebudayaan Betawi dalam penyajiannya. 183 Kebudayaan adalah proses interaksi manusia dengan lingkungannya yang terus berjalan. Proses budaya tidak berhenti pada satu titik di suatu waktu. Maka representasi kebudayaan di museum seharusnya dapat ikut menampilkan perkembangan dari kebudayaan itu sendiri di dalam masyarakatnya. Tidak adanya kebudayaan Betawi merupakan salah satu bukti bahwa Galeri Etnografi tidak mengikuti perkembangan kebudayaan Indonesia masa kini, mengingat etnografi adalah kajian tentang kebudayaan manusia. Terlebih lagi, galeri ini tidak merekam perkembangan kelompok etnis dan budaya yang ditampilkannya selama 50 tahun terakhir. 183 Kepala Bidang Pembinaan Koleksi Sejarah dan Antroplogi, wawancara dengan penulis, tape recording, 4 Mei lxxv

76 Banyak hal yang telah terjadi dalam perkembangan budaya mereka sebagai respon terhadap globalisasi, modernisasi dan bahkan bencana alam. Perubahan sosio-politik 184 juga turut mempengaruhi mereka, ditambah lagi perkembangan ekonomi 185 yang terkadang menekan kehidupan beberapa kelompok etnis dan budaya di Indonesia. Sebagian besar cara hidup mereka telah berubah drastis, maka, banyak dari kelompok etnis dan budaya di Indonesia yang sudah lama tidak hidup sesuai dengan tradisi mereka. Saya juga ingin mengemukakan bahwa perubahan politik adalah unsur eksternal yang juga membutuhkan respon dari museum. Contoh yang paling sederhana adalah Timor Timur yang kini sudah merdeka dan tidak lagi menjadi bagian dari Republik Indonesia masih terekam di peta Indonesia di ruang pertama atau ruang Barat. Menurut Kepala Bidang Konservasi dan Penyajian, Galeri Etnografi telah dirancang ulang di tahun 2007 dan 2008 khususnya untuk ruang ketiga atau ruang Timur. Perancangan ulang tersebut berfokus pada pergantian objek yang dipamerkan dan instalasi label baru. Dia mengatakan bahwa perubahan peta Indonesia bukan merupakan prioritas dari perancangan ulang Galeri Etnografi. Alur cerita di galeri ini dibuat oleh bidang koleksi Sejarah dan Antroplogi yang membawahi bidang koleksi Etnografi. Setelah itu visualisasinya dirancang oleh bidang Penyajian. Namun setiap perubahan harus mendapatkan izin dari direktur museum yang juga membutuhkan persetujuan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 186 Secara umum pameran di Galeri Etnografi menggunakan metode didaktik (didacticexpository) yang berfokus pada objek. Galeri Etnografi memiliki pameran yang berurutan dan hanya memiliki label dan panil sebagai komponen didaktik. Pengunjung diharapkan dapat mempelajari sesuatu dengan cara melihat objek dan membaca label Pengalaman Pengunjung 184 Sebagai contohnya adalah otonomi daerah yang membawa perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat. 185 Sebagai contohnya penebangan liar dan eksploitasi sumber daya alam. 186 Kepala Bidang Konservasi dan Penyajian, wawancara dengan penulis, 4 Mei lxxvi

77 Spatial tracking study dan wawancara dilakukan selama 1 minggu, dari tanggal 27 April hingga 3 Mei 2009, selama jam buka museum, dari pukul 9.00 hingga WIB. Untuk tracking study dilakukan dengan 3 orang tenaga pembantu. Pada awalnya, ditargetkan 60 orang untuk tracking study dan wawancara. Pada akhir pengumpulan data, berhasil didapatkan 73 subjek untuk tracking study dan 15 subjek untuk wawancara. Berdasarkan temuan yang didapat dari tracking study, terdapat beberapa penyajian yang cenderung dilihat lebih lama oleh pengunjung dibandingkan penyajian lainnya. Sebagian besar pengunjung mengamati penyajian tersebut selama lebih dari 5 menit. Terungkap juga kecenderungan perilaku pengunjung selama kunjungan mereka di dalam galeri. Terdapat 15 penyajian yang dilihat pengunjung lebih lama dibandingkan penyajian lainnya. Penyajianpenyajian tersebut adalah Keris Bali (foto 4.3.1), Senjata Nias (foto 4.3.2), Peta Indonesia (foto 4.3.3) dan Peta Jawa (foto 4.3.4), Kebudayaan Nusa Tenggara Timur (foto 4.3.5), Kano Asmat (foto 4.3.6), Rumah Tongkonan Toraja (foto 4.3.7), Keris Jawa (foto 4.3.8), Patung Nogowarno (foto 4.3.9), Pertunjukan Seni Papua (foto ), Patung Nenek Moyang (foto ), Etnografi Sangir (foto ), Kebudayaan Asmat (foto ) dan Koteka (foto ). Foto Keris Bali. Foto Senjata Nias. lxxvii

78 Foto Peta Indonesia Foto Peta pulau Jawa Nusa Tenggara Timur Foto Kano Asmat. Foto Keb. Rumah Tongkonan Toraja. Foto Keris Jawa Foto lxxviii

79 Foto Patung Nogowarno Foto Pertunjukan Seni Papua Foto Patung Nenek Moyang Foto Kebudayaan Sangir lxxix

80 Foto Kebudayaan Asmat Foto Koteka dari Papua. Seluruh penyajian yang dilihat pengunjung lebih lama cenderung memiliki beberapa kesamaan dalam tampilannya. Beberapa dari mereka berukuran besar seperti Peta Indonesia dan Jawa dan Kano Asmat. Beberapa dari koleksi tersebut cukup unik dan memiliki kekuatan untuk menarik perhatian pengunjung seperti Senjata Nias, Kebudayaan Nusa Tenggata Timur, Rumah Tongkonan Toraja, Pertunjukan Seni Papua, Kebudayaan Sangir dan Kebudayaan Asmat. Dengan fakta bahwa sebagian besar pengunjung Museum Nasional berdomisili di Jakarta dan daerah sekitarnya, penyajian unik ini menggambarkan kebudayaan yang sangat jauh dari kebudayaan di sekitar mereka. Maka mereka lebih tertarik pada penyajian ini dibandingkan dengan penyajian lainnya yang memamerkan objek yang telah mereka tahu atau lihat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa penyajian menarik dikarenakan cerita dibalik objek, seperti Keris Bali, Keris Jawa dan Patung Nogowarno. Cerita dibalik tiga penyajian ini mengandung cerita rakyat dan unsur mitos, dan juga berkaitan dengan cerita kerajaan atau bangsawan di Indonesia. Penjelasan yang terakhir adalah karena beberapa penyajian mengandung konsep yang menurut pengunjung aneh dan tidak mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari. Contoh penyajian tersebut adalah Patung Nenek moyang dan Koteka dari Papua. Seperti yang sudah disebutkan tadi, dicatat juga perilaku pengunjung selama kunjungan mereka di Galeri Etnografi. Di bawah ini adalah tindakan-tindakan yang dilakukan sebagian besar pengunjung: lxxx

81 1. Membaca label. Pengunjung cenderung membacanya pelan dan keras sehingga sesama pengunjung yang datang bersama dengan mereka bisa mendengarnya. 2. Berinteraksi dengan koleksi. Meskipun disana terdapat keterangan yang sangat jelas bahwa pengunjung tidak diperbolehkan menyentuh koleksi, sebagian besar dari mereka tetap menyentuh koleksi atau berusaha memainkannya, dalam kasus alat musik. 3. Berdiskusi dengan sesama pengunjung. 4. Menjelaskan kepada sesama pengunjung. 5. Mengomentari tentang penyajian atau objek. Sebagian besar komentar adalah tentang estetika objek dan bagaimana objek tertentu menyimpan dan merepresentasikan konsep yang menurut pengunjung menarik dan aneh. Sebagai contoh adalah koteka dari Papua dan patung Indonesia timur yang mengggambarkan alat genital manusia secara terangterangan. 6. Mengambil foto. Meskipun di dalam museum dilarang mengambil foto, banyak pengunjung yang melakukannya. 7. Mendengarkan pemandu museum. Museum Nasional biasanya hanya menyediakan pemandu berdasarkan permintaan. Kunjungan yang biasanya ditemani pemandu adalah kunjungan sekolah dan turis asing. Beberapa pengunjung terkadang mencuri dengar penjelasan yang diberikan oleh pemandu tentang koleksi museum. 8. Membuat catatan. Pengunjung yang biasanya mencatat adalah anak-anak atau remaja usia sekolah. 9. Menonton video. Banyak pengunjung duduk di bangku yang disediakan di ruang ketiga atau ruang timur dan menonton video tentang pertunjukan seni topeng selama beberapa saat. Sementara berdasarkan hasil wawancara, dapat diketahui hal-hal seperti tujuan kunjungan dan harapan pengunjung di museum. Juga pendapat pengunjung tentang Galeri Etnografi, yang mencakup penyajian, tata letak pameran dan objek yang ditampilkan Tujuan dan Harapan Pengunjung lxxxi

82 Banyak pengunjung datang ke Museum Nasional dengan tujuan untuk mengetahui sejarah bangsa dan kebudayaan Indonesia. Beberapa dari mereka datang ke museum untuk rekreasi, untuk menghabiskan waktu luang mereka dan untuk melihat objek-objek aneh. Harapan pengunjung dengan datang ke museum adalah dapat menambah pengetahuan mereka. Banyak pengunjung merasa bahwa aura di dalam galeri seolah-olah mistis, sebagian besar karena mereka merasa objek-objek yang dipamerkan ditampilkan dalam cara tertentu yang membuatnya terlihat eksotis dan misterius Pendapat Pengunjung tentang Galeri Etnografi Sebagian pengunjung mengatakan bahwa mereka menyukai Galeri Etnografi dan sebagian tidak. Alasan bagi yang menyukai adalah karena menurut mereka Galeri Etnografi menunjukkan keunikan Indonesia. Di dalam galeri, mereka dapat melihat objek dari daerah lain yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Beberapa pengunjung mengatakan bahwa Galeri Etnografi adalah galeri favorit mereka karena galeri tersebut adalah ruangan yang paling nyaman dan dingin di museum. Alasan bagi mereka yang tidak menyukai karena menurut mereka Galeri Etnografi tidak menarik, membosankan dan karena pencahayaan yang gelap memberi mereka kesan seram. Mereka juga menyebutkan bahwa tata letak penyajian tampak tidak beraturan dan karena itu membuat mereka bingung. Selain itu juga, menurut mereka objek yang dipamerkan terlalu banyak dan kurang bervariasi. Banyak dari mereka yang lebih menyukai ruang ketiga atau ruang timur karena ruang tersebut memiliki lebih banyak ruang daripada dua ruang lainnya. Mereka merasa ruang pertama dan kedua terlalu padat dan terdapat terlalu banyak penyajian, maka hal itu membuat mereka bingung dan ragu untuk melihat seluruh penyajian. Mereka sebagian besar tidak menyukai pencahayaan di ruang pertama dan kedua. Kedua ruang tersebut sedikit gelap sehingga mereka tidak membaca label karena tidak begitu nyaman untuk membaca dalam cahaya yang redup. Namun pengunjung sangat menyukai adanya tambahan video, menurut mereka hal itu membuat ruangan tampak hidup. Pengunjung menganggap bahwa tata letak dari penyajian tidak begitu menarik dan cenderung membosankan. Mereka akan lebih suka jika museum dapat menerapkan rancangan dan tata letak yang membuat objek seperti hidup, terutama karena tidak ada contoh objek yang lxxxii

83 bisa disentuh. Mereka juga ingin diberi tahu tentang informasi yang lebih jauh tentang fungsi objek dan bagaimana objek tersebut digunakan, keduanya dengan cara yang menarik, mungkin dengan menggunakan pendekatan teknologi. Sebagian besar pengunjung lebih tertarik pada objek daripada pada label. Mereka merasa informasi yang terdapat pada label terlalu banyak dan tidak efektif. Pengunjung hanya melihat gambar yang ditampilkan dan tidak mempedulikan apa yang tertulis di dalam label. Mereka juga merasa kata-kata yang tertulis pada label terlalu banyak dan ukuran hurufnya terlalu kecil dengan jarak yang dekat. Sebagai tambahan, mereka mengatakan bahwa label yang ditampilkan membosankan dan hambar. Bagi pengunjung yang membaca label, mereka merasa terkadang di dalam label tidak menjelaskan lebih jauh tentang objek yang bersangkutan, sementara mereka ingin mengetahui informasi atau cerita yang lebih banyak. Beberapa label mengandung informasi yang banyak tentang latar belakang kebudayaan dari objek yang bersangkutan, namun tidak terlalu banyak detil tentang objeknya sendiri. Penyajian favorit pengunjung adalah etnografi Indonesia timur, seperti Nusa Tenggara, Papua (foto ) dan Bali (foto ). Objek favorit mereka adalah kano Asmat, Barong dan Rangda (lihat juga foto ) dan Mandau; senjata khas Kalimantan (foto ). Mereka menyukai objek-objek tersebut karena ukurannya, terutama kano dan Barong dan Rangda, dan juga karena objek-objek tersebut menarik, unik, dan aneh. Dari paparan diatas, maka dapat terlihat bahwa ukuran dan keanehan menjadi dasar yang penting dalam menangkap perhatian pengunjung. Sebagian besar pengunjung dapat menyebutkan kembali penyajian atau objek yang paling mereka ingat. Terdapat dua alasan mengapa mereka dapat mengingat penyajian atau objek tersebut. Pertama karena mereka menganggap objek tersebut menarik dan unik dan kedua karena mereka memiliki objek tersebut dan karena objek atau penyajian tersebut mengingatkan mereka terhadap pengalaman dan memori masa lalu. lxxxiii

84 Foto Contoh Kebudayaan Papua. Foto Barong dan Rangda. Foto Mandau (senjata tradisional Kalimantan) Pedagogi Museum di Indonesia Setelah melakukan observasi terhadap pameran di Galeri Etnografi dan wawancara pengunjung dan pihak pengelola museum, ditambah dengan menelaah konteks museum di Indonesia, maka dapat diketahui hal-hal sebagai berikut: lxxxiv

85 1. Bentuk pedagogi di Museum Nasional 2. Konteks yang mempengaruhi perkembangan museum di Indonesia 3. Karakteristik pembelajaran masyarakat Indonesia di museum 4. Aplikasi dan adaptasi dari pedagogi Barat pada museum di Indonesia Pedagogi di Museum Nasional Seperti yang telah dikatakan dalam bab-bab sebelumnya, pedagogi adalah sebuah kerangka yang mendasari narasi yang ingin disampaikan oleh museum kepada pengunjungnya dan bagaimana cara penyampaiannya tersebut. Pada awalnya, penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah Museum Nasional memiliki pedagoginya sendiri atau tidak. Setelah melakukan observasi terhadap penyajian di Galeri Etnografi dan wawancara dengan pihak pengelola museum, maka dapat diketahui bahwa Museum Nasional tanpa sadar memiliki suatu kerangka tertentu dalam membangun narasi yang ingin mereka sampaikan kepada pengunjung. Namun kerangka ini tidak didasari oleh konsep-konsep tertentu yang diatur dalam kebijakan mereka. Di sisi lain tentu saja Museum Nasional memiliki metode tertentu dalam menyampaikan narasinya tersebut, dalam hal ini tampaknya pihak museum sedikit mengacu pada kebijakan pemerintah yaitu pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Museum. Maka penjelasan pedagogi di Museum Nasional dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu narasi dan cara menyampaikan narasi. Narasi yang dibangun oleh Museum Nasional tampaknya memang tidak begitu disadari oleh pihak museum sendiri. Mereka mengadopsi pengelolaan museum dari masa sebelumnya dan tidak menyadari kerangka berpikir mereka yang digunakan dalam mengimplementasikannya. Sebagai contoh bahwa mereka tidak akan merubah tata pamer penyajian di gedung A atau gedung lama karena alasan ingin mempertahankan masa lalu dan karena bangunannya adalah bangunan kolonial sehingga pengaturan penyajian yang diwarisi dari masa kolonial tersebut memang sesuai. Maka narasi yang dibangun oleh Museum Nasional cenderung menggunakan sudut pandang kolonial dalam melihat dan menampilkan kebudayaan. Lebih jauh lagi, pihak museum merepresentasikan kebudayaan Indonesia menurut rekaman kebudayaan pada masa kolonial. Dengan kata lain, yang ditampilkan di museum adalah tentang masyarakat dan lxxxv

86 kebudayaannya di masa lalu saja. Meskipun menonjolkan aspek kesejarahan yang kuat, sayangnya tidak ada aspek kekinian dalam penyajian kebudayaan materi beserta informasinya. Sebagai tambahan, representasi kebudayaan yang ditampilkan juga lebih menonjolkan aspek unik dan asing (aspek other ) sehingga terkesan menguatkan sisi pariwisata dari setiap daerah yang memang adalah salah satu tujuan dari museum di Indonesia sendiri. Dalam cara penyampaian narasi, Museum Nasional lebih menyajikannya dengan dasar koleksi atau objek (object-based), sehingga menutup kemungkinan-kemungkinan lainnya dalam penyampaian narasi. Objek-objek tersebut diberi konteks dengan cara eksotisasi sehingga kesan mistis dan eksotis yang dikomunikasikan kepada pengunjung. Selain eksotisasi, objekobjek dalam pameran juga ditampilkan sebagai seni yang menonjolkan aspek estetis. Dalam menyampaikan informasi tentang objek, yang digunakan hanya label yang juga berfungsi untuk menyampaikan informasi tentang latar belakang kebudayaan yang bersangkutan. Informasi disampaikan hanya dari satu sisi yaitu dari sudut pandang kurator yang berperan sebagai suara otoriter di museum. Secara umum, penyampaian narasi di Museum Nasional bersifat didaktik, pasif dan satu arah. Museum menganggap pengunjungnya sebagai sekumpulan individu-individu yang sama tanpa minat dan kebutuhan masing-masing. Jika meminjam konsep Hooper-Greenhill dalam pengkategorian museum melalui pedagoginya, Museum Nasional berada dalam kategori museum modernis Konteks Perkembangan Museum di Indonesia Konteks dalam hal ini adalah lingkungan yang melatarbelakangi karakteristik museum di Indonesia dan turut mempengaruhi perkembangannya. Terdapat beberapa hal dalam konteks museum di Indonesia yang sangat signifikan, yaitu pemerintah dan kebijakannya dan kondisi masyarakat. Seperti yang sudah dibahas di bab sebelumnya, bahwa pemerintah adalah unsur eksternal museum yang penting selain masyarakat. Hal ini berlaku tentu saja pada museum-museum negeri yang berada di bawah wewenang langsung dari pemerintah, baik itu pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Karena statusnya tersebut, sangat disayangkan bagi museum-museum lxxxvi

87 negeri di Indonesia bahwa mereka tidak memiliki kebebasan sendiri dalam mengelola museum. Pada awalnya hal tersebut dimaksudkan agar pengelolaan dan operasional museum bisa lebih teratur dan seragam di seluruh Indonesia. Maka pemerintah sudah menerapkan tugas pokok dan fungsi bagi museum yang seringkali malah membuat museum-museum negeri tidak bisa melakukan hal-hal lainnya diluar yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Kreatifitas dan konsepkonsep baru dalam pengelolaan museum untuk perkembangan museum yang lebih baik terkadang terbentur dengan peraturan dan keinginan pemerintah yang menaungi museum. Kebijakan sebagai payung dari segala peraturan dan tindakan operasional di museum juga merupakan aspek penting lainnya yang sangat berpengaruh pada perkembangan museum di Indonesia. Sudah disebutkan di atas tadi bahwa tugas pokok dan fungsi museum yang ditetapkan oleh pemerintah yang terkadang membatasi pergerakan museum. Selain itu, kurangnya dukungan dana dari pemerintah pada sektor kebudayaan juga merupakan salah satu alasan mengapa museum di Indonesia masih belum berkembang dengan bebas dan cepat. Hal yang mendasari pemerintah dalam menentukan kebijakan dan peraturannya antara lain adalah persepsi pemerintah terhadap museum dan sistem yang sudah berjalan di dalam badan pemerintah yang bersangkutan selama bertahun-tahun. Meskipun pemerintah sudah melihat museum sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas masyarakat dalam rangka meningkatkan identitas dan kebanggaan nasional, mereka juga melihat museum sebagai sebuah aset pariwisata yang bisa mendukung pendapatan negara. Sangatlah dimengerti jika pemerintah memiliki anggapan seperti itu karena dengan memamerkan kebudayaan kita yang sangat beragam di museum, juga akan menarik para wisatawan untuk datang ke seluruh kepulauan Indonesia. Namun dengan begitu, banyak museum yang lebih condong memfokuskan tujuannya untuk aspek pariwisata tersebut. Dengan kata lain, mereka hanya memamerkan ragam kebudayaan Indonesia tanpa pemberian konteks yang jelas dan juga tidak terasa keberadaannya di tengah-tengah masyarakat sekitar. Banyak museum yang sedikit kehilangan unsur edukasinya dan menganggap edukasi hanya terbatas pada konsep bimbingan terhadap pengunjung di museum. Dalam kaitannya dengan edukasi di museum, sayangnya pemerintah belum melihat museum sebagai salah satu sumber daya pendidikan informal yang bisa mendukung pembelajaran sepanjang hayat yang multimakna seperti yang tertera dalam Undang-Undang RI lxxxvii

88 No. 20. Padahal sebagian pasal yang tertera di dalam Undang-Undang tersebut bisa mengacu kepada museum. Hal ini mengakibatkan tidak adanya kebijakan edukasi di museum yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga museum-museum pun tidak dilengkapi dengan kebijakan edukasi. Di dalam Pedoman Pengelolaan Museum yang dikeluarkan oleh Direktorat Museum, edukasi di museum belum diakui signifikansinya sehingga dimasukkan ke dalam ranah pelayanan publik yang kemudian diadopsi oleh banyak museum di Indonesia. Pedoman Pengelolaan Museum juga masih memiliki sudut pandang objek atau koleksi dalam penyajian informasi di museum yang diimplementasikan melalui pameran. Kedua hal tersebut menyebabkan keterbatasan dalam menyajikan tema-tema tertentu dalam pameran yang bisa lebih merangsang pemikiran pengunjung. Namun di sisi lain, di dalam pedoman tersebut pemerintah sudah mengakui konsep kegiatan edukasi yang berfokus pada proses belajar interaktif dan yang dapat memenuhi kebutuhan pembelajaran setiap pengunjung yang berbeda-beda. Hanya saja mungkin konsep tersebut belum bisa dilaksanakan di banyak museum di Indonesia karena alasan tertentu. Baik Direktorat Museum dan pihak pengelola museum sendiri mengakui bahwa masyarakat Indonesia belum sadar museum. Tingkat kunjungan ke museum masih sangat rendah dan tampaknya sudah menjadi anggapan umum bahwa tingkat apresiasi masyarakat terhadap museum dan budaya pun cenderung rendah. Sangat sulit memang untuk bisa menanggulangi permasalahan ini. Berbagai cara sudah dicoba pihak museum dalam meningkatkan kunjungan dari masyarakat. Namun tampaknya permasalahan ini seperti lingkaran yang tidak ada ujung pangkalnya. Berbagai pihak termasuk masyarakat sendiri tentu saja tidak bisa disalahkan. Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia masih memiliki banyak permasalahan sosial dan ekonomi yang lebih darurat apabila dibandingkan dengan aspek permuseuman di negeri ini. Masyarakat Indonesia secara umum masih memikirkan permasalahan-permasalahan tersebut daripada berkunjung ke museum. Tingkat literasi teknologi masyarakat Indonesia pun masih rendah sehingga bisa dibilang mereka belum sadar teknologi. Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab tidak adanya atau kurangnya sarana teknologi dalam penyajian pameran di museum. Selain itu juga, karena sistem pendidikan di Indonesia yang sebagian besar masih bersifat didaktik dan pasif, juga karena tingkat pendidikan masyarakat secara umum masih rendah, respon masyarakat terhadap isu-isu sensitif masih bersifat negatif. Masyarakat Indonesia belum lxxxviii

89 siap untuk disajikan tema-tema pameran yang non-konvensional atau yang membahas tentang isu-isu yang masih dianggap kontroversial Karakteristik Pembelajaran Masyarakat Karakteristik pembelajaran pengunjung Museum Nasional sebagai masyarakat bisa disimpulkan dari hasil observasi dan wawancara. Temuan dari hasil observasi dan wawancara tersebut kemudian bisa dilihat dari Model Pembelajaran Kontekstual dari Falk dan Dierking. 1. Konteks Personal: motivasi dan ekspektasi Masyarakat Indonesia datang ke museum untuk: a. Mengetahui sejarah bangsa dan kebudayaan Indonesia b. Rekreasi c. Menghabiskan waktu luang d. Melihat objek-objek aneh. Minat dan Keyakinan a. Membuat catatan b. Mengambil foto. Pengetahuan Awal dan Memori Pengunjung dapat menyebutkan kembali penyajian atau objek yang paling mereka ingat, karena mereka memiliki objek tersebut dan karena objek atau penyajian tersebut mengingatkan mereka terhadap pengalaman dan memori masa lalu. 2. Konteks Sosiokultural a. Berdiskusi dengan sesama pengunjung b. Menjelaskan kepada sesama pengunjung c. Mendengarkan pemandu museum. 3. Konteks Fisik: desain, pengaturan dan orientasi Secara umum, pengunjung museum: lxxxix

90 a. Menginginkan rancangan dan tata letak pameran yang menarik, tidak membosankan, teratur dan membuat objek seperti hidup b. Lebih tertarik pada objek daripada label c. Menyukai objek-objek yang berukuran besar d. Menyukai objek atau cerita yang unik dan yang tidak mereka temui sehari-hari e. Menyukai objek atau penyajian yang berkaitan dengan cerita rakyat dan mitos f. Ingin tahu tentang informasi yang lebih jauh tentang objek dengan cara yang menarik, mungkin dengan menggunakan pendekatan teknologi g. Membaca label h. Menginginkan label yang singkat, jelas, menarik dan informatif i. Lebih tertarik pada gambar daripada tulisan di label j. Menyukai sarana audio visual seperti video k. Berinteraksi dengan koleksi l. Mengomentari tentang penyajian atau objek m. Menyukai pencahayaan yang terang n. Menyukai ruangan yang nyaman dan dingin, sehingga membuat mereka betah dan maka dari itu mendukung proses belajar mereka Aplikasi dan Adaptasi Pedagogi Barat Seperti yang sudah dibicarakan di Bab 2, pedagogi Barat kini sudah berkembang menjadi kerangka yang menerapkan beragam sudut pandang dan menitikberatkan fokusnya pada pengunjung. Tidak hanya bersifat dinamis dan multimakna, pedagogi Barat juga menekankan aspek interaksi dan partisipasi pengunjung di dalam penyajian informasinya. Sehingga pengalaman kunjungan museum menjadi pengalaman lengkap yang memaksimalkan berbagai indera dan mendorong kreatifitas berpikir pengunjung. Dengan melihat pada konteks museum dan karakteristik pembelajaran masyarakat di Indonesia, pedagogi Barat bisa diaplikasikan di museum-museum di Indonesia, dengan mengambil contoh Museum Nasional. Namun aplikasinya tidak bisa sepenuhnya dijalankan mengingat adanya aspek-aspek lokal tertentu di Indonesia yang harus dijadikan pertimbangan. xc

91 Dalam pengaplikasiannya juga tidak bisa semerta-merta dilakukan begitu saja, harus dilakukan secara bertahap dan perlahan-lahan. Sehingga adaptasi yang bisa dilakukan dalam mengaplikasikan pedagogi Barat di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Dalam menyusun narasinya, museum bisa menonjolkan aspek kekinian dalam penyajian kebudayaan materi beserta informasinya. b. Pedagogi di museum bisa mulai beralih dari yang bersifat didaktik menjadi discovery learning yang menitikberatkan pada eksplorasi pengunjung terhadap koleksi dan penyajian. Dengan begitu minat dan keinginan pengunjung yang senang berinteraksi dengan koleksi dan pengunjung lainnya dalam proses belajar mereka bisa terpenuhi. c. Merubah sudut pandang dalam melihat penyajian informasi dari yang didasarkan pada objek atau koleksi (object-based) menjadi didasarkan pada nilai atau informasi (valuebased atau information-based). Namun mengingat masyarakat Indonesia lebih tertarik pada objek daripada apa yang diceritakan di dalam label, maka museum bisa merubah cara penyusunan label yang sudah ada dengan lebih inovatif dan lebih menarik agar bisa menangkap perhatian pengunjung. d. Merubah sudut pandang kolonial terhadap kebudayaan materi dengan sedikit menghilangkan aspek eksotis dan mistis atau menambah konteks lain dalam penyajian di pameran. Hal ini karena masyarakat begitu tertarik dengan metode penyajian yang menonjolkan aspek eksotis dan mistis tersebut. e. Menghubungkan isi penyajiannya dengan aspek personal masyarakat sebagai pengunjung, sehingga pembelajaran di museum bisa menjadi pengalaman yang berarti bagi pengunjung dan pengunjung akan lebih tertarik dan ingin mengetahui atau belajar lebih dalam. f. Museum bisa berubah menjadi fasilitator dalam proses belajar pengunjung, bukan lagi sebagai sumber utama pengetahuan atau informasi. Museum juga bisa memfasilitasi pengunjung yang memiliki minat khusus terhadap koleksi atau penyajian tertentu di museum. Namun di sisi lain, masyarakat Indonesia masih membutuhkan figur ahli yang memiliki otoritas dalam memberikan pengetahuan di museum. Mereka melihat figur tersebut sebagai salah satu sumber pengetahuan dalam proses belajar mereka di museum, seperti contohnya kurator, arkeolog, antropolog, dan lain-lain. Maka jika museum ingin xci

92 menampilkan suara atau sudut pandang yang berbeda-beda terhadap suatu topik, hendaknya dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap. g. Tingkat literasi teknologi masyarakat Indonesia masih rendah. Maka penggunaan sarana teknologi bisa diterapkan secara perlahan-lahan atau menggunakan sarana yang tidak begitu rumit dan canggih. Bisa juga dengan merancang konsep penyajian yang interaktif tanpa menggunakan teknologi digital tetapi dapat melibatkan partisipasi pengunjung. h. Bisa diterapkan konsep kegiatan edukasi yang berfokus pada proses belajar interaktif dan yang dapat memenuhi kebutuhan pembelajaran setiap pengunjung yang berbeda-beda. Sehingga dalam satu pameran dapat menerapkan metode penyajian yang berbeda-beda. i. Masyarakat Indonesia belum siap untuk disajikan tema-tema pameran yang nonkonvensional atau yang membahas tentang isu-isu yang masih dianggap kontroversial. Maka penyajian sebuah tema yang dirasa akan cukup kontroversial atau bersifat politis harus dilakukan dengan perencanaan yang sangat matang. Dibutuhkan konsultasi secara kontinyu dan evaluasi yang harus dilakukan sebelum, ketika dan setelah pameran berlangsung. j. Tetapi karena penerapan dan adaptasi tentunya akan membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit, maka tidak bisa dilakukan secara langsung dan cepat. Sumber daya disini berupa sumber daya manusia dan sumber daya keuangan. Penerapan juga terbatas karena adanya kontrol dari pemerintah dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Kecuali jika bisa dibuat kebijakan baru atau merubah kebijakan yang sudah ada. xcii

93 BAB 5 Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Pedagogi di museum melibatkan penciptaan narasi di museum dan bagaimana museum menyampaikan narasinya tersebut kepada pengunjung. Tidak adanya pedagogi di museum mengindikasikan kurangnya respon dan pemahaman museum terhadap perubahan konsep edukasi di luar museum. Banyak museum yang belum begitu memahami proses belajar pengunjungnya. Bentuk edukasi yang didaktik masih diterapkan di banyak museum saat ini. Potensi museum sebagai sumber daya pembelajaran sepanjang hayat masih belum diakui secara luas, dan maka dari itu, pedagogi sebagai dasar museum belum banyak didiskusikan dan diteliti. 187 Setelah mengalami begitu banyak perubahan dan perkembangan selama beberapa dekade, pedagogi di museum Barat kini didasarkan pada berbagai cara untuk mengetahui, menginterpretasi dan penciptaan makna. Museum tidak lagi berperan sebagai sumber pengetahuan yang otoriter. Museum lebih berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar pengunjung. Hasil-hasil penelitian terkini juga telah membuktikan bahwa kunjungan museum turut melibatkan konteks personal dan interaksi sosial. Pembelajaran tidak hanya tentang akumulasi pengetahuan kognitif, tetapi juga seluruh pengalaman yang didapat pengunjung di museum. Pedagogi dalam era post-museum dibangun untuk memenuhi kebutuhan dan cara belajar yang berbeda-beda. 187 Eilean Hooper-Greenhill, Museums in the Interpretation of Visual Culture, hlm xciii

94 Dengan konteks dan karakteristiknya tersendiri, museum di negara-negara berkembang berjalan dalam alur yang berbeda dengan museum di negara-negara maju. Museum di negara berkembang seharusnya dapat menciptakan budaya museum sendiri sehingga dapat berfungsi dengan sesuai di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai museum Barat atau internasional tidak selalu sesuai bagi museum di negara-negara berkembang. Beberapa faktor tertentu harus dipertimbangkan dan adaptasi khusus perlu dilakukan. Dengan status poskolonialnya, Indonesia adalah sebuah negara yang masih memarjinalisasikan museum. Museum di Indonesia berjalan pada jalurnya sendiri, tanpa mengenali konteks sekitarnya. Warisan kolonialisme masih berakar dalam cara museum memfungsikan dirinya sebagai penerjemah budaya. Museum di Indonesia dilihat sebagai sebuah institusi yang memegang teguh warisan budaya, namun di sisi lain belum memaksimalkan potensinya sebagai sumber daya pembelajaran. Edukasi di museum di Indonesia hanya terbatas dalam mendukung pendidikan formal sekolah. Bahkan di Museum Nasional, sebagai museum terbesar dan salah satu museum tertua di Indonesia, tidak memiliki tujuan atau kerangka edukasi khusus yang seharusnya dapat memandu museum dalam melayani audiensnya. Tanpa pedagogi yang sesuai, Museum Nasional masih mempertahankan sudut pandang kolonial dalam membangun narasinya. Salah satu contoh adalah Galeri Etnografi. Kebudayaan Indonesia di dalam galeri disajikan dan ditampilkan menurut kerangka pengetahuan Barat. Kerangka tersebut kemudian secara tidak sadar tertanam dalam pengelolaan museum sehari-hari. Kebudayaan materi dari seluruh Indonesia yang dianggap sebagai objek etnografi sebagian besar diperlakukan dalam konteks Barat, dimana Museum Nasional menekankan aspek perbedaannya dan menampilkannya sebagai seni. Tidaklah sesuai untuk menerapkan eksotisasi dan penerapan tampilan seni pada objek etnografi di museum sendiri. Kedua pendekatan tersebut ternyata lebih menonjolkan aspek keragaman Indonesia dan mengecualikan aspek kesatuan. Maka jelas bahwa konstruksi etnografi dalam kerangka Barat tidak bisa diterapkan di museum di Indonesia dengan Museum Nasional sebagai contohnya. Lebih jauh lagi, strategi eksotisasi xciv

95 sedang mengalami penilaian ulang dalam era multikultural seperti saat ini, konsep diri ( self ) dan yang lain ( other ) yang mendasari strategi tersebut tidak lagi berarti apa-apa. 188 Dengan mempertahankan sudut pandang kolonial dan kurangnya pemahaman terhadap konteks sekitarnya, museum mengecualikan kebudayaan Indonesia modern masa kini. Sebagai salah satu galeri yang menyajikan seluruh kebudayaan Indonesia, Galeri Etnografi setidaknya dapat membahas tentang dinamikan kebudayaan Indonesia dan menyiratkan konsep kesatuan pada keberagaman. Namun sayangnya, galeri ini lebih menonjolkan konsep perbedaan. Sebagai tambahan, Galeri Etnografi juga tidak menampilkan sedikitnya perubahan dan perkembangan yang telah terjadi selama ini dalam kehidupan setiap kelompok etnis dan budaya di Indonesia. Dengan melihat pedagogi Barat dan mempertimbangkan kondisi museum di Indonesia, nilai-nilai pedagogi Barat bisa diterapkan namun dengan melalui beberapa adaptasi mengingat Indonesia memiliki konteks dan karakteristiknya sendiri. Adaptasi tersebut kemudian bisa dijadikan dasar dalam menciptakan kerangka pedagogi yang sesuai untuk museum di Indonesia secara umum dan Museum Nasional secara khusus. Dalam penciptaan kerangka pedagogi tersebut, museum di Indonesia terlebih dahulu bisa menerapkan konsep idiom lokal 189 yang nantinya tidak hanya bisa digunakan dalam konstruksi pedagogi tetapi juga dalam aspek pengelolaan museum lainnya. Idiom lokal ini memiliki ciri-ciri sendiri yang pada dasarnya berfokus pada segala sesuatu yang bersifat lokal. Maka ciri-ciri dari idiom lokal ini adalah: 1. Memperhatikan lingkungan sekitar termasuk masyarakat sekitar dan unsur-unsur lainnya. 2. Memberi konstribusi pada masyarakat lokal yang bisa berarti masyarakat Indonesia, masyarakat daerah atau bahkan masyarakat sekitar museum. 3. Mengedepankan unsur lokal daerah sekitar. 4. Menggali potensi-potensi lokal dalam pengembangan museum. 5. Menyesuaikan perkembangan museum dengan unsur-unsur lokal. 188 Jan Nederveen Pieterse, Multiculturalism and Museums, Gerard Corsane, Heritage, Museums and Galleries: An Introductory Reader, hlm Adaptasi dari konsep yang diciptakan oleh Corinne A. Kratz dan Ivan Karp untuk museum-museum agar lebih berfokus pada konstituen lokal dan memberi kontribusi pada masyarakat lokal. Introduction Ivan Karp, et al., Museum Frictions: Public Cultures/Global Transformation, xcv

96 6. Menggunakan dan memanfaatkan sumber daya lokal. Maka dengan menggunakan idiom lokal ini bisa dibangun kerangka pedagogi yang bisa diterapkan di museum di Indonesia. Kerangka pedagogi yang sesuai dimulai dari penciptaan narasi terlebih dahulu. Narasi yang diciptakan semestinya dapat menghilangkan kerangka pengetahuan Barat dalam melihat objek dan dalam menyajikan informasi di dalam pameran. Juga diupayakan agar dapat menghilangkan jarak atau gap antara yang melihat kebudayaan yaitu pengunjung dan yang memproduksi kebudayaan yaitu masyarakat di balik kebudayaan materi yang bersangkutan. Dalam setiap tema pameran juga sebaiknya dapat menonjolkan aspek kekinian yang relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini sehingga pengunjung dapat mengaitkan tema yang disajikan dengan konteks sehari-harinya. Dalam merencanakan pameran juga lebih baik menggunakan sudut pandang yang didasari oleh informasi atau nilai-nilai yang terkandung dalam objek sehingga tema yang akan disajikan dapat lebih luas dan menghadirkan tema-tema yang menarik. Dalam kaitannya dengan sudut pandang, narasi di museum bisa didasarkan juga dari sudut pandang yang sama sekali berbeda dan non-konvensional, dan bisa membahas tema-tema yang selama ini tertutup namun dengan cara yang halus. Sebagai tambahan, dalam penyajian yang dibuat relevansinya dengan masyarakat, sebaiknya dapat merepresentasikan seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Sedangkan dalam cara penyampaian narasi, beberapa pendekatan yang bisa diterapkan adalah: 1. Penyajian dengan menampilkan berbagai suara, tidak hanya dari kurator atau museum, tetapi juga dari pihak lain seperti mungkin ahli dan nara sumber dan masyarakat umum. Namun harus ditekankan juga jika ingin menggunakan berbagai suara dari berbagai pihak, bahwa yang ditampilkan itu bukan semata-mata pendapat museum tetapi pendapat orang lain yang berkaitan dengan tema yang disajikan dalam pameran. 2. Penyajian bisa dilakukan dengan menerapkan konsep partisipasi pengunjung dan interaksi sosial antar pengunjung tanpa menggunakan teknologi digital yang canggih dan rumit. xcvi

97 3. Dalam cara penyampaian melalui berbagai instrumen seperti label atau mungkin video, bisa mencoba mengajak pengunjung untuk berpartisipasi dalam hal mengajukan pendapat, berpikir dan berdiskusi. 4. Memasukkan unsur-unsur yang disukai masyarakat dalam penyajian seperti ukuran yang besar, cerita rakyat dan mitos tapi dalam konteks yang sesuai. 5. Mengurangi kadar eksotis atau mistis. Tetapi karena tetap disukai masyarakat mungkin bisa dilakukan dalam konteks yang sesuai misalnya pada objek-objek seremonial. Beberapa aspek dalam kerangka pedagogi tersebut mungkin adalah hal baru bagi pengunjung museum dan bahkan bagi pihak museum sendiri. Maka dari itu penerapannya harus dilakukan secara bertahap dan pelan juga dikarenakan beberapa faktor juga. Pertama adalah kurangnya sumber daya manusia dan dana pada saat ini. Kedua, hal tersebut tentunya berkaitan dengan kebijakan dan anggapan pemerintah terhadap museum. Jika memang ada kemungkinan untuk merevisi kebijakan tentang museum, kebudayaan dan pendidikan, atau membuat kebijakan baru, maka kedua sumber daya manusia dan dana tersebut bisa dimaksimalkan. Ketiga adalah kondisi masyarakat Indonesia sendiri. Selama ini mereka terbiasa melihat penyajian di pameran yang bersifat didaktif dan mereka memiliki anggapan datang ke museum untuk diberitahu tentang suatu ilmu. Bisa diperkirakan bahwa mereka mungkin akan terkejut jika disajikan informasi dan pengetahuan melalui pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya merangsang mereka untuk berpikir dan berdiskusi. Masyarakat juga belum terbiasa menggunakan sarana teknologi tinggi, sehingga sebaiknya menggunakan teknologi yang sederhana dulu dan perlahan-lahan bisa menerapkan teknologi yang lebih canggih seiring dengan meningkatnya literasi teknologi mereka. Terakhir adalah bahwa masyarakat di Indonesia belum terbiasa melihat tema-tema yang non-konvensional atau sedikit kontroversial di museum. Maka jika ingin menampilkan tematema khusus tertentu tersebut, bisa dilakukan dengan cara yang halus dan tidak begitu terangterangan Saran Sebagai tambahan, kesimpulan dari penelitian ini juga bisa menjadi saran bagi Museum Nasional dalam penciptaan pedagoginya yang akan bermuara pada keberhasilan pembelajaran xcvii

98 pengunjung di museum. Museum Nasional bisa melakukan penyesuaian di Galeri Etnografi berdasarkan hasil penelitian dari evaluasi pengalaman pengunjung. Museum Nasional juga bisa membangun ulang narasinya berdasarkan kerangka pedagogi yang sesuai khususnya pada Galeri Etnografi dengan mengikutsertakan dinamika kebudayaan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang ditampilkan di galeri. Narasi di galeri dan bahkan di museum seharusnya bisa lebih menekankan pada aspek identitas nasional daripada keberagaman budaya Indonesia. Hal pertama yang harus dilakukan oleh museum adalah studi pengunjung dan evaluasi pameran terlebih dahulu. Sehingga pihak museum mengetahui profil pengunjungnya dan pendapat serta keinginan mereka terhadap museum dan isinya. Dibutuhkan evaluasi pembelajaran pengunjung dengan metode didaktik yang diterapkan oleh Museum Nasional untuk mengetahui sejauh mana pengunjung memahami dan mendapatkan pengetahuan dari pameran. Selain Museum Nasional, hasil penelitian ini juga bisa menjadi saran bagi instansiinstansi pemerintah terkait. Terutama dalam hal kebijakan tentang museum, kebudayaan dan pendidikan yang tampaknya belum menempatkan museum sebagai sumber daya pendidikan informal. Diharapkan pemerintah dapat merubah cara pandangnya terhadap museum dan kebudayaan, khususnya pada edukasi di museum. Satu hal yang sangat penting dalam konstruksi pedagogi di museum di Indonesia adalah dengan mengetahui bagaimana masyarakat melihat museum dan bagaimana mereka belajar di museum. Sehingga sangat dibutuhkan studi pengunjung dan evaluasi pembelajaran masyarakat di museum yang diharapkan bisa dilakukan di seluruh museum di Indonesia. Dengan begitu, setelah kita tahu profil mereka dan profil cara belajarnya, tujuan edukasi museum bisa dirancang untuk memenuhi kebutuhan museum. Sehingga museum benar-benar dapat berperan dalam kehidupan masyarakat melalui edukasi. Sebagai penutup, penelitian ini adalah penelitian awal tentang pedagogi di museum di Indonesia. Seperti yang sudah disebutkan tadi bahwa penelitian tentang aspek pedagogi di museum masih kurang. Diharapkan akan ada penelitian lainnya tentang pedagogi di museum yang dapat merancang kerangka pedagogi secara lebih menyeluruh dan mendalam. Penelitian ini juga bisa membuka penelitian-penelitian lanjutan tentang konsep museum di Indonesia sebagai warisan kolonial Belanda yang bisa dikaji menggunakan pendekatan poskolonial. Sehingga baik xcviii

99 dalam tataran akademis dan praktis, gambaran utuh tentang karakteristik museum di Indonesia beserta masyarakatnya bisa dibuat. Daftar Pustaka BUKU DAN JURNAL xcix

100 Abt, Jeffrey. The Origins of the Public Museum, ed. Sharon MacDonald, A Companion to Museum Studies. Oxford: Blackwell Publishing, Alexander, Edward P. The American Museum Chooses Education, Curator vol. 31, no. 1. Walnut Creek: Altamira Press, and Alexander, Mary. Museums In Motion, 2 nd edition. Plymouth: Altamira Press, American Association of Museums. America s Museums: The Belmont Report. Washington DC: American Association of Museums, Museums for a New Century. Washington DC: American Association of Museums, Excellence and Equity: Education and the Public Dimension of Museums. Washington DC: American Association of Museums, Anderson, Benedict. Imagined Communities, revised edition. London: Verso, Anderson, David. Gradgrind Driving Queen Mab s Chariot: What Museums Have (and Have Not) Learnt from Adult Education, eds. Alan Chadwick and Annette Stannertt, Museums and the Education of Adults. Leicester: National Institute for Adult Continuing Education, A Common Wealth: Museums and Learning in the United Kingdom. London: Department of National Heritage, Appadurai, Arjun and Carol Breckenbridge. Museums Are Good To Think: Heritage on View in India, ed. Donald Preziosi, Grasping the World: the Idea of the Museum. Hants: Ashgate, c

101 Aspinall, Edward. Indonesia: Coping with Fragmentation, Disintegration or Nation-Building, ed. Peter Burnell et al, Politics in Developing World, 2 nd edition. Oxford: Oxford University Press, Bennet, Tony. The Birth of the Museum: History, Theory, Politics. London: Routledge, Pasts Beyond Memory: Evolution, Museums, Colonialism. London: Routledge, Berger, Arthur Asa. Media Analysis Techniques, revised edition. London: Sage Publication, Bhabha, Homi. Caliban Speaks to Prospero : Cultural Identity and the Crisis of Representation, ed. Philomena Mariani, Critical Fictions: the Politics of Imaginative Writing. Seattle: Bay Press, Black, Graham. The Engaging Museum: Developing Museums for Visitor Involvement. London: Routledge, Blaxter, Loraine et al. How to Research, 2 nd edition. Buckingham: Open University Press, Burnell, Peter and Vicky Randall eds. Introduction, Politics in the Developing World, 2 nd edition. Oxford: Oxford University Press, Cameron, Duncan. The Museum, a Temple or the Forum?, Curator, vol. 14 no. 1. Walnut Creek: Altamira Press, Carey, James W. Communication as Culture. Boston: Unwin Hyman, ci

102 Chambers, Marlene. Real Pearls at the Postmodern Museum Potluck: Constructivism and Inclusiveness, ed. Bonnie Pitman, Presence of Mind: Museums and the Spirit of Learning. Washington D.C.: American Association of Museums, Clarke, Alan and Ruth Dawson, Evaluation Research: An Introduction to Principles, Methods and Practice. London: Sage Publications, Clifford, James. Northwest Coast Museums: Travel Reflections, eds. Ivan Karp and Steven D Lavine, Exhibiting Cultures: The Poetics and Politics of Museum Display. Washington: Smithsonian Institution Press, Concise Oxford English Dictionary, 11 th edition. Oxford: Oxford University Press, Corsane, Gerard. Introduction, ed. Gerard Corsane, Heritage, Museums and Galleries: An Introductory Reader. London: Routledge, Crinson, Mark. Nation-Building, Collecting and the Politics of Display: the National Museum, Ghana, Curator, vol. 13 no. 2 (2001). 5 November Denscombe, Martyn. The Good Research Guide: For Small Scale Social Research Projects. Buckingham: Open University Press, Denzin, Norman S and Lincoln Yvonne S. Introduction: Entering the Field of Qualitative Research, eds. Denzin, Norman S. et al., Collecting and Interpreting Qualitative Materials. London: Sage Publications, Diamond, Judy. Practical Evaluation Guide: Tools for Museums and Other Informal Educational Settings. Walnut Creek: Altamira Press, cii

103 Direktorat Museum. Pedoman Pengelolaan Museum. Jakarta: Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Falk, John H. and Lynn D Dierking, Learning From Museums. Walnut Creek: Altamira Press, Giroux, Henry. Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education. London: Routledge, Gold, Raymond L. Roles In Sociological Field Observations, eds. George McCall, and J.L Simmons, Issues In Participant Observation: A Text and A Reader. Reading, Massachusetts: Addison-Wesley, Golding, Viv. Learning At the Museum Frontiers: Democracy, Identity and Difference, in ed. Simon J. Knell, et al., Museum Revolutions: How Museums Change and Are Changed. London: Routledge, Goode, George Brown. Relationships and Responsibilities of Museums, ed. Hugh G. Genoways and Mary Anne Andrei, Museum Origins: Readings in Early Museum History and Philosophy. Walnut Creek: Left Coast Press, Hall, Stuart. Cultural Identity and Diaspora, ed. Jonathan Rutherford, Identity: Community, Culture and Difference. London: Lawrence and Wishart, Hein, George E. Learning in the Museums. New York: Routledge, and Mary Alexander. Museums: Places of Learning. Washington: American Association of Museums, ciii

104 Museum Education, ed. Sharon MacDonald, A Companion to Museum Studies. Oxford: Blackwell Publishing, Hooper-Greenhill, Eilean. Museum and Gallery Education. Leicester: Leicester University Press, Museums and the Shaping of Knowledge. London: Routledge, Museum Learners as Active Post-Modernists: Contextualising Constructivism, Journal of Education in Museum no. 18. Group for Education in Museums, Education, Communication and Interpretation, ed. Eilean Hooper- Greenhill, The Educational Role of Museum. London: Routledge, Museums and the Interpretation of Visual Culture. London: Routledge, Interpretive Communities, Strategies, Repertoires, ed. Sheila Watson, Museums and Their Communities. London: Routledge, Education, Postmodernity and the Museum, eds. Simon J. Knell et al., Museum Revolutions: How Museums Change and Are Changed. London: Routledge, Museums and Education: Purpose, Pedagogy, Performance. New York: Routledge, Honey P. and Mumford, A. The Manual of Learning Styles, 3 rd edition. Maidenhead, Birkshire: Honey, civ

105 Hudson, Kenneth and Ann Nicholls, Ann. Directory of Museums and Living Display. London: MacMillan, Hue-Tam, Ho Tai. Representing the Past in Vietnamese Museums, Curator, vol. 41 no November Ingersoll, Richard. The Third World Is Dead, Long Live the Third World, Conference Review, Journal of Architectural Education, vol. 44 no. 4. Berkeley: Blackwell Publishing, November Jarvis, Peter et al. The Theory and Practice of Learning. London: Kogan Page Limited, Janes, Robert R. Museums, Social Responsibility and the Future We Desire, eds. Simon J. Knell, et al., Museum Revolutions: How Museums Change and Are Changed. London: Routledge, Jencks, Charles. The Postmodern Agenda, ed. Charles Jencks, The Post-Modern Reader. London: Academy Editions, Kaplan, Flora E.S., ed. Museums and the Making of Ourselves: The Role of Objects in National Identity. London: Leicester University Press, Karp, Ivan and Steven D. Lavine. Exhibiting Cultures: The Poetics and Politics of Museum Display. Washington: Smithsonian Institution Press, Kolb, D.A. Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, cv

106 Kratz, Corinne A. and Ivan Karp. Introduction, eds. Ivan Karp, et al., Museum Frictions: Public Cultures/Global Transformation. London: Duke University Press, Kreps, Christina F. Liberating Culture: Cross-Cultural Perspectives on Museums, Curation, and Heritage Preservation. London: Routledge, Legge, J.D. Indonesia. Sydney: Prentice Hall, Lyon, David. Postmodernity. Buckingham: Open University Press, Lyotard, Jean-Francois. The Postmodern Condition. Minneapolis: University of Minnesota Press, McCarthy, Bernice. The 4Mat System: Teaching Learning Styles Using Right/Left Mode Techniques. Barrington, IL: Excel, Moffat, H. Using Museums: Teachers Guide. Warwick: Educational Television Company Limited, Museum Nasional. Pengembangan Museum Nasional. Jakarta: Museum Nasional, Pearce, Susan. Museums, Objects, Collections: A Cultural Study. Washington DC: Smithsonian Institution Press, Pekarik, Andrew J. Global by Any Other Name, Curator, vol. 48 no. 1. Walnut Creek: Altamira Press, Pieterse, Jan Nederveen. Multiculturalism and Museums, ed Gerard Corsane, Heritage, Museums and Galleries: An Introductory Reader. London: Routledge, cvi

107 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Pandangan Masyarakat Terhadap Peran dan Pengelolaan Museum. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Prosler, Martin. Museums and Globalization, eds. Sharon MacDonald and Gordon Fyfe, Theorizing Museums. Oxford: Blackwell, Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2 nd edition. London: Macmillan Press Ltd, Roberts, Lisa C. From Knowledge to Narrative: Educators and the Changing Museum. Washington: Smithsonian Institution Press, Robinson, Mairi ed. Chambers 21 st Century Dictionary. Edinburgh: Chambers, Roschell, Jeremy. Learning in Interactive Environments: Prior Knowledge and New Experience, eds John H. Falk, and Lynn D. Dierking, Public Institutions for Personal Learning: Establishing A Research Agenda. Washington D.C.: American Association of Museums, Said, Edward W. Orientalism. Harmondsworth: Penguin, San Roman, Lorena. Politics and the Role of Museums in the Rescue of Identity, in ed. Patrick Boylan, Museums 2000: Politics, People, Professionals and Profit. London: Museums Association and Routledge, Sandell, Richard. Museums, Society, Inequality. London: Routledge, Museums, Prejudice and the Reframing of Difference. London: Routledge, cvii

108 Scarrit, James R. Ethnopolitics and Nationalism, eds. Peter Burnell, et al., Politics in Developing World, 2 nd edition. Oxford: Oxford University Press, School Curriculum and Assessment Authority. A Guide to the National Curriculum for Staff of Museums, Galleries, Historic Houses and Sites. London: School Curriculum and Assessment Authority, Serrell, Beverly. Exhibit Labels: An Interpretive Approach. Walnut Creek: Altamira Press, Silverman, Lois. Visitor Meaning Making for a New Age, Curator, vol. 38 no. 3. Walnut Creek: Altamira Press, Simpson, Moira G. Making Representations: Museums in the Post-Colonial Era. London: Routledge, Charting Boundaries: Indigenous Models and Parallel Practices in the Development of the Post-museum, in eds. Simon J. Knell et al., Museum Revolutions: How Museums Change and Are Changed. London: Routledge, From Treasure House to Museum.. and Back, ed. Sheila Watson, Museums and Their Communities. London: Routledge, Sola, Tomislav. Discussion in Politics and the Role of Museums in the Rescue of Identity, ed. in Patrick Boylan, Museums 2000: Politics, People, Professionals and Profit. London: Museums Association and Routledge, Essays on Museums and Their Theory: Towards the Cybernetic Museum. Helsinki: Finnish Museum Association, cviii

109 Spivak, Gayatri C. Poststructuralism, Marginality, Postcoloniality and Value, ed. Padmini Mongia, Contemporary Postcolonial Theory : A Reader. London: Arnold, Stone, Peter G. and Brian L. Molyneaux, eds. The Presented Past: Museums and Heritage in the Post-Modern World. London: Routledge, Sudbury, Patrick and Terry Russell. Evaluation of Museum and Gallery Displays. Liverpool: Liverpool University Press, Sutaarga, Amir. Pengenalan Museum di Indonesia, The International Council of Museums National Committee in Indonesia. Jakarta: Direktorat Permuseuman, Ucko, Peter J. Museums and Sites: Cultures of the Past Within Education Zimbabwe, Some Ten Years On, eds. Peter G Stone and Brian L. Molyneaux, The Presented Past: Museums and Heritage in the Post-Modern World. London: Routledge, Usher, Robin et al. Adult Education and the Postmodern Challenge : Learning Beyond the Limits. London: Routledge, Wallis, Brian. Selling Nations: International Exhibitions and Cultural Diplomacy, eds. Daniel J. Sherman and Irit Rogoff, Museum Culture: Histories, Discourses, Spectacles. London: Routledge, Weil, Stephen E. The Museum and the Public, ed. Sheila Watson, Museums and Their Communities. London: Routledge, Witcomb, Andrea and Nick Healy eds. South Pacific Museums: Experiments in Culture. Clayton, Victoria: Monash University Press, cix

110 Wittlin, Alma S. The Museum, Its History and Its Tasks in Education. London: Routledge and Keagan Paul, Yorath J. ed. Learning About Science and Technology in Museums. London: Sout Eastern Museum Service, SUMBER INTERNET Populasi Penduduk Indonesia. 17 Juni Juli November November Juli November November cx

111 8 November Juli Juli WAWANCARA Kepala Bidang Konservasi dan Penyajian. wawancara oleh Anne Putri Yusiani. tape recording. 4 Mei Museum Nasional. Kepala Bidang Bimbingan dan Publikasi. wawancara oleh Anne Putri Yusiani. tape recording. 4 Mei Museum Nasional. Kepala Bidang Pembinaan Koleksi Antropologi dan Sejarah. wawancara oleh Anne Putri Yusiani. tape recording. 4 Mei Museum Nasional. cxi

112 Lampiran 1 Lembar Wawancara Pengunjung Umur: Jenis kelamin: Latar Belakang pendidikan: Detil kunjungan: Jumlah kunjungan: pertama kedua ketiga lebih dari tiga kali Tujuan kunjungan: Harapan kunjungan: 1. Apakah ini kunjungan anda yang pertama kali ke museum? 2. Apakah anda menyukai galeri ini? Mengapa? (ya atau tidak) 3. Penyajian atau objek apa yang menurut anda menarik? Mengapa? 4. Apakah anda tahu tentang objek atau isi penyajian tersebut? Jika ya tahu dari mana? 5. Setelah mengelilingi galeri, apakah menambah pengetahuan anda tentang objek atau penyajian yang telah anda ketahui sebelumnya tersebut? 6. Objek atau penyajian mana yang paling anda ingat? Mengapa? cxii

113 Lampiran 2 Lembar Tracking Study Pengamat: Tanggal: Waktu masuk: Jenis kelamin: L P Campuran Waktu keluar: Durasi: Umur: >45 Jumlah kelompok: Jenis kelompok: Dewasa Campur (dewasa dan anak-anak) Tindakan yang Diamati Membaca label Menyentuh objek Berbicara atau berdiskusi dengan pengunjung lain cxiii

114 Lampiran 3 Denah Galeri Etnografi Museum Nasional cxiv

115 Lampiran 4 Kerangka Pertanyaan Staf Museum cxv

BAB 1 PENDAHULUAN. perhatian di museum. Pedagogi adalah teori tentang instruksi; sebuah rencana untuk melakukan. xiv

BAB 1 PENDAHULUAN. perhatian di museum. Pedagogi adalah teori tentang instruksi; sebuah rencana untuk melakukan. xiv BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Medici Palace dan Museum Louvre 1 sebagai contoh dari bentuk museum modern tertua di dunia, merupakan salah satu bukti bahwa konsep mengumpulkan seluruh koleksi benda

Lebih terperinci

BAB 5. Kesimpulan dan Saran

BAB 5. Kesimpulan dan Saran BAB 5 Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Pedagogi di museum melibatkan penciptaan narasi di museum dan bagaimana museum menyampaikan narasinya tersebut kepada pengunjung. Tidak adanya pedagogi di museum

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA SILABUS PENGAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING DI UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA SILABUS PENGAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING DI UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA TESIS UNIVERSITAS INDONESIA SILABUS PENGAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING DI UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA TESIS LUCIA TYAGITA RANI CAESARA NPM 0706307102 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Analisis Jenis Properti Hunian Sebagai Pengembang di Daerah Fatmawati Jakarta Selatan

Analisis Jenis Properti Hunian Sebagai Pengembang di Daerah Fatmawati Jakarta Selatan s UNIVERSITAS INDONESIA Analisis Jenis Properti Hunian Sebagai Pengembang di Daerah Fatmawati Jakarta Selatan TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Manajemen Baihaki

Lebih terperinci

BAB 4 Pameran dan Pengunjung Galeri Etnografi Museum Nasional

BAB 4 Pameran dan Pengunjung Galeri Etnografi Museum Nasional BAB 4 Pameran dan Pengunjung Galeri Etnografi 4.1. Museum Nasional Abad 18 di Eropa diwarnai oleh munculnya perkumpulan-perkumpulan ilmiah, salah satu diantaranya adalah De Hollandsche Maatschappij der

Lebih terperinci

TINJAUAN PERANAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEBAGAI PAJAK DAERAH DI KABUPATEN SIDOARJO TESIS

TINJAUAN PERANAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEBAGAI PAJAK DAERAH DI KABUPATEN SIDOARJO TESIS UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN PERANAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEBAGAI PAJAK DAERAH DI KABUPATEN SIDOARJO TESIS TASNIWATI 0806480870 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK JAKARTA

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG WAKAF UANG (Di Kecamatan Rawalumbu Bekasi) TESIS EFRIZON A

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG WAKAF UANG (Di Kecamatan Rawalumbu Bekasi) TESIS EFRIZON A FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG WAKAF UANG (Di Kecamatan Rawalumbu Bekasi) TESIS EFRIZON A 0606039234 UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR

Lebih terperinci

IMPLIKASI PENERIMAAN SIPRUS DALAM KEANGGOTAAN UNI EROPA TERHADAP PENERIMAAN TURKI DALAM KEANGGOTAAN UNI EROPA TESIS

IMPLIKASI PENERIMAAN SIPRUS DALAM KEANGGOTAAN UNI EROPA TERHADAP PENERIMAAN TURKI DALAM KEANGGOTAAN UNI EROPA TESIS IMPLIKASI PENERIMAAN SIPRUS DALAM KEANGGOTAAN UNI EROPA TERHADAP PENERIMAAN TURKI DALAM KEANGGOTAAN UNI EROPA TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) FANY

Lebih terperinci

RELEASE AND DISCHARGE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH (Studi Kasus Kebijakan Penyelesaian BLBI)

RELEASE AND DISCHARGE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH (Studi Kasus Kebijakan Penyelesaian BLBI) RELEASE AND DISCHARGE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH (Studi Kasus Kebijakan Penyelesaian BLBI) TESIS Oleh: LILY EVELINA SITORUS NPM 0706187432 Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Lebih terperinci

DESAIN PELATIHAN KETAHANAN NASIONAL UNTUK PIMPINAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN PEMUDA (OKP) TESIS

DESAIN PELATIHAN KETAHANAN NASIONAL UNTUK PIMPINAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN PEMUDA (OKP) TESIS DESAIN PELATIHAN KETAHANAN NASIONAL UNTUK PIMPINAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN PEMUDA (OKP) TESIS APRILIANA 0706190830 UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI KAJIAN KETAHANAN NASIONAL JAKARTA

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA KUALITAS PELAYANAN PERPUSTAKAAN HUKUM BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL T E S I S

UNIVERSITAS INDONESIA KUALITAS PELAYANAN PERPUSTAKAAN HUKUM BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL T E S I S UNIVERSITAS INDONESIA KUALITAS PELAYANAN PERPUSTAKAAN HUKUM BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL T E S I S IRA YUSTISIA SMARAYONI 0706186120 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA SURPLUS BANK INDONESIA SEBAGAI OBYEK PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA OPTIMALISASI PENERIMAAN NEGARA: ANALISIS MANFAAT, PELUANG, BIAYA DAN RISIKO DENGAN MENGGUNAKAN ANALYTIC NETWORK

Lebih terperinci

POSISI SISWA SEBAGAI SUBJEK DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL: TELAAH KRITIS DALAM KERANGKA FILSAFAT PENDIDIKAN PAULO FREIRE SKRIPSI ANDI SETYAWAN

POSISI SISWA SEBAGAI SUBJEK DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL: TELAAH KRITIS DALAM KERANGKA FILSAFAT PENDIDIKAN PAULO FREIRE SKRIPSI ANDI SETYAWAN i POSISI SISWA SEBAGAI SUBJEK DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL: TELAAH KRITIS DALAM KERANGKA FILSAFAT PENDIDIKAN PAULO FREIRE SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana humaniora

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA PROSES PENINGKATAN MINAT BACA MELALUI PEMBERIAN PENGHARGAAN: STUDI KASUS DI PERPUSTAKAAN MADRASAH PEMBANGUNAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH SKRIPSI RISNA PRIDAJUMIGA 0705130508 FAKULTAS

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA EVALUASI PROGRAM PERLINDUNGAN ANAK PADA MASA REKONSTRUKSI DAN REHABILITASI PASCA BENCANA ALAM NIAS TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA EVALUASI PROGRAM PERLINDUNGAN ANAK PADA MASA REKONSTRUKSI DAN REHABILITASI PASCA BENCANA ALAM NIAS TESIS UNIVERSITAS INDONESIA EVALUASI PROGRAM PERLINDUNGAN ANAK PADA MASA REKONSTRUKSI DAN REHABILITASI PASCA BENCANA ALAM NIAS TESIS Mayus Helviyanti Harefa NPM 0806438093 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA KETRAMPILAN INSTRUKTUR MATERI INFORMATION LITERACY (IL): Studi Kasus Program Orientasi Belajar Mahasiswa (OBM) Universitas Indonesia TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk

Lebih terperinci

BAB 3 Museum di Indonesia Museum di Negara-Negara Berkembang. xlvii. Pedagogi di museum..., Anne Putri Yusiani, FIB UI, 2010.

BAB 3 Museum di Indonesia Museum di Negara-Negara Berkembang. xlvii. Pedagogi di museum..., Anne Putri Yusiani, FIB UI, 2010. pendekatan dalam menginterpretasi kebudayaan. Tidak hanya terbatas pada pameran, narasi dalam museum-museum tersebut dikomunikasikan melalui bermacam-macam cara yang memudahkan interaksi sosial dan kenangan

Lebih terperinci

TESIS. Oleh : NOVIE SOEGIHARTI NPM

TESIS. Oleh : NOVIE SOEGIHARTI NPM KAJIAN HEGEMONI GRAMSCI TENTANG REAKSI SOSIAL FORMAL TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DI INDONESIA (Studi Kasus SKB Tiga Menteri tentang Pelarangan Ahmadiyah) TESIS Oleh : NOVIE SOEGIHARTI

Lebih terperinci

TESIS. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum

TESIS. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum PENGUJIAN MATERIIL PERATURAN DESA (Kajian Normatif - Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 10 Th. 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Komunikasi dan edukasi..., Kukuh Pamuji, FIB UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Komunikasi dan edukasi..., Kukuh Pamuji, FIB UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas permuseuman kini makin berkembang sebagai akibat dari terjadinya perubahan paradigma. Apabila pada awalnya aktivitas permuseuman berpusat pada koleksi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bandung adalah salah satu kota besar di Indonesia dan merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat yang banyak menyimpan berbagai sejarah serta memiliki kekayaan

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK TUNTUTAN PEMEKARAN TERHADAP KAPASITAS INSTITUSI PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI

ANALISIS DAMPAK TUNTUTAN PEMEKARAN TERHADAP KAPASITAS INSTITUSI PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS DAMPAK TUNTUTAN PEMEKARAN TERHADAP KAPASITAS INSTITUSI PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial dalam

Lebih terperinci

PENGARUH NASIONALISME MAHASISWA DAN PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP PERGERAKAN MAHASISWA DI ERA REFORMASI (STUDI KASUS DI UNIVERSITAS INDONESIA)

PENGARUH NASIONALISME MAHASISWA DAN PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP PERGERAKAN MAHASISWA DI ERA REFORMASI (STUDI KASUS DI UNIVERSITAS INDONESIA) PENGARUH NASIONALISME MAHASISWA DAN PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP PERGERAKAN MAHASISWA DI ERA REFORMASI (STUDI KASUS DI UNIVERSITAS INDONESIA) TESIS NAMA: MINTO RAHAYU NPM: 0706190622 PROGRAM PENGKAJIAN KETAHANAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA TRANSFER ARSIP DINAMIS INAKTIF : STUDI KASUS DI PUSTAKA BOGOR SKRIPSI HUTAMI DEWI

UNIVERSITAS INDONESIA TRANSFER ARSIP DINAMIS INAKTIF : STUDI KASUS DI PUSTAKA BOGOR SKRIPSI HUTAMI DEWI UNIVERSITAS INDONESIA TRANSFER ARSIP DINAMIS INAKTIF : STUDI KASUS DI PUSTAKA BOGOR SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora HUTAMI DEWI 0705130257 FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

TESIS. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan EIRENES MARIA HENDRA, SH

TESIS. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan EIRENES MARIA HENDRA, SH PERANAN NOTARIS DALAM RUPS YANG BERKAITAN DENGAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS PERSEROAN ( Studi Kasus dalam Proses Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ) TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat

Lebih terperinci

KONSTRUKSI IDENTITAS DIRI REMAJA PENGGUNA MEDIA INSTAGRAM DI KOTA MEDAN. Oleh ARISAI OLGA HAKASE PASARIBU

KONSTRUKSI IDENTITAS DIRI REMAJA PENGGUNA MEDIA INSTAGRAM DI KOTA MEDAN. Oleh ARISAI OLGA HAKASE PASARIBU 1 KONSTRUKSI IDENTITAS DIRI REMAJA PENGGUNA MEDIA INSTAGRAM DI KOTA MEDAN Oleh ARISAI OLGA HAKASE PASARIBU 100904116 Program Studi: Hubungan Masyarakat DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL

Lebih terperinci

STRATEGI BRANDING MANUAL.CO.ID DALAM MENCIPTAKAN BRAND IMAGE TUGAS AKHIR MUHAMMAD RAUSHAN FIKR

STRATEGI BRANDING MANUAL.CO.ID DALAM MENCIPTAKAN BRAND IMAGE TUGAS AKHIR MUHAMMAD RAUSHAN FIKR STRATEGI BRANDING MANUAL.CO.ID DALAM MENCIPTAKAN BRAND IMAGE TUGAS AKHIR MUHAMMAD RAUSHAN FIKR 1151923010 FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL ILMU KOMUNIKASI JAKARTA JUNI 2017 HALAMAN PERYATAAN ORISINALITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya, ideologi, ekonomi, dan politis. Keputusan dalam penyajian pameran

BAB I PENDAHULUAN. budaya, ideologi, ekonomi, dan politis. Keputusan dalam penyajian pameran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyajian pameran di museum selalu dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, ideologi, ekonomi, dan politis. Keputusan dalam penyajian pameran ditentukan dengan melihat

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA PENGARUH BRAND BANK MANDIRI TERHADAP BRAND EQUITY BANK SYARIAH MANDIRI TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA PENGARUH BRAND BANK MANDIRI TERHADAP BRAND EQUITY BANK SYARIAH MANDIRI TESIS UNIVERSITAS INDONESIA PENGARUH BRAND BANK MANDIRI TERHADAP BRAND EQUITY BANK SYARIAH MANDIRI TESIS Budi Satria 0706192325 PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI TIMUR TENGAH DAN ISLAM JAKARTA JANUARI 2009

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPETENSI PEGAWAI DALAM PENERAPAN TEKNOLOGI INFORMASI DI MAHKAMAH KONSTITUSI TESIS

ANALISIS KOMPETENSI PEGAWAI DALAM PENERAPAN TEKNOLOGI INFORMASI DI MAHKAMAH KONSTITUSI TESIS UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS KOMPETENSI PEGAWAI DALAM PENERAPAN TEKNOLOGI INFORMASI DI MAHKAMAH KONSTITUSI TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains (M.Si) dalam

Lebih terperinci

TESIS Diajukan Sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si)

TESIS Diajukan Sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) PENGARUH PAHAM WAHABI DI INDONESIA Studi atas Pengaruh Paham Keagamaan Wahabi Terhadap Praktek Keagamaan Mahasiswa Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab ( LIPIA ) Jakarta TESIS Diajukan Sebagai salah

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO PERPUSTAKAAN UMUM DENGAN KONSEP EDUTAINMENT DI KOTA YOGYAKARTA

UNIVERSITAS DIPONEGORO PERPUSTAKAAN UMUM DENGAN KONSEP EDUTAINMENT DI KOTA YOGYAKARTA UNIVERSITAS DIPONEGORO Landasan Program Perencanaan dan Perancangan Arsitektur PERPUSTAKAAN UMUM DENGAN KONSEP EDUTAINMENT DI KOTA YOGYAKARTA dengan Penekanan Desain Arsitektur Organik TUGAS AKHIR Periode

Lebih terperinci

Analisis Koizumi Doctrine dalam Konteks Persaingan Jepang dengan Cina di ASEAN. Tesis

Analisis Koizumi Doctrine dalam Konteks Persaingan Jepang dengan Cina di ASEAN. Tesis Analisis Koizumi Doctrine dalam Konteks Persaingan Jepang dengan Cina di ASEAN Tesis Melati Patria Indrayani, S. Sos 0706191884 UNIVERSITAS INDONESIA Fakultas Pascasarjana Program Studi Kajian Wilayah

Lebih terperinci

Kajian Transformasi Menuju Institusi Kepolisian Indonesia Berbasis Pemolisian Masyarakat TESIS

Kajian Transformasi Menuju Institusi Kepolisian Indonesia Berbasis Pemolisian Masyarakat TESIS Kajian Transformasi Menuju Institusi Kepolisian Indonesia Berbasis Pemolisian Masyarakat Studi Kasus: Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi TESIS R. DINUR KRISMASARI 0606161836 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSEP DASAR PKN

PENGEMBANGAN KONSEP DASAR PKN Handout Perkuliahan PENGEMBANGAN KONSEP DASAR PKN Program Studi PGSD Program Kelanjutan Studi Semester Gasal 2011/2012 Kelas G, H, dan I. Oleh: Samsuri E-mail: samsuri@uny.ac.id Universitas Negeri Yogyakarta

Lebih terperinci

KONSISTENSI PENGAWASAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) TERHADAP PEREDARAN PRODUK PANGAN KADALUWARSA

KONSISTENSI PENGAWASAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) TERHADAP PEREDARAN PRODUK PANGAN KADALUWARSA KONSISTENSI PENGAWASAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) TERHADAP PEREDARAN PRODUK PANGAN KADALUWARSA TESIS Oleh: HENY ANDAYANI NPM 0706187413 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman budaya, alam dan sejarah peninggalan dari nenek moyang sejak zaman dahulu, terbukti dengan banyaknya ditemukan

Lebih terperinci

TESIS. Diajukan sebagai salah salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) FAUZI HERMAWAN NPM :

TESIS. Diajukan sebagai salah salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) FAUZI HERMAWAN NPM : PENGARUH BAURAN PEMASARAN TABUNGAN HAJI TERHADAP PENCAPAIAN DANA PIHAK KETIGA BANK SYARIAH (STUDI KASUS PRODUK TABUNGAN HAJI MABRUR BANK SYARIAH MANDIRI) TESIS Diajukan sebagai salah salah satu syarat

Lebih terperinci

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang I. 1. 1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Batik merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Jawa yaitu amba yang berarti menulis dan tik yang berarti titik. Batik

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN PT PERTAMINA GEOTHERMAL ENERGY

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN PT PERTAMINA GEOTHERMAL ENERGY PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN PT PERTAMINA GEOTHERMAL ENERGY ( Studi Kasus Pada Pelaksanaan Program Kemitraan Perajin Kulit Mitra Binaan Area Kamojang di Kelurahan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA DISPARITAS PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ANTAR KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI SUMATERA UTARA TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA DISPARITAS PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ANTAR KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI SUMATERA UTARA TESIS UNIVERSITAS INDONESIA DISPARITAS PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ANTAR KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI SUMATERA UTARA TESIS RAJA ISKANDAR MUDA RAMBE NPM: 0606038686 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

PERUMUSAN KEY PERFORMANCE INDICATOR FUNGSI PENGADAAN KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA MENGGUNAKAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD TESIS

PERUMUSAN KEY PERFORMANCE INDICATOR FUNGSI PENGADAAN KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA MENGGUNAKAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD TESIS PERUMUSAN KEY PERFORMANCE INDICATOR FUNGSI PENGADAAN KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA MENGGUNAKAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD TESIS DINO ANDRIAN 06060161281 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS EKONOMI PROGRAM

Lebih terperinci

BAB III BAB III.METODOLOGI PENELITIAN. Denzin dan Lincoln mendefinisikan penelitian kualitatif adalah multimetode

BAB III BAB III.METODOLOGI PENELITIAN. Denzin dan Lincoln mendefinisikan penelitian kualitatif adalah multimetode BAB III BAB III.METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Denzin dan Lincoln mendefinisikan penelitian kualitatif adalah multimetode dalam fokus, yang melibatkan pendekatan, interpretif naturalistik dengan

Lebih terperinci

PERANAN BPOM DALAM MELAKUKAN TINDAKAN HUKUM TERHADAP PRODUK MAKANAN IMPOR YANG MENGANDUNG MELAMIN TESIS. Kartika Ajeng.

PERANAN BPOM DALAM MELAKUKAN TINDAKAN HUKUM TERHADAP PRODUK MAKANAN IMPOR YANG MENGANDUNG MELAMIN TESIS. Kartika Ajeng. PERANAN BPOM DALAM MELAKUKAN TINDAKAN HUKUM TERHADAP PRODUK MAKANAN IMPOR YANG MENGANDUNG MELAMIN TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H) Oleh: Kartika Ajeng.

Lebih terperinci

TAMAN BERTEMA INDOOR TRANS STUDIO SEMARANG

TAMAN BERTEMA INDOOR TRANS STUDIO SEMARANG LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR TAMAN BERTEMA INDOOR TRANS STUDIO SEMARANG Dengan Penekanan Desain Arsitektur Modern Diajukan Oleh : Erik Extrada L2B009119 Dosen Pembimbing I Prof.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN KEKHUSUSAN MANAJEMEN OPERASI JAKARTA JULI 2009

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN KEKHUSUSAN MANAJEMEN OPERASI JAKARTA JULI 2009 ANALISIS INDUSTRI DAN KEUNGGULAN BERSAING MELALUI PENGEMBANGAN RESOURCES DAN CAPABILITIES DALAM PENERAPAN ECONOMIES OF SCALE DAN EXPERIENCE CURVE DI INDUSTRI MANUFAKTUR VELG ALUMINIUM (STUDI KASUS PT.

Lebih terperinci

MENCARI BENTUK IDEAL KERJA SAMA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA TESIS

MENCARI BENTUK IDEAL KERJA SAMA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA TESIS UNIVERSITAS INDONESIA MENCARI BENTUK IDEAL KERJA SAMA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA TESIS IKA ESTI KURNIAWATI 0706305495 FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM JAKARTA JUNI 2010

Lebih terperinci

TRANSFORMASI POLA PIKIR DARI MITRA BISNIS WARALABA KE PEMILIK MEREK SENDIRI: KAJIAN KEWIRAUSAHAAN BERBASIS PENGEMBANGAN MEREK TUGAS AKHIR

TRANSFORMASI POLA PIKIR DARI MITRA BISNIS WARALABA KE PEMILIK MEREK SENDIRI: KAJIAN KEWIRAUSAHAAN BERBASIS PENGEMBANGAN MEREK TUGAS AKHIR TRANSFORMASI POLA PIKIR DARI MITRA BISNIS WARALABA KE PEMILIK MEREK SENDIRI: KAJIAN KEWIRAUSAHAAN BERBASIS PENGEMBANGAN MEREK TUGAS AKHIR MUHAMMAD SYAIFUL 1141923016 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA KEBIASAAN MAKAN CEPAT SAJI (FAST FOOD MODERN), AKTIVITAS FISIK DAN FAKTOR LAINNYA DENGAN STATUS GIZI PADA MAHASISWA PENGHUNI ASRAMA UI DEPOK TAHUN 2009 SKRIPSI EVI HERYANTI NPM :

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR FAKTOR SOSIAL YANG MENYEBABKAN RENDAHNYA PARTISIPASI BELAJAR PADA ANAK USIA DINI (Studi Deskriptif PAUD Anisa, Jalan Raya Kapling Rt 07/17, Pancoran Mas, Depok) SKRIPSI Diajukan

Lebih terperinci

RADIANA MAHAGA

RADIANA MAHAGA EVALUASI DAMPAK PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN TAHAP DUA (P2KP-2) DI JAWA BARAT TERHADAP TINGKAT KONSUMSI MASYARAKAT TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PASCASARJANA PENERIMA BEASISWA S2 DALAM NEGERI BPK-RI

UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PASCASARJANA PENERIMA BEASISWA S2 DALAM NEGERI BPK-RI UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PASCASARJANA PENERIMA BEASISWA S2 DALAM NEGERI BPK-RI TESIS YUNITA KUSUMANINGSIH NPM. 0806480920 FAKULTAS

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA TESIS UNIVERSITAS INDONESIA PETA KOMPETENSI DAN ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN BAGI TENAGA PERPUSTAKAAN SEKOLAH DASAR STANDAR NASIONAL DI DKI JAKARTA TESIS INE RAHMAWATI 0806441314 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU

Lebih terperinci

Nurnasrina

Nurnasrina PENGARUH KARAKTERISTIK NASABAH TERHADAP OFFICE CHANNELING DALAM MENGGUNAKAN PRODUK DAN JASA PERBANKAN SYARIAH TESIS Nurnasrina 7105090471 UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI KAJIAN

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA T E S I S

PEMBERDAYAAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA T E S I S PEMBERDAYAAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA T E S I S Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister KHRISNA ANGGARA 0606154244 UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO MUSEUM KONTEMPORER JAKARTA TUGAS AKHIR PADMO PRABOWO AJIBASKORO FAKULTAS TEKNIK JURUSAN/PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

UNIVERSITAS DIPONEGORO MUSEUM KONTEMPORER JAKARTA TUGAS AKHIR PADMO PRABOWO AJIBASKORO FAKULTAS TEKNIK JURUSAN/PROGRAM STUDI ARSITEKTUR UNIVERSITAS DIPONEGORO MUSEUM KONTEMPORER JAKARTA TUGAS AKHIR PADMO PRABOWO AJIBASKORO 21020110120058 FAKULTAS TEKNIK JURUSAN/PROGRAM STUDI ARSITEKTUR SEMARANG SEPTEMBER 2014 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA RELEVANSI STATUS SOSIAL EKONOMI TERHADAP KEPEDULIAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM KONTEKS INDONESIA SEBAGAI NEGARA BERKEMBANG (Studi Kasus Rukun Warga 11, Kelurahan Warakas, Tanjung Priok,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS HUKUM PENGADAAN BARANG DAN JASA SECARA ELEKTRONIK (ELECTRONIC PROCUREMENT) PADA INSTANSI PEMERINTAH Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS RAWAT INAP TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RSCM DENGAN METODE SERVQUAL TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS RAWAT INAP TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RSCM DENGAN METODE SERVQUAL TESIS UNIVERSITAS INDONESIA PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS RAWAT INAP TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RSCM DENGAN METODE SERVQUAL TESIS APRIYAN LESTARI PRATIWI 0806480460 FAKULTAS EKONOMI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

NILAI-NILAI SOSIAL PADA SERIAL DRAMA MISAENG (Analisis Isi Muatan Nilai-Nilai Sosial Tayangan Serial Drama Korea Misaeng ) SKRIPSI

NILAI-NILAI SOSIAL PADA SERIAL DRAMA MISAENG (Analisis Isi Muatan Nilai-Nilai Sosial Tayangan Serial Drama Korea Misaeng ) SKRIPSI NILAI-NILAI SOSIAL PADA SERIAL DRAMA MISAENG (Analisis Isi Muatan Nilai-Nilai Sosial Tayangan Serial Drama Korea Misaeng ) SKRIPSI DELILAWATI TUMANGGER 120904104 DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

ANALISIS BRAND POSITIONING ROKOK GUDANG GARAM INTERNATIONAL DAN DJARUM SUPER

ANALISIS BRAND POSITIONING ROKOK GUDANG GARAM INTERNATIONAL DAN DJARUM SUPER ANALISIS BRAND POSITIONING ROKOK GUDANG GARAM INTERNATIONAL DAN DJARUM SUPER TESIS POPO YUSRI 0606160764 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN JAKARTA NOVEMBER 2008 i

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA EVALUASI PERBANDINGAN NILAI VALUE AT RISK DENGAN DAN TANPA HEDGING MENGGUNAKAN METODE EXTREME VALUE THEORY UNTUK RISIKO KERUGIAN FLUKTUASI HARGA MINYAK MENTAH TESIS Diajukan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layaknya fenomena alam yang telah terjadi di dunia ini, evolusi makhluk hidup termasuk ke dalam subyek bagi hukum-hukum alam yang dapat di uji melalui berbagai

Lebih terperinci

PERSEPSI MANTAN NARAPIDANA TERHADAP IKLAN HAPPYDENT WHITE (VERSI MELARIKAN DIRI DARI PENJARA) SKRIPSI

PERSEPSI MANTAN NARAPIDANA TERHADAP IKLAN HAPPYDENT WHITE (VERSI MELARIKAN DIRI DARI PENJARA) SKRIPSI UNIVERSITAS INDONESIA PERSEPSI MANTAN NARAPIDANA TERHADAP IKLAN HAPPYDENT WHITE (VERSI MELARIKAN DIRI DARI PENJARA) SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial AMRITSA

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERNET GRATIS DI PERPUSTAKAAN SMK NEGERI 2 SURAKARTA SEBAGAI PENUNJANG KEGIATAN BELAJAR

PEMANFAATAN INTERNET GRATIS DI PERPUSTAKAAN SMK NEGERI 2 SURAKARTA SEBAGAI PENUNJANG KEGIATAN BELAJAR PEMANFAATAN INTERNET GRATIS DI PERPUSTAKAAN SMK NEGERI 2 SURAKARTA SEBAGAI PENUNJANG KEGIATAN BELAJAR TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh Gelar Ahli Madya dalam Program D-III

Lebih terperinci

Selayang Pandang Penelitian Kualitatif

Selayang Pandang Penelitian Kualitatif Selayang Pandang Penelitian Kualitatif Mudjia Rahardjo repository.uin-malang.ac.id/2412 Selayang Pandang Penelitian Kualitatif Mudjia Rahardjo Setelah sebelumnya dipaparkan sejarah ringkas penelitian kuantitatif

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS SALURAN KOMUNIKASI DALAM PEMILU SKRIPSI ANDRI AGASI MARPAUNG

EFEKTIFITAS SALURAN KOMUNIKASI DALAM PEMILU SKRIPSI ANDRI AGASI MARPAUNG EFEKTIFITAS SALURAN KOMUNIKASI DALAM PEMILU SKRIPSI ANDRI AGASI MARPAUNG 090904057 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI MEDAN 2015 EFEKTIFITAS SALURAN

Lebih terperinci

ETNOGRAFI KESEHATAN 1

ETNOGRAFI KESEHATAN 1 ETNOGRAFI KESEHATAN 1 oleh: Nurcahyo Tri Arianto 2 Pengertian Etnografi Etnografi atau ethnography, dalam bahasa Latin: etnos berarti bangsa, dan grafein yang berarti melukis atau menggambar; sehingga

Lebih terperinci

SEKOLAH TESIS I Z Z A T Y. Faktor-faktor yang..., Izzaty, FE UI, 2009

SEKOLAH TESIS I Z Z A T Y. Faktor-faktor yang..., Izzaty, FE UI, 2009 UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI SEKOLAH ANAK JENJANG SMP DAN SMA DI SUMATERA BARAT TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi I Z

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah komunikasi dalam konteks pedagogi adalah hal yang penting karena ketika proses pembelajaran berlangsung didalamnya terdapat interaksi antara guru dengan siswa

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA IMPLEMENTASI ANGGARAN BERBASIS KINERJA STUDI KASUS DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI T E S I S

UNIVERSITAS INDONESIA IMPLEMENTASI ANGGARAN BERBASIS KINERJA STUDI KASUS DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI T E S I S UNIVERSITAS INDONESIA IMPLEMENTASI ANGGARAN BERBASIS KINERJA STUDI KASUS DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI T E S I S Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Magister Sains (M.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk lebih jelasnya pembahasan tiap sub bab akan diuraikan sebagai berikut.

I. PENDAHULUAN. Untuk lebih jelasnya pembahasan tiap sub bab akan diuraikan sebagai berikut. I. PENDAHULUAN Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan pada beberapa sub bab yang berupa latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KETERSEDIAAN KOLEKSI BAHAN AJAR STUDI KASUS DI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KETERSEDIAAN KOLEKSI BAHAN AJAR STUDI KASUS DI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU TESIS UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KETERSEDIAAN KOLEKSI BAHAN AJAR STUDI KASUS DI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU TESIS RASDANELIS NPM 0706306996 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA PERAN MUSEUM SANDI DALAM MENUMBUHKAN PEMAHAMAN FUNGSI DAN PERAN PERSANDIAN TESIS TAMPIL CHANDRA NOOR GULTOM

UNIVERSITAS INDONESIA PERAN MUSEUM SANDI DALAM MENUMBUHKAN PEMAHAMAN FUNGSI DAN PERAN PERSANDIAN TESIS TAMPIL CHANDRA NOOR GULTOM UNIVERSITAS INDONESIA PERAN MUSEUM SANDI DALAM MENUMBUHKAN PEMAHAMAN FUNGSI DAN PERAN PERSANDIAN TESIS TAMPIL CHANDRA NOOR GULTOM 0806435904 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ARKEOLOGI DEPOK

Lebih terperinci

PROSES KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA MANTAN AU PAIR INDONESIA DENGAN KELUARGA ANGKAT SELAMA BERADA DI JERMAN SKRIPSI

PROSES KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA MANTAN AU PAIR INDONESIA DENGAN KELUARGA ANGKAT SELAMA BERADA DI JERMAN SKRIPSI PROSES KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA MANTAN AU PAIR INDONESIA DENGAN KELUARGA ANGKAT SELAMA BERADA DI JERMAN SKRIPSI Oleh: Ella Puspita Siregar 110904029 D E P A R T E M E N I L M U K O M U N I K A S I FAKULTAS

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA STRATEGI PT AKR CORPORINDO TBK MEMASUKI BISNIS BBM DI INDONESIA TESIS RICHARD YAURI TAHA

UNIVERSITAS INDONESIA STRATEGI PT AKR CORPORINDO TBK MEMASUKI BISNIS BBM DI INDONESIA TESIS RICHARD YAURI TAHA UNIVERSITAS INDONESIA STRATEGI PT AKR CORPORINDO TBK MEMASUKI BISNIS BBM DI INDONESIA TESIS RICHARD YAURI TAHA 0706186474 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCA

Lebih terperinci

WANA WISATA PENGGARON DI KABUPATEN SEMARANG

WANA WISATA PENGGARON DI KABUPATEN SEMARANG LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR WANA WISATA PENGGARON DI KABUPATEN SEMARANG dengan Penekanan Desain Arsitektur Tropis Diajukan Oleh : Saphira Widiawati 21020111120035 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

PENGARUH KEPUASAN, KEPERCAYAAN, DAN KOMITMEN TERHADAP LOYALITAS KONSUMEN: KASUS KARTU PRA BAYAR XL BEBAS TESIS

PENGARUH KEPUASAN, KEPERCAYAAN, DAN KOMITMEN TERHADAP LOYALITAS KONSUMEN: KASUS KARTU PRA BAYAR XL BEBAS TESIS PENGARUH KEPUASAN, KEPERCAYAAN, DAN KOMITMEN TERHADAP LOYALITAS KONSUMEN: KASUS KARTU PRA BAYAR XL BEBAS TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Manajemen ARNOLD JAPUTRA

Lebih terperinci

TANGGAPAN PUSTAKAWAN DAN PENGGUNA TERHADAP CD PERMAINAN UNTUK MENJADI KOLEKSI PERPUSTAKAAN SD CHARITAS SKRIPSI

TANGGAPAN PUSTAKAWAN DAN PENGGUNA TERHADAP CD PERMAINAN UNTUK MENJADI KOLEKSI PERPUSTAKAAN SD CHARITAS SKRIPSI UNIVERSITAS INDONESIA TANGGAPAN PUSTAKAWAN DAN PENGGUNA TERHADAP CD PERMAINAN UNTUK MENJADI KOLEKSI PERPUSTAKAAN SD CHARITAS SKRIPSI STEVANUS YULYANTO 0705130575 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN PARTISIPASI DALAM KEGIATAN EKSTRAKURIKULER DENGAN PENCAPAIAN KETERAMPILAN KEPEMIMPINAN SANTRI (STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN DARUNNAJAH CIPINING BOGOR JAWA BARAT) TESIS

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Latar belakang Sejarah pertumbuhan dan perkembangan fisik Kota Tarakan berawal dari lingkungan pulau terpencil yang tidak memiliki peran penting bagi Belanda hingga

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO GEDUNG PAMER DAN PERAGA IPTEK KELAUTAN DI SEMARANG TUGAS AKHIR DESY RATNA A FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO GEDUNG PAMER DAN PERAGA IPTEK KELAUTAN DI SEMARANG TUGAS AKHIR DESY RATNA A FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO GEDUNG PAMER DAN PERAGA IPTEK KELAUTAN DI SEMARANG TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana DESY RATNA A 21020110141037 FAKULTAS TEKNIK JURUSAN/PROGRAM

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA TESIS UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS ATAS PELAPORAN KEUANGAN DAN PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN UNIT AKUNTANSI KUASA PENGGUNA ANGGARAN DAN UNIT AKUNTANSI PEMBANTU PENGGUNA ANGGARAN WILAYAH (STUDI KASUS: BALAI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA SIKAP PIHAK MANAJEMEN DEPARTEMEN PR TERHADAP KOMPETENSI PRAKTISI PR PERUSAHAAN

UNIVERSITAS INDONESIA SIKAP PIHAK MANAJEMEN DEPARTEMEN PR TERHADAP KOMPETENSI PRAKTISI PR PERUSAHAAN UNIVERSITAS INDONESIA SIKAP PIHAK MANAJEMEN DEPARTEMEN PR TERHADAP KOMPETENSI PRAKTISI PR PERUSAHAAN (SURVEI PADA PIHAK MANAJEMEN DEPARTEMEN PR PERUSAHAAN TERBUKA DI JAKARTA) SKRIPSI GILANG AZALIA 0606053516

Lebih terperinci

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian)

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Seiring dengan perkembangan paradigma interpretivisme dan metodologi penelitian lapangan (f ield

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yang berbentuk studi kasus dengan menggunakan pendekatan metode kontak langsung,

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR 135. Dengan Konsep Edutaiment Penekanan Desain Post- Modern. oleh: SHAFIRA EKA HARIANANDA Dosen Pembimbing Utama:

TUGAS AKHIR 135. Dengan Konsep Edutaiment Penekanan Desain Post- Modern. oleh: SHAFIRA EKA HARIANANDA Dosen Pembimbing Utama: TUGAS AKHIR 135 LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR Semarang Central Library Dengan Konsep Edutaiment Penekanan Desain Post- Modern Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA TESIS FAKULTAS EKONOMI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK EKONOMI PERENCANAAN KOTA & DAERAH JAKARTA JULI 2010

UNIVERSITAS INDONESIA TESIS FAKULTAS EKONOMI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK EKONOMI PERENCANAAN KOTA & DAERAH JAKARTA JULI 2010 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS KEBERADAAN TEMPAT PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU (TPST) BANTAR GEBANG BEKASI TESIS MARTHIN HADI JULIANSAH 0706181725 FAKULTAS EKONOMI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN PENGAWASAN ORANG ASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN TESIS RUDI HALOMOAN TOBING

ANALISIS PELAKSANAAN PENGAWASAN ORANG ASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN TESIS RUDI HALOMOAN TOBING ANALISIS PELAKSANAAN PENGAWASAN ORANG ASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN TESIS RUDI HALOMOAN TOBING 0606023450 KAJIAN STRATEJIK IMIGRASI PROGRAM STUDI KAJIAN KETAHANAN

Lebih terperinci

POLA PERSEPSI KONSUMEN PADA KAFE TANAMERA COFFEE DAN KAFE PAVILIUN 28 DALAM KONTEKS PENERAPAN VISUAL MERCHANDISING TESIS

POLA PERSEPSI KONSUMEN PADA KAFE TANAMERA COFFEE DAN KAFE PAVILIUN 28 DALAM KONTEKS PENERAPAN VISUAL MERCHANDISING TESIS POLA PERSEPSI KONSUMEN PADA KAFE TANAMERA COFFEE DAN KAFE PAVILIUN 28 DALAM KONTEKS PENERAPAN VISUAL MERCHANDISING TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Manajemen (S2)

Lebih terperinci

SKRIPSI. Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme. Diajukan Oleh : Camilla Emanuella Sembiring

SKRIPSI. Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme. Diajukan Oleh : Camilla Emanuella Sembiring SKRIPSI Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme (Studi Kasus Mengenai Komunikasi Efektif Pada Anak Penderita Autisme di Sekolah Khusus Autisme YAKARI) Diajukan Oleh : Camilla Emanuella Sembiring

Lebih terperinci

Universitas Indonesia

Universitas Indonesia Universitas Indonesia ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA HARAPAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP PESERTA PROGAM (Studi Kasus : Kecamatan Cilincing Kotamadya Jakarta Utara) T E S I S RAMA CHANDRA 0706305980 FAKULTAS

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman. BAB III METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Lokasi Penelitian xviii

DAFTAR ISI Halaman. BAB III METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Lokasi Penelitian xviii DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PRASARAT GELAR... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v UCAPAN TERIMA KASIH... vi ABSTRAK... ix ABSTRACT...

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PENYULUHAN NARKOBA DI KALANGAN SISWA. (Studi kasus pada 3 SMU di DKI Jakarta) TESIS SEFIDONAYANTI

EFEKTIFITAS PENYULUHAN NARKOBA DI KALANGAN SISWA. (Studi kasus pada 3 SMU di DKI Jakarta) TESIS SEFIDONAYANTI EFEKTIFITAS PENYULUHAN NARKOBA DI KALANGAN SISWA (Studi kasus pada 3 SMU di DKI Jakarta) TESIS SEFIDONAYANTI 0606154345 UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI KAJIAN KETAHANAN NASIONAL

Lebih terperinci

Qualitative Research: Samiaji Sarosa

Qualitative Research: Samiaji Sarosa Qualitative Research: Samiaji Sarosa Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Apa? Apa yang dimaksud dengan penelitian kualitatif? Apa yang dimaksud dengan penelitian empiris?

Lebih terperinci

PENANGANAN SENGKETA PADA KONTRAK KONSTRUKSI YANG BERDIMENSI PUBLIK. Tinjauan hukum atas Putusan BANI NO.283/VII/ARB-BANI/2008.

PENANGANAN SENGKETA PADA KONTRAK KONSTRUKSI YANG BERDIMENSI PUBLIK. Tinjauan hukum atas Putusan BANI NO.283/VII/ARB-BANI/2008. PENANGANAN SENGKETA PADA KONTRAK KONSTRUKSI YANG BERDIMENSI PUBLIK. Tinjauan hukum atas Putusan BANI NO.283/VII/ARB-BANI/2008. TESIS RIZKI WAHYU SINATRIA PINANDITA 0706174764 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH KOMUNIKASI KELOMPOK TERHADAP AKTUALISASI DIRI

PENGARUH KOMUNIKASI KELOMPOK TERHADAP AKTUALISASI DIRI PENGARUH KOMUNIKASI KELOMPOK TERHADAP AKTUALISASI DIRI (Studi Korelasional tentang Pengaruh Komunikasi Kelompok Terhadap Aktualisasi Diri pada Mahasiswa UKM Sepak Bola Universitas Sumatera Utara) SKRIPSI

Lebih terperinci

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM FOTOJURNALISTIK SKRIPSI

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM FOTOJURNALISTIK SKRIPSI REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM FOTOJURNALISTIK (ANALISIS SEMIOTIKA FOTO HEADLINE DI HARIAN TRIBUN MEDAN) SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program Strata 1 (S1)

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN BADAN GABUNGAN KHUSUS UNTUK PENANGGULANGAN TEROR DI INDONESIA

PEMBENTUKAN BADAN GABUNGAN KHUSUS UNTUK PENANGGULANGAN TEROR DI INDONESIA i PEMBENTUKAN BADAN GABUNGAN KHUSUS UNTUK PENANGGULANGAN TEROR DI INDONESIA TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains (M.Si) Ilmu Hubungan Internasional, Universitas

Lebih terperinci

ANALISA RISIKO PEKERJAAN TANAH DAN PONDASI PADA PROYEK BANGUNAN GEDUNG DI JABODETABEK SKRIPSI

ANALISA RISIKO PEKERJAAN TANAH DAN PONDASI PADA PROYEK BANGUNAN GEDUNG DI JABODETABEK SKRIPSI 127/FT.EKS.01/SKRIP/12/2008 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISA RISIKO PEKERJAAN TANAH DAN PONDASI PADA PROYEK BANGUNAN GEDUNG DI JABODETABEK SKRIPSI NANI IRIANI 04 05 21 03 52 NIK FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI

Lebih terperinci