BAB I PENDAHULUAN (UUD NRI Tahun 1945) terutama pada Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

RechtsVinding Online

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 17 Februari 2016; disetujui: 25 Februari 2016

BEBERAPA MASALAH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 1

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 96/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Calon Tunggal)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XIII/2015 Persyaratan Menjadi Calon Kepala Daerah Melalui Jalur Independen

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 37/PUU-XIV/2016 Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

PUTUSAN Nomor 48/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 140/PUU-XIII/2015 Hak Konstitusional Untuk Dipilih Dalam Hal Pasangan Calon Berhalangan Tetap

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

Ringkasan Putusan.

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB V KESIMPULA DA SARA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 20/PUU-XVI/2018 Parliamentary Threshold

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XV/2017

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XI/2013 Tentang Pemberhentian Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 136/PUU-XIII/2015 Pembagian Hak dan Kewenangan Pemerintah Kabupaten Dengan Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 94/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 62/PUU-X/2012 Tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

PUTUSAN MK NO. 54/PUU-XIV/2016 DAN IMPLIKASI DI DALAM PILKADA Oleh Achmadudin Rajab* Naskah Diterima: 24 Juni 2017, Disetujui: 11 Juli 2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca-Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) terutama pada Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan, Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Maka, pada amandemen kedua terjadi perubahan yang sangat fundamental. Di dalam rezim pemilihan, kepala daerah yang sebelumnya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berganti kepada pemilihan secara langsung. UU No. 32 Tahun 2004 (UU No. 32 Tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dipilih secara langsung melalui Pemilihan Umum. Hal ini menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah melalui sistem perwakilan yang dilakukan oleh DPRD. Perubahan sistem pemilihan kepala daerah yang merupakan imbas dari amandemen UUD NRI Tahun 1945, terutama pada Pasal 18 ayat (4) tersebut merupakan bagian dari dialektika masyarakat dalam melakukan kegiatan berbangsa dan bernegara. Frasa demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 tersebut menimbulkan penafsiran di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah menggunakan sistem pemilihan umum. Adapun Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI 1

2 Tahun 1945 menyatakan, Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Proses pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara pemilihan umum sebagaimana diinterpretasikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut memang dapat diinsyafi bersama. Frasa demokratis sebagaimana yang dikenal oleh semua orang sebagai partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpin-pemimpin daerah akan menjalankan roda pemerintahan di daerahnya, serta melakukan pelayananpelayanan publik terhadap rakyat. Frasa demokratis di sini secara umum diinsyafi bahwa harus dijunjung prinsip peran serta. Secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, sebagaimana telah menjadi jargon demokrasi sejak puluhan tahun yang lalu. Jargon jujur dan adil pun turut menyempurnakan partisipasi rakyat dalam menentukan masa depan daerahnya. Melalui partisipasi ini, memilih kepala dan wakil kepala daerahnya secara langsung melalui pemilihan umum tersebut dapat dikatakan lebih sempurna, daripada pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara perwakilan. Oleh karena itu, berdasarkan pada Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka pembuat Undang-Undang merasa perlu mengubah sistem pemilihan kepala daerah dari pemilihan dengan sistem perwakilan yang dilakukan DPRD menjadi pemilihan dengan sistem langsung. Melalui pemilu yang dilakukan oleh rakyat pada daerah yang bersangkutan. Berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1999 mengenai Penyelenggaraan Otonomi Daerah disebutkan bahwa: Mengembangkan otonomi secara luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya

3 masyarakat, serta seluruh potensial masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 1 Hal ini mengakibatkan pelaksanaan amanat Tap MPR RI Nomor XV/MPR/1999 tersebut secara condition sine qua non memerlukan partisipasi masyarakat secara mendalam yang sejalan dengan sistem demokrasi, walaupun Ketetapan MPR RI di atas dibuat sebelum adanya amandemen UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut menghasilkan Pasal 18 ayat (1) mengenai frasa Demokratis dalam pemilihan kepala daerah. Dapat juga ketetapan MPR RI ini diinterpretasikan dengan mengilhami pergantian proses Pemilihan Kepala Daerah dari sistem perwakilan di dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah menjadi Pemilihan Umum pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Secara umum, dapat pula diinsyafi bahwa di dalam praktik ketatanegaraan perubahan Undang-Undang selalu diikuti dengan perubahan praktik ketatanegaraan. Baik secara parsial maupun secara fundamental akan selalu diilhami oleh persoalan-persoalan ketatanegaraan yang muncul dalam praktik. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung melalui Pemilihan Umum tidak selamanya berjalan mulus tanpa terjadi konflik kepentingan. Baik berupa sengketa hasil pemilu, permasalahan pelanggaran administrasi pemilu, maupun terjadinya Tindak Pidana Pemilu. Sengketa-sengketa tersebut awalnya diselesaikan di dalam persidangan yang masuk dalam ranah Kompetensi Absolut Mahkamah Agung. Namun, sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 15 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan Pemilu, Pilkada yang semula masuk 1 Titik Triwulan Tutik, 2005, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Dalam Sistem Pemilu Menurut UUD 1945, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hlm. 46.

4 ke dalam ranah Pemerintahan Daerah bergeser menjadi ranah Pemilihan Umum. Selanjutnya disebut dengan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang disingkat Pemilukada. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tepatnya pada Pasal 236C yang menyatakan, Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Oleh karena itu, seiring dengan diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2008 maka penanganan sengketa penghitungan hasil suara pilkada yang semula ditangani oleh Mahkamah Agung beralih kepada Mahkamah Konstitusi. Peralihan kewenangan menangani sengketa penghitungan suara pilkada ini menimbulkan pro dan kontra, di mana Mahkamah Konstitusi semakin disibukkan untuk menangani perkara-peraka. Sengketa perhitungan suara pilkada yang harus diselesaikannya dalam tempo 14 (empat belas) hari, sementara Mahkamah Konstitusi tetap ramai dengan gugatan uji materiil yang diajukan oleh para pihak. Sebelum diundangkannya UU No. 12 Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi menurut UUD NRI Tahun 1945 Pasal 24C, yang berwenang menangani sengketa pemilu hanya menangani sengketa penghitungan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden serta legislatif. Dilihat dari jangka waktu yang hanya peristiwa lima tahunan dan alasan implikasi politis yang sifatnya nasional dan harus memenuhi prinsip keadilan substantif. Hal itu dipandang perlu diatur secara organik di dalam UUD NRI Tahun 1945 tetapi dengan adanya UU No. 15 Tahun 2011 perubahan atas UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang

5 menyatakan bahwa Pemilihan Kepala Daerah masuk ke dalam rezim pemilu. Maka, secara substantif pembuat Undang-Undang perlu membuat perubahan mengenai peraturan perundang-undangannya yang dicantumahkamah Konstitusian di dalam Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008. Sebelum diberlakukannya undang-undang tersebut di atas, dalam UU No. 32 Tahun 2004 telah diatur mengenai Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tetapi masuk ke dalam batang tubuh UU No. 32 Tahun 2004. Mengenai sengketa penghitungan suara pada pemilu diselesaikan melalui lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang pada praktiknya dilaksanakan di pengadilan negeri untuk peradilan tingkat pertama. Secara praktik memang penanganan acara peradilan sengketa pemilu yang dilakukan di pengadilan negeri tersebut memiliki kerawanan-kerawanan tersendiri. Terutama di bidang stabilitas politik dan stabilitas keamanan daerah. Seringkali acara persidangan dipindahkan dari pengadilan negeri tempat pilkada dilaksanakan ke pengadilan negeri di ibukota provinsi, tetapi hal tersebut tidak banyak berpengaruh karena para pihak yang bersengketa seringkali melakukan pengerahan massa dalam jumlah besar. Hal ini memberatkan situasi keamanan di dalam daerah provinsi yang bersangkutan karena sengketa pemilu dan tindak pidana pemilu seringkali melibatkan aktoraktor politik. Mereka memiliki kepentingan politik dan melakukan pengerahan massa yang rentan pergesekan yang berujung pada konflik horizontal. Hal ini merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan pembuat Undang-Undang mengonstruksi Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008.

6 Peralihan kewenangan ini walaupun oleh banyak pihak dipandang sesuai dengan konstruksi Pasal 18 ayat (1), Pasal 22 E ayat (1), dan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, serta memiliki nilai praktis sesuai dengan hukum acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), mensyaratkan pembatasan pemeriksaan perkara sengketa Pilkada selama 14 (empat belas) hari. Hal tersebut dipandang sejalan dengan prinsip beracara di Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat. Peralihan penanganan sengketa Sengketa Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi ini memperberat kinerja Mahkamah Konstitusi yang hanya memiliki Hakim Konstitusi berjumlah 9 (sembilan) orang. Akibat penanganan sengketa Pilkada, khususnya untuk pilkada yang berjumlah 14 (empat belas) hari ini sesuai dengan ungkapan Mahkamah Konstitusi menjadi semacam keranjang sampah atau tempat pembuangan akhir (TPA) sampah-sampah pemilu. 2 Persoalan selanjutnya adalah terkait sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (final and binding), seperti yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 24C ayat (1) yang berbunyi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat selanjutnya juga diatur dalam UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 79 ayat 3 yang berbunyi: 2 A. Mukthie Fajar, 2013, Pemilu, Perselisihan Hasil Pemilu Dan Demokrasi : Membangun Pemilu Legislatif, Presiden, dan Kepala Daerah dan Penyelesaian Hasil Pemilu Secara Demokratis, Setara Press, Malang, hlm. 114.

7 Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bersifat final dan mengikat. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi inilah yang dalam perjalanannya menjadi persoalan yang mengakibatkan Mahkamah Konstitusi sulit untuk memenuhi Prinsip Keadilan Substantif sebagaimana amanat pembentukan Mahkamah Konstitusi. Dalam beberapa kasus yang terindikasi terjadi dugaan suap dalam putusan sengketa pilkada di beberapa wilayah di Indonesia, diduga melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi saat masih menjabat. Berdasarkan beberapa pertimbangan diatas menyebabkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa pilkada tersebut diuji ke Mahkamah Konstitusi oleh beberapa organisasi diantaranya Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul (BEM FH UEU) dan Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) yang dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan para pemohon dengan menyatakan bahwa Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum Mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tersebut menyatakan bahwa pilkada bukan merupakan rezim pemilu. Oleh karenanya bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menanganinya sehingga dengan munculnya kewenangan ini dalam menangani sengketa pilkada. Namun, dalam amar putusan angka kedua dinyatakan bahwa sampai dengan dibentuknya

8 peraturan perundang-undangan yang menyatakan lembaga mana yang dapat menangani sengketa pilkada maka sengketa pilkada tetap ditangani oleh Mahkamah Konstitusi, sampai dengan batas waktu yang belum ditentukan. Oleh karena itu, persoalan tersebut masih relevan untuk kita bahas di dalam tesis ini. Oleh karena itu, dalam tesis ini penulis mengangkat judul PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH DI MAHKAMAH KONSTITUSI PASCAPUTUSAN PERKARA 97/PUU-XI/2013. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi pasca-putusan Perkara 97/PUU-XI/2013 yang masih memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi selama belum ada aturan yang mengaturnya sesuai dengan Kepastian Hukum? 2. Bagaimanakah Penyelesaian sengketa Pilkada pasca-putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 ke depan? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara umum adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang adanya permasalahan yang timbul dalam penyelesaian sengketa hasil pilkada yang terjadi pascaputusan

9 Mahkamah Konstitusi nomor 97/PUU-XI/2013 yang telah menyatakan bahwa pasal 236C UU No. 32 Tahun 2004. Sebagaimana telah diubah oleh UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Oleh karenanya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui Apakah penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi pasca-putusan Perkara 97/PUU-XI/2013 yang masih memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi selama belum ada aturan yang mengaturnya sesuai dengan Kepastian Hukum. 2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa Pilkada pasca-putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 ke depan. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dimaksudkan memberi sumbangan pemikiran, masukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya dan khususnya dalam bidang Ilmu Hukum Tata Negara, Ilmu Hukum dan Teori Konstitusi. Diharapkan juga dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan penyelesaian sengketa pilkada. 2. Manfaat Praktis

10 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi ide, gagasan dan rekomendasi serta evaluasi bagi sistem penyelesaian sengketa pilkada. Diharapkan pula dapat menjadi titik temu terhadap kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum, dengan adanya kepastian hukum karena kepastian hukum adalah dasar bagi kewibawaan pemerintah dalam melaksanakan Undang-Undang. Serta menjadi rekomendasi untuk lembaga Negara yang terkait dengan penyelesaian sengketa pilkada seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, KPU, dan Bawaslu. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan di Internet, belum ada penelitian yang mengangkat permasalahan tentang keadilan substantif dan kepastian hukum dalam penanganan sengketa pilkada. Adapun karya tulis yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini dari hasil penelusuran penulis di internet yaitu: 1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah yang ditulis oleh R. Nazriyah. Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, adalah Staf Jurnal Hukum PSH FH UII. 3 Karya tulis ini mendeskripsikan proses penyelesaian sengketa pilkada yang menjadi kewenangan MA, hingga dialihkan ke Mahkamah Konstitusi berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, tidak secara tegas mengukur pasal-pasal yang 3 http://pshk.law.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37&itemid=126, diakses pada tanggal 14 Juli 2014, Pkl. 15.00

11 menjadi dasar kewenangan pelimpahan kewenangan dalam meyelesaikan sengketa pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi kepada konstitusi berdasarkan terori, kaidah hukum secara jelas. 2. Karya tulis lain yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini yaitu Hukum Sengketa Pilkada di Indonesia, Gagasan Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi, yang ditulis oleh Mustafa Lutfi, diterbitkan oleh UII Press, Yogyakarta tahun 2010. Dalam karya tulis ini penulis hanya menjelaskan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa pilkada namun tidak mengacu pada efek keadilan substantif yang dihasilkan. 3. Beberapa karya tulis yang juga memiliki keterkaitan dengan penelitian ini yaitu Sengketa Pilkada, Kewenangan Baru Bikin Sibuk Mahkamah Konstitusi, dalam karya tulis ini meneliti sengketa pilkada yang masuk selama tahun 2008, dari 23 sengketa pilkada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi, hanya tiga sengketa yang dikabulkan sebagian. Sisanya, dinyatakan tidak dapat diterima atau ditolak. Pertanyaannya apakah sistem informasi pengadilan di Mahkamah Konstitusi yang selama ini dianggap terbaik akan mampu melewati cobaan dengan adanya lonjakan jumlah perkara. Apakah salinan putusan Mahkamah Konstitusi yang selalu cepat dipublikasikan langsung begitu perkara diputus, masih bisa tetap bertahan. Substansi putusan Mahkamah Konstitusi yang selama ini memuat teori-teori serta pertimbangan hukum berkualitas juga akan menghadapi ujian yang sama. Karya tulis ini ditulis oleh Redaksi Hukum Online.com yang menjadi bahan catatan akhir tahun 2008 untuk mengevaluasi

12 pascaperalihan kewenangan menangani sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. 4 4. Karya tulis selanjutnya yang memiliki keterkaitan dalam penelitian ini adalah Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Perselisihan Hasil Pilkada Ditinjau Dari Perspektif Teori Hukum Progresif (Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi atas sengketa hasil Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur dan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Sengketa pilkada Kota Tangerang Selatan Tahun 2010). Karya tulis ini ditulis oleh La Ode Maulidin, pada Jurnal Konstitusi, Vol. IV, No.1, PUSKASI FH Universitas Widyagama Malang Juni 2011. Karya tulis ini membahas tentang pertimbangan hukum yang melandasi putusan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan Perselisihan Hasil Pilkada Gubernur Jawa Timur tahun 2008 dan Pilkada Kota Tangerang Selatan tahun 2010 berdasarkan perspektif teori hukum progresif. Serta implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan Hasil Pilkada Gubernur Jawa Timur tahun 2008 dan Pilkada 5. Karya tulis selanjutnya adalah Peralihan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi yang ditulis oleh Siswantana Putri Rachmatika, Tesis, Fakultas Hukum UI, Penelitian ini mencoba menjawab permasalahan-permasalahan yaitu apakah peralihan kewenangan penyelesaian sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang konstitusional dan apakah peralihan 4 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20823/sengketa-pilkada-kewenangan-baru-bikinsibuk-mk-, diakses pada tanggal 23 September 2014, Pkl. 00.05.

13 kewenangan tersebut dapat menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. 6 Karya tulis selanjutnya adalah Studi Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada oleh Mahkamah Konstitusi, yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dengan para peneliti Iwan Satriawan, Helmi Kasim, Siswantana Putri Rachmatika, Alia Harumdani Widjaja. Dalam penelitian ini secara garis besar melakukan evaluasi terhadap efektivitas penanganan sengketa pilkada oleh Mahkamah Konstitusi yang memiliki banyak kendala seperti masa sidang yang relatif singkat (14 hari), sifat final dan mengikat yang berpotensi menghambat pemohon untuk mendapatkan keadilan substantif karena tidak ada upaya hukum lainnya. Selanjutnya penulis meyakini orisinalitas dari penelitian ini, bahwa tidak adanya kesamaan dalam penelitian ini dengan karya tulis tersebut di atas. Persoalan yang peneliti angkat dalam penelitian ini merupakan persoalan baru pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang mendudukan penelitian pada tiga hal yaitu apakah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 telah memenuhi unsur kepastian hukum, kemudian penanganan sengketa pilkada oleh Mahkamah Konstitusi pasca putusan, dan selanjutnya lembaga apa yang berwenangan menyelesaikan sengketa pilkada yang dapat memenuhi asas keadilan kemanfaatan dan kepastian hukum.