Kasus elefantiasis di desa Gondanglegi Kulon yang pernah dilaporkan. dilakukan survei pendahuluan dan pelacakan kasus, ditemukan lagi dua penderita

dokumen-dokumen yang mirip
STUDl KOMUNITAS NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DAERAH ENDEMIS DESA GONDANGLEGI KULON MALANG JAWA TIMUR. Oleh : Akhmad Hasan Huda

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Gondanglegi Kulon kecamatan

Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB I PENDAHULUAN. 1

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

KEPADATAN NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DESA PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS, DESA JALAKSANA KABUPATEN KUNINGAN DAN BATUKUWUNG KABUPATEN SERANG

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia fiiariasis dikenal sebagai penyakit kaki gajah. Filariasis

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Analisis Nyamuk Vektor Filariasis Di Tiga Kecamatan Kabupaten Pidie Nanggroe Aceh Darussalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih me rupakan salah satu masalah

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Gambar 3.2 Waktu Penelitian 3.3 Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

I. PENDAHULUAN. nyamuk Anopheles sp. betina yang sudah terinfeksi Plasmodium (Depkes RI, 2009)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

ARTIKEL SISTEM KEWASPADAAN DIM KLB MALARIA BERDASARKAN CURAH HUJAN, KEPADATAN VEKTOR DAN KESAKITAN MALARIA DIKABUPATEN SUKABUMI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian

STUD1 HABITAT ANOPHELES NIGERRIMUS GILES 1900 DAN EPIDEMIOLOGI MALARIA DI DESA LENGKONG KABUPATEN SUKABUMI OLEH: DENNY SOPIAN SALEH

SELAYANG PANDANG PENYAKIT-PENYAKIT YANG DITULARKAN OLEH NYAMUK DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2004 Oleh : Akhmad Hasan Huda, SKM. MSi.

FOKUS UTAMA SURVEI JENTIK TERSANGKA VEKTOR CHIKUNGUNYA DI DESA BATUMARTA UNIT 2 KECAMATAN LUBUK RAJA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Identification of vector and filariasis potential vector in Tanta Subdistrict, Tabalong District

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3 METODOLOGI. untuk menentukan lokasi tempat perindukan larva nyamuk Anopheles. Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue

I. PENDAHULUAN. dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

Aktivitas Menggigit Nyamuk Culex quinquefasciatus Di Daerah Endemis Filariasis Limfatik Kelurahan Pabean Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa,

KERAGAMAN SPESIES NYAMUK DI DESA PEMETUNG BASUKI DAN DESA TANJUNG KEMALA BARAT KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

(Kec. Bagelen Purworejo). Bagian utara Kec. Girimulyo, sebelah selatan dan timur

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging disease yaitu penyakit

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

3 BAHAN DAN METODE. Lokasi penelitian di Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung. Lokasi Penelitian. Kec.

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

V. PEMBAHASAN UMUM. Pengamatan di daerah pasang surut Delta Upang menunjukkan. bahwa pembukaan hutan rawa untuk areal pertanian

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan

Prevalensi pre_treatment

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

Penyakit DBD merupakan masalah serius di Provinsi Jawa Tengah, daerah yang sudah pernah terjangkit penyakit DBD yaitu 35 Kabupaten/Kota.

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

1. BAB I PENDAHULUAN

GAMBARAN PEMBERIAN OBAT MASAL PENCEGAHAN KAKI GAJAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WELAMOSA KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE TAHUN ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sejenis nyamuk yang biasanya ditemui di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami 2 musim, salah

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

3 BAHAN DAN METODE. Sarmi. Kota. Waropen. Jayapura. Senta. Ars. Jayapura. Keerom. Puncak Jaya. Tolikara. Pegunungan. Yahukimo.

I. PENDAHULUAN. aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat. kejadian luar biasa atau wabah (Satari dkk, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Aedes aegypti adalah jenis nyamuk yang tidak. asing di kalangan masyarakat Indonesia, karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Data statistik WHO menyebutkan bahwa diperkirakan sekitar 3,2 milyar

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Waktu Penelitian

Transkripsi:

HASIL DAN PEMJ3AHASAN 1 Epidemiologi filariasis Kasus elefantiasis di desa Gondanglegi Kulon yang pernah dilaporkan oleh Puskesmas Gondanglegi kepada Sub Direktorat Filariasis Departemen Kesehatan RI. sampai dengan Oktober 2000, sebanyak tiga orang. Setelah dilakukan survei pendahuluan dan pelacakan kasus, ditemukan lagi dua penderita elefantiasis sehingga menjadi lima orang. Survei epidemiologi di Kabupaten Malang menemukan kasus elefantiasis skroti di kecamatan Bantur yang tempat tinggal asalnya adalah desa Gondanglegi. Kelima penderita elefantiasis di desa Gondanglegi Kulon sejak terkena gejala penyakit pertama kali sampai terjadi elefantiasis, selalu bertempat tinggal di desa tersebut, yang berarti te jadi penularan setempat (indigenous). Hasil pemeriksaan filariasis terhadap 323 orang penduduk di sekitar penderita, ditemukan adanya beberapa penduduk yang mengalami gejala klinis akut filariasis. Gejala tersebut di antaranya berupa pembengkakan kelenjar getah bening pada lipat paha atau ketiak yang disertai demam berulang atau tidak (Iimfadenitis), dan perstdangan pada payudara dan di sekitar kelamin. Jumlah penduduk yang mengalami gejala klinis akut tersebut sebanyak 24 orang, yang berarti angka kesakitan akut (AKA) sebesar 7,4 %, sedangkan penderita elefantiasis yang ditemukan adalah sebanyak lima orang, yang berarti angka kesakitan kronis (AKK) sebesar 135 % (Tabel 2).

Tabel 2 Hasil pemeriksaan darah terhadap filariasis berdasar sebaran umur dan jenis kelamin di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Februari 200 1 Keterangan : Pos = Positif L = Laki - laki P = Perempuan Menurut Partono (1989) jika ditemukan satu penderita kronis (elefantiasis), maka diperkirakan 10 % penduduk dalam satu wilayah epidemiologis akan tertular filariasis dan 10 % dari yang tertular filariasis diperkirakan akan menunjukkan gejala klinis filariasis. Dengan demikian keadaan kesakitan filariasis di desa Gondanglegi Kulon sudah cukup tinggi bila dikaitkan dengan pernyataan di atas. Berdasarkan tanda-tanda klinis akut yang ditemukan, kasus filariasis di desa Gondanglegi Kulon dapat dikategorikan sebagai filariasis bancrofti (WHO 1984). Gejala klinis akut yang khas berupa peradangan pada lipat paha dan berlanjut pada alat kelamin dan sekitarnya serta payudara, juga disertai demam

berkala atau tidak. Berdasarkan gejala klinis kronis, elefantiasis yang ada juga termasuk jenis elefantiasis bancrofti. Hasil anamnese penduduk dan pemeriksaan fisik penderita elefantiasis diketahui bahwa, sebelum terjadi limfudema umumnya didahului dengan peradangan atau pembengkakan pada kelenjar limfe (limfadenitis), dan menjalar pada saluran limfe sampai ke bagian bawah kaki (limfmgitis). Gejala limfadenitis dan limfangitis yang dialami penderita elefantiasis terkadang disertai demam berkala 3-5 hari atau tidak, dan dapat terjadi sebanyak 4-7 kali setiap tahunnya. Tabel 3 Sebaran umur dan jenis kelamin penderita filariasis klinis di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Pebruari 2001 Keterangan : AKA : Angka Kesakitan Akut AKK : Angka Kesakitan Kronis

Gambar 3 dan 4 menunjukkan adanya limfudema pada kaki bagian bawah (distar) pada penderita yang berumur 15 dan 25 tahun, dan Gambar 5 untuk limfudema pada kaki bagian bawah lutut pada penderita yang berumur 60 tahun. Gejala tersebut dialami para penderita selama kurun waktu sembilan sampai dengan 35 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan darah terhadap 323 penduduk di desa Gondanglegi Kulon sebagai sarnpel tidak ditemukan adanya mikrofilaria dalam. Padahal cara pengambilan dan pemeriksaan darah telah menggunakan metode pemeriksaan darah tepi dan darah vena segar di bawah mikroskop, dengan provokasi obat DEC (diethyl carbamazine citrate) sebelum diambil darahnya, pemeriksaan sediaan darah tetes tebal dan pemeriksaan sediaan darah dengan membran filter (Tabel 2). Filariasis di desa Gondanglegi Kulon mengena pada hampir semua kelompok urnur (Tabel 2), dari kelompok umur 0-5 tahun sampai > 65 tahun ditemukan penderita klinis filariasis akut dan kronis. Dari penyebaran kasus menurut kelompok umur tersebut dapat dinyatakan bahwa kasus elefantiasis di desa Gondanglegi Kulon semakin tahun semakin bertambah jumlahnya dm mengena pada penderita berumur tua (70 tahun) sampai muda (15 tahun). Pada umumnya penderita elefantiasis adalah perempuan (100 Oh). Di samping itu dari segi penyebaran kasus menurut wilayah, penderita elefantiasis menyebar pada radius satu sampai tiga kilometer, yang berarti masih dalam satu wilayah epidemiologi atau dalam jangkauan penularan vektor. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah tersebut telah terjadi peningkatan kasus filariasis

Gambar 3 Elefantiasis (limfbdema) di kaki bean bad (disral) pda penderita be~mur 15 tahun (di Gondanglegi, Malang, Tahun 2001). Gambar 4 Hefantiasis (limfidema) di kaki bagian bad (distaf) pada penderita berumur 25 tahun (Di Gondanglegi, Malang, Tahun 2001). Gambar 5 Elefantiasis (limfudema) di kaki bagian bawah lutut pada penderita berumur 60 tahun @i Gondanglegi, Malang, Tahun 2001).

secara klinis atau perbanyakan kasus pada jangka waktu tertentu, semakin lama semakin bertambah dan mengena pada umur yang lebih muda. Diduga di daerah tersebut mungkin telah terjadi penularan kasus filariasis pada waktu yang lalu. Saat ini penularan filariasis belum dapat dibuktikan secara mikroskopis karena belurn ditemukan mikrofilaria dalam darah penderita dan penduduk yang ada di sekitarnya. Meskipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa di daerah tersebut tidak ada penularan filariasis, karena secara epidemiologi telah ditemukan bukti yang cukup mengarah akan adanya penyebaran atau perbanyakan kasus. Selain itu saat ini secara berkala penderita elefentiasis masih sering menunjukkan gejala klinis 1 Komunitas nyamuk dan vektor filariasis yang diduga 1.1 Komunitas nyamuk yang tertangkap Sebanyak 3310 nyamuk berhasil ditangkap dengan beberapa cara penangkapan. Nyamuk yang tertangkap terdiri atas empat genus dan 11 spesies, yaitu empat spesies dari genus Culex, lima spesies Anopheles, satu spesies Aedes dan satu spesies Armigeres. Penangkapan nyamuk dengan umpan orang dalam rumah didapatkan sembilan spesies, dengan umpan orang di luar rumah memperoleh sembilan spesies, sedangkan yang hinggap di dinding dalam rumah 11 spesies (Tabel 4). Di antara 11 spesies nyamuk yang diperoleh di daerah penelitian, terdapat enam spesies yang telah dinyatakan dan dikonfirmasi sebagai vektor filariasis bancrofti di luar propinsi Jawa Timur (DEPKES 1996). Keenam spesies tersebut adalah Cx. quinquefasciatus Cx. bitaeniorhynchus, An. subpictus, An. aconitus, An. vagus dan Ar. subalbatus.

Hasil penangkapan nyamuk dengan beberapa cara penangkapan menunjukkan bahwa Cx. quinquefasciatus mempunyai populasi paling besar yaitu 9,204 ekor/orang/jam, kemudian diikuti berturut-turut Cx. tritaeniorhynchus (2,804), An. vagus (0,796), Ae. aegypti (0,4831, An. indeflnitus (0,183), An. aconitus (0,158), An. subpictus (0,063), Cx. hitaeniorhynchus (0,058), Ar. subalbutus (0,033), An. annularis (0,004) dan Cx. pseudovishnui (0,004) (Tabel 4). Tabel 4 Banyaknya nyamuk yang tertangkap per orang per jam (MHD) Di desa Gondanglegi Kulon, Maret - Agustus 200 1 Keterangan : UD : Umpan orang dalam rumah HD : Hinggap di dinding dalam rumah UL : Umpan orang luar rurnah MHD : Man Hour Density

Spesles Nyamuk Gambar 6 Kepadatan nyarnuk per orang per jam berdasar cara penangkapan Di desa Gondanglegi Kulon, Maret - Agustus 2001. 2.2 Analisis komunitas nyamuk yang tertangkap Hasil penangkapan menunjukan bahwa komunitas dan angka kepadatan populasi nyamuk digambarkan dalam beberapa parameter yaitu angka padat populasi (MHD), angka kelimpahan nisbi, angka kekerapan tertangkap dan angka dominasi. 2.2.1 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi spesies nyarnuk yang tertangkap dengan umpan orang di dalam rumah Hasil penangkapan nyamuk dengan umpan orang di dalam rumah, diketahui bahwa nyamuk dengan angka kelimpahan nisbi yang paling tinggi adalah Cx. quinquefasciatus (70,63 %), diikuti oleh Cx. tritaeniorhynchus (1 8,76 %), An. vagus (3,93 %) dan Ae. aegypti (3,63 96). Spesies lain angka kelimpahan nisbinya antara 1,08 % - 0,O %. Angka kekerapan tertangkap yang tertinggi juga pada Cx. quinquefasciatus (9 133 %), selanjutnya Cx. tritaeniorhynchus (62,7 1

%), Ae. aegypti (26,27 %) dan An. vagus (20,34 %), sedangkan spesies lainnya antara 9,3 Oh - 0,O %. Angka dominasi dapat menggambarkan peranan komunitas nyamuk yang sebenamya di suatu daerah dibanding parameter kepadatan yang lain. Angka dominasi spesies nyamuk dari hasil penangkapan urnpan orang di dalam rumah yang tertinggi adalah Cx. quinquejhsciatus (64,64 %), diikuti Cx. tritaeniorhynchus (11,76 %), Ae. aegypti (0,95 %) dan An. vagus (0,79 %), sedangkan spesies Iainnya antara 0,101 'X- 0,000 % (Tabel 5). Tabel 5 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi spesies nyarnuk yang tertangkap dengan umpan orang di dalam rumah Di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Maret - Agustus 2001 10 An. annularis 0,OO 0,OO 0,000 11 Cx. pseudovishnui 0,OO 0,OO 0,000

Garnbar 7 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi nyamuk per spesies di dalam rumah Di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Maret - Agustus 2001. 2.2.2 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi spesies nyamuk yang tertangkap dengan umpan orang di luar rumah Hasil penangkapan nyarnuk dengan umpan orang di luar rumah, diketahui bahwa nyamuk dengan angka kelimpahan nisbi yang paling besar pada Cx. quinquefasciatus (64,51 %), diikuti oleh Cx. tritaeniorhynchus (22,36 %), An. vagus (6,24 %), Ae. aegypti (2,88 %). Spesies lain angka kelimpahan nisbinya antara 1,36 % - 0,O %. Nyamuk yang paling kerap tertangkap adalah Cx. quinquefasciatus (93,22 Oh), selanjutnya Cx. tritaeniorhynchus (58,47 Oh), An. vagus (28,81 %) dun Ae. aegypti (22,88 %), sedangkan spesies lainnya antara 10,17 Oh-O,o %.

Tabel 6 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi spesies nyamuk yang tertangkap dengan umpan orang di luar rumah Di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Maret - Agustus 2001 10 An. annularis 0.00 0.00 0,000 11 Cx. pseudovishnui 0.00 0.00 0,000 Spesies Nyarnuk Gambar 8 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi nyamuk per spesies di luar rumah di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Maret - Agustus 2001.

Angka dominasi spesies nyamuk dari hasil penangkapan umpan orang di luar rumah yang tertinggi adalah Cx. quinquefasciatus (60,135 %), diikuti Cx.tritaeniorhynchus (13,09 %), An. vagus (0,00,18 %) dan Ae. aegypti (0,67 %), sedangkan spesies lainnya antara 0,14 %-0,00 % (Tabel 6). 2.2.3 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi spesies nyarnuk yang tertnngkap yang hinggap di dinding dalam rumah Hasil penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah, diketahui bahwa nyamuk dengan angka kelimpahan nisbi yang tertinggi adalah Cx. quinguefasciatus (65,61 %), diikuti oleh Cx. tritaeniorhynchus (19,40 %), An. vagus (7,01 %) dan Ae. aegypti (4,13 %). Spesies lain angka kelimpahan nisbinya antara 1,54 Oh - 0,10 Oh. Nyamuk yang paling kerap tertangkap adalah Cx. quinquefasciatus (91,53 %), diikuti Cx. tritaeniorhynchus (58,47 %), Ae. aegypti (27,12 %) dan An. vagus (25,42 %), sedangkan spesies lainnya antara 9,32 %- Tabel 7 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi spesies nyamuk yang hinggap di dinding dalarn rumah Di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Maret - Agustus 2001

Garnbar 9 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dm angka dominasi nyamuk per spesies di dinding dalam rumah di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Maret - Agustus 2001. Angka dominasi spesies nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah yang tertinggi adalah Cx. quinquefasciatus (60,050), diikuti Cx. tritaeniorhynchus (1 1,347), An. vagus (01,783) dun Ae. aegypti (1,120), sedangkan spesies lainnya antara 0,143-0,001 (Tabel 7). Dari hasil penelitian di atas terlihat bahwa Cx. quinquefasciatus memiliki kepadatan populasi, kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi yang paling besar pada berbagai jenis penangkapan. Angka dominasi tertinggi diperoleh pada cara penangkapan umpan orang dalam rumah malam hari. Dengan demikian Cx. quinquefasciatus telah memenuhi dua persyaratan sebagai vektor filariasis bancrofti karena mempunyai komunitas paling dominan dan paling sering berkontak fisik dengan manusia dari pada spesies nyamuk yang lain.

2.3 Perkiraan umur nyamuk Perkiraan umur nyamuk dapat diketahui berdasarkan angka nyamuk pernah bertelur (parous rate) dan angka peluang hidup nyamuk per hari. Angka parous rate menunjukkan angka besarnya nyamuk yang pemah bertelur dari semua nyamuk yang diperiksa. Peluang hidup nyamuk per hari menggambarkan adanya besarnya peluang nyamuk untuk hidup dimasa mendatang. Tabel 8 dan lampiran 7 menunjukan bahwa perkiraan umur nyamuk sangat bervariasi, dengan kisaran umur antara dua sampai 24,5 hari. Untuk dapat memenuhi syarat menjadi vektor filariasis nyarnuk harus mempunyai umur relatif lebih panjang dari pada masa inkubasi ekstrinsik cacing (Sasa 1976). Masa inkubasi ekstrinsik W bancroftti 10-11 hari (Beaver et al. 1984) atau 6-12 hari (Brown 1969), sedangkan B. maiayi 6-6,5 hari (Sasa 1976) atau dalam waktu 10 hari (Edeson dan Wharton 1957) atau pada suhu optimum 7-9 hari (Bahang 1987), dan B. timori 7-10 hari (WHO 1987). Tabel 8 Perkiraan umur nyamuk di Gondanglegi Kulon, Malang, Maret-Agustus 200 1 7 8 9 10 1 1 An. subpiclus Cx. bitaeniorhynchus Ar. subalbatzcs An. annularis 2-24,5 2-24,5 2-24,5 2-24,5 Cx. ~seudovishnui - 2-7 - 7 I I I I Catatan : Perkiraan umur nyamuk rata-rata per spesies per penangkapan (Lampiran 7) 2 2 2 2 5,9 4,3 10,4 2

Berdasarkan perkiraan umur nyamuk menurut angka modus maupun angka median, dapat dinyatakan bahwa Cx. quinquefasciatus dapat bertindak sebagai vektor filariasis bancrofti, karena angka modusnya 10,5 hari dan angka mediannya 11,5 hari, yang berarti masih lebih panjang umurnya dari pada masa inkubasi ekstrinsik cacing filaria. Apabila melihat hasil penangkapan nyamuk setiap kali penangkapan, maka Cx. quinquefisciatus di desa Gondanglegi Kulon dan sekitarnya tidak setiap saat atau setiap bulan dapat bertindak sebagai vektor filariasis bancrofti (Lampiran 7), karena pada bulan-bulan tertentu perkiraan umur nyamuk Cx. quinquefasciatus lebih pendek daripada masa inkubasi ekstrinsik W. bancrofti. Ar. subalbatus rnempunyai angka median (10,4), artinya meskipun dapat bertindak sebagai vektor filariasis bancrofti kernungkinannya lebih kecil, karena angka modusnya kecil sekali (2 hari), yang berarti perkiraan umur nyamuk lebih pendek daripada masa inkubasi ekstrinsik W. bancrofti. Spesies nyamuk yang lain, kemungkinan dapat bertindak sebagai vektor filariasis akan lebih kecil lagi karena baik angka median (2-8,9 hari) maupun angka modusnya (2-7,4 hari) relatif lebih pendek daripada masa inkuhasi ekstrinsik W: bancrofti. 2.3 Kerentanan nyamuk terhadap lama filariasis 2.4.1 Keberadaan larva filariasis dalam tubuh nyamuk secara alami Dari 3310 nyamuk (11 spesies) yang tertangkap dengan berbagai cara penangkapan setelah dilakukan pendedahan tidak ditemukan larva cacing filaria di dalam tubuhnya (Tabel 9).

Tabel 9 Hasil pembedahan nyamuk di Desa Gondanglegi Kulon, Maret - Agustus 2001 Karena angka infeksi filariasis secara mikroskopis pada manusia belum ditemukan atau mungkin sangat rendah, sehingga intensitas infeksinya terutama dalam tubuh vektor mungkin juga rendah, maka masih diperlukan metode lain yang lebih sensitif daripada yang telah dilakukan. 2.4.2 Keberadaan larva dalam nyamuk secara eksperimental Pada infeksi percobaan, nyamuk dari lokasi penelitian di desa Gondanglegi Kulon Malang digigitkan pada penderita filariasis yang positif mengandung mikrofilaria di daerah Bekasi, Jawa Barat. Penderita filariasis yang dijadikan umpan untuk digigitkan ke nyamuk sebanyak lima orang, dengan kepadatan mikrofilaria antara 10-45 ekor /20 mm3 atau 0,s - 2,25 mikrofilaria per mm3.

Jumlah nyamuk yang digigitkan sebanyak 200 ekor. Setelah itu dibawa ke Surabaya dan dipelihara sampai 14 hari, jumlah yang masih hidup atau yang dapat dibedah sebanyak 126 ekor yang terdiri atas enam spesies, di antaranya Cx. quinquefaciatw (60 ekor), Cx. tritaeniorhynchus (30 ekor), An vagw (27 ekor), Ae. aegypti (5 ekor), An. inde3nitus (2 ekor) dan An. subpictus (2 ekor). Dari nyamuk yang dibedah ditemukan 8 nyamuk Cx. quinquejasciatus yang positif mengandung Iarva W. bancrojli bentuk L2 dan L3 ( Tabel 10). Angka infeksi dan angka infektif Cx. quinquefasciatus adalah sama yaitu 13,33, karena nyamuk yang mengandung L2 dan L3 maupun L3 saja jumlahnya sama, yaitu delapan ekor dari semua nyamuk yang dibedah. Spesies nyamuk lain tidak mengandung larva W. bancrofti baik bentuk infektif rnapun non infektif. Adapun kepadatan larva L3 per nyamuk adalah 13,87. Tabel 10 Hasil infeksi percobaan vektor filariasis

Menurut Oemijati (1999) W. bancrof;'i kurang adaptif terhadap inang definitif dan sangat adaptif terhadap vektornya. Dengan demikian hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan tersebut di atas, yaitu lebih sulit ditemukan mikrofilaria dalarn tubuh manusia, sedangkan dalarn tubuh nyamuknya sendiri dapat dibuktikan adanya larva infektif filaria melalui infeksi percobaan, dengan demikian berarti larva infektif lebih adaptif terhadap vektornya. Dengan hasil infeksi percobaan diatas telah terbukti bahwa nyamuk Cx. quinquefasciatus dapat dikatakan bersifat toleran terhadap kehadiran larva W. bancrofti secara eksperimen. 2.5 Kebiasaan nyamuk menggigit Kebiasaan nyamuk menggigit manusia mempunyai pola tertentu yang terjadi di dalam maupun di luar rumah. Aktifitas menggigit nyamuk dipengaruhi oleh siklus gonotrofik dan waktu. Tabel 11 Aktifitas menggigit Cx. quinquefasciatus di dalarn dan di luar rumah Di Desa Gondanglegi Kulon, Maret - Agustus - 2001 05.00-06.00 61 8.5 56 6,9 117 7,7 Jumlah 719 100 806 100 1525 100 Persentase 47.15 52,85 100

.*,. ~~absa dalam satu siklus gonotropik nyamuk dapat menggigit lebih dari satu kali akan lebih efektif untuk menjadi vektor. Aktifitas menggigit nyamuk * I juga sangat erat kaitannya dengan efektifitas nyamuk menjadi vektor. Iiasil penelitian di desa Gondanglegi Kulon (Tabel 11) menunjukkan bahwa Cx. quinquefasciutw menggigit umpan orang di dalam rumah pada jam penangkapan pertama (18.00-19.00) mpai penangkapm terakhir ( 05.00-06.00 ). Aktifitas menggigit nyamuk Cx. quinquefbuha di dalam maupun di luar nunah menunjukkan fl- yang relatif sama, yaitu mulai meningkat kepadatan menggigitnya pada puku121.00 sampai 02.00 (48,4 % ) dan mencapai puncaknya pada puku124.00. Pukul 02.00-04.00 menurun dan meningkat lagi pukul04.00-06.00 (Tabel 11 dan Gambar 10). Gambar 10 Pola men&$ Cx. quinquefaciatw di dalam $an di luar ruinah di Desa Oondanglegi Kulon, Maret - Agustus 200 1.

EIasil di atas sesuai dengan penelitian terdahulu di Jakarta yang menerangkan bahwa Cx. quinquefasciarus aktif menggigit dari pukul 22.00-05.00 dengan puncak aktifitas antara pukul 01.00 sampai pukul 04.00 (Hoedojo 1962). Hasil penelitian di Tangerang menyebutkan bahwa aktifitas menggigit Cx. quinquefasciatus di dalam rumah terbanyak antara pubil 21.00 sampai pukul 03.10 (71,22 %) dan diluar rumah antara pukul 22.00 sampai 02.10 (57,81 %), dengan puncak kepadatan menggigit sesuai dengan puncak kepadatan mikrofilaria di dalam darah tepi penderita yaitu antara pukul 00.29 sampai 01.02 (Munir 1992). Dalam penelitian ini, karena tidak ditemukan mikrofilaria dalam darah penderita filariasis klinis, maka pola menggigit Cx. quinquefasciarus tidak dapat dibandingkan dengan kepadatan mikrofilaria. Tabel 12 Aktifitas menggigit Cx. tritaeniorhynchus di dalam dan di luar rumah Di Desa Gondanglegi Kulon, Maret - Agustus - 200 1 04.00-05.00 05.00-06.00 Jumlah Persentase 8 11 188 40.52 4.3 14 5.9 18 100 276 1 59.48 5.2 6.4 100-22 29 464 100 5 6 100

~d& menggigit Cx. quinquefosciatus di luar nunah had uji. I statistiknya menunjukkan tidak ada beda nyata (P>O,O5) antara kepadatan nyamuk menggigit orang di dalam rumah dengan di Luar rumah. M t a s menggigit Cx. tritaeniorhynchus terhadap manusia di dalam dan di luar rumah meski tidak selalu ditemukan pada setiap jam penangkapan (dalam - rekapitulasi hasil penangkapan), namun angka total selama enam bulan penelitian menunjukan bahwa 13. tritaeniorhynchus dapat ditemukan pada awal jam - + penangkapan (18.00) sampai pada akhir jam penangkapan (06.00), baik menggigit di dalam maupun di luar mah. Pola fluktuasi menggigit Cx. tritaeniorbchus di dalam nunah relatif sama dengan di luar m ah (Gambar 1 l), dengan kepadatan menggigit di dalam mah lebih rendah (40,52 %) dibandingkan di luar rumah (59,48%) (Tabel 12). Gambar 11 Pola menggigit Cx. tritaeniorhynchus di dalam dan di luar rumah di Desa Oondanglegi Kulon, Maret - Agustus 2001.

2 Pembahasan umum 3.1 Aspek epidemiologi filariasis Kasus filariasis di desa Gondanglegi Kulon diketahui sejak dilaporkan adanya kasus elefantiasis oleh Puskesmas Gondanglegi kepada Dinas kesehatan Kabupaten Malang dan Sub Direktorat FiIariasis dan Schistosomiasis Departemen Kesehatan RI. pada tahun 2000. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa desa Gondanglegi Kulon dapat dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis klinis, karena telah diketahui adanya penduduk yang mengalami gejala klinis filariasis akut dan kronis, dengan angka kesakitan akut sebesar 7,4 % dan angka kesakitan kronis sebesar 1,55 %. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penderita eiefantiasis sebanyak lima orang, dengan gejala klinis berupa limfudema pada kaki bagian bawah atau bawah lutut, yang dialami sejak sembilan tahun sampai 35 tahun yang lalu. Semua penderita elefantiasis sebelum terjadi limfudema didahului oleh adanya gejala limfadenitis pada kelenjar getah bening dan limfangitis pada saluran getah bening yang menjalar ke kaki bagian bawah sehingga terjadi pembengkakan. Setiap timbul gejaia limfadenitis dan limfangitis disertai demam berkala 3-5 hari, dan kejadian tersebut berulang 4-7 kali setiap tahunnya. Secara epidemiologi kasus elefantiasis di desa Gondanglegi Kulon terjadi penularan setempat, dan sebaran umur berkisar antara 15-70 tahun, serta proporsi jenis kelamin 100 % perempuan. Adanya penderita elefantiasis semua perempuan, mungkin berkaitan dengan aktifitas penduduk perempuan di desa Gondanglegi Kulon, yang sebagian besar aktifitasnya lebih banyak berada di sekitar rumah dibandingkan dengan penduduk IakClakinya. Hal ini didukung adanya hasil pemeriksaan darah filariasis

terhadap penduduk, sebagian besar (67,18 %) yang datang dan diperiksa darahnya adalah perempuan. Meskipun pemeriksaan dilakukan pada tiga tempat (wilayah RT) yang berbeda dan waktu pemeriksaan juga berbeda, serta telah diupayakan mendatangi rumah-rumah penduduk, namun yang datang dan dapat diperiksa tetap sebagian besar perempuan. Data Sub Direktorat Filariasis dan Schistosomiasis Departemen Kesehatan RI. tentang sebaran urnur dan jenis kelamin penderita filariasis positif di desa Perigi Baru Tangerang Tahun 1990, menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan yang bermakna antara penderita lakilaki (43,33 %) dan penderita perempuan (56,67%). Transrnisi filariasis pada saat ini dan beberapa tahun terakhir diduga tidak te jadi. Hal ini terlihat pada hasil pemeriksaan darah baik terhadap penderita klinis filariasis maupun kontak serumah serta penduduk di sekitar penderita sarnpai radius 1-2 km tidak ditemukan adanya penderita positif mikrofilaria. Tetapi melihat semakin bertarnbahnya jumlah penderita elefantiasis dari satu menjadi lima penderita, berarti pada waktu yang lalu telah terjadi penularan filariasis, karena tempat domisili penderita elefantiasis masih dalam satu wilayah epidemiologi, yang berarti penularan filariasis di desa Gondanglegi Kulon bersifat setempat (indigenous). 3.2 Aspek ekologi dan kevektoran Desa Gondanglegi Kulon terutama di sekitar tempat penderita elefantiasis, merupakan tempat yang sangat sesuai bagi perkembangbiakan vektor filariasis. Di daerah ini banyak dijumpai genangan air yang positif terdapat jentik nyamuk dari berbagai spesies, diantaranya berupa empang yang banyak dipunyai

warga masyarakat yang digunakan untuk mandi cuci sehari-hari, genangan air limbah rumah tangga yang terbuka, got yang tidak mengalir, sawah yang airnya tergenang, juga banyak dijumpai semak-semak, kebun dan tegalan serta pepohonan rindang yang sangat mungkin menjadi ternpat istirahat nyamuk. Beberapa jenis genangan air tersebut temyata sesuai dengan spesies nyamuk yang diternukan saat penangkapan (Tabel 4). Beberapa aspek kevektoran dalam penelitian ini adalah, perkiraan umur nyamuk, kepadatan populasi nyamuk, adanya kontak nyamuk dengan manusia dan tingkat reseptifitas nyamuk terhadap larva infektif filaria (L3) melalui infeksi percobaan, ha1 ini telah sesuai dengan syarat-syarat nyamuk untuk menjadi vektor. Hasil penelitian terhadap komunitas nyamuk dan vektor filariasis yang diduga, menunjukan bahwa nyamuk di desa Gondanglegi Kulon jenisnya bervariasi, yaitu ditemukan sebanyak 11 spesies nyamuk (Tabel 4), enam spesies diantaranya telah dilaporkan dan dikonfirmasi atau diisolasi sebagai vektor filariasis bancrofti, yaitu Cx. quinquefasciarus di Aceh (Brug 1931) di Jakarta dan Jawa Barat (Lie 1970) di Semarang (Brug 1931) dan Tangerang (Munir 1992) dan Cx. bitaeniorhynchus (Lie 1970 dan Munir 1992), An. subpictus dan An. vagus sebagai vektor filariasis bancrofti di Flores (Lee et al. 1983), An. aconitus telah diisolasi melalui infeksi percobaan sebagai vektor filariasis bancrofti (Lie 1970). Di antara komunitas nyamuk yang terdapat berkontak fisik dengan manusia, populasi Cx. quinquefasciarus yang paling besar, baik dilihat dari analisis kelirnpahan nisbi (67,57 Oh), angka kekerapan (92,38 %) maupun angka

dominasi (62,39 76). Dengan demikian Cx. quinquefasciatus telah memenuhi syarat sebagai vektor dari segi padat populasi tertinggi dan spesies yang paling sering berkontak fisik dengan manusia. Dari segi reseptifitas nyamuk terhadap filariasis tidak ditemukan larva infektif filaria dalam tubuh nyamuk secara alami, tetapi melaui infeksi percobaan (isolasi) terbukti Cx. quinquefasciatus mengandung L3 W. bancrofti dengan angka infektif 13,33 % dan kepadatan larva per nyamuk 13,87 ekor. Dengan demikian dari segi reseptifitas nyamuk terhadap cacing filaria, Cx. quinquefasciatus di desa Gondanglegi Kulon telah memenuhi syarat sebagai vektor filariasis bancrofti. Populasi Cx. quinquejasciatus sangat dominan dibanding dengan spesies yang lain, ha1 ini karena didukung adanya habitat yang sesuai untuk perkembangbiakan nyamuk tersebut. Keadaan ekologi desa Gondanglegi Kulon tersebut seperti banyak terdapat empang (kolam) yang digunakan untuk kebutuhan mandi cuci sehari-hari, banyak terdapat buangan air limbah rumah tangga yang berupa genangan air atau got terbuka yang kurang lancar aliran airnya dan banyak didapatkan jentik Cx. quinquefasciatus. Empang dan buangan air limbah yang kurang memenuhi syarat kesehatan tersebut sangat cocok untuk tempat perindukan nyamuk, seperti dikemukakan oleh Hoedojo (1962) bahwa tempat perkembangbiakan pradewasa Cx. quinquefisciatus adalah di air tawar yang mengandung material organik seperti genangan air tanah yang kotor dan terutama air ymg terpolusi. Sebagian empang juga ditemukan ikan beunter (Puntius binotatus) yang terbawa dari aliran sungai, dan pada empang tersebut ternyata jarang ditemukan jentik nyamuk. Sesuai penelitian Usman dan Soemarlan (1974),

bahwa jumlah jentik rata-rata yang dimakan ikan beunter (Puntius binotatus) yakni 52,8 ekor setiap harinya. Keadaan lingkungan lain yang mendukung populasi Cx. quinquefasciatus dan spesies lain seperti Cx. tritaeniorhynchus, An. vagus dan Cx. bitaeniorhynchus adalah adanya kandang sapi dan buangan air limbah yang bercampur dengan kotoran sapi yang kebanyakan sangat berdekatan dengan rumah. Ketiga spesies tersebut dikenal sebagai nyamuk kandang, maka keadaan lingkungan tersebut telah cocok sebagai faktor penunjang perkembangbiakan nyamuk. Keadaan ini tepat, karena masyarakat di desa Gondanglegi Kulon banyak yang betemak sapi perah sebagai mata pencaharian selain bertani. 3.3 Upaya pengendalian Secara klinis akut dan kronis desa Gondanglegi Kulon telah terbukti merupakan daerah endemis filariasis klinis, meskipun secara mikroskopis belum ditemukan positif mikrofilaria dan di alam belum ditemukan vektornya. Namun bukan berarti filariasis di desa Gondanglegi Kulon dan sekitarnya bukan bermasalah, bahkan sebaliknya penderita elefantiasis dan keluarganya telah mengalami penderitaan dan kerugian yang cukup besar baik secara fisik, psikologi, materi maupun sosial. Untuk itu upaya pemberantasan penyakit filariasis dan pengendalian vektornya perlu diupayakan dengan sungguh-sungguh. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai dasar untuk melakukan pemberatasan penyakit filariasis dm pengendalian vektornya, di antaranya adalah (1) Terhadap penderita elefantiasis pengobatan dengan DEC perlu dilanjutkan, karena telah terbukti setelah dilakukan pengobatan sebanyak 25 kali para penderita banyak mengalami kemajuan kesehatannya. Terutama dari gejala klinis

yang biasa dialami penderita secara berkala seperti demam 3-5 hari yang diikuti rasa nyeri dan panas pada permukaan tubuh yang mengalami limfudema, perasam mual dan hilang nafsu makan, rasa gelisah dan tidak dapat tidur, gejala tersebut sering dialami penderita harnpir setiap satu atau dua bulan sekali. Setelah diberikan pengobatan maka penderita tidak menunjukkan gejala klinis lagi, dan kaki yang mengalmi limfudema juga mengecil ukurannya. (2) Terhadap penderita klinis akut filariasis perlu dipantau terus kesehatannya dan perlu dilakukan pemeriksaan darah ulang. Akan lebih baik bila dilakukan penelitian dengan metode pemeriksaan darah yang lebih sensitif dan lebih tepat waktu pengambilannya disesuaikan dengan puncak kepadatan vektomya. (3) Untuk pengendalian vektomya, perlu dilakukan penataan keadaan lingkungan fisik khususnya sistem pembuangan air limbah rumah tangga agar memenuhi syarat kesehatan dan tidak menjadi tempat perindukan vektor filariasis. Kolam (empang) di sekitar rumah yang banyak terdapat di desa Gondanglegi Kulon perlu diisi ikan, terutama ikan yang dapat berperan sebagai pemakan jentik dan sekaligus dapat dikonsumsi masyarakat, seperti ikan mujaer, ikan emas dan lainlain. Beberapa kemungkinan yang menyebabkan tidak ditemukannya mikrofilaria dalarn darah antara lain adalah (1) kepadatan mikrofilaria dalam darah penderita sangat rendah, dan kemungkinan mikrofilaria yang dihisap sangat rendah atau jarang sekali terjadi (2) kepadatan populasi Cx. quinquefasciutus dengan berbagai cara penangkapan cukup tinggi, tetapi umur nyamuk pada setiap penangkapan tidak selalu panjang (melebihi masa inkubasi ekstrinsik), sehingga kemungkinan nyamuk menjadi vektor filariasis tidak terjadi secara terus menerus

(3) galur Cx. quinquefisciatus di daerah penelitian relatif tidak akomodatif terhadap larva (4) telah timbul respon kekebalan terhadap filariasis pada penderita, terutama penderita yang dewasa (5) metode pemeriksaan darah yang digunakan masih kurang sensitif untuk mendeteksi mikrofilaria dalam konsentrasi yang rendah (6) waktu pengambilan darah pada penderita dan penduduk masih kurang tepat pada kepadatan mikrofilaria tertinggi (7) petugas yang melakukan penangkapan nyamuk masih kurang terampil.