BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. Sejak Agustus sampai November 2010 terdapat 197 pasien dengan suspek rinitis

TES DIAGNOSTIK (DIAGNOSTIC TEST)

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. belah lintang (cross sectional) untuk mengetahui korelasi antara faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. Dermatitis Kontak Alergika (DKA) merupakan suatu penyakit keradangan

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

4. HASIL PENELITIAN. 35 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah sindroma yang bercirikan defisit neurologis onset akut yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III METODE PENELITIAN. multipara dengan Pap smear sebagai baku emas yang diukur pada waktu yang. bersamaan saat penelitian berlangsung.

BAB I PENDAHULUAN. umum dijumpai diusia tua. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada perempuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KETEPATAN VISUAL ANALOG SCALE TERHADAP PEAK NASAL INSPIRATORY FLOW PADA PENGUKURAN SUMBATAN HIDUNG PENDERITA RINITIS ALERGI PERSISTEN

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

PENGANTAR EPIDEMIOLOGI KLINIK

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian ini melibatkan 61 orang subyek penelitian yang secara klinis diduga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit perlemakan hati non alkohol atau Non-alcoholic Fatty Liver

BAB V PEMBAHASAN. (66,6%), limfosit terdapat di 4 subyek (44,4%) dan monosit terdapat di 3 subyek

BAB 1 PENDAHULUAN. Vaginosis bakterial (VB) adalah suatu keadaan abnormal pada ekosistem

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB VI PEMBAHASAN. pemeriksaan dan cara lahir. Berat lahir pada kelompok kasus (3080,6+ 509,94

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

30/10/2015. Penemuan Penyakit secara Screening - 2. Penemuan Penyakit secara Screening - 3. Penemuan Penyakit secara Screening - 4

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN ASMA BRONKHIAL DI RUANG ANGGREK BOUGENVILLE RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang. menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit. peradangan kulit kronik spesifik yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB I PENDAHULUAN. maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013).

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 65 orang responden pasca stroke iskemik

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Bagian/SMF Obstetri Ginekologi dan poliklinik/bangsal

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik

BAB 1 PENDAHULUAN. kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tempat terjadinya inflamasi primer akut. 3. yang akhirnya dapat menyebabkan apendisitis. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. karena berperan terhadap timbulnya reaksi alergi seperti asma, dermatitis kontak,

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB 4 HASIL. 23 Universitas Indonesia. Gambar 4.1 Sel-sel radang akut di lapisan mukosa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering

BAB I. PENDAHULUAN A.

Transkripsi:

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat ringan, sedang-berat dengan rerata usia subyek 26,6 ± 9,2 tahun, umur terendah 15 dan tertinggi 54 tahun. Kelompok umur terbanyak 15-25 tahun (63,9%), diikuti kelompok umur 26-35 tahun (21,3%). Penelitian di Bandung (2002) melaporkan penderita usia 20-40 tahun sebesar 65,2%. 42 Penelitian di Turki (2009) dan Spanyol (2008) mendapatkan sebagian besar penderita RA berumur 20 tahun, 43,44 sedangkan penelitian di Eropa (2007), onset RA paling sering pada anak, remaja dan dewasa muda, 80% kasus terjadi pada usia 28 tahun. 45 Kecenderungan umur penderita RA pada usia produktif pada penelitian ini dapat dijelaskan bahwa pada umur tersebut lebih banyak berada di lingkungan dengan suhu dan kelembaban yang memungkinkan lebih mudah terpapar alergen seperti lingkungan pekerjaan, area sekolah, ataupun tempat belajar berdebu dengan ventilasi ruangan yang kurang baik. Perempuan lebih banyak (68,9%) dibanding laki-laki (31,1%), dengan perbandingan 2 : 1. Hasil yang sama juga dilaporkan di Palembang (1998) dimana didapatkan wanita sebesar 52,9% dan laki-laki 47,1%. 46 Di Bandung (2002) melaporkan penderita wanita sebanyak 63,5% sedang laki-laki 36,5%. 41 Penelitian di Eropa (2007) mendapatkan angka kejadian yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan. 47 52

Tingkat pendidikan subyek terbanyak adalah S1 (57,4%), sesuai dengan kelompok umur terbanyak pada penelitian ini (15-25 tahun). Tingkat pendidikan SMP (6,6%) secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara hasil true positif/negative dan false positif/negative (p=0,602) dibandingkan kelompok SMP ke atas. BMI sebagaian besar subyek termasuk normoweight (75,4%). Penelitian di Singapura (2004) didapatkan normoweight 54% dan overweight 20,7%. 48 6.2. Karakteristik klinis Keluhan utama penderita terbanyak adalah sumbatan hidung (44,3%), ini sesuai dengan gejala pada RAFL (reaksi alergi fase lambat) yang terjadi karena paparan alergen terus menerus sehingga rinitis alergi menjadi kronis. Sumbatan hidung merupakan gejala yang dominan pada fase lambat oleh karena infiltrasi sel-sel inflamasi (eosinofil dan sel T) pada jaringan, dilatasi vena kapasitansi pada submukosa hidung, peningkatan permeabilitas vaskuler, edema mukosa serta sekresi yang berlebihan. 2,6 Sebagian besar penderita termasuk RA persisten sedang berat (54,1%). Penelitian di Italia pada tahun 2007 mendapatkan RA terbanyak adalah RA persisten sedang berat (63,6%), diikuti RA intermitten sedang berat (17,1%). 49 Penelitian sebelumnya di RSUP Dr. Kariadi tahun 2010 didapatkan manifestasi RA terbanyak adalah RA persisten sedang berat (59,5%). 50 Hal ini menunjukkan bahwa karena terganggu dengan keluhannya penderita berobat ke rumah sakit. 53

Penelitian ini menemukan adanya riwayat alergi keluarga positif pada 47 penderita (77%). Faktor genetik atau adanya riwayat atopik pada keluarga merupakan faktor yang kuat untuk timbulnya gejala alergi. Apabila salah seorang dari orang tua penderita memiliki RA maka faktor risiko terjadinya RA dapat meningkat 50%. 51 Jenis alergen yang sering memberikan hasil skin prick test positif pada penelitian ini adalah mite culture sebanyak 62,3%, house dust dan kecoa masingmasing 41%. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa persistensi gejala RA memiliki hubungan yang signifikan dengan jenis alergen mite culture dan kecoa. 48 Mite dapat berkembang paling baik pada suhu 25ºdengan kelembaban rerata 65-75%. 51 Suhu rerata di Indonesia sekitar 23-30ºC dengan kelembaban cukup tinggi memungkinkan kutu debu rumah (mite culture) dapat berkembang dengan baik. 53 6.2.1. Hasil pengukuran VAS Nilai rerata VAS sebelum tes dekongestan adalah 3,95 ± 1,77 cm, sedangkan setelah tes dekongestan 1,2 ± 1,3 cm. Penurunan nilai rerata VAS setelah dekongestan -2,7 ± 1,7 cm dengan prosentase penurunan 69%. Penelitian di Italia (2008) mendapatkan penurunan nilai rerata VAS setelah tes dekongestan dengan naphazolin masing-masing -3,75 ± 1,09 dan -3,6 ± 0,9 cm. 7,12 Penurunan nilai rerata VAS setelah dekongestan pada penelitian ini lebih rendah, disebabkan perbedaan dekongestan yang digunakan, dimana ephedrine Hcl memiliki efek vasokonstriktor yang lebih lemah dibandingkan naphazolin. 54 54

6.2.2. Hasil pengukuran PNIF Nilai rerata PNIF sebelum tes dekongestan adalah 79,5 ± 32,1 L/mnt, sedangkan setelah tes dekongestan 99,8 ± 38,9 L/mnt. Rerata peningkatan nilai PNIF setelah dekongestan 20,28 ± 24,8 L/mnt dengan prosentase kenaikan 26%. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan sebelumnya yaitu prosentase kenaikan antara 20 40 % setelah tes dekongestan. 55 Relevansi klinis tes dekongestan pada RA adalah untuk membedakan sumbatan hidung oleh karena inflamasi akut yang reversibel dan inflamasi kronik yang ireversibel karena remodeling mukosa hidung, sehingga respon dekongestan minimal atau tidak ada respon sama sekali. 7 Pada penelitian ini subyek penelitian adalah RA persisten sehingga mungkin terjadi kronisitas yang menyebabkan terjadinya remodeling, sehingga perubahan aliran udara pernafasan yang dapat diukur dengan PNIF minimal (27%). 6.3. Analisis uji diagnostik hasil pengukuran VAS Uji diagnostik yang ideal jarang sekali ditemukan, yaitu uji yang memberikan hasil positif pada semua subyek yang sakit dan memberikan hasil negatif pada semua subyek yang tidak sakit, tetapi pada kenyataannya tidak ada uji yang ideal tersebut. 40,56 Uji diagnostik dengan sensitivitas yang tinggi diperlukan untuk mendeteksi adanya suatu penyakit, karena akan semakin banyak kasus dapat terdeteksi dengan uji tersebut. Uji diagnostik dengan spesifisitas yang tinggi digunakan untuk konfirmasi adanya suatu penyakit, karena semakin besar 55

spesifisitas suatu uji diagnostik, lebih besar kemungkinan penderita yang tidak menderita suatu penyakit disingkirkan oleh uji tersebut. 40,56 Skrining biasanya dilakukan untuk mendeteksi penyakit pada subyek yang memiliki faktor risiko, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan agar diagnosis dini dapat ditegakkan. Skrining sumbatan hidung pada RA diperlukan karena gejala tersebut sering dikeluhkan oleh penderita (86%), sering menyebakan komplikasi rhinosinusitis karena tertutupnya osteomeatal complex, terdapat terapi efektif yang dapat merubah perjalanan penyakit dan pengobatan dini memberikan hasil yang lebih baik. 2 Uji diagnostik untuk skrining harus mempunyai sensitivitas yang tinggi meskipun spesifisitasnya sedikit rendah. 41 Hasil pengukuran VAS dibandingkan PNIF didapatkan sensitivitas sebesar 84% (tabel 10), artinya penderita dengan keluhan sumbatan hidung VAS (+), 84% diantaranya menunjukkan hasil PNIF (+). Pada penelitian ini didapatkan false negative sebesar 16% (100%-sensitivitas), berarti 16% diantara subyek yang tidak mengeluh sumbatan hidung sebenarnya terdapat sumbatan hidung. Hal ini dimungkinkan adanya sumbatan hidung ringan, baik karena kelainan anatomis maupun fisiologis yang tidak dikeluhkan penderita. Hasil pengukuran VAS dibandingkan PNIF didapatkan spesifisitas 18% (tabel 10), artinya penderita yang tidak mengeluh sumbatan hidung VAS (-), hanya 18% yang dapat dikonfirmasi dengan PNIF (-). Positive predictive value (PPV) VAS pada penelitian ini 73% artinya probabilitas terdapat sumbatan hidung bila nilai VAS positif adalah 73%, sedangkan negative predictive value (NPV) 56

30% artinya probabilitas tidak terdapat sumbatan hidung bila nilai VAS negatif adalah 30%. 41 Visual analog scale (VAS) merupakan pengukuran subyektif yang sederhana dan dapat dilakukan di semua fasilitas kesehatan. Sensitivitas yang tinggi (84%) memungkinkan VAS dapat digunakan sebagai metode skrining adanya sumbatan hidung. Semakin besar sensitivitas, semakin banyak kasus sumbatan hidung yang dapat terdeteksi dengan VAS, tetapi karena spesifisitasnya rendah (18%), perlu dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan diagnostik lanjutan seperti pengukuran PNIF, rhinomanometri maupun nasoendoskopi. VAS dapat digunakan di daerah yang tidak ada fasilitas pengukuran sumbatan hidung sebagai pemeriksaan awal dengan usaha meningkatkan spesifisitas, yaitu dengan memberikan penjelasan dan latihan pendahuluan kepada penderita sebelum prosedur VAS dilakukan. VAS yang digunakan pada penelitian ini adalah horizontal simple VAS, dimana tidak ditambahkan tanda dan angka pada skala sepanjang 10 cm tersebut sehingga menimbulkan kesulitan bagi penderita untuk mendeskripsikan sumbatan hidung yang dirasakan. VAS dengan tambahan tanda setiap 1 cm dan ditambahkan deskripsi kalimat (horizontal graphic rating scale) akan mempermudah penderita mendeskripkan sumbatan hidungnya, namun penelitian tentang VAS jenis tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia. Hasil dengan sensitivitas yang tinggi dan spesifisitas yang rendah dipengaruhi oleh adanya perbedaan yang diukur oleh VAS dan PNIF pada subyek yang sama. VAS merupakan metode subyektif dengan mengukur sensasi dan 57

persepsi sumbatan hidung oleh penderita, sedangkan PNIF merupakan metode obyektif dengan mengukur volume dan kecepatan aliran udara hidung. Perbedaan tersebut mempengaruhi hasil penelitian sehingga menimbulkan perbedaan sangat lebar antara sensitivitas dan spesifisitas. Uji diagnostik yang dilakukan secara serial (serial diagnostic test) dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. 6.4. Keterbatasan penelitian Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain kurangnya penyeragaman umur dan BMI. Rentang umur pada penelitian ini terlalu lebar yaitu 15-54 tahun, sedangkan BMI penderita sebaiknya dipilih overweight atau normoweight saja untuk menyeragamkan subyek penelitian. 58