KASUS KELAINAN REFRAKSI TAK TERKOREKSI PENUH DI RS DR. KARIADI PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2003

dokumen-dokumen yang mirip
Copyright 2005 by Medical Faculty of Diponegoro University ARTIKEL ASLI

PREVALENSI KELAINAN REFRAKSI DI POLIKLINIK MATA RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh: ZAMILAH ASRUL

BAB I PENDAHULUAN. Miopia dapat terjadi karena ukuran aksis bola mata relatif panjang dan disebut

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar miopia berkembang pada anak usia sekolah 1 dan akan stabil

ABSTRAK GAMBARAN KELAINAN REFRAKSI ANAK USIA 6-15 TAHUN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012

KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK DI BLU RSU PROF. Dr. R.D. KANDOU

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dijumpai di tempat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous. refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan

KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN MIOPIA TERHADAP PRESTASI BELAJAR PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

PERBEDAAN PENGLIHATAN STEREOSKOPIS PADA PENDERITA MIOPIA RINGAN, SEDANG, DAN BERAT LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dokter (Harsono, 2005). Nyeri kepala dideskripsikan sebagai rasa sakit atau rasa

BAB I PENDAHULUAN. Penglihatan yang kabur atau penurunan penglihatan. adalah keluhan utama yang terdapat pada penderitapenderita

BAB 1 : PENDAHULUAN. berbagai informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang berasal dari jarak tak

BAB I PENDAHULUAN. Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang

GAMBARAN DESKRIPTIF PASIEN KELAINAN REFRAKSI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA PERIODE JANUARI- JUNI 2015 SKRIPSI

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TENTANG FAKTOR RISIKO PENYAKIT SEREBROVASKULAR TERHADAP KEJADIAN STROKE ISKEMIK ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Hubungan Gaya Hidup dengan Miopia Pada Mahasiswa Fakultas. Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Miopia (nearsightedness) adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

BAB I PENDAHULUAN. dengan satu mata. Ruang pandang penglihatan yang lebih luas, visus mata yang

O P T I K dan REFRAKSI. SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD Dr.Soebandi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi tugas dan Melengkapi syarat dalam menempuh Program Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran

Keluhan Mata Silau pada Penderita Astigmatisma Dibandingkan dengan Miopia. Ambient Lighting on Astigmatisma Compared by Miopia Sufferer

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. 16

Abstrak Kata kunci: Retinopati Diabetik, Laser Fotokoagulasi, Injeksi Intravitreal Anti VEGF.

BAB I PENDAHULUAN. hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat keduaduanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Mata adalah panca indera penting yang perlu. pemeriksaan dan perawatan secara teratur.

BAB I PENDAHULUAN. pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi

CLINICAL SCIENCE SESSION MIOPIA. Preseptor : Erwin Iskandar, dr., SpM(K)., Mkes.

HANG TUAH MEDICAL JOURNAL

Hubungan Usia dan Jenis Kelamin dengan Derajat Kelainan Refraksi pada Anak di RS Mata Cicendo Bandung

BAB III METODE PENELITIAN

FAKTOR RISIKO MIOPIA PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO ANGKATAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dimana tidak ditemukannya kelainan refraksi disebut emetropia. (Riordan-Eva,

PREVALENSI DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN PERIODE JANUARI 2009-DESEMBER 2009

BAB I PENDAHULUAN. Mata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia. Melalui mata

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DENGUE HAEMORRAGIC FEVER DI RUMAH SAKIT IMMANUEL TAHUN 2011

HUBUNGAN MIOPIA YANG TIDAK DIKOREKSI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA-SISWI KELAS 5-6 DI SDN DHARMAWANITA, MEDAN.

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT ATRIAL SEPTAL DEFECT DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG, PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2009

Berdasarkan tingginya dioptri, miopia dibagi dalam(ilyas,2014).:

BAB 1 PENDAHULUAN. agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Keberhasilan

PREVALENSI TERJADINYA TUBERKULOSIS PADA PASIEN DIABETES MELLITUS (DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

TEKNIK PEMERIKSAAN REFRAKSI SUBYEKTIF MENGGUNAKAN TRIAL FRAME dan TRIAL LENS

Hubungan Kebiasaan Melihat Dekat dengan Miopia pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Sahara Miranda* Elman Boy**

JUMLAH PASIEN MASUK RUANG PERAWATAN INTENSIF BERDASARKAN KRITERIA PRIORITAS MASUK DI RSUP DR KARIADI PERIODE JULI - SEPTEMBER 2014

ABSTRAK PREVALENSI DAN GAMBARAN PASIEN KARSINOMA NASOFARING DI RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG REKAM MEDIS DENGAN KELENGKAPAN PENGISIAN CATATAN KEPERAWATAN JURNAL PENELITIAN MEDIA MEDIKA MUDA

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN KATARAK SENIL DAN KOMPLIKASI KEBUTAAN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2009 DESEMBER 2011

Pengaruh Aktivitas Luar Ruangan Terhadap Prevalensi Myopia. di Desa dan di Kota Usia 9-12 Tahun

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO 2012

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

Tingkat Pengetahuan Pengguna Lensa Kontak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. anak yang kedua orang tuanya menderita miopia. 11,12

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. Kesehatan indera. penglihatan merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Oleh: KHAIRUN NISA BINTI SALEH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penglihatan merupakan indra yang sangat penting dalam menentukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK PREVALENSI TUBERKULOSIS PARU DI RUMAH SAKIT PARU ROTINSULU BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2007

HUBUNGAN ANTARA SIKAP DENGAN PERILAKU ORANGTUA TERHADAP KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK

ANGKA KEMATIAN PASIEN PNEUMONIA DI ICU DAN. HCU RSUP dr. KARIADI

HUBUNGAN LAMA PENGGUNAAN KOMPUTER DENGAN KEJADIAN MIOPIA DI FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI DEPARTEMEN TEKNOLOGI

PREVALENSI NEFROPATI PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE II YANG DIRAWAT INAP DAN RAWAT JALAN DI SUB BAGIAN ENDOKRINOLOGI PENYAKIT DALAM, RSUP H

GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA BERKACAMATA TENTANG KELAINAN REFRAKSI DI SMA NEGERI 3 MEDAN TAHUN Oleh : RAHILA

Angka kejadian ambliopia pada usia sekolah di SD Negeri 6 Manado

PERBANDINGAN KADAR VITAMIN D DARAH PENDERITA MIOPIA DAN NON MIOPIA

ABSTRAK GAMBARAN KELAHIRAN PREMATUR DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2013-DESEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebutaan merupakan suatu masalah kesehatan di dunia, dilaporkan bahwa

PERBEDAAN TAJAM PENGLIHATAN PASCAFAKOEMULSIFIKASI ANTARA PASIEN KATARAK SENILIS EMETROP DAN MIOPIA DERAJAT TINGGI DI RSUD DR.

BAB I PENDAHULUAN. penyakit. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan. telah terjadi katarak senile sebesar 42%, pada kelompok usia 65-74

ABSTRAK PREVALENSI HIPERPLASIA PROSTAT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2004 DESEMBER 2006

PREVALENSI ABORTUS DI RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN Oleh : WONG SAI HO

Bagian Anatomi-Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

REFRAKSI. Oleh : Dr. Agus Supartoto, SpM(K) / dr. R. Haryo Yudono, SpM.MSc

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT KANKER OVARIUM DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2011-DESEMBER 2011

ABSTRAK PREVALENSI KARSINOMA MAMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2008

Pengaruh Pemberian Kacamata Koreksi pada Penderita Miopia terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 34 Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mata merupakan organ penting dalam tubuh kita. Sebagian besar

Tatalaksana Miopia 1. Koreksi Miopia Tinggi dengan Penggunaan Kacamata Penggunaan kacamata untuk pasien miopia tinggi masih sangat penting.

TINJAUAN PUSTAKA. tepat di retina (Mansjoer, 2002). sudah menyatu sebelum sampai ke retina (Schmid, 2010). Titik fokus

HIPERTENSI SKRIPSI. Persyaratan. Diajukan Oleh J

BAB I PENDAHULUAN. Miopia adalah suatu kelainan refraksi karena kemampuan refratif mata

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah mata merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia karena mata

GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA KELAS XII SMA NEGERI 7 MANADO TENTANG KATARAK.

PERBEDAAN DERAJAT DIFERENSIASI ADENOKARSINOMA KOLOREKTAL PADA GOLONGAN USIA MUDA, BAYA, DAN TUA DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PENYAKIT KUSTA DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PERSALINAN DENGAN TINDAKAN SECTIO CAESAREA DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2013

ABSTRAK HUBUNGAN ABORTUS INKOMPLIT DENGAN FAKTOR RISIKO PADA IBU HAMIL DI RUMAH SAKIT PINDAD BANDUNG PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. global yang harus segera ditangani, karena mengabaikan masalah mata dan

Gambaran Karakteristik Penderita Rawat Inap Karsinoma Serviks di RSUD Karawang Periode 1 Januari Desember 2011

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Kemajuan teknologi dan meningkatnya tuntutan. akademis menyebabkan peningkatan frekuensi melihat

Metode. Sampel yang diuji adalah 76 anak astigmatisma positif dengan derajat dan jenis astigmatisma yang tidak ditentukan secara khusus.

Transkripsi:

KASUS KELAINAN REFRAKSI TAK TERKOREKSI PENUH DI RS DR. KARIADI PERIODE 1 JANUARI 2002-31 DESEMBER 2003 ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Persyaratan dalam Menempuh Program Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran. Disusun Oleh : WILLY HARTANTO NIM : G2A 001 191 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2006

INCOMPLETE CORRECTED REFRACTION ANOMALY CASE IN DR. KARIADI HOSPITAL JANUARY 1 ST 2002 DECEMBER 31 ST 2003 PERIOD ABSTRACT Willy Hartanto *, Sri Inakawati ** Background : Refraction anomaly or ametrop is a light focusing disorder of eye, which consist of myopia, hypermetrop and astigmatism. Refraction anomaly prevalence is increasing every year. This condition is triggered by early detection by sophisticated medical and visual technologies; and people lifestyle. The purpose of this research was to know incomplete corrected refraction anomaly cases in Dr. Kariadi Hospital in January 1st 2002 December 31st 2003 periods and which age groups have the largest incomplete corrected refraction anomaly cases. Objective : The purpose of this research was to know incomplete corrected refraction anomaly cases in Dr. Kariadi Hospital january 1st 2002 december 31st 2003 period and age group which has the largest incomplete corrected refraction anomaly case. Method : This research was an observational descriptive research with cross sectional study. Subject was selected based on medical record January 1 st 2002- Decenber 31 st 2003 period. The inclusive criterias were: suffers an incomplete corrected refraction anomaly, treated in Dr. Kariadi Hospital, recorded in Dr. Kariadi Hospital January 1 st 2002-Decenber 31 st 2003 period and age 5 40 years old. Result: There are 325 cases of incomplete corrected refraction anomaly case from 1333 refraction anomaly cases in 2002-2003. Conclusion: The largest incomplete corrected refraction anomaly cases are myopia with 58, 15% percentage. Most of incomplete corrected myopia cases don t have complete explanation about another disorder which accompanies it. Keywords : incomplete corrected refraction anomaly, prevalence, myopia * Student of Medical Faculty, Diponegoro University, Semarang ** Lecturer of Eye Department of Medical Faculty, Diponegoro University, Semarang

KASUS KELAINAN REFRAKSI TAK TERKOREKSI PENUH DI RS DR. KARIADI PERIODE 1 JANUARI 2002-31 DESEMBER 2003 ABSTRAK Willy Hartanto *, Sri Inakawati ** Latar Belakang : Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata yang dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan astigmatisma. Angka kejadian kelainan refraksi meningkat terus tiap tahunnya. Hal ini dipicu deteksi dini seiring berkembangnya teknologi kedokteran, makin canggihnya teknologi visual dan gaya hidup masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kasus kelainan refraksi di RSDK periode 2002-2003 dan kelompok umur yang memiliki kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh terbanyak. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh di RSDK periode 2002-2003 dan kelompok umur yang memiliki kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh terbanyak. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan cross sectional. Subyek diambil berdasarkan data rekam medik RSDK periode 1 Januari 2002 31 Desember 2003. Dipilih subyek yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu menderita suatu kelainan refraksi tak terkoreksi penuh, berobat di RS Dr. Kariadi, tercatat di catatan medik RSUP Dr. Kariadi periode 1 Januari 2002 31 Desember 2003 dan berumur 5 40 tahun. Hasil : Didapatkan kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh sebesar 325 kasus dari 1333 kasus kelainan refraksi pada tahun 2002-2003. Simpulan : Kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh terbanyak adalah miopia dengan prosentase 58,15%. Sebagian besar kasus miopia tak terkoreksi penuh tidak memiliki keterangan yang lengkap tentang kelainan lain yang menyertainya. Kata kunci : Kelainan refraksi tak terkoreksi penuh, prevalensi, miopia * Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro ** Staf Pengajar Bagian Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

HALAMAN PENGESAHAN ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH Telah diseminarkan dihadapan penguji, ketua penguji dan dosen pembimbing pada tanggal 3 Febuari 2006, artikel karya tulis ilmiah dari : Nama Mahasiswa : Willy Hartanto NIM : G2A 001 191 Tingkat : Program Pendidikan Sarjana Fakultas : Kedokteran Universitas : Universitas Diponegoro Judul : Kasus Kelainan Refraksi tak Terkoreksi di RS Dr. Kariadi Periode 1 Januari 2002 31 Desember 2003 Bagian : Mata Pembimbing : dr. Sri Inakawati,SpM Dosen Pembimbing Semarang, Febuari 2006 Dosen Penguji dr. Sri Inakawati,SpM dr. Winarto,SpMK,SpM(K) NIP. 140 159 495 NIP. 130 675 157 Ketua Penguji dr. Niken Puruhita,MmedSc NIP. 132 205 005

PENDAHULUAN Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan astigmatisma. 1 Hampir setiap saat kita menjumpai kasus kelainan refraksi di lingkungan kita dan angka ini secara teoritis meningkat terus tiap tahunnya. Di negara maju angka-angka yang menunjukkkan kasus-kasus kelainan refraksi mudah didapatkan, akan tetapi di negara-negara berkembang penelitian tentang kelainan refraksi masih dalam tahap awal. Peningkatan angka kejadian kelainan refraksi ini dipicu oleh deteksi dini kelainan refraksi seiring berkembangnya teknologi kedokteran sehingga kasus yang dulu tidak terdeteksi dapat ditemukan, makin canggihnya teknologi visual yang merangsang penggunaan indera penglihatan terus menerus dan gaya hidup masyarakat yang menuntut penggunaan penglihatan secara terus menerus. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan mata, termasuk keengganan datang memeriksakan diri ke rumah sakit adalah karena ketidaktahuan mereka soal betapa pentingnya mata, sehingga mungkin saja angka kejadian yang ada di rumah sakit tidak mewakili jumlah angka kelainan refraksi yang ada di masyarakat. Selain itu, faktor lain yang berpengaruh, ketidakmampuan untuk membayar biaya pemeriksaan atau operasi, serta ketakutan jika harus menjalani operasi. 2 Faktor-faktor risiko kelainan refraksi ada dalam lingkungan kita. Jika tidak waspada, seseorang bisa terdiagnosis kelainan

refraksi yang cukup berat tanpa dia sadari perjalanan penyakitnya. Ada pula faktor-faktor medis yang dapat mempengaruhi kemampuan penglihatan seperti penyakit-penyakit sistemik, trauma yang menyebabkan lepasnya lensa mata dari penggantungnya atau laserasi kornea dan kelainan-kelainan kongenital. Dari hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran yang dilakukan oleh Depkes di 8 Propinsi ( Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat ) berturut-turut pada tahun anggaran 1993/1994, 1994/1995, 1995/1996, 1996/1997 ditemukan kelainan refraksi sebesar 22,1% dan menempati urutan pertama dalam 10 penyakit mata terbesar di Indonesia. Sedangkan angka kelainan refraksi pada golongan usia sekolah adalah kurang lebih 5%. Kelainan refraksi ini dapat terjadi pada seluruh golongan umur terutama pada golongan anak sekolah yang berumur dari 6 sampai 18 tahun. Pada uji coba di 3 kabupaten di Jawa Barat tahun 1994, ditemukan 3-5% anak sekolah mempunyai tajam penglihatan yang tidak normal. Dan dari hasil penelitian menunjukkan lebih dari separuh mereka yang membutuhkan kacamata ternyata tidak mampu membeli, dikarenakan tidak terjangkaunya harga kacamata. 3 Dengan kemajuan teknologi kedokteran seperti LASIK( laser-assisted insitu keratomileusis ), sebagian besar miopia dan kasus-kasus kelainan refraksi bisa dikoreksi dengan cukup baik. Namum pada beberapa kasus ditemukan keadaan di mana koreksi yang dilakukan tidak sempurna atau tidak bisa dikoreksi sama sekali. Pada kasus-kasus tersebut ditemukan berbagai faktor penyebab, antara lain kelainan yang ditemukan sudah dalam stadium yang berat, akomodasi yang

berlebihan (spasme otot ciliar), kelainan refraksi ganda (menderita dua macam kelainan refraksi yang berbeda), penanganan yang terlambat dan amblyopia. 4 Kelainan refraksi yang tidak dapat dikoreksi dapat menimbulkan problemaproblema seperti kebutaan, gangguan dalam bekerja, gangguan sosial dan problema lainnya sehingga perlu diadakan penelitian untuk mengetahui kasuskasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh dan golongan umur yang rentan. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti mengenai jumlah kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh yang ada di RSDK Semarang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kasus-kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh serta penyebarannya di berbagai tingkatan umur. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi tentang kasus - kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh dan penyebarannya di berbagai tingkatan umur. Melalui hasil penelitian ini pula, diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya dan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang penyebaran angka penderita kelainan refraksi tak terkoreksi penuh dalam berbagai tingkatan umur. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Bagian Rekam Medis unit Rawat Jalan RS Dr Kariadi Semarang, yang dilaksanakan bulan September sampai dengan Oktober 2005. Desain penelitian yang digunakan adalah observasional yang bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional.

Populasi target adalah seluruh pasien dengan kelainan refraksi tak terkoreksi penuh. Sedangkan populasi terjangkau adalah pasien rawat jalan RS Dr. Kariadi dengan kelainan refraksi tak terkoreksi penuh yang tercatat di catatan medis selama periode 2002 sampai 2003. Subyek penelitian diambil dengan kriteria inklusi : menderita suatu kelainan refraksi tak terkoreksi penuh, berobat di unit rawat jalan RS Dr. Kariadi, tercatat di catatan medik RSUP Dr. Kariadi periode 1 Januari 2002 31 Desember 2003 dan berumur di antara 5 40 tahun. Cara kerja penelitian : pada tiap catatan medis yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pencatatan data. Data yang diambil adalah umur, diagnosis, dan derajat berat ringannya penyakit. Dari data yang diambil dibuat tabel untuk menjelaskan secara deskriptif gambaran populasi dari sampel yang didapat. Data yang didapatkan diambil berdasarkan urutan waktu dari 1 Januari 2002 sampai dengan 31 Desember 2003. Data pasien rawat jalan yang kembali ke RSDK untuk pemeriksaan ulang hanya dihitung sekali saja dan dinilai perjalanan penyakitnya apakah tetap memenuhi kriteria inklusi. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan pengambilan data, data yang diperoleh dari periode 1 Januari 2002 sampai dengan 31 Desember 2003 adalah berupa 1310 kasus kelainan refraksi, dengan pembagian 1008 di antaranya merupakan kasus kelainan refraksi yang terkoreksi dan 302 sisanya adalah kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh yang merupakan sampel di dalam penelitian ini. Sehingga

prosentase kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh dibandingkan kelainan refraksi terkoreksi selama periode tahun 2002-2003 adalah : 302 x100% = 23,05% 1310 Dari kasus kelainan refraksi yang didapat dibagi lagi menurut diagnosis dan umur sehingga diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 1. Penyebaran jumlah kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh berdasarkan diagnosis dan tingkatan umur Umur Diagnosis Miopia Miopia Patologis Astigmatisma Miopia Hiperopia Total 1----10 50 9 9 0 68 11--20 55 20 16 5 96 21--30 56 12 16 1 85 31--40 28 10 13 2 53 total 189 51 54 8 302 Tabel 1 menunjukkan bahwa angka kejadian terbesar kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh ada pada kasus yang didiagnosis sebagai miopia dan miopia patologis. Distribusi umur miopia di Amerika Serikat sangat bervariasi, angka terendah ada pada tingkatan umur 5 tahun. Pada anak usia sekolah angka ini

meningkat hingga mencapai 25%-35% populasi dewasa muda dan menurun sedikit di usia 40 tahun ke atas. Sekitar 20% dari usia 65 tahun menderita miopia, angka ini turun drastis hingga 14% pada usia 70 tahun ke atas. Faktor lain yang mempengaruhi distribusi miopia adalah tingkat pendapatan dan pendidikan. Prevalensi miopia lebih tinggi pada orang dengan pendapatan di atas rata-rata dan terdidik. Miopia juga lebih banyak terdapat pada orang-orang yang pekerjaannya memerlukan fokus mata jarak dekat dalam kurun waktu yang lama, seperti pekerjaan yang berhubungan dengan komputer. 5,6 Sekitar sepertiga dari kasus miopia merupakan kasus miopia patologis. Miopia patologis dipercaya bersifat herediter, 10 % kasus sering dijumpai setelah lahir dan 60% sisanya lebih banyak dijumpai pada anak praremaja (6-13 tahun) dan miopia ini cenderung terus bertambah berat seiring waktu. Kondisi ini merupakan miopia yang lebih parah karena berhubungan dengan risiko ablatio retina sehingga berpotensi menyebabkan kebutaan. 7,8 Dari kasus kelainan refraksi tak terkoreksi karena miopia, selanjutnya dibuat pembagian lagi berdasarkan berat ringannya derajat dioptri dan tingkatan umur. Hal yang sama juga dilakukan untuk kasus kelainan refraksi tak terkoreksi karena miopia patologis. Derajat dioptri diklasifikasikan menjadi ringan-sedangberat berdasarkan besarnya derajat dioptri, yaitu kurang dari 3 dioptri adalah ringan, 3-6 dioptri adalah sedang, dan lebih dari 6 dioptri adalah berat. 9

Tabel 2. Penyebaran jumlah kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh dengan diagnosis miopia berdasarkan berat ringannya derajat dioptri dan tingkatan umur Umur Derajat Dioptri Ringan Sedang Berat Total 5----10 29 17 4 50 11--20 30 20 5 55 21--30 25 22 9 56 31--40 16 10 2 28 Total 100 69 20 189 Tabel 2 menunjukkan penyebaran jumlah kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh dengan diagnosis miopia (miopia tak terkoreksi penuh) berdasarkan berat ringannya derajat dioptri dan tingkatan umur. Dari tabel ini dapat dilihat kasus miopia tak terkoreksi terbanyak pada derajat dioptri ringan dan pada golongan umur 11 20. Ini sesuai dengan teori yang menyatakan kasus miopia terbanyak pada golongan umur anak-anak hingga dewasa muda. 5 Keterangan pada tabel 2 selanjutnya dapat diperjelas dengan data kelainan lain yang ditemukan pada kasus oleh miopia tak terkoreksi penuh.

Tabel 3. Kelainan lain yang ditemukan pada pasien dengan miopia tak terkoreksi penuh menurut tingkatan umur Umur Kelainan yang ditemukan Kelainan Retina Kekeruhan Media Refrakta Tanpa Keterangan Total 5----10 11 1 38 50 11--20 13 2 40 55 21--30 9 10 37 56 31--40 6 3 19 28 Total 39 16 134 189 Dari tabel di atas diketahui sebagian besar kasus-kasus miopia tak terkoreksi penuh, tidak memiliki keterangan yang lengkap tentang kelainan lain yang ditemukan pada kasus tersebut. Pada kasus miopia tak terkoreksi penuh, ditemukan beberapa kasus dengan anisometropia di mana terdapat perbedaan kesalahan refraksi antara mata kanan dan kiri lebih dari 3 dioptri. Anisometropia pada usia dini bisa mengakibatkan defisit penglihatan yang ireversibel. 10 Kasus kasus miopia tak terkoreksi penuh ini juga ditemukan adanya kemungkinan gangguan visus disebabkan oleh supresi dan ambliopia ( penurunan visus tanpa dapat dideteksi adanya penyakit organik pada mata ). 11 Dari data di atas juga dapat terlihat bahwa kasus miopia tak terkoreksi yang disertai kelainan retina memiliki prevalensi yang cukup tinggi, ini mungkin disebabkan deteksi kelainan refraksi yang terlambat sehingga pada saat kasus ditemukan telah terjadi kelainan retina yang tidak bisa dikoreksi. Miopia tak terkoreksi penuh yang disertai dengan kekeruhan media refrakta mempunyai prevalensi yang cukup tinggi pada

golongan umur 21 30 tahun. Tidak ditemukan referensi yang mampu mendukung hal ini. Sebab terjadinya miopia secara pasti hingga saat ini masih belum jelas. Teoritis sebagian besar bayi saat lahir mengalami hiperopia ringan, yang secara perlahan berkurang hingga mencapai emetrop dan kadang-kadang miopia. Ini terjadi karena pertumbuhan sumbu bola mata yang relatif stabil hingga umur remaja. 11 Jika pertumbuhan ini terjadi dengan rasio yang tidak normal maka disebut dengan progressive myopia yang bisa menyebabkan perubahan degeneratif pada mata (degenerative myopia). 5 Oleh karena itu pemeriksaan dan pengobatan dini pada anak-anak prasekolah bisa memperbaiki prognosis kelainankelainan yang mengurangi ketajaman penglihatan seseorang. 10 Menurut Eulenberg pada tahun 1996, ada 2 teori yang menyebabkan miopia fungsional. Yang pertama adalah close work theory, yang menyatakan semakin tingginya peradaban memacu kinerja otot ciliar dalam jangka waktu lama sehingga impuls-impuls ke otot ciliar tetap ada meskipun melihat jauh, yang berakibat otot ciliar tidak bisa berelaksasi dari kontraksinya dan pasien menderita miopia. Yang kedua adalah mental strain theory, yang menyatakan miopia fungsional disebabkan seringnya melihat jauh dengan kontraksi tambahan seperti mengerutkan dahi, mengedip dan kontraksi wajah dan mata lainnya. Kontraksi kontraksi ini dilakukan orang ketika melihat obyek yang aneh, baru, dan tidak biasa. Pada tahun 1987 Bullimore and Gilmartin menemukan adanya perbedaan status istirahat pada mata sebelum dan sesudah diberikan perlakuan untuk

menyelesaikan soal-soal aritmatika yang memerlukan cognitive demand yang bervariasi. Mereka menemukan status istirahat setelah perlakuan cenderung ke arah fokus dekat. Sedangkan untuk miopia struktural, Eulenberg menyatakan 3 teori : the heredity theory, the close-work theory dan the nutrition theory. Heredity theory menyatakan miopia pada anak yang terjadi setelah umur 5 atau 6 tahun dikarenakan pertumbuhan berlebihan panjang bola mata dan pertumbuhan ini dipengaruhi oleh faktor genetika. Teori ini paling banyak diterima olah masyarakat. close-work theory menyatakan miopia sering diderita olah orangorang yang melakukan pekerjaan yang merupakan close work. Penelitian yang dilakukan peneliti militer menunjukkan sebagian besar kadet yang diterima di akademi militer dengan penglihatan sempurna menjadi miopia setelah 4 tahun studi. Nutrition theory menyatakan miopia disebabkan pemanjangan bola mata karena peningkatan volume cairan bola mata sehingga dapat dikatakan miopia terjadi karena kekurangan garam dalam cairan bola mata terutama karena malfungsi dari korteks adrenal. 12 Pada tahun 2000 Peter Pullicino menyatakan bahwa teori-teori yang diungkapkan oleh Eulenberg di atas tidak memuaskan karena memiliki terlalu banyak variabel yang tidak bisa dikontrol. 13 SIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh terbanyak ada pada miopia dengan prosentase 58,15%. Data yang didapatkan memberikan gambaran bahwa sebagian besar kasus miopia tak

terkoreksi penuh tidak memiliki keterangan yang lengkap tentang kelainan lain yang menyertainya. SARAN Dilakukan penelitian yang menggunakan sampel yang lebih besar dan variasi umur yang lebih pendek sehingga didapatkan gambaran yang lebih jelas tentang penyebaran kasus kelainan refraksi tak terkoreksi penuh dalam berbagai tingkatan umur. Pemeriksaan yang lebih lengkap pada pasien dengan kelainan refraksi tak terkoreksi penuh untuk mengetahui penyebab pasti dari kelainannya atau kelainan lain yang menyertainya.

DAFTAR PUSTAKA 1. Ilyas,H. Sidarta. Kelainan refraksi dan koreksi penglihatan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2004 2. Thalab, Muhtar I. Mata yang sehat, modal utama melihat dunia. 2004. URL : www.pikiran-rakyat.com/cetak/0104/03/0314.htm Accessed : December 31 st 2005 3. Pedoman pemeliharaan tajam penglihatan, ed. 2. Jakarta : Departemen Kesehatan, 2001 4. Basic and clinical science course, optics, refraction, and contact lenses, section 3. USA : The Foundation of the American Academy of Ophthalmology, 2001 5. Flynn, Risa Palley PhD. Myopia. Available from URL : http://www.healthatoz.com/healthatoz/atoz/ency/myopia.jsp. Accessed : December 31 st 2005 6. Anonim. Refractive Errors. Available from URL : http://www.tsbvi.edu/education/anomalies/refractive.htm. Accessed : December 31 st 2005 7. Prevost, Judy. Myopic Degeneration. Available from URL : http://www.mdsupport.org/library/myopic.html. Accessed : December 31 st 2005 8. Windsor,Richard L; Windsor,Laura K. Understanding Vision Loss from Pathological Myopia. Available from URL : http://www.eyeassociates.com/images/understanding_vision_loss_from_p.htm Accessed : December 31 st 2005 9. RNIB. High Degree Myopia. Last updated: 21/04/2005 17:54. Available from URL : http://www.rnib.org.uk/xpedio/groups/public/documents/publicwebsite/public _rnib003657.hcsp. 23 oktober 2005 Accessed : December 31 st 2005 10. U.S. Preventive Services Task Force. Guide to Clinical Preventive Services, 2nd Edition. Washington, DC: U.S. Department of Health and Human Services, Office of Disease Prevention and Health Promotion, 1996. http://cpmcnet.columbia.edu/texts/gcps/gcps0043.html. Accessed : December 31 st 2005 11. Vaughan D, Asbury T, Riordan-Eva P. Oftalmologi umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika.2000.

12. Eulenberg, Alexander. The case for the preventability of myopia. 1996. Available from URL : http://www.i-see.org/prevent_myopia.htm. Accessed : December 31 st 2005 13. Pullicino, Peter. Myopia: An example of how an uncertain medical theory leads to public ignorance, and industry capitalization. Available from URL : http://www.i-see.org/pullicino.html. Accessed : December 31 st 2005