BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perubahan konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H.

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.

Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :)

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara berdasarkan

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tuntutan dari gerakan reformasi tahun 1998 adalah melakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menjamurnya lembaga negara, termasuk keberadaan komisi negara

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. martabat, serta etika dan perilaku hakim. perundang-undangan harus diimplementasikan secara konkret dan konsisten

BAB I PENDAHULUAN. serta berbagai percobaan-percobaan yang diadaptasi oleh negara-negara di

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibentuk maka ditarik tiga. kesimpulan, yakni:

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. 1 Konsekuensi Indonesia

Oleh Eggy Dwikurniawan (Mahasiswa Hukum Universitas Pakuan)

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam BAB VIIA Pasal 22C dan Pasal 22D UUD NRI Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. 3 Dalam tipe pemerintahan seperti

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Komisi Yudisial. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 25 Juni 2008

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai istilah baik rechtsstaat, rule of law, atau etat de droit. 2 Dalam konteks

INDEPENDENSI KOMISI YUDISIAL SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DALAM MEWUJUDKAN CHECKS AND BALANCES SYSTEM DI NEGARA INDONESIA Marsudi Dedi Putra 2

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN UUD 1945 H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DI DALAM PROSES LEGISLASI PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Montisa Mariana, SH.,MH

TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

BAB I PENDAHULUAN. pelaku sepenuhnya dari kedaulatan rakyat Indonesia, Presiden sebagai kepala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada Tahun 2008, Presiden Republik Indonesia dengan kewenangannya

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.4 Metode penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional

BAB XIII AMANDEMEN UNDANG UNDANG DASAR 1945

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan, karena pada satu sisi demokrasi memberikan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA!

BAB 1 PENDAHULUAN. legislatif dengan masyarakat dalam suatu Negara. kebutuhan-kebutuhannya yang vital (Ni matul Huda, 2010: 54).

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1

BAB I PENDAHULUAN. Dasar 1945 (UUD 1945). Sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali. Keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. seperti Perseroan Terbatas. Hal tersebut menjadi alasan dibuatnya Undang-

PENGAWASAN KOMISI YUDISIAL TERHADAP KEHORMATAN KELUHURAN DAN MARTABAT PERILAKU HAKIM BERDASARKAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3

Transparansi dan Akuntabilitas Yudikatif di Indonesia 1. Oleh Mohammad Fajrul Falaakh 2

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1

BAB I PENDAHULUAN. Setiap Negara memiliki tujuannya masing-masing. Tujuan Negara Kesatuan Republik

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan

Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat), dengan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang

KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto

BAB I PENDAHULUAN. dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara senantiasa memiliki seperangkat kaidah yang mengatur susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan kenegaraan untuk menjalankan sistem pemerintahan negara. Dapat dikatakan bahwa tidaklah ada dan tidak pernah ada negara tanpa konstitusi. 1 Keduanya merupakan dua hal yang saling berhubungan seperti dua sisi mata uang koin yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Salah satu agenda reformasi adalah perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan memberikan pengaruh pada perubahan paradigma ketatanegaraan Indonesia adalah pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Pada pasal ini dinyatakan bahwa: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.. Perubahan ini memberikan penegasan yang menunjukkan bahwa demokrasi adalah sebagai paradigma yang tidak berdiri sendiri, tetapi paradigma yang akan dibangun haruslah dikawal sebagai konsolidasi demokrasi yang masih dalam masa transisi yang harus didasarkan pada nilai-nilai hukum. Sehingga produk demokrasi yang lahir dari masa transisi dapat dikontrol secara paradigma hukum sebagaimana Indonesia adalah negara hukum. 1 Kosntitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Lihat Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 29. 1

Transisi demokrasi ditandai dengan terjadinya perubahan konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas bagi kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri dan merdeka. Salah satu bentuk perubahan konstitusi tersebut adalah memberikan jaminan kemandirian bagi kekuasaan kehakiman dalam menjalankan wewenangnya untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dalam menegakkan hukum dan keadilan. Paradigma hukum yang dimaksud tersebut ialah paradigma demokrasi yang dibangun berbanding lurus dengan paradigma hukum dan nilai paradigma negara demokrasi, berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis. Perubahan paradigma ini berimplikasi pada kekuasaan kehakiman, prinsip pembagian kekuasaan, dan check and balances antar kelembagaan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, perubahan tersebut mengubah supremasi parlemen menjadi supremasi hukum, bahwa negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum. Prinsip supremasi hukum dapat dimaknai bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang menjadi unsur landasan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan tata tertib kehidupan manusia pada hakekatnya diatur oleh hukum dan bukan oleh manusia. Dengan demikian, untuk mewujudkan prinsip supremasi hukum, maka salah satu pilar penting dalam negara hukum ialah adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Perubahan konstitusi telah menciptakan suatu sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang akuntabel dengan berdirinya lembaga baru yang bernama Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). Kekuasaan 2

kehakiman setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yang diatur dalam BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman, dibagi menjadi tiga kamar, yaitu Mahkamah Agung (MA), MK, dan KY. Hal ini merupakan sebuah konsekuensi dari reformasi konstitusi yang telah dilakukan, sehingga perubahan ini dianggap menimbulkan suatu polemik mengenai kekuasaan kehakiman. Pembentukan MK dan KY dilihat sebagai konsekuensi politik hukum (legal policy) untuk membangun sistem checks and balances dalam struktur kekuasaan kehakiman. Dalam perspektif lembaga kekuasaan kehakiman, pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh lembaga peradilan harus difungsikan sebagai justice dispenser yang bekerja sesuai dengan prinsip transparancy, fairness, impartiality, independence, dan accountability, sehingga lembaga kekuasaan kehakiman menjadi lembaga penegakan hukum yang berwibawa. Cita-cita untuk menjadikan lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, mandiri dan berwibawa merupakan sebuah permasalahan yang serius. Hal ini dikarenakan oleh, dalam prinsip supremasi konstitusi semua konflik hukum atas penafsiran terhadap norma hukum, baik di lingkungan penyelenggaraan negara maupun yang terjadi di lingkungan masyarakat (peristiwa hukum kongkrit), penyelesaiannya bermuara pada lembaga peradilan, karena lembaga peradilan dianggap sebagai triadic dispute resolution yang memiliki kemampuan inderteminate norm dan judicial discretion. Perubahan dibidang kekuasaan kehakiman dapat dikatakan mengalami perubahan yang cukup drastis setelah amandemen UUD 1945, baik dalam bidang kelembagaan kekuaaan kehakiman maupun fungsi kewenangannya. Pada 3

bidang kelembagaan, lembaga yang diberi wewenang untuk menjalankan kekuasaan kehakiman adalah MA dan MK sebagai lembaga peradilan. Selain itu juga dibentuk lembaga KY yang berada dalam Bab kekuasaan kehakiman, walaupun fungsinya bukan sebagai lembaga peradilan (non judicial), tetapi lembaga itu merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan lembaga kekuasaan kehakiman lainnya. Perubahan terhadap struktur kelembagaan kekuasaan kehakiman dapat dilihat pada bunyi ketentuan Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24B Ayat (1) yang menegaskan bahwa; 2 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (ketentuan Pasal 24 Ayat (2)). Dan, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. (ketentuan Pasal 24B Ayat (1)). Kedua rumusan tersebut diatas telah menjelaskan bahwa perubahan UUD 1945 telah memperkenalkan dua lembaga baru dalam struktur kekuasaan kehakiman yaitu MK dan KY. Rumusan tersebut telah menimbulkan kompleksitas persoalan kelembagaan dalam kekuasaan kehakiman yang membutuhkan penyelesaian agar tidak terjadi persoalan sengketa antar lembaga, 2 Lihat UUD 1945, Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. 4

atau diperlukan penataan kembali kekuasaan antar lembaga kekuasaan kehakiman. Adapun beberapa persoalan yang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman antara lain, pertama, putusan judicial review MK yang membatalkan kewenangan KY untuk mengawasi perilaku hakim, mengecualikan hakim konstitusi dari pengawasan KY serta MK, juga memutuskan menghapuskan kewenangan KY dalam rekruitmen calon hakim yang dilakukan bersama dengan MA. Dalam putusannya, MK juga menyatakan bahwa KY bukan lembaga negara yang secara fungsional setingkat dengan MA dan MK walaupun dimuat dalam satu Bab Kekuasaan Kehakiman 3. Putusan tersebut mengakibatkan kewenangan KY semakin dikerdilkan dalam struktur kekuasaan kehakiman. Kedua, mengenai kewenangan hak uji materiil (judicial review) oleh MK dan MA, yang mana kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 merupakan kewenangan MK, sedangkan pengujian peraturan perundangundangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang merupakan kewenangan MA. Permasalahan hak uji materiil (judicial review) dipandang perlu untuk dilakukan pengintegrasian pengujian peraturan perundang-undangan di MA dan dialihkan di bawah satu atap oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini penting untuk dilakukan guna menjaga sinergisitas peraturan perundangundangan secara horizontal melalui uji materiil satu atap di MK. Ketiga, kewenangan penyelesaian sengketa Pemilukada, dalam hal ini adalah penentuan mengenai lembaga yang lebih berwenang (tepat) untuk 3 Ni matul Huda, Gagasan Amandemen (ulang) UUD 1945 (Usulan untuk Penguatan DPD dan Kekuasaan Kehakiman), Jurnal Hukum No. 3 Volume Juli, FH. UII, 2008, hlm. 387. 5

diberikan kekuasaan melakukan putusan terhadap sengketa hasil pemilukada. Lembaga yang dimaksud dalam persoalan tersebut adalah MA dan MK. Keempat, persoalan uji materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) oleh MK. Sampai saat ini, persoalan tersebut masih menjadi perdebatan diantara kalangan pakar hukum tata negara, sebab beberapa pendapat menyatakan bahwa uji materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak dapat dilakukan oleh MK sebelum Perppu tersebut mendapat persutujuan dari DPR. Melihat persoalan yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan kekuasaan kehakiman tidak bisa diselesaikan dengan hanya sebatas memberikan respon dengan melakukan perubahan terhadap undang-undang tiap-tiap lembaga tersebut. Tetapi hal itu harus dibenahi melalui desain konstitusionalnya, yaitu UUD 1945 (setelah perubahan). Dalam perspektif ini, maka kekuasaan kehakiman merupakan elemen penting dalam prinsip negara hukum. Sehingga pembahasan mengenai kekuasaan kehakiman masih sangat relevan dan penting serta masih aktual untuk dikaji dalam ketatanegaraan Indonesia. Persoalan kekuasaan kehakiman sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia dianggap tetap aktual dan menjadi bahan perdebatan dikalangan para pakar dan akademisi karena pada lembaga kekuasaan kehakiman tersebut wibawa hukum diuji. Mengamati beberapa persoalan kelembagaan dalam bidang kekuasaan kehakiman tersebut, perubahan terhadap undang-undang (MA, MK, dan KY) bukanlah suatu solusi dari persoalan kekuasaan kehakiman untuk mengatasi 6

carut marutnya penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Demi mengatasi persoalan tersebut, penting untuk dilakukan redistribusi kekuasaan kehakiman di Indonesia melalui desain konstitusionalnya agar prinsip checks and balances dapat terlaksana. Sehingga cita-cita penegakan hukum dan keadilan dapat diwujudkan melalui redistribusi kekuasaan kehakiman secara cermat dan tepat dalam mendesain kekuasaan kehakiman di Indonesia. Oleh karenanya, penulis merasa perlu untuk mengkaji kembali secara mendalam tentang desain kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 (setelah perubahan). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yang akan menjadi pembahasan dalam penulisan ini. Adapun rumusan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah distribusi kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia? 2. Bagaimanakah seharusnya redistribusi kekuasaan kehakiman di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Tujuan Objektif Penelitian ini secara objektif bertujuan untuk: a. Mengetahui dan menganalisis distribusi kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia. 7

b. Mengetahui dan menganalisis redistribusi keuasaan kehakiman yang seharusnya. 2. Tujuan Subjektif Penelitian ini secara subjektif bertujuan untuk memenuhi syarat kelulusan dan syarat akademis untuk memperoleh gelar Magister Hukum, di Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan untuk dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat yang ingin dicapai antara lain sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Dalam lingkup teoritis atau akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, sumbangan pemikiran bagi pengembangan dan pengkajian Ilmu Hukum, khususnya dalam bidang Hukum Tata negara yang berkaitan dengan redistribusi kekuasaan lembaga negara. 2. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan, membantu, dan memberikan acuan bagi para akademisi, peneliti, praktisi hukum, para penegak hukum dan segala pihak yang berkaitan untuk mengetahui pembagian kekuasaan lembaga negara yang seharusnya. 8

E. Keaslian Penelitian Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti terlebih dahulu melakukan penelusuran kepustakaan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, serta melakukan penelusuran dokumen melalui media elektronik, peneliti belum menemukan penelitian yang sama atau identik dengan judul dan variabel penelitian penulis. Berdasarkan hasil penelusuran yang peneliti lakukan, ada beberapa penulisan yang memiliki kaitan, sebagai berikut : 1. Moh. Fajrul Falaakh, dkk, 4 dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dengan judul penelitian dosen : Redistribusi kekuasaan negara dan model hubungan antar lembaga negara dalam UUD 1945 pasca amandemen. Dalam penelitian ini penulis mengambil satu rumusan masalah yaitu: i) Cara pendistribusian kekuasaan negara dan model hubungan antar lembaga negara dalam UUD 1945 pasca amandemen. Adapun kesimpulan dalam penelitian adalah: pertama, Secara mendasar UUD 1945 meninggalkan prinsip supremasi parlemen (daulat parlemen) menuju kepada daulat konstitusi (negara hukum). Kedua, diterapkan prinsip pemisahan kekuasaan dan dilakukan redistribusi kekuasaan serta pembentukan lembaga-lembaga baru. Ketiga, amandemen konstitusi untuk mempertegas sistem 4 Moh. Fajrul Falaakh dkk, 2009, Redistribusi Kekuasaan Negara dan Model Hubungan antar Lembaga Negara dalam UUD 1945 Pasca Amandemen, laporan penelitian, WCRU-HTN Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 9

presidensial tidak tercapai penuh karena UUD 1945 justru menganut pola parlementer dalam hal yang prinsipal yaitu legislasi. Keempat, lembaga-lembaga negara pada dasarnya diletakkan dalam pada kedudukan sejajar (nebengeordnet) sekaligus dalam model hubungan ckecks and balances. 2. Hifdzil Alim 5, penulisan hukum, Program Strata satu (S1), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dengan judul penulisan hukum : Pelaksanaan Checks and Balances antara MA, MK dan KY Pasca Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006. Dalam penelitian ini penulis mengambil dua (2) rumusan masalah yaitu: i) Apa arti independensi, akuntabilitas, dan bagaimana penerapan checks and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, khususnya kekuasaan kehakiman? ii) Menelaah manakah diantara MA, MK, dan KY yang abuse de droit bila dihubungkan dengan indepedensi, akuntabilitas, serta checks and balances dalam ranah kekuasaan kehakiman? Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah: pertama, setiap penyelenggaran kekuasaan negara berhak dijamin kemerdekaan dan kemandiriannya (independensi) untuk menjalankan tugas kenegaraan. Indepedensi diperlukan sebagai modal awal mengefisiensi dan mengefektifkan kerja penyelenggaraan kekuasaan negara. Kedua, dari pembahasan 5 Hifdzil Alim, 2008, Pelaksanaan Checks and Balances antara Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, Penulisan Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 10

mengenai independensi, akuntabilitas, serta checks and balances yang diterapkan di antara MA, MK, dan KY, menyiratkan adanya kebablasan wewenang MK melalui putusannya, yaitu ketentuan tentang lembaga negara yang satu dan diberikan wewenangnya langsung oleh konstitusi dengan salah satu tanda kedudukannya yang mandiri (independen) hanya menjadi pendukung bagi lembaga negara yang lain. 3. Benny K. Harman, 6 penulis buku Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia. Dalam penulisan buku ini, yang menjadi isu utama pembahasannya adalah pengaruh sistem politik terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam praktek ketatanegaraan Indonesia khususnya setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Studi ini didasarkan pada hipotesis bahwa sistem politik atau konfigurasi politik mempengaruhi karakter atau sifat kekuasaan kehakiman. Adapun kesimpulan dalam penulisan ini, bahwa pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam praktek sangat ditentukan oleh konfigurasi atau sistem politik yang diterapkan. Berdasarkan penelusuran tersebut, penelitian yang akan dilakukan oleh penulis memiliki perbedaan yang cukup mendasar atau spesifik dengan penelitian terdahulu. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ialah: pertama, pada penelitian pertama lebih menitikberatkan pada redistribusi kekuasaan negara antara eksekutif, legislatif dan yudikatif serta model 6 Benny K. Harman, 1997, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, ELSAM, Jakarta. 11

hubungannya dalam sistem pemerintahan Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Kedua, penelitian kedua lebih menfokuskan pada prinsip checks and balances antara ketiga kekuasaan kehakiman yaitu MA, MK, dan KY, yang menitikberatkan pada hubungan independensi kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan kewenangannya. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Benny K. Harman, fokus pembahsannya lebih menitikberatkan pada pengaruh sistem politik atau konfigurasi politik dalam praktek pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Jadi, penelitian yang akan dilakukan oleh penulis memiliki perbedaan baik secara subjek maupun objek penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan serta dijamin keasliannya. Permasalahan yang akan dikaji oleh penulis dalam penelitian ini sesuai dengan judul penelitian, yaitu REDISTRIBUSI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. Penulis meyakini bahwa penelitian yang dilakukan ini bukan merupakan hasil plagiasi. Apabila dikemudian hari ditemukan penelitian yang serupa, diharapkan bahwa penelitian tersebut dapat saling melengkapi dengan penelitian-penelitian sebelumnya. 12