Gambar 14. Grafik Jumlah Butir per Malai pada Beberapa Varietas Padi

dokumen-dokumen yang mirip
Jember, Juli, 2011 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2011] Rokhani Hasbullah 1), Riska Indaryani 1) Abstrak

III. METODOLOGI PENELITIAN

Pedal Thresher dan Pedal Thresher Lipat

ABSTRAK. Kata kunci: padi, konfigurasi penggilingan, susut penggilingan, rendemen giling PENDAHULUAN

Gambar 15. Gambar teknik perontok padi hasil rancangan (O-Belt Thresher) 34

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama

RANCANG BANGUN DAN UJI TEKNIS ALAT PERONTOK PADI SEMI MEKANIS PORTABEL

MODUL POWER THRESHER. Diklat Teknis Dalam Rangka Upaya Khusus (UPSUS) Peningkatan Produksi Pertanian dan BABINSA

ISSN No Vol.23, No.2, OKtober 2009

Rancang Bangun Mesin Perontok Padi (Paddy Thresher) dalam Upaya Peningkatan Kualitas dan Efisiensi Produksi Beras Pasca Panen

TINJAUAN PUSTAKA A. GEBOT (PAPAN PERONTOK PADI)

I. BEBERAPA KIAT PENGOPERASIAN MESIN PERONTOK PADI

UJI PERFORMANSI MESIN PEMANEN DAN PERONTOK TYPE MOBIL COMBINE HARVESTER TERHADAP KEHILANGAN HASIL PADI

50kg Pita ukur/meteran Terpal 5 x 5 m 2

METODOLOGI. Waktu dan Tempat. Alat dan Bahan. Metode Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays) adalah tanaman semusim yang berasal dari Amerika

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS

II. TINJAUAN PUSTAKA Terminologi Pasca Panen Padi. A. Kualitas Fisik Gabah

ALAT DAN MESIN PANEN PADI

PANEN DAN PASCA PANEN PADI

Pengolahan lada putih secara tradisional yang biasa

KAJIAN PENGGUNAAN BERBAGAI JENIS ALAT/MESIN PERONTOK TERHADAP SUSUT PERONTOKAN PADA BEBERAPA VARIETAS PADI

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan sebagai media untuk menanam padi. memprihatinkan, dimana negara Indonesia yang memiliki lahan yang cukup luas

Teknik Penanganan Pascapanen Padi untuk Menekan Susut dan Meningkatkan Rendemen Giling

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Varietas Padi

TINJAUAN PUSTAKA. barang dan jasa akan terdistribusi dengan jumlah, waktu, serta lokasi yang

PANEN DAN PENGELOLAAN PASCAPANEN PADI

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Maret 2013

Pertemuan ke-14. A.Tujuan Instruksional 1. Umum Setelah mengikuti matakuliah ini mahasiswa

II. MENEKAN KEHILANGAN HASIL

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persyaratan Lahan. Lahan hendaknya merupakan bekas tanaman lain atau lahan yang diberakan. Lahan dapat bekas tanaman padi tetapi varietas yang

MODIFIKASI ALAT PERONTOK PADI TIPE HAMMER THRESHER [Modification of Rice Thresher-Hammer thresher Type]

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

I. PENDAHULUAN. padi jika dibandingkan dengan tanaman-tanaman lainnya seperti tanaman jagung

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari - April 2014 di Kabupaten Pringsewu

Masa berlaku: Alamat : Situgadung, Tromol Pos 2 Serpong, Tangerang Februari 2010 Telp. (021) /87 Faks.

IV. PENDEKATAN DESAIN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan STIPER Dharma Wacana Metro,

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA

I. PENDAHULUAN. Tanaman pangan yang antara lain terdiri atas padi, jagung, kedelai, kacang tanah,

Perancangan dan Pembuatan Mesin Perontok Padi Untuk Peningkatan Produksi Kelompok Tani Desa Ngadirejo Kromengan Kabupaten Malang

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

PENGARUH WAKTU PENUNDAAN DAN CARA PERONTOKAN TERHADAP HASIL DAN MUTU GABAH PADI LOKAL VARIETAS KARANG DUKUH DI KALIMANTAN SELATAN

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan pangan pokok bagi penduduk Indonesia dan merupakan

PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN

ALAT DAN MESIN PERTANIAN ALAT DAN MESIN PERTANIAN DI DESA GLURANPLOSO KECAMATAN BENJENG KABUPATEN GRESIK

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

INOVASI DESAIN MESIN PERONTOK PADI UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIFITAS HASIL PANEN

III. BAHAN DAN METODE

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2013.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Cina sudah dimulai sejak tahun sebelum masehi (Suparyono dan Setyono,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi termasuk genus yang meliputi kurang lebih 25 spesies, tersebar di daerah

UNJUK KERJA MESIN PENGGILING PADI TIPE SINGLE PASS 1

PETUNJUK LAPANGAN (PETLAP) PANEN DAN PASCAPANEN TANAMAN KEDELAI

BAB III METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian,Perlakuan dan Analisis Data

Mesin Pemanen Jagung Tipe mower

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai dengan Maret

RANCANG BANGUN ALAT MESIN HAMMER MILL UNTUK PENGOLAHAN JAGUNG PAKAN

MITRA BALAI INDUSTRI PUSAT TEKNOLOGI SARANA PERTANIAN mitrabalaiindustri.wordpress.com / mitrabalaiindustri.webs.com

BAB III PROSES MANUFAKTUR. yang dilakukan dalam proses manufaktur mesin pembuat tepung ini adalah : Mulai. Pengumpulan data.

DESAIN MESIN PERTANIAN SERBAGUNA BERDASARKAN MODEL MESIN PERONTOK PADI KONVENSIONAL

Kode Produk Target : 1.3 Kode Kegiatan :

ALAT DAN MESIN PANEN HASIL PERTANIAN drh. Saiful Helmy, MP


METODE MENEKAN KEHILANGAN HASIL PADI. Sigit Nugraha dan tim. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. Jl. Tentara Pelajar 12 Kampus Cimanggu, Bogor

BAB I PENDAHULUAN. bulat, beruas-ruas dan tingginya antara cm. Jagung merupakan

PERANCANGAN ULANG DAN PEMBUATAN MESIN PENGHANCUR LIMBAH BATU MERAH DAN GENTENG (Studi kasus : Perusahaan Genteng ATIN Karanggeneng Boyolali)

UJI KINERJA MESIN PEMECAH KULIT GABAH DENGAN VARIASI JARAK ROL KARET DAN DUA VARIETAS GABAH PADA RICE MILLING UNIT (RMU)

MAKALAH MENGGAMBAR TEKNIK MESIN PEMANEN PADI (REAPER) TIPE PISAU BERGERIGI GERAK BOLAK BALIK EMPAT ALUR PEMOTONGAN

PENYIMPANAN GABAH KERING Oleh : M Mundir BP3K Nglegok

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

Mesin Perontok Padi Thresher **)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

KERANGKA ACUAN TEKNIS

PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang. Kebutuhan manusia juga semakin banyak yang bergantung dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. ANALISA PERANCANGAN

PENEKANAN KEHILANGAN HASIL PADA PROSES PERONTOKAN GANDUM

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

Tabel 1. Pengukuran variabel tingkat penerapan usahatani padi organik Indikator Kriteria Skor 1. Pemilihan benih a. Varietas yang digunakan

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016

1 LAYANAN KONSULTASI PADI IRIGASI Kelompok tani sehamparan

V.HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN I DATA PENGAMATAN. 1. Data Uji Kinerja Alat Penepung dengan Sampel Ubi Jalar Ungu

BAB IV PROSES PEMBUATAN DAN PENGUJIAN

LAPORAN PRAKTIKUM Mata Kuliah Pasca Panen Tanaman PENGGILINGAN PADI. Disusun oleh: Kelompok 3

RANCANG BANGUN MESIN PEMECAH BIJI KEMIRI DENGAN SISTEM BENTUR

III. METODE PENELITIAN

Ciparay Kabupaten Bandung. Ketinggian tempat ±600 m diatas permukaan laut. dengan jenis tanah Inceptisol (Lampiran 1) dan tipe curah hujan D 3 menurut

PENGGILINGAN GABAH KERING Oleh : M Mundir BP3K Nglegok

MEKANISME DAN KINERJA PADA SISTEM PERONTOKAN PADI 1. Heny Herawati 2

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Karakteristik Tanaman Padi Tanaman padi memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan varietas padi. Karakteristik yang dimiliki menjadi suatu kelebihan atau kekurangan dari masing-masing varietas. Jumlah butir gabah per malai dan berat seribu butir GKP (Gabah Kering Panen) merupakan karakteristik dari tanaman padi. Semakin banyak jumlah butir gabah per malai, maka semakin baik karakteristik yang dimiliki varietas padi tersebut. Begitu pula dengan berat seribu butir GKP, dengan semakin berat, semakin baik pula karakteristik varietas padinya. Hasil pengamatan jumlah butir gabah per malai pada beberapa varietas padi dapat dilihat pada Gambar 14, sedangkan data lengkapnya pada Lampiran 2. 350 300 269 336 Jumlah Butir per Malai 250 200 150 100 50 154 161 109 151 0 Ciherang Cibogo Hibrida SL 8 SHS Varietas Padi Gambar 14. Grafik Jumlah Butir per Malai pada Beberapa Varietas Padi Berdasarkan grafik di atas, varietas padi yang memiliki jumlah butir gabah per malai paling banyak adalah varietas Hibrida yang berkisar antara 269-336 butir. Sedangkan varietas Cibogo memiliki jumlah paling sedikit dari kedua varietas lainnya, yaitu berkisar antara 109-151 butir gabah per malai. Berbeda dengan perbandingan jumlah butir gabah per malai, varietas Hibrida memiliki berat seribu butir GKP yang paling rendah dibandingkan dengan dua varietas lain yaitu dengan rata-rata 28.63 g. Varietas Cibogo memiliki berat seribu 29

butir GKP rata-rata paling tinggi yaitu 30.43 g. Dengan demikian, bahwa varietas Hibrida memiliki jumlah butir gabah per malai paling banyak, namun memiliki berat seribu butir paling rendah dibandingkan dengan varietas Ciherang dan Cibogo. Hal ini menunjukkan bahwa varietas padi Ciherang, Cibogo, dan Hibrida masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan pada karakteristik fisik tanaman. Perbandingan berat seribu butir GKP ketiga varietas dapat dilihat pada Gambar 15 atau untuk lebih jelasnya pada Lampiran 3. Berat Seribu Butir (gr) 31.5 31.0 30.5 30.0 29.5 29.0 28.5 28.0 27.5 27.0 26.5 30.43 29.67 28.63 Ciherang Cibogo Hibrida SL 8 SHS Varietas Padi Gambar 15. Grafik Berat Seribu Butir Gabah Beberapa Varietas Padi Karakteristik fisik tanaman padi tiap varietas mempengaruhi rendemen gabah yang dihasilkan. Perbedaan karakteristik fisik varietas padi dipengaruhi oleh faktor genetis atau asal persilangan varietas padi. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Karawang (2007) menunjukkan bahwa berat seribu butir GKP adalah 22 g. Sementara itu, hasil pengamatan berat seribu butir GKP ratarata dengan mengabaikan perbedaan varietas yaitu sebesar 29.6 g. Dengan demikian, terjadi kenaikan berat seribu butir GKP sebesar 35 %. Hal ini dapat meningkatkan rendemen gabah yang diperoleh para petani. Kenaikan berat seribu butir GKP kemungkinan terjadi karena beberapa faktor yaitu pemilihan bibit padi unggul, pengolahan tanah yang baik, penggunaan pupuk yang tepat, serta penyemprotan hama dan penyakit tanaman secara intensif. 30

B. Spesifikasi Alat dan Mesin Perontok Alat/mesin perontok di berbagai daerah memiliki spesifikasi yang berbeda-beda. Perbedaan spesifikasi disebabkan adanya modifikasi alat/mesin perontok oleh para petani. Modifikasi yang dilakukan memiliki beberapa tujuan yaitu untuk mempermudah penggunaan alat/mesin perontok, menyesuaikan alat/mesin perontok dengan kebutuhan, menambah efisiensi waktu perontokan, mengurangi susut perontokan yang terjadi saat perontokan, serta menambah rendemen gabah yang diperoleh para petani. Spesifikasi alat dan mesin perontok di bawah ini terdapat di Gapoktan Mekar Tani Desa Kutagandok, Kecamatan Kutawaluya, Kabupaten Karawang. 1. Alat Gebot Gambar 16. Alat Gebot Alat gebot merupakan alat perontok manual dengan cara membanting segenggam padi dengan frekuensi 6-12 kali. Alat gebot dibuat sendiri oleh para petani sesuai dengan kebutuhan (Gambar 16). Namun, di daerah ini alat gebot sudah jarang digunakan oleh para petani. Bagian komponen alat gebot terdiri dari: a. Rak perontok yang terbuat dari kayu dengan 4 kaki berdiri di atas tanah, dapat dipindah-pindahkan. b. Meja rak perontok terbuat dari belahan kayu melintang dengann jarak renggang 6 cm. Meja ini memiliki ukuran 60 cm x 40 cm. c. Tinggii alat 35 cm dan jarak antar kaki 70 cm. Spesifikasi alat gebot lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4a. 31

2. Pedal Thresher Gambar 17. Pedal Thresherr Gapoktan Mekar Tani memilikii beberapa unit pedal thresherr dari Departemen Pertanian Karawang (Gambar 17). Pedal thresher merupakan alat perontok semi-mekanis, digerakkan oleh tenaga manusia. Bagian komponen pedal thresher terdiri dari: a. Kerangka utama terbuat dari besi siku dan plat seng sebagai dinding dengan ukuran keseluruhan unit 90 cm x 50 cm x 110 cm. b. Silinder perontok terbuat dari lempengan besi berjajar berkeliling membentuk silinder dengan diameter 28 cm dan lebar 45 cm. Pada lempengann besi tersebut ditancapkan gigi perontok yang terbuat dari kawat besi berbentuk huruf V terbalik. Tinggi gigi perontok ± 50 mm dengan lebar kaki-kaki sebesar 25 mm dengan jarak antar gigi 50 mm. Besi strip pada silinder perontok berjumlah 8 buah, dimana pada masing-masing besi strip terdapat gigi perontok berjumlah 6 7 buah (Gambar 18a). (a) (b) Gambar 18. (a) Gigi Perontok Pedal Thresher dan (b) Pedal atau Injakann 32

c. Unit transmisi tenaga menggunakan rantai sepeda dan karet yang prinsip kerjanya sama seperti prinsipp kerja mesin jahit. Lebar injakann 11 cm (Gambar 18b). d. Meja perontok 50 cm x 15 cm dengan pintu pemasukan 50 cm x 30 cm. Pintu pengeluaran 50 cm x 45 cm. e. Bobot pedal 21 kg dan operator 2 orang. Spesifikasi pedal thresher lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4b. 3. Power Thresher Mesin perontok yang dimiliki Gapoktan Mekar Tani merupakan bantuan dari Departemen Pertanian Karawang dan sebagian komponennya dimodifikasi. Bahkan, Gapoktan ini telah membuat power thresher sendiri di bengkel terdekat (Gambar 19). Power thresher yang digunakan memiliki sistem pemasukan throw- menyewa di Gapoktan seharga Rp. 150 000/ton GKP. Bagian komponen power thresher terdiri dari: in. Di daerah ini hampir semua petani menggunaka an power thresher dengan a. Kerangka utama terbuat dari besi siku dan plat lembaran baja tebal 2 mm. b. Meja pengumpann 80 cm x 50 cm, pintu pemasukan 20 cm x 20 cm, pintu pengeluaran jerami 20 cm x 28 cm, dan pintu pengeluaran gabah 45 cm x 15 cm. Gambar 19. Power Thresherr c. Silinder perontok terbuat dari besi strip dengan diameter berjajar berkeliling membentuk silinder dengan diameter 30 cm dan lebar 80 cm. Di sisi kiri dan 33

kanan diberi penutup dengan lembaran berbentuk setengah lingkaran setebal 2 mm. Pada besi strip yang melintang tersebut terpasang gig perontok yang terbuat dari baut nomor 16 berdiameter 10 mm, dan panjang 50 mm yang diperkuat dengann mur. Jumlah gigi perontok 56 buah. Diameter poros perontok 25 mm, pada kedua ujung poros diberi bantalan ball bearing yang posisinya didudukan pada kerangka utama. Perawatan power thresher dilakukan tiap dua kali setahun dengan melakukan pergantian silinder perontok. Silinder perontok dapat dilihat pada Gambar 20a. (a) (b) Gambar 20. (a) Silinder Perontok Power Thresher dan (b) Jaringan Perontok d. Dalam ruang silinder terdapat jaringan perontok, plat pendorong jerami, dan sirip yang berfungsi membawa jerami ke pintu pengeluaran. Sirip pembawa terletak di bagian atas silinder perontok yang menempel pada tutup atas perontok. Sirip ini mengarah ke pintu pengeluaran n jerami di bagian belakang mesin perontok yang terbuatt dari plat lembaran dengan tebal 2 mm. Jaringan perontok terletak di bagian bawah silinder perontok yang berfungsi untuk memisahkan jerami dengann gabah (Gambar 20b) ). Jaringan ini terbuatt dari kawat baja berdiameter 6 mmm bersusun menjajar dan membentuk lengkungan, jarak antar kawat baja adalah 20 mm dan jarak antara ujung gigi perontok dengann kawat baja yaitu 60 mm. Plat pendorong jerami terpasang pada silinder perontok yang tidak terpasang gigi perontok. Bagian ini terbuat dari besi plat setebal 3 mm dengan dimensi 16 cm x 9 cm. e. Kipas angin terbuat dari plastik dengan jumlah propeler 7 buah. f. Unit transmisi tenaga, menggunakan puli dan V-belt dari motor penggerak ke silinder perontok dan kipas angin. Kecepatan putaran silinder perontok untuk merontokan padi adalah 600 rpm. 34

g. Menggunakan motor bensin dengan konsumsi bahan bakar 2,5 liter/ton gabah. Spesifikasi power thresher lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4c. Modifikasi yang dilakukan Gapoktan pada power thresher dari pemerintah yaitu: a. Silinder perontok lebih panjang. b. Diameter jaringann perontok lebih besar sehingga gabah yang telah terontok akan cepat turun. c. Bentuk lebih kecil karena ukuran tubuh lebih kecil. d. Bobot lebih berat karena bahan yang digunakan lebih tebal. C. Analisis Susut Perontokan Perontokan yang dilakukan pada saat penghitungan susut sesuai dengan kebiasaan petani di Desa Kutagandok dalam merontokkan gabahnya. Jumlah pukulan yang disarankan oleh Departemen Pertanian adalah sebanyak 10-12 kali. Namun, pada saat pengambilan data susut perontokan menggunakan alat gebot, tanaman padi dipukulkan pada meja perontok sebanyak 6-10 kali yang sesuai dengan kebiasaan petani di daerah tersebut. Sementaraa itu, Gapoktan Mekar Tani tidak pernah menggunakan pedal thresher, sehingga pada saat pengambilan data, petani kurang mahir dalam menggunakannya. Power thresher biasa digunakan dengan kecepatan 600 rpm dan memerlukan bensin sebagai bahan bakar sebanyak 2.5 liter/ton GKP. Proses perontokan biasa dilakukan sehari setelah pemanenan. Gambar 21. Proses Penempatan Alas Petani di Atas Alas Pengamatan 35

Alas petani yang biasa digunakan di Gapoktan Mekar Tani berukuran 3 m x 3 m dan terbuat dari karung-karung plastik bekas yang disambungkan dengan cara dijahit. Alas pengamatan berupa terpal berukuran 8 m x 8 m yang merupakan bantuan dari pemerintah. Alas pengamatan diletakkan di bawah alas petani yang biasa digunakan, dapat dilihat pada Gambar 21. Cara perontokan berpengaruh pada susut perontokan, baik perontokan secara manual maupun menggunakan engine. Cara manual yaitu menggunakan alat gebot dan pedal thresher. Sedangkan yang menggunakan engine adalah power thresher. Selain dipengaruhi oleh alat/mesin perontok yang digunakan, susut perontokan dipengaruhi juga oleh varietas padi. Tabel 7. Pengaruh Alat/Mesin Perontok terhadap Susut Perontokan pada Beberapa Varietas Padi Alat/Mesin Perontok Susut Perontokan (%) Ciherang Cibogo Hibrida SL 8 SHS Alat Gebot 3.31±0.02 e 4.35±0.12 a 3.98±0.11 c Pedal Thresher 3.28±0.03 e 4.18±0.09 b 3.86±0.06 d Power Thresher 0.49±0.01 h 0.64±0.02 g 1.21±0.01 f - Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 Hasil perhitungan persentase rata-rata susut perontokan dapat dilihat pada Tabel 7 dan untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan tabel ANOVA (analysis of varian) di Lampiran 6 menunjukkan bahwa alat/mesin perontok berpengaruh sangat nyata terhadap susut perontokan (p<0.01). Varietas padi juga berpengaruh sangat nyata terhadap susut perontokan. Pengaruh alat/mesin perontok terhadap susut perontokan pada beberapa varietas padi dapat dilihat pada Gambar 22. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa ketiga alat/mesin perontok memiliki perbedaan nilai susut perontokan secara nyata pada setiap varietas padi. Namun, untuk varietas Ciherang, penggunaan alat gebot tidak berbeda nyata dengan pedal thresher. Penggunaan power thresher pada varietas Ciherang secara nyata memiliki nilai susut perontokan paling rendah (0.49±0.01 %) dibandingkan dengan menggunakan alat gebot (3.31±0.02 %) dan pedal thresher 36

(3.28±0.033 %). Begitu pula dengan varietas Cibogoo dan Hibrida, penggunaan power thresher mampu menekann susut perontokan. Berbeda dengan Listyawati (2007), susut perontokann pada varietas Ciherang sebesar 4.60±0.25 %. Sementara itu, Ditjen P2HP (2008) bekerjasama dengan Pusat Data dan Informasi Pertanian, Setjen Departemen Pertanian, dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkann hasil survei tahun 1995/1996 susut perontokan sebesar 4.78 % dan tahun 2007 sebesar 0.98 %. Adanya perbedaan persentasee susut perontokan kemungkinan terjadi karena adanya perbaikan alat/mesin perontok yang digunakan saat pengukuran, perbedaan cara perontokan, dan perbedaan alas petani yang digunakan pada proses perontokan. Dalam perontokan menggunakan power thresher, varietas padi Ciherang memiliki susut perontokan paling rendah (0.49±0.01 %) dibandingkan dengan varietas padi Hibrida (1.21±0.01 %) dan Cibogo (0.64±0.02 %). Dari ketiga varietas yang diuji, varietas Ciherang secara nyata mampu menekan susut perontokan. Pengujian lanjut secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7. SusutPerontokan (%) 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 Alat Gebot Pedal Thresher Power Thresherr 1.0 0.0 Ciherang Cibogo Varietas Padi Hibrida SL 8 SHSS Gambar 22. Grafik Pengaruh Alat/Mesin Perontok terhadap Susut Perontokann pada Beberapa Varietas Padi Cara perontokan dengan menggunakan pedal thresherr memiliki susut perontokan tidak berbeda nyataa dengan alat gebot. Sistem perontokan dengan 37

menggunakan pedal thresher mulai ditinggalkan karena kapasitas produksinya hampir sama dengan cara dibanting atau digebot (Herawati, 2008). Selain itu, petani mengalami kesulitan dalam penggunaan pedal thresher sehingga efisiensi waktu perontokan menjadi lebih rendah daripada alat gebot. Dalam pelaksanaan di lapangan, penggunaan pedal thresher masih belum optimal untuk dapat diaplikasikan terutama dengan keterkaitan perbandingan antara kemampuan serta daya kayuh alat. Dapat dilihat pada spesifikasi alat dan mesin perontok, pedal thresher memiliki bobot yang rendah sehingga tidak dapat berdiri kokoh ketika pedal dioperasikan. Modifikasi alat pedal thresher sering dilakukan tetapi kurang sesuai dengan faktor ergonomi bagi penggunanya. Hal ini akan mengakibatkan alat yang digunakan kurang maksimal dalam pengaplikasiannya di lapangan. Pada akhirnya para petani lebih memilih menggunakan alat gebot daripada menggunakan pedal thresher. Faktor-faktor penyebab susut perontokan padi yaitu gabah terlempar ke luar alas petani, gabah yang masih melekat pada jerami atau gabah tidak terontok, dan gabah terbawa kotoran. Penjumlahan ketiga persentase tersebut merupakan persentase susut perontokan yang terjadi. 1. Gabah Terlempar ke Luar Alas Petani (T 1 ) Hasil perontokan padi menggunakan alat/mesin perontok akan terkumpul di alas petani. Namun, terdapat butiran-butiran gabah yang tidak tertampung di alas petani yang digunakan. Hal ini menunjukkan adanya kehilangan hasil yang dapat menurunkan rendemen perontokan. Persentase gabah terlempar ke luar alas petani dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Persentase Gabah Terlempar ke Luar Alas Petani Gabah Terlempar (%) Alat/Mesin Perontok Ciherang Cibogo Hibrida SL 8 SHS Rata-rata Alat Gebot 1.79 1.77 2.63 2.07 Pedal Thresher 0.39 0.15 0.15 0.22 Power Thresher 0.16 0.33 0.21 0.23 38

Berdasarkan Tabel 8, perontokan menggunakan alat gebot memiliki persentase gabah terlempar yang lebih tinggi (2.07 %) dibandingkan dengan pedal thresher (0.22 %) dan power thresher (0.23 %). Tingginya persentase gabah terlempar pada penggunaan alat gebot disebabkan oleh adanya ayunan segenggam padi saat dipukulkan ke meja perontok. Berbeda hal dengan pedal thresher dan power thresher, gabah terlempar ke luar alas petani disebabkan oleh adanya putaran silinder perontok. Power thresher memiliki persentase gabah terlempar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pedal thresher karena silinder perontok power thresher berputar dengan menggunakan enjin. Kecepatan putar kipas pendorong gabah pada power thresher juga mempengaruhi terlemparnya gabah ke luar alas petani. Semakin tinggi kecepatan putar kipas pendorong gabah, semakin banyak jumlah gabah yang terlempar. Persentase rata-rata kehilangan hasil akibat terlemparnya gabah ke luar alas petani setara dengan 139.56 kg/ha apabila menggunakan alat gebot, dan apabila menggunakan pedal thresher dan power thresher secara berturut-turut sebesar 14.60 kg/ha dan 17.47 kg/ha. Berbeda dengan hasil penelitian Listyawati (2007), mengatakan bahwa perontokan dengan menggunakan alat gebot setara dengan kehilangan hasil sebesar 160 kg/ha. Hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya perbedaan spesifikasi dari alat gebot dan kemahiran petani dalam merontokkan gabahnya. Persentase tersebut juga dipengaruhi oleh varietas padi. Terlihat pada penggunaan alat gebot, secara berturut-turut varietas padi Ciherang, Cibogo, dan Hibrida yaitu 1.79 %, 1.77 %, dan 2.63 %. Varietas Hibrida memiliki persentase yang lebih tinggi daripada kedua varietas lainnya. Hal ini disebabkan varietas Hibrida memiliki berat seribu butir GKP yang terendah dibandingkan dengan varietas lain. Terbukti dalam pengamatan, ketika segenggam padi Hibrida diayun, banyak gabah yang terlempar ke luar alas petani dan menyebabkan susut perontokan meningkat. Oleh karena itu, diperlukan penggunaan terpal dengan spesifikasi yang sesuai sebagai pengganti alas petani dalam proses perontokan. Penggunaan alas terpal selama perontokan bertujuan agar gabah yang sudah dirontokkan mudah untuk dikumpulkan kembali (Rokhani, 2007). 39

2. Gabah Tidak Terontok (T 2 ) Salah satu penghitungan susut perontokan yaitu gabah yang masih melekat pada jerami atau gabah tidak terontok. Hal ini terjadi pada seluruh alat/mesin perontok yang digunakan. Jumlah pukulan tanaman padi ke meja perontok pada alat gebot tidak sesuai dengan yang disarankan oleh Departemen Pertanian. Sementara itu, pada pedal thresher, daya kayuh rendah dan kurangnya waktu pengumpanan tanaman padi ke gigi perontok. Sedangkan pada power thresher, gabah terbawa jerami keluar melalui pintu pengeluaran jerami karena kecepatan putar kipas pendorong jerami terlalu tinggi dan ayakan untuk memisahkan antara jerami dan gabah kurang baik. Gambar 23. Pengasak atau Pengeprik Hasil Perontokan Menggunakan Power Thresher Dengan adanya gabah tidak terontok menyebabkan banyak orang menjadi pengasak atau pengeprik. Pengasak adalah orang di luar tenaga pemanen yang pekerjaannya mengumpulkan gabah, malai yang tercecer, padi tidak terpotong, atau gabah tidak terontok untuk dirinya sendiri setelah pemanenan atau perontokan selesai (Setyono, 2006). Pengasak atau pengeprik dapat dilihat pada Gambar 23. Hal ini mengakibatkan tenaga perontok dengan sengaja tidak merontokkan gabah secara maksimal sehingga hasil yang didapat oleh pengasak atau pengeprik lebih banyak. Persentase gabah tidak terontok dapat dilihat pada Tabel 9 atau Gambar 24. 40

Tabel 9. Persentase Gabah Tidak Terontok Alat/Mesin Perontok Gabah Tidak Terontok (%) Ciherang Cibogo Hibrida SL 8 SHS Rata-rata Alat Gebot 1.29 2.61 1.38 1.76 Pedal Thresher 2.46 3.75 3.40 3.20 Power Thresher 0.27 0.23 0.96 0.49 Pada penggunaan power thresher, persentase gabah tidak terontok sangatlah rendah yaitu 0.49 %, dibandingkan dengan alat gebot dan pedal thresher secara berturut-turut sebesar 1.76 % dan 3.20 %. Gabah masih banyak melekat pada jerami apabila proses perontokan menggunakan pedal thresher. Walaupun alat ini adalah alat perontok semi-mekanis, persentase gabah tidak terontok lebih tinggi daripada perontokan dengan menggunakan alat gebot. Berbeda dengan Rachmat et al. (1993), persentase gabah tidak terontok pada alat gebot, pedal thresher, dan power thresher secara berturut-turut yaitu 2.84 %, 1.54 %, dan 0.65 %. Menurutnya, persentase gabah tidak terontok menggunakan pedal thresher lebih rendah daripada persentase gabah tidak terontok menggunakan alat gebot. Perbedaan persentase gabah tidak terontok ini dapat terjadi karena pada saat penelitian petani lebih mahir menggunakan alat gebot dibandingkan pedal thresher, pedal mudah rusak, konstruksi injakan atau pedal tidak ergonomis, dan konstruksi tubuh dari pedal thresher kurang kokoh akibatnya sering terjungkal karena posisinya yang tidak seimbang ketika dioperasikan. Tanaman padi yang dirontok menggunakan power thresher menghasilkan gabah yang terontok sempurna. Namun, masih ada gabah yang melekat pada jerami akibat ayakan pemisah jerami dan gabah kurang baik atau karena gabah terbawa oleh hembusan kipas pendorong jerami keluar. Varietas padi juga mempengaruhi persentase gabah tidak terontok. Persentase gabah tidak terontok rata-rata varietas Ciherang, Cibogo, dan Hibrida secara berturut-turut yaitu 1.34 %, 2.19 %, dan 1.91 %. Varietas Ciherang memiliki persentase yang terendah dibandingkan dengan varietas lainnya. Banyak gabah varietas Cibogo yang masih melekat pada jerami karena varietas Cibogo 41

memiliki karakteristikk kerontokan agak tahan atau agak sukar untuk dirontokkan. Sedangkann varietas padi Ciherang dan Hibrida memiliki karakteristik kerontokan sedang atau agak mudah untuk dirontokkan. Gabah Tidak Terontok (%) 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 Alat Gebot Pedal Thresher Power Thresher 0.0 Ciherang Cibogo Varietas Padi Hibrida SL 8 SHS Gambar 24. Grafik Persentase Gabah Tidak Terontok Berdasarkan Gambar 24, diagram batang untuk power thresher menunjukkan bahwaa varietas padi Hibrida memiliki persentase gabah tidak terontok tertinggi, dan Cibogo memiliki persentase gabah tidak terontok terendah. Dengan demikian, bobot seribu butir GKP dari tiap varietas padi menjadi pengaruh terbawanyaa gabah ke jerami sehingga terjadi kehilangann hasil. Semakin berat bobot seribu butir GKP, semakin mudah gabah terbawa jerami akibat hembusan kipas. Dari analisis karakteristik tanaman padi, berat seribu butir GKP varietas Ciherang, Cibogo, dan Hibrida secara berturut-turut yaitu 29,67 g, 30,43 g, dan 28,63 g. Varietas Cibogo memiliki bobot paling berat sehingga tidak mudah terbawa oleh hembusan kipas, sedangkan varietas Hibrida memiliki bobot paling ringan diantara kedua varietas padi lainnya. Dalam penggunaan power thresher, terbukti pada persentase gabah tidak terontok terendah adalah varietas padi Cibogo karenaa memiliki bobot paling berat sehingga tidak mudah terbawa hembusan kipas pendorong jerami. Apabila persentase gabah tidak terontok dikonversikan dengan rendemen perontokan, akan diperoleh angka kehilangan hasil atau perolehan pengeprik atau 42

pengasak. Dalam susut perontokan, pengeprik atau pengasak dapat memperoleh gabah sebanyak 118.32 kg/ha apabila menggunakan alat gebot, 218.95 kg/ha menggunakan pedal thresher, dan 37.56 kg/ha menggunakan power thresher. Sedangkan Listyawati (2007) melakukan penghitungan gabah yang tidak terontok setara dengan kehilangan sebesar 320 kg/ha. Perbedaan tersebut mungkin terjadi akibat adanya perbaikan alat/mesin perontok. Kehilangan hasil tersebut seharusnya dapat ditekan sehingga para petani memperoleh hasil panen yang maksimum. 3. Gabah Terbawa Kotoran (T 3 ) Gabah terbawa kotoran adalah gabah yang bercampur dengan tanah atau yang tersangkut di alat/mesin perontok. Pada umumnya, para petani tidak melakukan pembersihan alat/mesin perontok setelah proses perontokan selesai. Gabah yang terbawa kotoran dibiarkan oleh petani karena jumlahnya hanya sedikit. Namun, apabila dikumpulkan dapat meningkatkan susut perontokan. Persentase gabah terbawa kotoran dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Persentase Gabah Terbawa Kotoran Alat/Mesin Perontok Gabah di Kotoran (%) Ciherang Cibogo Hibrida SL 8 SHS Rata-rata Alat Gebot 0.28 0.06 0.03 0.13 Pedal Thresher 0.47 0.30 0.34 0.37 Power Thresher 0.06 0.07 0.04 0.06 Berdasarkan Tabel 10, perontokan menggunakan power thresher memiliki persentase gabah terbawa kotoran paling rendah (0.06 %) dibandingkan menggunakan alat gebot (0.13 %) dan pedal thresher (0.37 %). Tingginya persentase pada pedal thresher disebabkan karena konstruksi silinder perontok kurang baik. Jerami hasil perontokan banyak yang tersangkut di silinder perontok sehingga beberapa butir gabah terjebak di dalamnya. Hal ini dapat meningkatkan susut perontokan apabila tidak dilakukan pembersihan alat/mesin perontok setelah proses perontokan selesai. Sedangkan varietas padi tidak mempengaruhi persentase gabah terbawa kotoran. 43

D. Rendemen Perontokan Para petani mengharapkan rendemen perontokan yang tinggi. Rendemen perontokan yang dihasilkan tiap petani berbeda-beda sesuai dengan alat/mesin perontok yang digunakan. Susut perontokan mempengaruhi rendemen GKP. Semakin rendah susut perontokan, semakin tinggi rendemen GKP yang diperoleh, dan begitu sebaliknya. Rendemen perontokan menggunakan cara yang menggunakan engine akan lebih tinggi daripada cara manual, karena susut perontokan yang dihasilkan sangat rendah. Harapan petani untuk mendapat rendemen perontokan yang tinggi akan diperoleh dengan merontokkan gabahnya dengan menggunakan power thresher. Persentase rendemen perontokan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Persentase Rendemen Perontokan apabila Menggunakan Alat/Mesin Perontok pada Beberapa Varietas Padi Alat/Mesin Perontok Rendemen Perontokan (ton/ha) Ciherang Cibogo Hibrida SL 8 SHS Rata-rata Alat Gebot 6.52 6.98 6.30 6.60 Pedal Thresher 6.47 7.24 6.10 6.61 Power Thresher 6.64 8.26 7.82 7.57 Apabila susut perontokan dikonversikan dengan rendemen perontokan yang dihasilkan, akan diperoleh angka kehilangan hasil dan rendemen perontokan yang seharusnya dapat diterima oleh para petani. Kehilangan hasil yang terjadi pada saat perontokan dengan menggunakan alat gebot, pedal thresher, dan power thresher secara berturut-turut yaitu 266.24 kg/ha, 258.95 kg/ha, dan 59.75 kg/ha. Apabila tidak terjadi susut perontokan, petani dapat memperoleh rendemen perontokan dengan menggunakan alat gebot, pedal thresher, dan power thresher secara berturut-turut sebesar 6.89 ton/ha, 6.87 ton/ha, dan 7.64 ton/ha. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. E. Analisis Keretakan Butiran Gabah Hasil perontokan yang diharapkan oleh petani yaitu memperoleh gabah sebanyak-banyaknya dan tanpa mengalami kerusakan. Kerusakan utama dalam 44

proses perontokan yaitu pecah atau terkelupasnya kulit gabah (cracking atau breaking). Kerusakan akibat perontokan akan menurunkan rendemen penggilingan sehingga akan menghasilkan beras patah dan menir. Penggunaan alat/mesin perontok merupakan faktor penyebab terjadinya kerusakan. Selain itu, faktor penyebab lain kerusakan yaitu kadar air gabah. Pada saat perontokan, kadar air gabah harus di bawah 20 %. Kadar air setiap proses pascapanen dapat dilihat pada Lampiran 9. Pada setiap proses pascapanen terjadi penurunan kadar air (Lampiran 10). Uji keretakan butiran gabah dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, Karawang menggunakan alat khusus pengujian keretakan. Sampel yang digunakan adalah hasil perontokan menggunakan alat gebot, pedal thresher, dan power thresher pada beberapa varietas padi yaitu Ciherang, Cibogo, dan Hibrida. Gabah hasil perontokan dipisahkan dari kotoran dan jerami, kemudian disusun pada meja pengamatan sebanyak 100 butir. Uji keretakan butiran gabah dapat dilihat pada Lampiran 11. Tabel 12. Persentase Keretakan Butiran Gabah apabila Menggunakan Alat/Mesin Perontok pada Beberapa Varietas Padi Alat/Mesin Perontok Keretakan (%) Ciherang Cibogo Hibrida SL 8 SHS Rata-rata Alat Gebot 6.7 9.0 5.7 7.1 Pedal Thresher 4.0 7.0 5.0 5.3 Power Thresher 3.7 5.3 4.0 4.3 Rata-rata 4.8 7.1 4.9 Berdasarkan tabel ANOVA (Lampiran 12) dapat dilihat bahwa alat/mesin perontok berpengaruh sangat nyata terhadap keretakan butiran gabah (p<0.01). Pada Tabel 12 menunjukkan bahwa persentase rata-rata keretakan butiran gabah paling rendah adalah perontokan menggunakan power thresher (4.3 %) dibandingkan dengan menggunakan alat gebot (7.1 %) dan pedal thresher (5.3 %). Varietas Cibogo memiliki persentase keretakan butiran gabah paling tinggi (7.1 %) dibandingkan dengan varietas Ciherang (4.8 %) dan Hibrida 45

(4.9 %). Sementara itu, Sulistiadi (1980) mengatakan bahwa keretakan gabah apabila menggunakann iles dan banting sebesar 6.3 % dan power thresher sebesar 7.5 %. Dari hasil uji lanjut (Lampiran 13) dapat diketahui bahwa setiap alat/mesin perontok menunjukkan tidak berbeda nyataa pada varietas Hibrida dan Ciherang. Sedangkan untuk varietas Cibogo, perontokan menggunakann alat gebot berbeda nyata dengan power thresher. Varietas padi juga mempengaruhi keretakan butiran gabah pada saat perontokan. Namun, uji lanjut juga menunjukkan setiap varietas yang diuji tidak berbeda nyata terhadap persentase keretakan butiran gabah. Melalui hasil uji kombinasi pada Tabel 13, dapat dilihat bahwa varietas Ciherang yang dirontok menggunakan power thresher memiliki persentase keretakan paling rendah yaitu sebesar 3.7± ±1.15 %. Sedangkan persentase paling tinggi adalah varietas Cibogo yang dirontok menggunakan alat gebot sebesar 9.0±0.00 %. Pengaruh alat dan mesin perontok terhadap keretakan pada beberapa varietas padi dapat dilihat pada Gambar 25. Keretakan (%) 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Ciherang Cibogo Alat Gebot Pedal Thresher Power Thresher Hibrida SL 8 SHS Varietas Padi Gambar 25. Pengaruh Alat/Mesin Perontok terhadap Keretakan Gabah pada Beberapa Varietas Padi Perontokan dengan digebot menghasilka an banyak gabah yang mengalami kerusakan (damage). Adanya bantingan atau pukulan tanamann padi 46

menyebabkan terjadinya kerusakan pada gabah berupa keretakan. Nilai persentase keretakan gabah paling rendah terdapat pada cara perontokan dengan menggunakan power thresher. Dengan demikian, power thresher secara nyata mampu menekan keretakan butiran gabah saat proses perontokan. Apabila perontokan menggunakan power thresher, kecepatan silinder perontok mempengaruhi keretakan butiran gabah, semakin tinggi kecepatannya semakin tinggi pula keretakan gabah yang terjadi. Selain benturan dengan alat/mesin perontok, faktor keretakan gabah dipengaruhi oleh karakteristik fisik, mutu, dan kandungan air dalam gabah (Sulistiadi, 1980). Perlakuan Tabel 13. Pengaruh Alat/Mesin Perontok terhadap Beberapa Parameter Susut Perontokan (%) Keretakan Butiran Gabah (%) Kapasitas Perontokan (kg/jam) Ciherang Alat Gebot 3.31±0.02 e 6.7±1.15 abc 57.37 Pedal Thresher 3.28±0.03 e 4.0±0.00 bc 84.96 Power Thresher 0.49±0.01 h 3.7±1.15 c 708.00 Cibogo Alat Gebot 4.35±0.12 a 9.0±0.00 a 62.22 Pedal Thresher 4.18±0.09 b 7.0±0.00 ab 113.00 Power Thresher 0.64±0.02 g 5.3±2.89 bc 838.00 Hibrida SL 8 SHS Alat Gebot 3.98±0.11 c 5.7±3.21 bc 54.69 Pedal Thresher 3.86±0.06 d 5.0±1.00 bc 103.11 Power Thresher 1.21±0.01 f 4.0±1.73 bc 773.00 - Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 F. Analisis Pemutuan Gabah Analisis pemutuan gabah dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan alat/mesin perontok terhadap kualitas gabah pada beberapa varietas padi. Standar mutu gabah meliputi persyaratan kualitatif yang dinilai secara 47

subjektif dan persyaratan kuantitatif yang dinilai secara objektif. Dalam analisa persyaratan kuantitatif, sampel gabah harus memiliki kadar air antara 13-15 %. Sebelum dilakukan pemutuan gabah, sampel gabah diaduk menggunakan homogenizer sample. Hal ini bertujuan agar data yang diambil pada saat pemutuan diperoleh secara acak dan rata. Komponen mutu yang dianalisis pada sampel gabah yaitu butir kuning/rusak, butir hijau/mengapur, butir merah, dan benda asing. Sampel pemutuan gabah dapat dilihat pada Gambar 26. Gambar 26. Sampel Pemutuan Gabah Pemutuan gabah dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, Karawang menggunakan alat laboratorium untuk pengamatan. Varietas padi Ciherang, Cibogo, dan Hibrida memiliki mutu yang sesuai dengan persyaratan kualitatif yaitu (1) bebas hama dan penyakit; (2) bebas bau busuk, asam, atau bau lainnya; (3) bebas dari bahan kimia seperti sisa-sisa pupuk, insektisida, fungisida dan bahan kimia lainnya; dan (4) gabah tidak panas yang berarti memiliki kelembaban yang rendah sehingga jamur atau organisme lain tidak dapat hidup. Pada persyaratan kuantitatif, pemutuan gabah dilakukan sesuai dengan Instruksi Kerja BBPP Pascapanen Pertanian. Hasil pemutuan gabah tiap varietas dapat dilihat pada Tabel 14, atau data secara lengkap pada Lampiran 14. Berdasarkan spesifikasi standar mutu gabah yang dikeluarkan oleh SNI 01-0007-1987-0, ketiga varietas yang diujikan belum dapat ditentukan tingkat mutunya secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh adanya persentase yang melebihi nilai maksimum pada penghitungan gabah hampa/kotoran dan butir hijau/mengapur. Dari Tabel 14, apabila mengabaikan persentase gabah 48

hampa/kotoran dan gabah hijau/mengapur, ketiga varietas padi yang diuji memenuhi mutu I gabah, sesuai dengan spesifikasi standar mutu gabah. Tabel 14. Pemutuan Gabah pada Beberapa Varietas Padi Mutu Gabah (%) Varietas Padi Ciherang Cibogo Hibrida SL 8 SHS Kadar Air (GKG) 15.1 13.4 15.53 Gabah Bersih 82.44 90.54 83.53 Benda Asing 0.05 0.07 0.26 Gabah Hampa/Kotoran 5.17 1.29 1.58 Butir Kuning/Rusak 1.23 1.44 1.34 Butir Hijau/Mengapur 11.03 6.59 13.27 Butir Merah 0.07 0.06 - Tingginya persentase gabah hampa/kotoran dan butir hijau/mengapur disebabkan beberapa faktor. Gabah hampa/kotoran banyak ditemukan pada ketiga varietas kemungkinan terjadi karena pemanenan terlalu dini atau kondisi area penumpukan sementara dan area perontokan kurang bersih sehingga terdapat butiran tanah atau kerikil. Sedangkan butir hijau/mengapur kemungkinan disebabkan oleh pemupukan yang berlebihan, jarak tanam tidak tepat, atau pemanenan terlalu dini. Butir mengapur dapat berasal dari biji yang masih muda karena pertumbuhan yang kurang sempurna. Butir mengapur ini dapat juga disebabkan karena adanya faktor genetik (Damardjati dan Purwani, 1991). Adapun beberapa faktor yang menyebabkan butir kuning yaitu disebabkan oleh kondisi gabah yang lembab atau lamanya penundaan proses perontokan setelah proses pemanenan. Butir rusak disebabkan oleh adanya serangan jamur, tingginya kadar air yang terkandung, dan adanya sengatan walang sangit. Butir merah merupakan varietas lain yang tercampur dengan ketiga varietas yang diuji. Benda asing ditemukan karena kondisi area penumpukan sementara dan area perontokan kurang bersih. Gambar analisis pemutuan gabah dapat dilihat pada Lampiran 15. 49

Penggunaan alat/mesin perontok dalam proses perontokan tidak berpengaruh pada mutu gabah beberapa varietas padi. Mutu gabah dipengaruhi oleh varietas padi dan faktor lain. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi mutu gabah yaitu penentuan umur panen, kadar air, dan penanganan pascapanen. Penentuan umur panen sangat penting karena akan mempengaruhi rendemen penggilingan. Penentuan umur panen ditentukan pada karakteristik tanaman padi terutama karakteristik gabah. Pada umumnya, petani Indonesia menetapkan umur panen dengan melihat warna bulir padi. 50