3 METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Paradigma Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB III. Metodologi Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata.

METODOLOGI PENELITIAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD)

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian

III. METODE PENELITIAN

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. diinginkan. Melalui paradigma seorang peneliti akan memiliki cara pandang yang

PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF : KONTRUKTIVIS DAN PARADIGMA KRITIS. By: Nur Atnan, S.IP., M.Sc.

7 REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA HUTAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma konstruktivis.

III. METODE PENELITIAN

5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior

PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF. By: Nur Atnan, S.IP., M.Sc.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dan dengan mengamati teks online

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB III METODE PENELITIAN

BAGIAN 3. TENTANG RISET/PENELITIAN

MAKALAH. PENEGAKAN HUKUM DAN DISKRESI : Suatu Telaah Paradigmatik. Oleh: Prof. Erlyn Indarti

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

II. PENDEKATAN TEORITIS

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan metode kualitatif, yaitu metode penelitian yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang sama unuk menilai aktifitas penelitian, dan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

III METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

MAKALAH PENDIDIKAN SEBAGAI ILMU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Sebagai ilustrasi, orang Batak dan Sunda beranggapan bahwa mereka halus dan. sopan sedangkan orang Batak kasar, nekad, suka berbicara keras, pemberang

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian tersebut maka digunakan metodologi penelitian sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN. pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha sadar dan

FILSAFAT ILMU ( PHS 101 )

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan studi kasus. Menurut Sugiyono (2012), metode penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. spesifik. Oleh sebab itu, apa yang diperoleh ini sering disebut sebagai

BAB III METODE PENELITIAN

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III METODOLOGI PENELITIAN. Acuan Kerja Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

III. METODE PENELITIAN. Peneliti berusaha untuk menggambarkan bagaimana persepsi elit partai

METODE PENELITIAN Konsep, Jenis dan Tahapan Penelitian

diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

A. Filasafat Ilmu sebagai Akar Metodologi Penelitian

METODE PENELITIAN. Penelitian dan Ilmu Pengetahuan. MR Alfarabi Istiqlal, SP MSi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB III Metodologi Penelitian. waktu, merupakan suatu upaya untuk menemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Metode merupakan salah satu faktor penting dalam sebuah penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. konsep, atau proposisi yang secara logis dipakai peneliti 1. Paradigma (paradigm)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

ETNOGRAFI. Imam Gunawan

BAB III BAB III.METODOLOGI PENELITIAN. Denzin dan Lincoln mendefinisikan penelitian kualitatif adalah multimetode

PENULISAN ARGUMENTATIF Oleh Ashadi Siregar

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

27 Universitas Indonesia

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN: ADAT ISTIADAT SEBAGAI LANDASAN GERAKAN SOSIAL SUKU DAYAK IBAN

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Transkripsi:

3 METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi, yaitu: 1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Provinsi Jawa Barat dan Banten. Pada lokasi ini terdapat Masyarakat Adat Kasepuhan yang sedang berhadapan dengan pihak negara dalam rangka memperjuangkan hak akses terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. 2. Hutan Sungai Utik Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat. Pada lokasi ini terdapat Masyarakat Adat Dayak Iban yang sedang menghadapi negara (termasuk swasta di dalamnya) dalam memperjuangkan hak atas pengelolaan dan pemanfaatan hutan Penelitian ini dilaksanakan selama 2,5 (dua setengah) tahun, dimulai dari tahap persiapan lapangan pada bulan Mei 2010, hingga pengumpulan, analisis data dan interpretasi data lapangan pada bulan November 2012. Selanjutnya dari bulan November 2012 sampai Februari 2013 dilakukan proses bimbingan dan penulisan disertasi. Pada tanggal 7 Februari 2013 dilakukan seminar hasil penelitian, pada tanggal 20 Maret dilakukan sidang tertutup dan pada tanggal 26 April 2013 dilakukan sidang terbuka. 3.2. Paradigma Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan mengacu pada paradigma konstruktivisme. Secara ontologis, konstruktivisme dibangun atas tiga proposisi utama. Pertama, struktur sebagai pembentuk perilaku aktor, baik individual maupun institusi, tidak hanya terdiri memiliki aspek material, tetapi juga normatif dan ideasional. Kedua, kepentingan (sebagai dasar bagi tindakan atau perilaku) bukan menggambarkan rangkaian preferensi yang baku, yang telah dimiliki oleh aktor-aktor, melainkan sebagai produk dari identitas aktor-aktor tersebut. Ketiga struktur dan agen saling menentukan satu sama lain. Konstruktivis pada dasarnya adalah strukturasionis yakni menekankan peran struktur non-material terhadap 55

identitas dan kepentingan serta pada saat yang bersamaan, menekankan peran praktek dalam membentuk struktur-struktur tersebut. Secara ontologis, paradigma konstruktivisme menyatakan bahwa realitas bersifat sosial dan karenanya akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat dijelakan secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat bangunan yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan dialektis. Oleh karena itu, paradigma konstruktivisme menganut prinsip relativitas dalam memandang suatu fenomena alam atau sosial. Secara filosofis, hubungan epistemologis antara pengamatan dan objek, menurut aliran ini bersifat suatu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi diantara keduanya. Selanjutnya, secara metodologis, konstruktivisme secara jelas menyatakan bahwa penelitian harus dilakukan diluar laboratorium, yaitu di alam bebas secara sewajarnya (natural) untuk menangkap fenomena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa campur tangan dan manipulasi pengamat atau pihak peneliti. Dengan setting natural ini, maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode kualitatif dari pada metode kuantitatif. Suatu teori muncul berdasarkan data yang ada. Untuk itu pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeuneutik dan dialektik yang difokuskan pada konstruksi, rekontruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Menurut Denzin dan Lincoln (2000) dalam menerangkan macam-macam paradigma penelitian bahwa konstruktivisme merupakan paradigma yang bersifat relatif, dan transaksionalis/ subjektif. Dilihat dari aspek ontologism, konstrukstivisme melihat realitas sebagai konstruksi sosial. Kebenaran realitas adalah relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Dilihat dari aspek epistemologi, konstruktivisme bersifat Transactionalist/ subjektivist, membuat penemuan dimana pemahaman suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi peneliti dengan yang diteliti. Dilihat dari aspek metodologi, paradigma konstruktivisme menggunakan metode dialektik hermeuneutik. Paradigma konstruktivisme pada dasarnya berangkat dari tradisi pemikiran teori kritis, dalam arti para pendukung konstruktivisme melihat potensi teori kritis 56

untuk melihat realitas melalui aspek-aspek yang sangat beragam, berhadapan dengan neorealisme dan neoliberalisme. Seperti halnya teori kritis, konstruktivisme menolak posisi ontologis neoliberal dan neorealis yang menggambarkan manusia secara rasionalis, yakni sebagai aktor-aktor yang atomistis dan egois sedangkan masyarakat hanyalah sebagai arena strategis semata-mata. Konstruktivisme, sejalan dengan teori kritis, sebaliknya, melihat manusia dengan image yang sangat berbeda: sebagai makhluk sosial, terbentuk melalui komunikasi dan kultur. Disamping itu, konstruktivisme dan teori kritis menggunakan metodologi yang sama: menolak positivisme dan lebih menekankan pada metodologi interpretatif, diskursif dan historis. Tetapi, keterkaitan antara konstruktivisme dan teori kritis tidak berjalan lebih jauh daripada aspek-aspek ontologi, epistemologi dan metodologi. Konstruktivisme menjauhkan diri dari teori kritis dengan meninggalkan keasyikan pada tingkat metateori yang mendominasi teori kritis dan lebih menekankan pada analisa empiris, yakni berusaha menemukan pemahaman konseptual dan teoretis dengan menganalisa masalah-masalah empiris. Dalam artian ini, konstruktivisme melihat teori kritis tidak memiliki potensi untuk melakukan inovasi dalam mengelaborasi konsepkonsep yang digunakannya ataupun mengembangkan teori yang didasari oleh empiris. Melemahnya keterkaitan antara konstruktivisme dan teori kritis tidak berlangsung satu arah. Teori kritis juga sangat kritis terhadap asumsi-asumsi konstruktivisme. Sekalipun memiliki posisi ontologis, empistemologis maupun metodologis yang sama, konstruktivisme dianggap berusaha menghilangkan aspek power dalam memahami nilai. Nilai dianggap sebagai sesuatu yang netral dan tidak punya bias ataupun basis kekuasaan. Dalam artian ini, konstruktivisme kehilangan tujuan utama pemikiran kritis, yakni emansipasi. Jadi, sekalipun memahami realitas bukan sebagai sesuatu yang beku, alamiah dan abadi melainkan sebagai produk dari interaksi, konstruktivisme tidak memaknai interaksi antar nilai ini sebagai sebuah proses politik yang sangat berpengaruh pada aspek keadilan, kesederajatan dan kebebasan. 57

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan fokus penelitian pada konflik penguasaan sumberdaya hutan. Pendekatan kualitatif menekankan pemaknaan atas temuan atau fakta dikonstruksi berdasarkan perspektif subyektif dari tineliti. Pemaknaan pada penggambaran, pemahaman dan menjelaskan fenomena yang kompleks pada hubungan, pola-pola dan konfigurasi antar faktor dengan menggunakan analisis kesejarahan. Dalam perspektif ini, penyelidikan dan pembuktian terhadap gejala sosial dilakukan lebih banyak secara konstruktif dimana pendekatan reflektif, antar subyek, dan perenungan makna menjadi sangat penting posisinya dalam mendapatkan makna kebenaran atas suatu fakta. Sekalipun demikian, studi ini juga memberikan tempat yang cukup leluasa pada upaya-upaya menginvestigasi penyebab dan konsekuensi yang timbul sebagai hasil dari keputusan politik ekonomi yang diambil oleh otoritas kekuasaan di kawasan studi. 3.3. Kerangka Pemikiran Penelitian ini beranjak dari suatu pemikiran bahwa hutan sebagai basis livelihood masyarakat (lihat Bellwood, 2005), mulai terusik karena keberadaan kelembagaan baru yang dibuat oleh pemerintah dalam pengaturan hutan. Dengan mengambil teladan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban yang berada di dalam dan sekitar hutan, disertasi ini ingin menggambarkan bahwa kebijakan negara (pemerintah) dibidang kehutanan, baik untuk tujuan pelestarian maupun pemanfaatan hutan, menyebabkan masyarakat adat ternegasikan dari tanah yang selama ini diklaimnya, menempatkan masyarakat adat pada kondisi konflik dan mengharuskan mereka beradaptasi dengan lingkungan. Konflik menjadi tidak terhindarkan ketika ada dua klaim yang sama terhadap kawasan hutan. Klaim atas kawasan hutan tersebut didasarkan atas pemaknaan hutan yang berbeda. Pemaknaan negara tentang hutan didasarkan pada peraturan perundang-undangan, sedangkan pemaknaan masyarakat adat tentang hutan didasarkan atas pengetahuan lokal yang dianut masyarakatnya secara turun temurun. Pengetahuan memberi kekuasaan kepada aktor, sebagaimana yang dikemukakan oleh Foucault bahwa ada relasi antara pengetahuan dan kekuasaan. Selanjutnya kekuasaan dapat mempengaruhi dan mengendalikan perilaku atau tindakan sosial aktor. 58

Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 ayat (c), bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Selanjtnya dalam Pasal 4 Ayat (1), bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan peraturan tersebut diketahui pemaknaan hutan menurut negara adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan, dan semua kawasan hutan diklaim sebagai milik negara. Penguasaan hutan oleh negara ini diperkuat berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960, Pasal 19 ayat (1), bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah. Hal ini bermakna bahwa semua tanah harus didaftarkan. Tanah yang tidak didaftarkan dimaknai sebagai tanah tanpa judul dan didefinisikan sebagai tanah negara. Sementara itu, masyarakat adat memiliki pemaknaan atas kawasan hutan didasarkan pada pengetahuan yang diperoleh dari pewarisan nenek moyang yang hidup dan tinggal di wilayah tersebut sejak lama secara turun temurun jauh sebelum Indonesia merdeka. Keberadaan masyarakat yang hidup dan bergantung pada hutan tersebut menjadi dasar bagi masyarakat untuk mengklaim wilayah tersebut sebagai kawasan hutan miliknya. Klaim atas wilayah tersebut menciptakan otoritas pada masing-masing pihak untuk mengelola dan memanfaatkan hutan sesuai kepentingan (meminjam istilah Dahrendorf) pihakpihak tersebut. Pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, negara mempunyai kepentingan untuk pelestarian hutan sementara Masyarakat Kasepuhan memiliki kepentingan untuk pelestarian hutan dan pemanfaatan hutan bagi kelangsungan livelihood mereka dan generasi berikutnya. Pada hutan Sungai Utik, negara memiliki kepentingan untuk memanfaatkan hutan untuk diambil kayunya, sementara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki kepentingan untuk pelestarian hutan dan pemanfaatan hutan bagi kelangsungan livelihood mereka dan generasi berikutnya. Kesadaran akan kepentingan bersama ini yang menyebabkan timbulnya kelompok konflik antar kelas, yaitu masyarakat adat selaku kelompok yang subordinat dan negara selaku kelompok superordinat). Dalam kondisi tertentu, kesadaran akan kepentingan 59

yang bertentangan ini meningkat, masing-masing menyadari kepentingan objektifnya, yang kemudian terlibat dalam konflik kelas. Kelas disini dipahami dalam konteks Dahrendorf, yaitu karena adanya perbedaan otoritas (kekuasaan). Dalam konteks hubungan konstelasi kekuasaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan antara masyarakat adat dengan negara dapat dipahami dalam konteks hubungan otoritas di mana negara selaku pemegang otoritas formal berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia, menempati posisi yang memiliki hak normatif untuk mendominasi masyarakat adat, dengan kata lain negara menempati posisi superordinat (berkuasa) dan masyarakat adat sebagai subordinat (yang dikuasai). Dahrendorf menyebutnya sebagai tatanan sosial yang dikelola oleh proses penciptaan hubungan otoritas dalam berbagai posisi yang ada di seluruh lapisan sistem sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak superordinat dan subordinat. Menurut Dahrendorf, konflik menjadi sumber perubahan dalam sistem sosial. Hal tersebut terjadi karena masing-masing pihak terlibat dalam suatu perebutan otoritas, yang pada gilirannya redistribusi otoritas merepresentasikan pelembagaan dari peran kelompok baru yang berkuasa dan yang dikuasai. Masyarakat adat sebagai pihak yang tersubordinasi mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk berubah sebagai respon atas konflik. Terjadinya dinamika perubahan kelembagaan adat ditandai dengan adanya dinamika perubahan system nafkah, dinamika hubungan-hubungan kekuasaan dan dinamika perubahan pola persebaran penduduk, migrasi desa kota dan sejumlah perubahan tatanan sosial lainnya. Dinamika perubahan kelembagaan tersebut dapat dipandang sebagai respon masyarakat adat dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru atau kemampuan menyembuhkan diri dari kondisi lingkungan yang menyebabkan traumatis (resiliensi). Selanjutnya Dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajahsatu konsensus, yang lain adalah konflik. Berdasarkan pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa tidak akan selamanya masyarakat berada dalam kondisi konflik, suatu ketika setelah konflik menyebabkan terjadinya perubahan sebagai wujud adanya proses adaptasi dan resiliensi, maka konflik akan menemukan konsensus 60

ketika distribusi otoritas menemukan dirinya dalam mempertemukan kepentingan masing-masing pihak. Lebih jelasnya kerangka pemikiran dari disertasi ini dapat digambarkan dalam gambar berikut: Gambar 2. Kerangka Pemikiran 3.4. Hipotesis Pengarah Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, dan kerangka pemikiran teoritis serta tujuan penelitian yang dikemukakan maka disusun hipotesis pengarah. Hipotesis pengarah ini digunakan sebagai penuntun dalam pengumpulan data dan analisis data serta memiliki kemungkinan mengalami perubahan sesuai kondisi di lapangan. Hipotesis Pertama: Konflik sumberdaya hutan akan menyebabkan terjadinya dinamika perubahan kelembagaan dari aktor-aktor yang sedang berkonflik. Aktor yang menempati posisi subordinat mempunyai kemungkinan berubah lebih besar dibandingkan dengan aktor yang menempati posisi superordinat. 61

Hipotesis Kedua: Perubahan kelembagaan tersebut merupakan hasil dari proses adaptasi dan resiliensi. Hipotesis ketiga: Konflik akan menemukan konsensus ketika distribusi otoritas tercapai dan dapat mempertemukan kepentingan berbagai pihak. 3.5. Strategi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian konstruktivisme dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian konstruktivisme mensyaratkan adanya bangunan hermeneutis di dalamnya. Oleh karena itu keduanya dibicarakan secara bersamaan sebagai satu kerangka berpikir ilmiah. Hermeuneutik dengan kata lain adalah interpretatif, sehingga turunan dari teori konstruktivisme ini adalah teori interpretatif atau disebut juga humanisme. Beberapa teknik dasar yang akan digunakan dan menjadi strategi dari penelitian ini, adalah : 1. Langsung, pengamatan dari tangan pertama per hari, ini biasanya menggunakan teknik observasi partisipasi (observasi partisipan); 2. Melakukan pembicaraan dengan tingkatan formalitas yang berbeda. Ini biasanya dilakukan interview dalam waktu cukup lama (indepth interview); 3. Pekerjaan detail bersama orang yang mempunyai pengaruh penting (key informant) pada komunitasnya dalam memetakan berbagai permasalahan; 4. Menemukan persepsi dan sistem kepercayaan masyarakat setempat (belief system) 5. Penelitian yang di fokuskan pada permasalahan (problem oriented research); 6. Studi kasus 3.6. Langkah Penelitian Langkah-langkah yang dilakukan dalam menghasilkan teori dengan menggunakan paradigm konstruktivisme dan pendekatan kualitatif, sebagai berikut: 62

Tabel 1. Langkah-Langkah Penelitian No Kegiatan Penjelasan 1 disain penelitian Peninjauan ulang literatur teknis dan memetakan kerangka pemikiran penelitian. 2 pengumpulan data Kegiatan pembuatan indikator penelitan, parameter penelitan, penetapan unit analisis penelitian, populasi dan sampel penelitian, dan terjun ke lapangan untuk pengumpulan data 3 penyajian data Penyusunan data berdasarkan urutan kejadian secara kronologis dan konteks penelitian, yang dibedakan sebagai berikut: a. Konflik sumberdaya hutan b. Dinamika kelembagaan adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan c. Konstelasi kekuasaan adat versus negara 4 analisis data Analisis data dilakukan pada level material, yaitu melihat konflik dari kepentingan, klaim atas wilayah dan otoritas yang menyertainya. Selain itu, analisis data dilakukan pada level immaterial dengan melihat pengetahuan dan pemaknaan aktor yang mendasari konflik sumberdaya hutan. 5 Perbandingan Melakukan perbandingan literatur yang muncul literatur mengenai teori yang digunakan sebagai acuan, yaitu teori konflik Dahrendorf 3.7. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan datanya yang utama adalah observasi-partisipasi dan wawancara terbuka serta mendalam dalam jangka waktu yang relatif lama serta diinventarisasi dalam catatan harian. Metode pencarian sumber informasi menggunakan metode snowballing yaitu perolehan sumber berikutnya berdasarkan informasi dari sumber informasi sebelumnya. Setelah melakukan pendeskripsian dari observasi dan wawancara itulah akan ditemukan beberapa ciri khas yang nampak bila kultur tersebut diperbandingkan dengan kultur lain yang juga telah terdeskripsikan. Hal demikian memberi pengertian, bahwa tujuan studi tersebut adalah untuk mengalami pengertian bersama. Wax dalam Maleong (2000) mengatakan hal tersebut sebagai shared meaning (pengertian yang dialami bersama). 63

3.8. Analisis Data Analisis data dilakukan terhadap masalah konflik sumberdaya hutan, dan konflik yang menyebabkan terjadinya dinamika kelembagaan adat. Untuk menganalisis rumusan masalah konflik sumberdaya hutan, Teori konflik Dahrendorf akan menjadi acuan utama dalam melihat konflik sumberdaya hutan yang melibatkan adanya dua kelompok, yaitu: kelompok subordinat (masyarakat adat) dan kelompok superordinat (pemerintah yang kemungkinan berafiliasi dengan pengusaha kapitalis). Dalam teori konflik Dahrendorf, konflik dapat menyebabkan terjadinya perubahan. Oleh karena itu, teori konflik Dahrendorf akan digunakan untuk menganalisis masalah konflik dan masaah dinamika perubahan kelembagaan adat (sebagai pihak yang tersubordinasi). Dalam melihat konflik sumberdaya hutan ini, akan dipetakan juga aktoraktor yang berkonflik, kepentingan setiap aktor terhadap sumberdaya hutan, ideologi yang mendasarinya afiliasi yang mungkin terjadi serta perilaku yang ditunjukkan oleh setiap aktor. Dalm konteks ini, Teori Foucault tentang arkeologi pengetahuan dan geneologi kekuasaan akan digunakan untuk menganalisis konflik pemaknaan. Dalam menganalisis dinamika perubahan kelembagaan adat akan melihat rules, ideologi, norma, aktor dan teritori dari kelembagaan adat dan negara, kemudian dianalisis apakah terjadi perubahan kelembagaan sebagai akibat dari konflik sumberdaya hutan tersebut. Selanjutnya akan dibandingkan kelembagaan asli dan adaptasi dari setiap aktor yang berkonflik. 64