BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi

PERBANDINGAN TRAMADOL 0.5 DAN 1 MG/KGBB IV DALAM MENCEGAH MENGGIGIL DENGAN EFEK SAMPING YANG MINIMAL PADA ANESTESI SPINAL T E S I S

Suhu inti (core temperature) Suhu inti menggambarkan suhu organ-organ dalam (kepala, dada, abdomen) dan dipertahankan mendekati 37 C.

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang

BAB IV THERMOREGULASI A. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

LAPORAN PENDAHULUAN Konsep kebutuhan mempertahankan suhu tubuh normal I.1 Definisi kebutuhan termoregulasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal

REGULASI PERNAPASAN Pusat Pernapasan. Pusat pernapasan adalah beberapa kelompok neuron yang terletak di sebelah bilateral medula oblongata dan pons.

TERHADAP KEJADIAN MENGGIGIL PADA PASIEN OPERASI SECSIO CAESAREA DI KAMAR OPERASI RUMAH SAKIT AISYIYAH BOJONEGORO

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

BAB I PENDAHULUAN. modalitas sensorik tetapi adalah suatu pengalaman 1. The

mekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KESEIMBANGAN SUHU TUBUH

BAB I PENDAHULUAN. anestesiologi. 3. Universitas Sumatera Utara

Fungsi. Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu: Pusat pengendali tanggapan, Alat komunikasi dengan dunia luar.

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADIA PASIEN GANGGUAN KEBUTUHAN SUHU TUBUH (HIPERTERMI)

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

PENGARUH PEMBILASAN CAVUM ABDOMEN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. subarachnoid sehingga bercampur dengan liquor cerebrospinalis (LCS) untuk mendapatkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Jeanny Ivones (G2B ) Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro Page 1

BAB I PENDAHULUAN. untuk prosedur tersebut. Angka bedah caesar pada ibu usia 35 tahun ke atas jauh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak

Metodologi Penelitian

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI

Suhu tubuh: Keseimbangan antara panas yg diproduksi tubuh dgn panas yg hilang dr tubuh. Jenis2 suhu tubuh: 1. Suhu inti: suhu jar.

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase

BAB I PENDAHULUAN. progresif. Perubahan serviks ini memungkinkan keluarnya janin dan produk

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. diinginkan (Covino et al., 1994). Teknik ini pertama kali dilakukan oleh seorang ahli bedah

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi.

Kesetimbangan asam basa tubuh

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

HIPOGLIKEMIA PADA PASIEN DIABETES MELLITUS

BAB III SISTEM KOORDINASI (SARAF)

Sistem saraf. Kurnia Eka Wijayanti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TERMOREGULASI 4/12/2016 MATERI AJAR FISIOLOGI VETERINER II (TERMOREGULASI) 1

BIOFISIKA 2 BIOENERGETIKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

- TEMPERATUR - Temperatur inti tubuh manusia berada pada kisaran nilai 37 o C (khususnya bagian otak dan rongga dada) 30/10/2011

DIVISI PERINATOLOGI Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

DEMAM (PIREKSIA) Demam adalah peningkatan suhu tubuh yang disebabkan oleh penyakit

Tipe trauma kepala Trauma kepala terbuka

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGANTAR FARMAKOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses

SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dikonsumsi, tetapi juga dari aktivitas atau latihan fisik yang dilakukan. Efek akut

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1mm/KgBB + tramadol. Dalam hal ini, masing-masing data akan

Clinical Science Session Pain

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu indikator keberhasilan pembanguan adalah semakin

PATOFISIOLOGI ANSIETAS

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg

Anatomi dan Fisiologi saluran pernafasan. 1/9/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes 1

ASUHAN KEPERAWATAN PADA USILA DENGAN GANGGUAN SISTEM CARDIOVASKULER (ANGINA PECTORIS)

BAB I PENDAHULUAN. oksigen dalam darah. Salah satu indikator yang sangat penting dalam supply

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat

RINI ASTRIYANA YULIANTIKA J500

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PEMBAHASAN. Manifestasi fisiologi nyeri

Jenis hormon berdasarkan pembentuknya 1. Hormon steroid; struktur kimianya mirip dengan kolesterol. Contoh : kortisol, aldosteron, estrogen,

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG

BAB V PEMBAHASAN. menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan rata-rata tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada (kurangnya aktivitas fisik), merupakan faktor resiko independen. menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010)

Pengantar Farmakologi

Data Demografi. Ø Perubahan posisi dan diafragma ke atas dan ukuran jantung sebanding dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB 1 1. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2002).

SISTEM SIRKULASI PADA HEWAN AIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kompres adalah bantalan dari linen atau meteri lainnya yang dilipat-lipat,

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Menggigil paska anestesi regional sekitar 40-60%. Ciri khas menggigil berupa tremor ritmik dan merupakan respon termoregulator yang normal terhadap hipotermia selama anestesi regional dan pembedahan. Gerakan mirip menggigil yang berasal dari non termoregulator dan bersifat involunter juga bisa muncul pada periode pasca pembedahan. Menggigil non termoregulator dapat berhubungan dengan pengendalian nyeri yang tidak adekuat pada saat pulih sadar atau berhubungan dengan etiologi lain. Kontraksi otot tonik pada waktu pulih sadar dari agen halogen dapat terlihat seperti mengigil demikian juga gerakan klonik spontan yang menyerupai menggigil juga dapat terlihat. 6 2.1. FISIOLOGI Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,5 37,5 0 C pada suhu lingkungan dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada keadaan homeotermik, sistem termoregulasi diatur untuk mempertahankan temperatur tubuh internal dalam batas fisiologis dan metabolisme normal. Tindakan anestesi dapat menghilangkan mekanisme adaptasi dan berpotensi mengganggu mekanisme fisiologis fungsi termoregulasi. 8 Kombinasi antara gangguan termoregulasi yang disebabkan oleh tindakan anestesi dan eksposur suhu lingkungan yang rendah, akan mengakibatkan terjadinya hipotermia pada pasien yang mengalami pembedahan. Menggigil merupakan salah satu konsekuensi terjadinya hipotermia perioperatif yang dapat berpotensi untuk terjadi sejumlah sekuele, yaitu peningkatan konsumsi oksigen dan potensi produksi karbon dioksida, pelepasan katekolamin, peningkatan cardiac output, takikardia, hipertensi, dan peningkatan tekanan intraokuler. Definisi hipotermia adalah temperatur inti 1 0 C lebih rendah di bawah standar deviasi rata rata temperatur inti manusia pada keadaaan istirahat dengan suhu lingkungan yang normal (28 35 0 C). Kerugian paska operasi yang disebabkan oleh gangguan fungsi termoregulasi adalah infeksi pada luka operasi, perdarahan, dan gangguan fungsi jantung yang juga berhubungan dengan terjadinya hipotermia perioperatif. 8 Fungsi termoregulasi diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang terdiri dari termoreseptor sentral dan perifer yang terintegrasi pada pengendali dan sistem respon 5

eferen. Input temal aferen datang dari reseptor panas dan dingin baik itu di sentral atau di perifer. Hipotalamus juga mengatur tonus otot pembuluh darah kutaneus, menggigil, dan termogenesis tanpa menggigil yang terjadi bila ada peningkatan produksi panas. 8 Secara historis, traktus spinotalamikus lateralis diketahui sebagai satu satunya jalur termoaferen menuju pusat termoregulasi di hipotalamus. Seluruh jalur serabut saraf asendens ini terpusat pada formatio retikularis dan neuron termosensitif berada pada daerah di luar preoptik anterior hipotalamus, termasuk ventromedial hipotalamus midbrain, medula oblongata, dan korda spinalis. Input multiple yang berasal dari berbagai termosensitif, diintegrasikan pada beberapa tingkat di korda spinalis dan otak untuk koordinasi bentuk respon pertahanan tubuh. 8 Sistem termoregulasi manusia dibagi dalam tiga komponen : termosensor dan jalur saraf aferen, integrasi input termal, dan jalur saraf efektor pada sistem saraf otonom. 8 2.1.1. Termosensor dan Jalur Saraf Aferen Banyak pengetahuan mengenai struktur sistem termoregulasi yang diperoleh dari penelitian pada hewan. Input termal aferen dapat berasal dari sentral dan perifer. Reseptor termal terdapat pada kulit dan membran mukosa yang sensitif terhadap sensasi termal dan memberikan kontribusi terhadap refleks termoregulasi. Reseptor spesifik dingin mengeluarkan impuls pada suhu 25 30 0 C. Impuls ini berjalan pada serabut saraf tipe A δ. Reseptor panas mengeluarkan impuls pada suhu 45 50 0 C dan berjalan pada serabut saraf tipe C. 8 Reseptor dingin berespon terhadap perubahan sementara temperatur lingkungan dalm waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur lingkungan dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur lingkungan biasanya diikuti respon temperatur kulit. Hal ini dibuktikan pada penelitian terhadap sistem termoregulasi manusia secara kimia. Pada penelitian tersebut, disebutkan bahwa produksi panas tubuh selalu diukur melalui kebutuhan oksigen tubuh. Termoregulasi terhadap dingin dipengaruhi oleh reseptor dingin pada kulit dan dihambat oleh pusat reseptor panas. Reseptor dingin kulit merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap temperatur dingin dan input aferen yang berasal dari reseptor dingin ditransmisikan langsung ke hipotalamus. 8 6

Berbeda dengan reseptor dingin perifer, lokasi reseptor dingin sentral tidak begitu jelas secara anatomis. Produksi panas pada temperatur kulit yang hangat meningkat bila temperatur inti tubuh menurun kurang dari 36 0 C. Pusat termoreseptor dingin kurang begitu penting bila dibandingkan input sensoris dingin perifer, akan tetapi suatu penelitian terhadap transeksi korda spinalis, menyimpulkan bahwa proses di pusat termoregulasi akan aktif bila temperatur inti tubuh di bawah titik ambang batas set point dan kurang sensitif terhadap termoreseptor perifer. 8 Gambar 2.1. Alur Kontrol Termoregulasi 6 2.1.2. Hipotalamus Pusat Integrasi Mekanisme informasi termal aferen akan diolah oleh pusat regulasi temperatur yang berada di hipotalamus. Hipotalamus anterior menerima informasi termal aferen secara integral dan hipotalamus posterior mengontrol jalur desendens ke efektor. Area preoptik hipotalamus berisi saraf sensitif dan insensitif terhadap temperatur temperatur. Beberapa ahli membaginya dalam saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon 7

peningkatan produksi panas lokal yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon peningkatan produksi panas lokal yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap dingin sebaliknya, meningkatkan respon terhadap dingin tubuh pada area preoptik hipotalamus. Saraf yang sensitif tehadap stimulasi termal lokal dikontrol oleh hipotalamus posterior, formatio retikularis, dan medula spinalis. 8 Hipotalamus posterior menerima rangsang aferen dingin yang berasal dari perifer dengan stimulasi panas yang bersumber dari area preoptik hipotalamus dan mengaktifkan respon efektor. Deteksi dingin dibedakan dengan panas berdasarkan impuls aferen yang berasal dari reseptor dingin. Bila temperatur inti tubuh turun 0,5 0 C dibawah nilai normal, neuron preoptik akan menjadi tidak aktif. Kulit mengandung reseptor dingin dan panas, dimana reseptor dingin 10 kali lebih banyak bila dibandingkan dengan reseptor panas. 8 Suatu penelitian terhadap manusia menyimpulkan bahwa termoregulasi otonom bekerja melalui empat mekanisme saraf yaitu : deteksi panas sentral, deteksi dingin perifer, pusat inhibisi panas sebagai respon metabolik terhadap dingin, dan inhibisi termoregulasi keringat terhadap kulit yang dingin. 8 Temperatur set point didefinisikan sebagai batas ambang temperatur sekitar 36,7 37,1 0 C. Set point ini dapat disebut juga thermoneutral zone atau interthreshold range dan pada manusia sangat unik. Pada manusia set point ini bervariasi, selama tidur suhu tubuh sekitar 36,2 0 C sampai menjelang pagi, meningkat lebih dari 1 0 C menjelang malam. Wanita memiliki nilai set point yang lebih tinggi 1 0 C selama siklus menstruasi pada fase luteal. Pada tumor intrakranial seperti space occupying lesion dan keadaan dehidrasi dapat menyebabkan peningkatan temperatur set point dengan mekanisme yang belum jelas. 8 8

Gambar 2.2. Hubungan hipotermia dan hipotalamus. 6 2.1.3. Respon Efektor Respon termoregulasi ditandai dengan : pertama, perubahan tingkah laku yang secara kuantitatif mekanisme ini lebih efektif, kedua, respon vasomotor yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan piloereksi sebagai respon terhadap dingin, dan vasodilatasi dan berkeringat sebagai respon terhadap panas, ketiga, menggigil dan peningkatan rata rata metabolisme. 8 Pada keadaan sadar, perubahan tingkah laku lebih jelas terlihat bila dibandingkan dengan mekanisme otonom regulasi temperatur tubuh. Bila hipotalamic termostat mengindikasikan adanya temperatur tubuh terlalu dingin, impuls dapat sampai ke korteks serebri tanpa melalui hipotalamus untuk menghasilkan sensasi rasa dingin. Keadaan ini menimbulkan perubahan tingkah laku seperti peningkatan aktivitas motorik, berusaha mencari penghangat atau memakai penghangat tambahan. Kontrol respon tingkah laku terhadap dingin didasari oleh besarnya signal panas yang diterima kulit. 8 Dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan suhu tubuh bertujuan untuk mempertahankan suhu tubuh inti pada batas normal dengan mekanisme seperti gambar dibawah ini. 8 9

Gambar 2.3. Mekanisme kontrol termoregulasi. 6 2.2. PATOFISIOLOGI Fungsi termoregulasi mengalami perubahan selama dilakukan tindakan anestesi dan mekanisme kontrol terhadap temperatur setelah dilakukan tindakan anestesi baik umum maupun regional akan hilang. Seorang anestesiologist harus mengetahui management kontrol termoregulasi pasien. Tindakan anestesi menyebabkan gangguan fungsi termoregulator yang ditandai dengan peningkatan ambang respon terhadap panas dan penurunan ambang respon terhadap dingin. 6 Hampir semua obat obat anestesi mengganggu respon termoregulasi. Temperatur inti pada anestesi umum akan mengalami penurunan antara 1,0 1,5 0 C selama satu jam pertama anestesi yang diukur pada membran timpani. Sedangkan pada anestesi spinal dan epidural menurunkan ambang vasokonstriksi dan menggigil pada tingkatan yang berbeda, akan tetapi ukurannya kurang dari 0,6 0 C dibandingkan anestesi umum dimana pengukuran dilakukan di atas ketinggian blok. 6 10

Gambar 2.4. Hubungan anestesi dengan penurunan core temperatur. 6 Pemberian obat lokal anestesi untuk sentral neuraxis tidak langsung berinteraksi dengan pusat kontrol yang ada di hipotalamus dan pemberian lokal anestesi intravena pada dosis ekuivalen plasma level setelah anestesi regional tidak berpengaruh terhadap termoregulasi. Mekanisme gangguan pada termoregulasi selama anestesi regional tidak diketahui dengan jelas, tapi diduga perubahan sistem termoregulasi ini disebabkan pengaruh blokade regional pada jalur informasi termal aferen. 6 Gambar 2.5. Ambang termoregulator pada manusia normal (tidak teranestesi). 6 11

Gambar 2.6. Ambang termoregulator pada manusia yang teranestesi. 6 Pada anestesi spinal akan menurunkan ambang menggigil sampai dan pada inti hipotermi pada jam pertama atau setelah dilakukan anestesi spinal akan menurun sekitar 1 2 0 C, hal ini berhubungan dengan redistribusi panas tubuh dari kompartermen inti ke perifer dimana spinal menyebabkan vasodilatasi. 6 Pada anestesi spinal terjadi menggigil di atas blokade dari lokal anestesi disebabkan karena ketidakmampuan kompensasi otot di bawah ketinggian blokade untuk terjadinya menggigil. Sama seperti pada anestesi umum, hipotermia terjadi pada jam pertama anestesi, atau setelah dilakukan tindakan anestesi spinal. Hal ini terjadi karena proses redistribusi panas inti tubuh ke perifer oleh vasodilatasi yang disebabkan blokade anestesi spinal. 6 Terjadinya hipotermia tidak hanya murni karena faktor blokade spinal itu sendiri tapi juga karena faktor lain seperti cairan infus atau cairan irigasi yang dingin, temperatur ruangan operasi dan tindakan pembedahan. Pasien akan mengalami penurunan temperatur tubuh oleh karena terjadi redistribusi panas di bawah ketinggian blok ditambah pemberian cairan dengan suhu yang rendah akan memberikan implikasi yang tidak baik pada pasien yang menjalani pembedahan terutama pasien dengan usia tua karena kemampuan untuk mempertahankan temperatur tubuh pada keadaan stress sudah menurun. 6 Pemberian obat lokal anestesi yang dingin seperti es, akan meningkatkan kejadian menggigil dibandingkan bila obat dihangatkan sebelumnya pada suhu 30 0 C, tetapi penghangatan ini tidak berlaku pada pasien yang tidak hamil karena tidak ada perbedaan jika diberikan dalam keadaan dingin atau hangat. Menggigil selama anestesi regional anestesi dapat dicegah dengan mempertahankan suhu ruangan yang optimal, pemberian selimut dan lampu penghangat atau dengan pemberian obat yang efektifitasnya sama untuk mengatasi menggigil paska anestesi umum. 6 12

Terjadinya hipotermia selama regional anestesi tidak dipicu oleh sensasi terhadap dingin. Hal ini menggambarkan suatu kenyataan bahwa persepsi dingin secara subjektif tergantung pada input aferen suhu pada kulit dan vasodilatasi perifer yang disebabkan oleh regional anestesi. Setelah terjadi redistribusi panas tubuh ke perifer pada induksi anestesi umum dan regional, hipotermia selanjutnya tergantung pada keseimbangan antara pelepasan panas pada kulit dan metabolisme panas yang akan melepas panas tubuh. Selama anestesi spinal terdapat dua faktor yang akan mempercepat pelepasan panas dan mencegah timbulnya perubahan temperatur inti yang terlihat setelah anestesi : pertama, dengan menurunkan ambang vasokonstriksi yang digabungkan dengan vasodilatasi pada tungkai bawah selama blok terjadi. Oleh karena itu kehilangan panas terus berlangsung selama anestesi spinal meskipun mekanisme aktivitas efektor berlangsung di atas ketinggian blok. Hal ini terlihat khususnya pada kombinasi antara anestesi umum dan epidural. Kedua, anestesi spinal menurunkan ambang vasokonstriksi selama tindakan anestesi dan meningkatkan rata rata sensasi dingin bila dibandingkan hanya dengan anestesi umum saja karena vasokonstriksi yang secara kuantitatif terpenting pada ekstremitas bawah dihambat oleh blokade itu sendiri. 6 Menggigil merupakan mekanisme pertahanan terakhir yang timbul bila mekanisme kompensasi yang lain tidak mampu mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal. Rangsangan dingin akan diterima afektor diteruskan ke hipothalamus anterior dan memerintahkan bagian efektor untuk merespon berupa kontraksi otot tonik dan klonik secara teratur dan bersifat involunter serta dapat menghasilkan panas sampai dengan 600% diatas basal. Mekanisme ini akan dihambat oleh tindakan anestesia dan pemaparan pada lingkungan yang dingin dan dapat meningkat pada saat penghentian anestesia. 6 Penurunan laju metabolisme yang disebabkan oleh hipotermia dapat memperpanjang efek anestesi sedangkan menggigil yang menyertainya akan meningkatkan konsumsi oksigen 100% 600% 2,4, dan meningkatkan resiko angina dan aritmia pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler. 2 Morbiditas yang mungkin terjadi dan telah dilaporkan cukup bermakna adalah peningkatan kebutuhan metabolik (hal ini dapat membahayakan pada pasien dengan cadangan hidup yang terbatas dan yang berada pada resiko kejadian koroner), menimbulkan nyeri pada luka, meningkatkan produksi CO 2, denyut jantung, memicu vasokonstriksi dan dengan demikian meningkatkan resistensi vaskular, tekanan darah, dan volume jantung sekuncup sehingga terjadi peningkatan tekanan intraokuler dan intrakranial. Sebagai tambahan, resiko perdarahan dan infeksi luka bedah akan meningkat 13

pada pasien hipotermik. Karena alasan alasan itulah, mempertahankan pasien pada suhu normal merupakan baku perawatan. 6 2.3 ETIOLOGI Etiologi menggigil masih belum jelas, tetapi, diperkirakan bahwa hipotermia selama pembedahan dan gangguan pada pusat termoregulator merupakan faktor penyebab yang utama. Penelitian elektromiografi menunjukkan bahwa menggigil paska tindakan anestesi berbeda dengan menggigil yang disebabkan oleh flu. Faktor lain yang diperkirakan sebagai modulator menggigil meliputi penggunaan obat anestesi, dan respon febril. Menggigil merupakan respon terhadap hipotermia selama pembedahan dengan anestesi regional dan general yang terjadi karena perbedaan antara suhu darah dan kulit dengan suhu inti tubuh. Setiap pasien yang menjalani pembedahan berada dalam resiko untuk mengalami hipotermia 1. Ahli anestesi menempatkan menggigil pada posisi ke 8 sebagai yang sering terjadi dan ke 21 sebagai komplikasi yang perlu dicegah. 9 Pada manusia suhu inti tubuh dipertahankan dalam batas 36.5 37.5 C. 10,11 Walaupun literatur yang ada saat ini tidak memberikan definisi yang jelas tentang normotermia ataupun hipotermia tetapi para ahli menyatakan bahwa normotermia berada pada temperatur inti yang berkisar antara 36ºC 38ºC (96.8ºF 100.4ºF). Hipotermia terjadi bila temperatur inti kurang dari 36ºC (96.8ºF). Hipotermia dapat terjadi diluar temperatur tersebut jika pasien mengeluh merasa kedinginan atau menampilkan gejala hipotermia seperti menggigil, vasokonstriksi perifer, dan piloereksi. 1 Hipotermia sering terjadi sebagai efek samping dari anestesi. 2 Yang mana anestesi spinal menyebabkan vasodilatasi dan hambatan pada pusat pengaturan suhu dan transfer panas antar kompartemen. Faktor yang mendukung kejadian hipotermia bervariasi, meliputi berikut ini : 1 Usia ekstrim (Anak anak dan orangtua) Kehamilan Suhu ruangan Lama dan jenis prosedur bedah Kondisi yang ada sebelumnya (kehamilan, luka bakar, luka terbuka, dll) Status hidrasi Penggunaan cairan dan irigasi yang dingin 14

Pemberian anestesia umum Pemberian anestesia regional 2.4 Mekanisme Pertukaran Panas Pertukaran panas antara tubuh dan lingkungan sekitar dicapai dengan berbagai cara seperti yang dijelaskan berikut ini : a. Radiasi Radiasi mengarah kepada hilangnya panas via sinar infrared (sebuah tipe gelombang elektromagnetis) yang keluar dari kulit. Gelombang ini berasal dari semua benda yang ada dengan suhu diatas nol mutlak (absolute zero temperature), dan intensitas radiasi meningkat sebanding dengan peningkatan suhu benda. Dalam kondisi normal, radiasi meliputi sekitar 60 % dari panas yang hilang dari tubuh manusia. b. Konduksi Konduksi adalah perpindahan panas dari benda dengan suhu yang lebih tinggi ke benda dengan suhu yang lebih rendah. Ini dikarenakan sifat panas yang merupakan energi kinetik. Perpindahan panas dengan cara konduksi menyebabkan hilangnya panas dari tubuh sebesar 15%. c. Konveksi Ketika panas hilang dari kulit, ia akan menghangatkan udara tepat di atas permukaan kulit. Peningkatan suhu permukaan ini membatasi kehilangan panas tubuh yang berlebih akibat konduksi. Akan tetapi ketika aliran udara dari kipas (atau hembusan angin) melewati kulit, ia akan menggantikan lapisan hangat dari udara di atas permukaan kulit dan menggantinya dengan udara yang lebih dingin, hal ini menyebabkan hilangnya panas tubuh terus menerus akibat konduksi. Efek yang sama dihasilkan dengan peningkatan aliran darah tepat di bawah permukaan kulit. Aksi dari aliran (darah dan udara) menyebabkan hilangnya panas yang dikenal dengan konveksi. d. Evaporasi Perubahan air dari fase zat cair mejadi gas memerlukan panas, dan ketika air atau keringat berevaporasi dari permukaan tubuh, panas yang digunakan adalah panas tubuh. Normalnya, evaporasi meliputi 20% dari hilangnya panas tubuh (kebanyakan merupakan akibat dari insensible fluid loss dari paru). Evaporasi memainkan peran penting dalam adaptasi stress thermal. 15

2.5 MONITOR SUHU Efek fisiologik dari perubahan suhu tubuh adalah alasan utama untuk memonitor suhu tubuh sewaktu tindakan anestesi. Sebagai proteksi supaya tidak terkadi iskemik jaringan direkomendasikan suhu inti intraoperatif harus dijaga diatas 36 0 C. Pengukuran suhu harus akurat dan konsisten. Merupakan kewajiban dari praktisi untuk menentukan metode terbaik mengawasi suhu inti pasien dan untuk menggunakan perangkat pengawasan suhu secara benar sekaligus memperkirakan bagian mana yang akan diukur, kenyamanan pasien, dan keamanan. Selama periode perioperatif ketika suhu inti berubah dengan cepat, hubungan antara suhu yang terukur pada berbagai bagian tubuh dapat berbeda. Suhu inti diukur pada arteri pulmonal, distal esofagus, nasofaring dan membran timpani. Distal esofagus (25% dari bagian bawah esofagus) memberikan gambaran suhu darah dan serebral. Suhu membran timpani dan aural kanal memberikan estimasi suhu hipotalamus dan berkorelasi dengan suhu esofagus. Suhu inti juga dapat diperkirakan dengan menggunakan bagian oral, aksiler, ataupun kandung kencing. Suhu kulit dan rektal yang disesuaikan dapat menggambarkan suhu inti dengan cukup baik, tetapi menjadi tidak dapat diandalkan ketika terjadi Krisis Hipertermia Maligna. Beberapa penelitian terakhir menyatakan bahwa pengukuran suhu membrana timpani menggunakan infra merah merupakan metode pengukuran suhu selama dan pasca pembedahan yang lebih disukai. Perlu diingat bahwa ketepatan pembacaan suhu bergantung pada operator, anatomi pasien, dan alat ukurnya. 7 2.6 OBAT OBATAN Hampir semua anestetis akan berusaha mengobati kejadian menggigil pada periode durante dan pasca pembedahan. Mekanisme kerja dan lokasi kerja serta dosis optimal obat-obat yang memiliki kemampuan menghilangkan menggigil masih belum jelas. Sebagian besar diduga dengan cara menurunkan ambang menggigil. Banyak sediaan obat digunakan untuk tujuan ini, walaupun masih dalam tahap uji klinis seperti clonidine, doxapram, ketanserin, alfentanil, dexametason dosis rendah, 16

magnesium sulfat, ketamin,tramadol dll. Salah satu obat yang paling efektif adalah Pethidin. 8 Pethidin efektif sebagai terapi terhadap menggigil. Pethidin menurunkan ambang rangsang menggigil dua kali dibandingkan dengan ambang vasokonstriksi. Mekanisme pethidin sebagai antishivering mungkin bisa dijelaskan oleh kerja pethidin yang menginhibisi re-uptake biogenic monoamine, antagonis reseptor 8 NMDA(N-methyl d-aspartate) atau stimulasi dari reseptor-α 2. Pethidin merupakan sintetis opioid agonist yang bekerja pada reseptor-µ dan reseptor-k dan merupakan derivate dari phenylepiperidine. Sesuai rumus bangunnya, pethidin hampir sama dengan atropine, dan memiliki kerja mild atropine. 16 Petidin intratekal akan berikatan dengan reseptor-µ dan reseptor-k di mana reseptor-reseptor ini akan menurunkan ambang rangsang menggigil. Petidin intratekal juga akan menstimuli reseptor-α 2 dimana jika reseptor ini distimuli akan meningkatkan pelepasan norepinefrin. Petidin intratekal juga akan mengantagonis reseptor NMDA (N-methyl d aspatartate). 8 Mekanisme menggigil diatur oleh keseimbangan antara serotonin dan norepinefrin pada hypothalamus, dimana peningkatan serotonin akan mennyebabkan terjadinya menggigil dan vasokonstriksi sedangkan norepinefrin akan menurunkan ambang suhu untuk terjadinya menggigil. Pada prinsipnya pemberian petidin intratekal ini untuk meningkatkan jumlah norepinefrin pada medulla spinalis dimana hal ini akan memodulasi ambang suhu yang datang dari perifer menuju hypothalamus. 8 Gambar 2.7 struktur kimiawi dari pethidin 17

2.6.1 FARMAKOKINETIK Morfin kurang lebih 10 kali lebih poten dari pethidine. Dimana 80-100mg IM dari pethidin memiliki efek yang sama dengan 10 mg morfin IM. Durasi dari pethidin 2-4 jam, sedikit lebih pendek dibandingkan morfin. Pada rentang dosis analgetik, pethidin menghasilkan efek sedasi, euphoria, mual,muntah dan depresi pernafasan sama seperti morfin. Tidak seperti morfin, pethidin baik diabsorpsi di saluran cerna,tetapi jika dibandingkan dengan IM hanya ½ kali efektiviatasnya. 17 Waktu paruh penggunaan pethidin intrathecal pada manusia pendek; 6 jam setelah penyuntikan pethidin intrathecal hanya 0,4 % dari dosis awal yang terdeteksi pada CSF di lumbal. Konsentrasi pethidin pada C 7 -T 1 turun dengan cepat,hal ini meminimalisir kemungkinan terjadinya delayed depresi respirasi. Efek sistemik lama timbul pada pemberian pethidin intrathecal karena sifat pethidin yang lebih cepat larut dalam lemak yang menyebabkan cepatnya efflux pethidin kedalam sistem vena dan limphatik. 20 2.6.2 METABOLISME Metabolism pethidine terjadi di hepar, dimana hampir 90% bentuk asal pethidin mengalami demetilisasi menjadi normeperidine dan dihidrolisis menjadi meperidinic acid. Kemudian diekskresi melalui urin, tetapi tergantung dari nilai ph dari urin. Sebagai contoh ph urin<5 sebanyak 25% dari bentuk asli pethidin dikeluarkan. Jadi penambahan keasaman dari ph urin bisa dipertimbangkan untuk mempercepat eliminasi dari pethidin. Menurunnya fungsi ginjal akan menyebabkan terakumulasi bentuk normeperidine. Normeperidine memiliki waktu paruh 15 jam(<35 jam pada pasien dengan gagal ginjal) dan dapat dideteksi selama 3 hari setelah pemberian. Normeperidine dapat menyebabkan stimulasi dari CNS. Toksisitas dari normeperidine dapat menyebabkan terjadinya myoklonus dan kejang. 16 2.6.3 EFEK SAMPING A. Kardiovaskuler Pethidin menyebabkan peningkatan heart rate (struktur kimia pethidin mirip dengan atropine). Dosis tinggi dari morfin, fentanyl, sulfentanil, remifentanyl dan alfentanyl berhubungan dengan bradikardia yang dimediasi oleh nervus vagus. Morfin dan pethidin menyebabkan pelepasan dari histamine pada 18

beberapa individu dan dapat menyebabkan menurunnya tahanan perifer sistemik arterial blood pressure. 18 B. Respirasi Opioid dapat mendepressi ventilasi. Hal ini disebabkan ambang rangsang apneu ditingkatkannya dimana PaCO2 meningkat selama periode apneu dan menurunnya hypoxic drive. Morfin dan pethidin juga dapat menginduced bronchospasme. 18 C. Cerebral Opioid dapat mereduksi cerebral oxygen consumption, cerebral blood flow dan tekanan intracranial, tetapi efek ini masih lebih rendah dibandingkan barbiturate atau benzodiazepine. Pethidin merupakan opioid yang unik, dimana bila diberikan secara intrathecal memiliki struktur yang sama dengan sameridin yang memiliki efek local anestetik. 18 D. Gastrointestinal Opioid dapat memperlambat waktu pengosongan lambung dengan menurunkan peristaltik. Nyeri bilier disebabkan karena kontraksi dari spincter Oddi. Pasien yang mendapat opioid dalam waktu lama seperti pada pasien kanker menjadi toleran terhadap efek samping kecuali efek konstipasi yang disebabkan menurunnya motilitas gastrointestinal. 18 E. Endokrin Stress respon terhadap tindakan pembedahan seperti sekresi hormone katekolamin, antidiuretik hormone dan kortisol. Opioid memblok pelepasan hormone-hormon ini. 18 Secara umum efek samping dari penggunaan opioid tergantung pada besarnya dosis yang digunakan. Ada empat efek samping yang sering timbul pada penggunaan neuraxial opioid,seperti pruritus, mual dan muntah, retensi urin dan depresi pernafasan. 17 a. Pruritus Pruritus adalah efek samping yang paling sering timbul pada penggunaan neuraxial opioids. Sering timbul didaerah wajah,leher dan thorak atas. Pruritus sering timbul pada pasien obstetri,mungkin disebabkan interaksi antara estrogen dengan reseptor opioid. Pruritus yang disebabkan pada penggunaan neuraksial 19

opioid disebabkan oleh migrasi opioid ke cephalad pada CSF dan berinteraksi dengan reseptor opioid di nucleus trigeminal. Antagonist dari opioid seperti naloxone efektive untuk mengurangi pruritus yang terjadi. Antihistamine juga efektive untuk mengatasi pruritus yang disebabkan oleh opioid. 17 b. Retensi Urine Retensi urin sering terjadi pada laki-laki dewasa muda. Retensi urin pada penggunaan neuraxial opioid sering terjadi dibandingkan pada penggunaan secara IV dan IM. Terjadinya retensi urin tidak tergantung pada besarnya dosis yang digunakan atau besarnya absorbsi sistemik dari opioid. Retensi urin disebabkan karena interaksi antara opioid dengan reseptor opioid yang berlokasi pada spinal cord di sacral. Interaksi ini menyebabkan inhibisi dari nervus parasimpatik di sacral yang menyebabkan relaksasi otot detrusor dan meningkatkan maksimum dari volume kandung kemih. 17 c. Depresi pernafasan Efek samping yang paling serius dari penggunaan opioid adalah depresi pernafasan,yang bisa timbul beberapa menit atau beberapa jam setelah pemakaian opioid. Insiden terjadinya depresi pernafasan setelah pemakaian neuraxial opioid pada dosis konvensional sekitar 1%, sama dengan pemakaian opioid IV dan IM dengan dosis konvensional. Depresi pernafasan yang cepat terjadi dalam waktu 2 jam setelah injeksi opioid pada neuraxial,dan yang lambat terjadi lebih dari 2 jam setelah penyuntikan. Depresi pernafasan terjadi karena absorbsi kesistemik dari opioid yang lipid soluble,walaupun perpindahan opioid di CSF ke cephalad dan berinteraksi dengan reseptor opioid di daerah ventral medulla. Pasien obstetric sedikit yang mengalami depresi pernafasan,mungkin disebabkan oleh meningkatnya stimulasi dari pernafasan oleh progesterone. 17 d. Sedasi Sedasi setelah pemberian neuraxial opioid berhubungan dengan dosis dan bisa timbul pada semua opioid, tapi paling sering pada penggunaan sulfentanyl. Pada waktu timbul sedasi pada penggunaan neuraxial opioid,pertimbangkan akan timbulnya depresi pernafasan pada pasien tersebut. Pengguanaan naloxone 0,25µg/kgBB/jam IV efektive untuk penanganan mual dan muntah, pruritus,depresi nafas dan perubahan status mental seperti paranoidpsychosis,catatonia dan halusinasi yang disebabkan oleh pemakaian neuraxial opioid. 17 20

2.7 KERANGKA KONSEP ANESTESI Menggigil Hipotalamus dan medulla spinalis Redistribusi panas tubuh dari inti ke perifer Vasodilatasi efek sampingg Petidin 0,1mg/kgBB Petidin 0,2mg/kgBB Tekanan darah inhibisi terhadap re-uptake biogenic monoamine,antagonis reseptor NMDA dan stimulasi dari reseptor-α 2. Keterangan : X menghambat 21