BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

Effects of Prenatal Hipoxic-Ischemic On Renal Histopathological image of Rattus. Norvergicus Sprague-dawley Strain

BAB I PENDAHULUAN. Trifosfat (ATP) secara normal. ATP adalah sumber bahan bakar untuk sel agar

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain posttest

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2 Rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4

Pengamatan Histopatologi Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan dan Kondisi Fisik Hewan Coba

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus

BAB 1 PENDAHULUAN (Sari, 2007). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara termasuk

BAB 6 PEMBAHASAN. tingkat waktu kematian terhadap kemampuan pergerakan silia cavitas nasi hewan

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. budaya di dalam masyarakat Indonesia. Sebab, obat-obatan tradisional lebih

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya stres oksidatif pada tikus (Senturk et al., 2001) dan manusia

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Hewan Coba

1. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Tanaman alpukat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PEMBAHASAN. post test only control group design. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

FUNGSI SISTEM GINJAL DALAM HOMEOSTASIS ph

BAB 5 HASIL PENELITIAN

PENGARUH PROTEKTIF PEMBERIAN MADU PERSONDE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL PADA TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI METANOL

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

1 Universitas Kristen Maranatha

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Rhodamine B merupakan zat warna golongan xanthenes dyes. Pewarna

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahan pewarna saat ini memang sudah tidak bisa dipisahkan dari

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian dengan rancangan eksperimental dengan (Post Test Only

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL BAWANG TIWAI TERHADAP HISPATOLOGI GINJAL MENCIT ABSTRACT

S E L. Suhardi, S.Pt.,MP

BAB I PENDAHULUAN. untuk menelitinya lebih jauh adalah Coriolus versicolor.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berkhasiat obat ini adalah Kersen. Di beberapa daerah, seperti di Jakarta, buah ini

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan rancangan eksperimental dengan Post Test Only

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. control group design. Pada jenis penelitian ini, pre-test tidak dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. (FAO, 2003). Penggunaan pestisida dalam mengatasi organisme pengganggu

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Bangsa-bangsa itik lokal yang ada umumnya diberi nama berdasarkan

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil penimbangan berat badan dan pengukuran gula darah tikus model selama penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. banyak digunakan karena bahan ini paling ekonomis, mudah diperoleh dipasaran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari.

TINJAUAN PUSTAKA Persea americana Mill.

BAB IV METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Definisi fisiologi / ilmu faal Manusia sistem organ organ sel Sistem organ

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

FUNGSI PHOSPOR DALAM METABOLISME ATP

MAKALAH REAKSI TUBUH TERHADAP JEJAS SITOHISTOTEKNOLOGI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Rancangan penelitian dalam penelitian ini menggunakan rancangan

Yuni Haryati Sisilia, Novi Febrianti, Risanti Dhaniaputri

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan sumber daya

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

PENDAHULUAN. dibandingkan dengan unggas-unggas lainnya seperti ayam. Fakultas Peternakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. ini ternyata semakin meningkat. Disektor pertanian, herbisida digunakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Muhammadiyah Yogyakarta Unit Gamping. Data dikumpulkan pada bulan

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan post test and controlled group design terhadap hewan uji. Postest untuk

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. beberapa jenis makan yang kita konsumsi, boraks sering digunakan dalam campuran

BAB III METODE PENELITIAN. terkontrol. Menggunakan 25 ekor tikus putih ( Rattus norvegicus) jantan

BAB I PENDAHULUAN. Setelah streptomisin ditemukan pada tahun 1943, ditemukan pula antibiotik lain

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. dengan the post test only control group design karena pengukuran. dilakukan sesudah perlakuan pada hewan coba.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rataan volume urin (ml) kumulatif tikus percobaan pada setiap jam

Konsep Sel, Jaringan, Organ dan Sistem Organ

DAFTAR TABEL. 1. Data Rerata gambaran histopatologi adanya penyebaran sel yang mengalami nekrosis, degenerasi dan infiltrasi sel radang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik Cihateup

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB VI PEMBAHASAN. salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM.

BAB I PENDAHULUAN. tubuh secara fungsional serta kebutuhan oksigen merupakan kebutuhan yang

I. PENDAHULUAN. serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak

M.Nuralamsyah,S.Kep.Ns

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 11. Organisasi KehidupanLatihan Soal 11.1

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT berfirman dalam Al-qur an yang berbunyi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan Neuron Pyramidal CA1 Hippocampus

Struktur Ginjal: nefron. kapsul cortex. medula. arteri renalis vena renalis pelvis renalis. ureter

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Deksametason merupakan salah satu obat golongan glukokortikoid sintetik

PENGARUH SUPLEMEN TERHADAP KADAR ASAM LAKTAT DARAH

Pengertian Mitokondria

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Subjek penelitian ini adalah anak yang diperoleh dari induk tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang telah diinduksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 7 hari dan 11 hari dengan cara di ligasi arteri uterina unilateral. Ditentukan pula anak yang diperoleh dari induk tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang sehat tanpa induksi hipoksia iskemik. Hewan uji dipelihara dan diberi makan minum ad libitum. Setelah induk Rattus norvegicus galur Sprague-dawley hamil tersebut melahirkan, anak-anaknya ditimbang. Hanya anak yang berat badan lahir <5,50 gram yang dipilih sebagai subjek penelitian. Anak-anak tikus tersebut kemudian dibagi menjadi 3 kelompok,masing-masing kelompok 7 ekor. Anakanak tikus yang lahir dikelompokkan berdasarkan perlakuan sebagai berikut: 1. Kelompok 1 : Hewan uji yang dijadikan sebagai kelompok kontrol, tidak diinduksi hipoksia iskemik. 2. Kelompok 2 : Hewan uji dijadikan subyek penelitian, dari induk yang diberikan induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 7 hari. 3. Kelompok 3 : Hewan uji dijadikan subyek penelitian, dari induk yang diberikan induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 11 hari. Semua anak-anak tikus mendapatkan perlakuan yang sesuai hingga memasuki usia 35 hari. Setelah memasuki usia 35 hari anak-anak tikus diambil 33

34 organ ginjalnya untuk dibuat sediaan preparat dan dilakukan pengamatan secara penghitungan jumlah sel ginjal yang mengalami perubahan histopatologis dengan menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran 400x. Perubahan pada tubulus berupa degenerasi hidropis, apoptosis dan adanya endapan protein di lumen. Hasil penelitian berupa gambaran histopatologi yaitu kerusakan tubulus dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Kelompok 1. Pewarnaan HE. Perbesaran 400x. Gambar 4 merupakan kelompok perlakuan kontrol, yaitu kelompok yang tidak diinduksi dengan hipoksia iskemik prenatal. Kelompok ini memiliki tingkat lesi kurang dari 25%.

35 Gambar 5. Kelompok 2. Pewarnaan HE. Perbesaran 400x. Gambar 5 merupakan kelompok perlakuan 2. Hewan uji yang dijadikan subyek penelitian berasal dari induk yang diberikan induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 7 hari. Pada kelompok ini sebagian besar sampel memiliki lesi sebesar 50-<75% total lapangan pandang. Pada Gambar 5 tubulus yang mengalami degenerasi hyalin ditunjukan dengan gambar panah dan degenerasi hidropis ditunjukan dengan gambar kepala panah. Gambar 6. Kelompok 3. Tubulus yang mengalami endapan protein (kepala panah) dan inti sel yang mengalami apoptosis (panah). Pewarnaan HE. Perbesaran 400x.

36 Gambar 6 merupakan kelompok perlakuan 3. Hewan uji yang dijadikan subyek penelitian berasal dari induk yang diberikan induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 11 hari. Pada kelompok ini sebagian besar sampel memiliki lesi sebesar 25-<50% total lapangan pandang. Pada gambar 6 tubulus yang mengalami endapan protein ditunjukan dengan gambar kepala panah dan inti sel yang mengalami apoptosis ditunjukan dengan gambar panah. Tabel 1. Analisis Deskriptif Sel Ginjal Rattus norvegicus Galur Sprague-dawley Kontrol Perlakuan 1 hari ke- 7 Perlakuan 2 hari ke- 11 Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Lesi kurang dari 25% 7 100 % 0 0 0 0 Lesi 25- <50% 0 0 2 28,6 % 5 71,4 % Lesi 50- <75% 0 0 5 71,4 % 2 28,6 % Lesi lebih dari sama dengan 75% 0 0 0 0 0 0 Total 7 100 % 7 100 % 7 100 % Berdasarkan Tabel 1, semua kelompok kontrol memiliki lesi yang kurang dari 25 % lapangan pandang. Pada perlakuan 1 hari ke-7 sebagian besar

37 sampel memiliki lesi sebesar 50-<75% total lapangan pandang, sedangkan pada perlakuan 2 hari ke-11 sebagian besar sampel memiliki lesi sebesar 25-<50% total lapangan pandang. Data hasil skoring perubahan histopatologi Rattus norvegicus galur Sprague-dawley merupakan data dengan skala pengukuran ordinal, sehingga dapat langsung dilanjutkan dengan uji non parametrik Kruskal Wallis. Hasilnya didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05), artinya hipotesis kerja diterima dan terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik terhadap perubahan struktur histopatologi ginjal pada tiap-tiap kelompok, maka analisa data dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Hasil analisa data dengan uji Mann- Whitney untuk uji beda antar kelompok didapatkan bahwa skor nilai derajat perubahan histopatologi ginjal antara kelompok kontrol dengan perlakuan 1 terdapat perbedaan bermakna dimana p<0,05 dengan nilai 0,01. Pada kelompok kontrol dengan perlakuan 2 juga terdapat perbedaan yang bermakna dimana p>0,05 dengan nilai 0,01. Sedangkan pada kelompok perlakuan 1 dengan perlakuan 2, terdapat perbedaan tetapi tidak bermakna dimana p>0,05 dengan nilai 0,122. B. Pembahasan Pada penelitan ini ditemukan perbedaan gambaran histopatologis ginjal Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang bermakna antar kelompok dengan p=0.001. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari hipoksia iskemik prenatal terhadap gambaran histopatologis ginjal Rattus norvegicus galur Sprague-dawley. Hal ini didukung oleh temuan penelitian dalam analisis

38 dekriptif yang menyatakan bahwa pada kelompok perlakuan 1 terjadi kerusakan sel tubulus ginjal yang terberat daripada kelompok perlakuan lain. Sedangkan dalam analsis analitik antara kelompok perlakuan 1 dengan perlakuan 2, ditemukan perbedaan pada analisa deskriptif, namun tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam analisis inferensial atau analitik. Oksigen merupakan salah satu zat utama yang dibutuhkan untuk reaksi kimia di dalam sel. Pada keadaan normal, sekitar 97% oksigen yang diangkut dari paru ke jaringan dibawa dalam campuran kimiawi dengan hemoglobin di dalam sel darah merah sisanya sebanyak 3% diangkut dalam bentuk terlarut dalam cairan plasma dan sel darah. Setiap sel membutuhkan oksigen untuk mengubah energi makanan menjadi ATP (Adenosine Triphosphate) yang siap pakai untuk kerja tiap sel (Guyton & Hall, 2012). Bila jaringan tubuh tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup maka dapat timbul hipoksia. Pada hipoksia terjadi defisiensi oksigen yang mengakibatkan kerusakan sel akibat penurunan respirasi oksidatif aerob pada sel. Hipoksia merupakan penyebab penting dan umum dari cedera dan kematian sel namun tergantung pada beratnya keadaan hipoksia. Pada keadaan hipoksia sel dapat mengalami adaptasi, cedera, atau kematian (Kumar, 2006). Periode paling penting dari manusia adalah selama masa perkembangan janin, tahap dimana sedikit saja paparan merugikan yang didapatkan oleh ibu dapat mempengaruhi perkembangan janin di masa yang akan mendatang. Dua faktor yang paling sering terjadi pada janin selama masa perkembangan adalah penurunan oksigen atau hipoksia dan pengiriman nutrisi. Oksigen yang cukup

39 diperlukan untuk perkembangan janin. Dalam rahim hipoksia dapat menyebabkan dampak buruk terhadap perkembangan janin (Ojeda, 2008). Hipoksia prenatal juga dapat mempengaruhi proses perkembangan ginjal. Pada masa prenatal, hipoksia dapat mengganggu proses nefrogenesis, yang kemudian mengarah ke penurunan jumlah nefron berfungsi yang dimiliki tiap individu ketika lahir. Selain itu, hipoksia prenatal mempengaruhi sistem renin-angiotensin janin dan hemodinamik ginjal janin, yang mengarah ke hipertensi pada anak. Malnutrisi selama kehamilan dapat menyebabkan perkembangan yang abnormal pada ginjal dan mengurangi jumlah nefron. Perkembangan abnormal yang terjadi antara lain adalah proses penuaan ginjal dikaitkan dengan perubahan fisiologis dan fungsional, termasuk penurunan berat ginjal dan jumlah glomerulus (Nangaku, 2006). Penelitian mengenai perubahan histopatologis pada sel tubulus ginjal yang telah diinduksi hipoksia telah dilakukan sebelumnya, dan ditemukan adanya perubahan fisiologi ginjal, penurunan berat badan dan organ dan tubulus ginjal. Pada penelitian ini, antara kelompok perlakuan 1 dengan perlakuan 2, ditemukan perbedaan pada analisa deskriptif, namun tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam analisis inferensial atau analitik. Hal ini dapat berhubungan dengan proses nefrogenesis pada tikus yang bermula pada masa awal kehamilan, dan berakhir pada postnatal hari ke-4 (Larsson et al., 1980). Pada masa awal kehamilan oksigen sangat dibutuhkan untuk membantu proses organogenesis. Jika terjadi hipoksia pada janin maka

40 dapat mengganggu perkembangan ginjal janin dan mempercepat proses penuaan ginjal pada perkembangan postnatal (Xia et al., 2014). Tubulus proksimal merupakan bagian ginjal yang aktif pada aktifitas absopsi maupun sekresi sehingga sering mendapatkan paparan tertinggi dari zat toksik. Segmen tubulus sebagian besar mempunyai kapasitas yang terbatas terhadap energi yang bersifat anaerobik sehingga tergantung pada oksigen dalam memelihara reabsorpsi aktif solut transtubulus. Hipoksia akan mengakibatkan kerusakan pada tubulointerstisial ginjal melalui banyak cara. Hipoksia dapat mengaktifasi fibroblas, perubahan metabolisme matriks ekstrasel pada sel-sel ginjal, dan fibrogenesis. Aktifasi interstisial fibrosis akibat hipoksia dan peningkatan deposit matriks ekstrasel akan mengakibatkan gangguan aliran darah dan asupan oksigen. Sel tubulus ginjal yang mengalami hipoksia akan lebih mudah mengalami gangguan fungsi mitokondria dan defisit energi yang menetap, hal ini kemudian akan menyebabkan apoptosis tubulus ginjal (Nangaku, 2006). Perubahan pada tubulus di penelitian ini berupa apoptosis, degenerasi hidropis, degenerasi hyalin, kongesti, dan adanya endapan protein di lumen. Perubahan histopatologi ini disebabkan paparan hipoksia yang bersifat nefrotoksik. Pada tubulus yang berdilatasi ditemukan epitel dengan sitoplasma yang mengalami degenerasi hyalin. Degenerasi hyalin biasanya berhubungan dengan peradangan pada tubuli yang disebabkan iskemia atau racun. Butiran hyalin akan tampak berwarna merah cerah yang bersifat homogen. Perubahan ginjal yang berupa degenerasi hyalin disajikan pada Gambar 5.

41 Degenerasi hidropis merupakan suatu keadaan dimana pada sitoplasma sel terdapat air. Hilangnya kontrol air disebabkan oleh kerusakan pompa sodium, dimana jumlah ion Na yang masuk ke dalam sel berlebihan. Hal ini menyebabkan air banyak masuk ke dalam sel. Pada awalnya air terakumulasi di sitosol dan sisterna retikulum endoplasma. Namun seiring berjalannya waktu seluruh sel membengkak (Barnett et al., 1999). Degenerasi hidropis disebabkan oleh ketidak cukupan sel terhadap makanan dan ketuaan individu secara keseluruhan atau jaringan tertentu. Pada penelitian ini degenerasi hidropis disebabkan oleh hipoksia yang bersifat toksik (Suyanti, 2008). Secara mikroskopik sel terlihat mengandung ruangan-ruangan yang jernih yang mengelilingi inti tetapi tidak sejernih glikogen atau lemak (Barnett et al., 1999). Degenerasi hidropis ginjal diakibatkan oleh induksi hipoksia yang bersifat toksik. Induksi hipoksia ini menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Agar kestabilan lingungan internal terjaga, sel harus mengeluarkan energi metabolik untuk memompa ion natrium keluar dari membran dan ion kalium masuk ke dalam membran. Hal yang dapat mengganggu metabolisme energi dalam sel atau sedikit saja melukai membran sel menyebabkan sel tidak mampu memompa natrium dengan baik. Hal ini menyebabkan kenaikan konsentrasi natrium dan influks air ke dalam sel. Mekanisme ini menyebabkan perubahan yang disebut pembengkakan sel. Perubahan ini menjelaskan bahwa sewaktu air terakumulasi dalam sitoplasma, organel sitoplasma juga menyerapnya sehingga menyebabkan pembengkakan

42 di mitokondria dan pembesaran retikulum endoplasma (Barnett et al., 1999). Degenerasi hidropis merupakan gambaran utama dari perubahan sel akut dimana sel kehilangan kontrol terhadap air sehingga menyebabkan sel bengkak. Kerusakan akut terjadi akibat gangguan pada epitel tubulus oleh infeksi, efek toksin secara langsung atau iskhemia. Respon kerusakan setelah degenerasi hidropis diikuti oleh nekrosa dan deskuamasi sel epitel tubulus. Degenerasi dalam patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur dan fungsi normal sel (Spector et al., 1993) (Confer et al., 1995). Degenerasi juga dapat diartikan sebagai gangguan mekanisme pemompaan natrium sehingga terjadi penimbunan cairan intraseluler. Degenerasi menunjukkan gangguan biokimiawi sel yang dapat disebabkan oleh iskhemi, metabolisme abnormal, zat kimia.epitel tubulus yang,mengalami degenerasi hidropis disajikan pada Gambar 5. Endapan protein pada lumen tubulus disebabkan oleh malfungsi glomerulus akibat rusaknya struktur membran kapiler. Struktur membran kapiler yang rusak meningkatkan permeabilitas filter, sehingga protein dengan molekul besar dan albumin plasma dapat menerobos keluar memasuki filtrat. Kelainan pada sistem filter glomerulus dapat berupa hilangnya kaki podosit (sel epitel) glomerulus. Berbagai komponen yang berkemampuan merusak filter glomerulus diantaranya bahan toksik, molekul bermuatan atau kompleks imun. Lolosnya protein dapat menimbulkan kondisi proteinuria. Selain itu, gangguan reabsorpsi karena melebihi ambang batas kemampuan atau rusaknya epitel tubulus dapat juga menjadi penyebab hadirnya endapan protein di

43 tubulus. Faktor lain yang menjadi penyebab adanya protein dalam lumen tubuli adalah gangguan fungsi enzim lysosom epitel tubuli yang diakibatkan oleh akumulasi bahan yang bersifat merusak (Spector et al., 1993). Bila degradasi protein yang diserap secara enzimatik terganggu maka akan menimbulkan residu protein yang tersisa baik dalam lumen maupun pada sel epitel. Adanya endapan protein ditandai dengan massa berwarna merah muda pada pewarnaan HE (Gambar 6). Kejadian apoptosis juga diikuti dengan adanya endapan protein di lumen tubulus. Keadaan ini kemungkinan disebabkan menurunnya kemampuan absorbsi tubulus atau terlalu banyaknya protein yang harus diserap kembali oleh tubulus. Menurunnya kemampuan absorbsi tubulus dikarenakan epitel tubulus telah mengalami degenerasi hingga apoptosis. Adanya endapan protein di tubulus disebabkan peningkatan tekanan osmotik koloid cairan interstitium sehingga mengganggu filtrasi glomerulus dan reabsorbsi tubulus. Al-Khafaji yang lolos dari glomerulus tidak dapat diserap dengan sempurna oleh epitelepitel tubulus sehingga terjadi penumpukan protein di lumen tubulus (Al- Khafaji & Corwin, 2001). Apoptosis yang terjadi pada sel epitel tubuli ginjal tikus diduga diakibatkan formulasi insektisida yang bersifat nefrotoksik. Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram (programmed cell death) serta terjadi pada dua kondisi yaitu kondisi fisiologis (normal) atau patologis (abnormal). Apoptosis fisiologis dapat terjadi pada proses pertumbuhan, sedangkan apoptosis patologis biasanya terjadi pada lesio akibat agen infeksius atau toksin

44 Pada apoptosis terjadi perisiwa pengaktifan beberapa gen untuk membentuk enzim baru seperti enzim endonuklease. Enzim ini bersifat dapat memecah DNA inti. Sel kemudian akan terbagi menjadi bagian-bagian kecil yang disebut badan apoptosis. Sebuah badan apoptosis akan terdiri dari hasil pecahan inti dan organel-oganel yang tidak lengkap. Badan apoptosis ini yang kemudian akan difagosit oleh makrofag (Barnett et al., 1999). Pada umumnya paparan rendah hipoksia hanya dapat mengakibatkan perubahan fisiologis dari tubulus proksimal saja, namun pada paparan tinggi perubahan morfologi juga dapat terjadi. Terdapat dua perubahan morforlogi yang sering terjadi pada ginjal adalah perubahan morfologi yang reversibel dan ireversibel. Perubahan reversibel antara lain adalah degenerasi sel tubulus dan inflamasi sel tubulus, sedangkan perubahan irreversibel dari sel tubulus antara lain adalah atrofi atau dilatasi lumen, fibrosis sel tubulus, dan yang paling berat adalah nekrosis sel tubulus. Perubahan irreversibel biasanya ditandai dengan hilangnya brush border dan inti sel memipih (Al-Khafaji & Corwin, 2001).