STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

dokumen-dokumen yang mirip
STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian

Y ijk = µ + α i + δ ik + β j + (αβ) ij + ε ijk

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan

I. TINJAUAN PUSTAKA. Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Dicotyledoneae, Ordo: Polypetales, Famili:

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Sub-famili : Papilionoidae. Sub-genus : Soja

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Bahan tanaman Bahan kimia Peralatan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata

METODE PERCOBAAN. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Lahan Percobaan Fakultas

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Morfologi Kacang Tanah

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. pada perakaran lateral terdapat bintil-bintil akar yang merupakan kumpulan bakteri

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA. Oleh. Fetrie Bestiarini Effendi A

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tunggak (Vigna unguiculata (L.)) merupakan salah satu anggota dari

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 32 meter di atas permukaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Alat dan Bahan Metode Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Timur Kabupaten Semarang dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Pertanian

TATA CARA PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ordo: Polypetales, Famili: Leguminosea (Papilionaceae), Genus:

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat

Lampiran 1. Deskripsi Tanaman Kedelai Varietas Argomulyo VARIETAS ARGOMULYO

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

Percobaan 3. Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Kacang Tanah pada Populasi Tanaman yang Berbeda

yang dapat ditangkap lebih tinggi karena selain bidang tangkapan lebih besar, jumlah cahaya yang direfleksikan juga sedikit. Peningkatan luas daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAB III METODOLOGI DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

BAHAN METODE PENELITIAN

Laboratorium Teknologi Benih Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa Barat, dengan ketinggian 725 m di atas permukaan laut.

BAHAN DAN METODE. = Respon pengamatan µ = Rataan umum α i = Pengaruh perlakuan asal bibit ke-i (i = 1,2) β j δ ij

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

PELAKSANAAN PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. atas. Umumnya para petani lebih menyukai tipe tegak karena berumur pendek

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Kedelai Hitam

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

TINJAUAN PUSTAKA. Pemadatan Tanah

I. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija jenis

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai. Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Rancangan Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili

III. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan di jalan Depag, Komplek Perumahan. Wengga 1 Blok B Nomor 54 Kelurahan Kasongan Lama, Kecamatan Katingan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode

AGROVIGOR VOLUME 1 NO. 1 SEPTEMBER 2008 ISSN

TINJAUAN PUSTAKA. Perakaran kedelai akar tunggangnya bercabang-cabang, panjangnya

I. PENDAHULUAN. Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Purwono dan Hartono (2012), kacang hijau termasuk dalam keluarga. tumbuhan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

MORFOLOGI TANAMAN KEDELAI

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Kedelai

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

Transkripsi:

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

RINGKASAN BAIQ WIDA ANGGRAENI. Studi Agronomi, Morfo-Anatomi dan Fisiologi Kedelai (Glycine max (L) Merr.) pada Kondisi Cekaman Intensitas Cahaya Rendah. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr dan Ibu Dr. Ir. Nurul Khumaida, MSi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh Intensitas Cahaya Rendah (naungan 50 %) dan genotipe terhadap karakter agronomi, morfo-anatomi dan pertumbuhan tanaman kedelai. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai Oktober 2007 di kebun percobaan Cikabayan. Analisis klorofil dilakukan di laboratorium Research Group on Crop Improvement (RGCI), Departemen Agronomi dan Hortikultura FAPERTA IPB. Pembuatan preparat paraffin tebal daun dan kerapatan stomata dilakukan di laboratorium Ekofisiologi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAPERTA IPB. Menurut Salisbury dan Ross (1992) cahaya matahari mempunyai peranan besar dalam proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, menutup dan membukanya stomata, dan perkecambahan tanaman, metabolisme tanaman hijau, sehingga ketersediaan cahaya matahari menentukan tingkat produksi tanaman. Tanaman hijau memanfaatkan cahaya matahari melalui proses fotosintesis. Chozin et al., (1998) melaporkan bahwa intensitas cahaya di bawah tegakan karet umur dua dan tiga tahun setara dengan intensitas cahaya di bawah paranet 25% dan 50%, sedangkan pada tegakan karet berumur 4 tahun sudah melebihi intensitas cahaya dalam paranet 75%. Penelitian ini menggunakan rancangan petak terbagi (Split Plot Design) menggunakan tiga ulangan dengan anak petak tersarang pada petak utama digambarkan sesuai denah. Terdapat dua faktor, faktor pertama adalah tingkat intensitas cahaya dan faktor kedua adalah empat genotipe kedelai yaitu Ceneng, CG 30-10, CG 76-10 dan Godek. Untuk mengetahui pengaruh nyata akibat intensitas cahaya rendah, genotipe kedelai dan interaksi antara keduanya, data dianalisa dengan uji F. Uji lanjut dilakukan bila pengaruh perlakuan tunggal atau interaksinya berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur dengan uji DMRT dengan taraf 5 %. Peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi; karakter pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun trifoliate, jumlah buku), karakter morfo-

anatomi (tebal daun, kerapatan stomata, kerapatan trikoma, luas daun spesifik, kandungan klorofil a, kandungan klorofil b, rasio klorofil a/b), karakter panen (jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong total, bobot 100 butir, bobot kering tajuk, bobot kering akar, indeks panen. Berdasarkan data dari stasiun klimatologi, curah hujan rata-rata 219.48 mm/bulan, intensitas cahaya rata-rata selama penelitian sebesar 294.88 kal/cm 2 /hari, suhu minimum rata-rata selama penelitian adalah 21.86 o C dan suhu maksimum rata-rata selama penelitian sekitar 32.06 o C, sedangkan kelembaban udara (RH) rata-rata selama penelitian berlangsung yaitu 80.2%. Hal ini memungkinkan mudahnya tanaman terserang hama dan penyakit. Kedelai genotipe Godek tidak memenuhi jumlah populasi sehingga dilakukan penanaman ulang pada tanggal 7 Juli 2007. Hal ini disebabkan kedelai genotipe Godek merupakan kedelai yang paling mudah terserang penyakit dan hama benih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi cekaman intensitas cahaya rendah mempengaruhi pertumbuhan dan karakter morfo-anatomi tanaman kedelai. Intensitas cahaya 50 % meningkatkan tinggi tanaman, luas daun spesifik, klorofil a dan klorofil b pada 6 dan 9 MST, bobot 100 butir. Akan tetapi, menurunkan jumlah daun, jumlah buku, tebal daun, rasio klorofil, kerapatan stomata, kerapatan trikoma, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong total, bobot kering tajuk, bobot kering akar, serta indeks panen. Genotipe Godek merupakan genotipe yang sangat peka terhadap kondisi cekaman intensitas cahaya rendah di masa pertumbuhan melalui penurunan jumlah daun dan buku yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lain, peningkatan luas daun spesifik yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lain, penurunan tebal daun paling rendah, tingkat penurunan kandungan klorofil a dan b lebih tinggi dari genotipe lain, tingkat penurunan kerapatan stomata dan trikoma yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lain. Dalam karakter panen, genotipe ceneng merupakan genotipe yang paling toleran terhadap intensitas cahaya rendah dibandingkan genotipe CG 30-10 dan CG 76-10. Hal ini terlihat dari penurunan jumlah polong isi, bobot kering tajuk dan indeks panen yang lebih rendah, tingkat peningkatan bobot 100 butir yang lebih tinggi.

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon, pada tanggal 5 September 1985. Penulis merupakan anak pertama dari delapan bersaudara dari pasangan Lalu Muhammad Asian dan Ani Suparni. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1991 di SD Negeri 19 Pagi Kebayoran Lama, Jakarta. Pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 19 Jakarta dan lulus pada tahun 2000. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 74 Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Penulis diterima pada Program Studi Agronomi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI).

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi Morfo- Anatomi dan Pertumbuhan Kedelai (Glycine max (L) Merr.) pada Kondisi Cekaman Intensitas Cahaya Rendah. Penelitian ini merupakan pengembangan kedelai yang adaptif untuk pola tumpangsari di bawah tegakan tanaman perkebunan yang telah dimulai oleh tim IPB (Sopandie et al.,2005) melalui penelitian fisiologi dan pemuliaan tanaman yang didanai oleh hibah bersaing tahun 2002-2003 dan Hibah Pascasarjana tahun 2004-2006. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr dan Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.Si selaku dosen pembimbing pembimbing skripsi serta dosen penguji atas saran, kritik dan bimbingannya baik selama penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ir. Is Hidayat Utomo, MAgr selaku pembimbing akademik atas bimbingannya selama penulis menjalani studi, serta semua pihak yang telah membantu selama penelitian yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada Bapak, Mama dan adik-adikku tersayang serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, bantuan dan semangatnya. Sahabatku Isti, Izza, Elizabeth, Rina, Charolina dan penolongku disaat menjelang sidang Fitri, Peni, Didik, Ucup, Toni serta semua teman-temanku yang tidak bisa disebutkan satu per satu untuk doa, kasih sayang, kesabaran, perhatian serta bantuannya. Penulis menyadari bahwa hasil skripsi ini masih jauh dari sempurna. Akan tetapi penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihakpihak yang membutuhkan. Bogor, Januari 2010 Penulis

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi PENDAHULUAN... 1 Latar belakang... 1 Tujuan... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Morfologi Tanaman Kedelai... 4 Lingkungan Tumbuh... 5 Intensitas Cahaya Rendah... 6 Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah... 8 Karakter Morfo-Anatomi dan Kandungan Klorofil... 9 BAHAN DAN METODE... 12 Waktu dan tempat... 12 Bahan dan alat... 12 Metode Penelitian... 12 Pelaksanaan Penelitian... 13 Pengamatan... 14 HASIL DAN PEMBAHASAN... 17 Kondisi Umum... 17 Pertumbuhan Tanaman... 20 Tinggi Tanaman... 20 Jumlah Daun Trifoliat... 22 Jumlah Buku... 24 Luas Daun Spesifik... 27 Karakter Morfo-Anatomi... 29 Tebal Daun... 29 Kerapatan Stomata... 31 Kerapatan Trikoma... 32 Karakter Fisiologi... 33 Klorofil A... 33 Klorofil B... 36 Rasio Klorofil... 39

Halaman Karakter Panen... 41 Jumlah Polong Isi... 41 Jumlah Polong Hampa... 42 Jumlah Polong Total... 43 Bobot 100 Butir... 44 Bobot Kering Tajuk... 45 Bobot Kering Akar... 46 Indeks Panen... 47 KESIMPULAN DAN SARAN... 49 Kesimpulan... 49 Saran... 49 DAFTAR PUSTAKA... 50 LAMPIRAN... 55

DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman 1. Data Iklim Lokasi Cikabayan, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor selama Penelitian Berlangsung... 17 2. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Intensitas Cahaya, Genotipe dan Interaksinya terhadap Karakter Agronomi dan Fisiologi Tanaman Kedelai... 19 3. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Tinggi Tanaman Kedelai pada Umur 5 MST... 21 4. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Jumlah Daun Trifoliat Kedelai pada Umur 9 MST... 24 5. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Jumlah Buku Kedelai pada Umur 9 MST... 26 6. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Luas Daun Spesifik Kedelai pada Umur 9 MST... 27 7. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Tebal Daun Trifoliat Kedelai pada Umur 9 MST... 30 8. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Kerapatan Stomata Empat Genotipe Kedelai pada Umur 9 MST... 31 9. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Jumlah Daun Trifoliat Kedelai pada Umur 9 MST... 33 10. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Kandungan Klorofil a Kedelai pada Umur 6 MST... 35 11. Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Kandungan Klorofil b Empat Genotipe pada Umur 6 dan 9 MST... 36 12. Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Rasio Klorofil a/b Empat Genotipe pada Umur 6 dan 9 MST... 39 13. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Jumlah Polong Isi Tiga Genotipe Kedelai... 41 14. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Jumlah Polong Hampa Tiga Genotipe Kedelai... 42

Nomor Teks Halaman 15. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Jumlah Polong Total Tiga Genotipe Kedelai... 43 16. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Bobot 100 Butir Tiga Genotipe Kedelai... 44 17. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Bobot Kering Tajuk Tiga Genotipe Kedelai... 45 18. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Bobot Kering Akar Tiga Genotipe Kedelai... 46 19. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Indeks Panen Tiga Genotipe Kedelai... 47 Lampiran 1. Analisis Ragam Peubah Tinggi Tanaman pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 61 2. Analisis Ragam Peubah Jumlah Daun Trifoliet pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 62 3. Analisis Ragam Peubah Jumlah Buku pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 63 4. Analisis Ragam Peubah Luas Daun Spesifik pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 64 5. Analisis Ragam Peubah Tebal Daun pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai pada 9 MST... 64 6. Analisis Ragam Peubah Kerapatan Stomata pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 64 7. Analisis Ragam Peubah Kerapatan Trikoma pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 65 8. Analisis Ragam Peubah Kandungan Klorofil a pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 65 9. Analisis Ragam Peubah Kandungan Klorofil b pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 65

Nomor Lampiran Halaman 10. Analisis Ragam Peubah Rasio Klorofil a/b pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 66 11. Analisis Ragam Peubah Jumlah Polong Isi pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 66 12. Analisis Ragam Peubah Jumlah Polong Hampa pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 66 13. Analisis Ragam Peubah Jumlah Polong Total pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 66 14. Analisis Ragam Peubah Bobot 100 Butir pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 67 15. Analisis Ragam Peubah Bobot Kering Akar pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 67 16. Analisis Ragam Peubah Bobot Kering Akar pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 67 17. Analisis Ragam Peubah Indeks Panen pada Tingkatan Intensitas Cahaya 50% dan 100% dan Genotipe Kedelai... 67

DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman 1. Spektrum cahaya yang dapat diserap oleh pigmen tanaman (Yahya, 2007)... 7 2. Adaptasi tanaman naungan yang berperan penting dalam avoidance terhadap devisit cahaya (Levitt, 1980)... 8 3. Pengamatan daun untuk berbagai analisis daun dalam penelitian... 15 4. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Empat Genotipe Kedelai pada Intensitas Cahaya 100% (0) dan Intensitas Cahaya 50% (1) selama percobaan... 22 5. Pertumbuhan Jumlah Daun Empat Genotipe Kedelai pada Intensitas Cahaya 100% (0) dan Intensitas Cahaya 50% (1) selama percobaan... 23 6. Rataan Jumlah Buku Empat Genotipe Kedelai pada kondisi Intensitas Cahaya 100% (0) dan Intensitas Cahaya 50% (1) selama percobaan... 25 7. Rataan Luas Daun Spesifik (LDS) empat genotipe kedelai pada kondisi kontrol (intensitas cahaya 100%) dan naungan 55% (intensitas cahaya 50%) pada 6 dan 9 MST... 28 8. Rataan kandungan klorofil a empat genotipe kedelai pada kondisi kontrol (intensitas cahaya 100%) dan naungan 55 % (intensitas cahaya 50%) pada 6 MST (A) dan 9 MST (B)... 34 9. Rataan kandungan Klorofil b Empat Genotipe Kedelai pada Kondisi Kontrol (intensitas cahaya 100%) dan Naungan 55 % (intensitas cahaya 50%) pada 6 MST (A) dan 9 MST (B)... 38 10. Rataan rasio klorofil a/b empat genotipe kedelai pada kondisi kontrol (intensitas cahaya 100%) dan naungan 55 % (intensitas cahaya 50%) pada 6 MST (A) dan 9 MST (B)... 40 Lampiran 1. Denah Percobaan dengan tiga Ulangan (U) dan empat Genotipe Ceneng (G1), CG30-10 (G2), Cg 76-10 (G3), Godek (G4)... 56 2. Alat yang digunakan dalam penelitian; Mikroskop (1), Timbangan (2), Oven (3) Spektrofotometer (UV-1201, UV-VIS SHIM ADZU) (4)... 56

Nomor Lampiran Halaman 3. Benih keempat Genotipe : Ceneng (G1), CG30-10 (G2), Cg 76-10 (G3), Godek (G4)... 56 4. Kondisi umum percobaan pada 2 MST dengan Intensitas Cahaya 100% (N0) dan Intensitas Cahaya 50 % (N1)... 57 5. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Kedelai Genotipe : Ceneng (G1), CG30-10 (G2), Cg 76-10 (G3), Godek (G4) pada 6 MST dengan Intensitas Cahaya 100% (N0) dan Intensitas Cahaya 50 % (N1)... 57 6. Kerapatan Stomata pada Genotipe : Ceneng (G1), CG30-10 (G2), CG76-10 (G3), Godek (G4) pada 6 MST dengan Intensitas Cahaya 100% (N0) dan Intensitas Cahaya 50 % (N1)... 58 7. Kerapatan Trikoma pada Genotipe : Ceneng (G1), CG30-10 (G2), Cg 76-10 (G3), Godek (G4) pada 6 MST dengan Intensitas Cahaya 100% (N0) dan Intensitas Cahaya 50 % (N1)... 59 8. Tebal Daun pada Genotipe : Ceneng (G1), CG30-10 (G2), Cg 76-10 (G3), Godek (G4) pada 6 MST dengan Intensitas Cahaya 100% (N0) dan Intensitas Cahaya 50 % (N1)... 60

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Metode Analisis Kandungan Klorofil a dan b serta Rasio klorofil a/b... 68 2. Metode Pengukuran Kerapatan Stomata... 69 3. Metode Pengukuran Kerapatan Trikoma... 70

PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merr.) merupakan salah satu komoditas pangan utama setelah padi. Industri pangan berbahan baku kedelai berkembang pesat, beragam makanan hasil komoditi ini sangat disukai oleh masyarakat Indonesia. Kebutuhan konsumsi kedelai untuk bahan pangan masyarakat Indonesia dan pakan ternak meningkat tiap tahunnya. Produksi kedelai di tahun 2008 sebesar 775.710 ton, sedangkan produksi kedelai Indonesia pada tahun 2009 meningkat sebesar 966.469 ton (Badan Pusat Statistik, 2009), akan tetapi masih belum bisa memenuhi kebutuhan konsumsi Indonesia. Dari 2,2 juta ton per tahun kebutuhan kedelai di Indonesia, baru 20-30 persennya berasal dari hasil produksi dalam negeri. Kurang lebih 70-80 persen dari kebutuhan kacang kedelai dalam negeri dipenuhi dari impor. Oleh karenanya, strategi pengembangannya diarahkan pada upaya pengendalian impor yang sekaligus diikuti dengan program promosi yang intensif dalam upaya mencapai swasembada. Isu inilah yang menjadi perjuangan utama Indonesia di forum perdagangan dunia WTO sampai saat ini (Sutaryo, 2009). Dalam rangka revitalisasi pertanian yang bertujuan agar tercipta swasembada kedelai pada tahun 2015 perlu adanya peningkatan produksi dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Kondisi ini mendorong perlunya pengembangan untuk menekan laju impor. Mengingat potensi lahan di Indonesia cukup luas dan jumlah penduduk cukup besar maka perlu dilakukannya peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi, peningkatan kualitas produk, serta upaya-upaya lain yang mendukung berbagai pengembangan kedelai Indonesia. Prioritas agroekosistem sasaran pengembangan kedelai perlu mempertimbangkan beberapa hal, yaitu kendala produksi yang minimal, peluang keberhasilan yang cukup tinggi, prasarana pendukung yang cukup baik dan ketersediaan SDM (petani) yang terampil. Perluasan area tanam yang merupakan bagian dari ekstensifikasi pertanian dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan lahan gawangan untuk tanaman perkebunan pada masa TBM (Tanaman Belum

Menghasilkan) atau melalui tumpangsari di bawah tegakan tanaman perkebunan pada umur kurang dari empat tahun atau HTI. Oleh karena itu, pada masa tersebut disarankan ditanam tanaman yang tahan naungan tetapi memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi (Dephut, 1992). Salah satu tanaman yang dapat dikembangkan untuk ditanam di bawah naungan adalah tanaman kedelai. Saat ini telah banyak penelitian tentang galur kedelai yang toleran terhadap naungan. Salah satu upaya untuk meningkatkan areal tanam dan areal panen kedelai adalah mengembangkan budi daya tumpangsari kedelai dengan tanaman semusim atau tanaman tahunan, seperti tanaman karet dan sawit muda (sekitar tiga tahun pertama). Balitkabi merupakan salah satu lembaga yang melakukan penelitian tersebut. Balitkabi melakukan pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas kedelai toleran naungan, yang sesuai dengan budi daya tumpangsari (Balitkabi, 2010). Tanaman kedelai yang dinaungi mengalami etiolasi sehingga tanaman menjadi pucat dan rentan terhadap hama dan penyakit. Cekaman intensitas cahaya rendah juga mengakibatkan adanya perubahan karakter agronomi, anatomi, fisiologi, molukuler dan biokimia (klorofil, karoten, karbohidrat dan enzim rubisko) yang terkait dengan efisiensi fotosintesis (Sopandie et al., 2002). Perlakuan naungan menyebabkan tanaman kedelai tumbuh lebih tinggi, percabangan dan jumlah buku lebih sedikit (Elfarisna,2000;Putisari,2001). Naungan 60% sejak perkecambahan mengakibatkan penurunan jumlah buku, jumlah cabang, diameter batang, jumlah polong dan hasil biji (Baharsjah, Suardi dan Las, 1985). Pemberian naungan 33% menurunkan hasil biji 28 galur kedelai yang diuji sebesar 2-45% dibandingkan tanpa naungan (Asadi et al.,1997). Kelompok toleran memiliki jumlah polong dan hasil biji per tanaman (34,35g/tanaman) tertinggi dibandingkan kelompok tanaman peka (Elfarisna, 2000). Pengembangan kedelai yang adaptif untuk pola tumpangsari di bawah tegakan tanaman perkebunan telah dimulai oleh tim IPB (Sopandie et al.,2005) melalui penelitian fisiologi dan pemuliaan tanaman yang didanai oleh hibah bersaing tahun 2002-2003 dan Hibah Pascasarjana tahun 2004-2006. Kajian aspek agronomi mengenai karakter morfologi dan fisiologi penting dilakukan. Oleh

karena itu, penelitian tentang mekanisme fisiologi adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya 50% perlu dilakukan untuk menambah kajian-kajian pada berbagai penelitian sebelumnya. Sehingga kajian-kajian yang didapat akan bermanfaat dalam mendukung upaya pembentukan varietas unggul yang toleran terhadap naungan. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh intensitas cahaya rendah dan genotipe terhadap karakter agronomi, morfo-anatomi dan pertumbuhan tanaman kedelai. Hipotesis 1. Intensitas cahaya rendah berpengaruh terhadap karakter morfo-anatomi dan pertumbuhan tanaman kedelai. 2. Terdapat perbedaan pengaruh interaksi antara intensitas cahaya dan genotipe kedelai. 3. Terdapat perbedaan morfo-anatomi dan pertumbuhan yang berkaitan dengan mekanisme adaptasi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah.

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Kedelai Menurut Hidajat (1985) tanaman kedelai merupakan tanaman semusim berupa semak rendah, tumbuh tegak, dengan berbagai morfologi. Tinggi tanaman berkisar antara 10 sampai 200 cm, dapat bercabang sedikit atau banyak tergantung kultivar dan lingkungan tumbuhnya. Klasifikasi kedelai berdasarkan tatanama tumbuhan adalah ordo Rosales, famili Leguminosae, subfamili Papilionaceae, genus Glycine dan spesies Glycine max (Tjitrosoepomo,2000). Tanaman kedelai merupakan tanaman cash crop yang dibudidayakan di lahan sawah (± 60%) dan di lahan kering (± 40%) (Marwoto et al.,2005). Daun pertama yang keluar dari buku di sebelah atas kotiledon, beberapa daun tunggal terbentuk sederhana dan letaknya berseberangan (Hidajat,1985). Menurut Shanmugasundaram dan Sumarno (1993) daun yang terbentuk kemudian beranak daun tiga, berselang-seling, licin atau berbulu. Anak daun berbentuk bundar telur dan lanset. Sumarno dan Hartono (1983) menyatakan bahwa kedelai memiliki jenis bunga sempurna dengan penyerbukan bersifat menyerbuk sendiri. Hidajat (1985) menyatakan bahwa bunga kedelai terbentuk secara berkelompok pada ketiak daun, beragam tergantung kultivar dan lingkungan, berwarna putih atau ungu. Masa berbunga kedelai cukup panjang, berkisar antara 3-5 minggu untuk kultivar daerah iklim dingin, sedangkan untuk daerah tropik lebih singkat. Menurut Rukmana dan Yuniarsih (1996) kedelai berbunga pada umur 30-50 hari setelah tanam (HST), dengan 60% bunga akan rontok sebelum membentuk polong. Pembentukan polong membutuhkan waktu sekitar 21 hari. Polong terbentuk 10-14 hari setelah bunga pertama muncul. Tiap polong berisi 2-4 biji, ukuran dan berat biji tergantung varietas (Hidajat,1985). Warna polong beragam antara kuning hingga kuning kelabu, coklat dan hitam. Pemanenan dapat dilakukan kira-kira satu minggu setelah tanaman matang jika 90 % telah masak (Sumarno dan Hartono,1983) Batang dan daun ditumbuhi bulu berwarna abu-abu atau coklat, tetapi ada juga varietas kedelai tidak berbulu. Pertumbuhan batang dapat dibedakan atas tiga

tipe, yaitu determinat, semideterminat dan interdeterminat. Jumlah buku dan ruas yang terbentuk pada batang utama tergantung dari reaksi genotipe terhadap panjang hari dan tipe tumbuh (Hidajat,1985). Pembentukan buku pada tanaman selesai pada umur 35 HST, yaitu setelah daun trifoliat kelima sudah berkembang dengan jumlah buku pada batang kira-kira 19 buah (Lersten dan Carlson, 1987). Menurut Hidajat (1985) biji kedelai mempunyai bentuk yang berbeda tergantung kultivar, dapat berbentuk bulat, agak gepeng, atau bulat telur, namun sebagian besar kultivar bentuk bijinya bulat telur. Kulit biji dapat berwarna kuning, hijau, coklat, hitam atau campuran dari warna yang disebabkan oleh pigmen antosianin dalam sel, klorofil dalam plastida dan berbagai kombinasi dari uraian pigmen-pigmen dalam lapisan palisade dari epidermis. Biji kedelai berkecambah secara optimal pada suhu tanah 27-30 o C. Bintil akar dapat terbentuk pada tanaman kedelai muda setelah ada akar rambut pada akar utama atau akar cabang. Bintil akar terbentuk Rhizobium javonicum (Hidajat, 1985). Adanya bintil akar sebagai organ simbiosis memungkinkan kedelai untuk memfiksasi nitrogen dari udara. Akar kedelai termasuk akar tunggang. Akar tunggangnya bercabang-cabang mencapai 2 m, akar-akar sampingnya menyebar mendatar sejauh 2,5 m pada kedalaman 10-15cm (Shanmugansundaram dan Sumarno, 1993). Lingkungan Tumbuh Kedelai Kedelai sebagian besar tumbuh di daerah yang beriklim subtropis dan tropis. Kedelai dibudidayakan pada daerah khatulistiwa, mulai letak lintang 55 o U atau 55 o S, dan pada ketinggian ± 2000 m di atas permukaan laut (dpl). Suhu yang paling cocok bagi tanaman kedelai adalah daerah-daerah yang mempunyai suhu antara 10-30 o C dan pada suhu 30 o C perkecambahan terjadi (Shanmugasundaram dan Sumarno, 1993). Kondisi iklim Indonesia yang paling sesuai sebagai sentra produksi adalah daerah-daerah yang memiliki kondisi suhu antara 25-27 o C, kelembaban udara (RH) rata-rata 65%, penyinaran matahari 12 jam/hari dan curah hujan optimum 100-200 mm/bulan (Rukmana dan Yuniarsih, 1996).

Rukmana dan Yuniarsih (1996) menyatakan bahwa kedelai dapat tumbuh dengan baik pada tanah dengan drainase dan aerasi yang baik. Kedelai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah yang mempunyai ph 5,8-7,0. Kedelai cocok ditanam pada tanah jenis Aluvial, Regosol, Grumusol dan Latosol. Selama musim hujan penyinaran relatif singkat sehingga memberikan lingkungan yang baik bagi pathogen penyebab penyakit karat (Baharsjah et al.,1985). Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan bagi tanaman kedelai, CH ratarata untuk kedelai adalah 1000 1500 mm/tahun (Arsyad dan Syam,1998). Peranan unsur iklim terutama sinar matahari menentukan tingkat produksi kedelai. Intensitas Cahaya Rendah Cahaya sangat besar pengaruhnya terhadap proses fisiologi, seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangannya, penutupan dan pembukaan stomata, berbagai pergerakan tanaman dan perkecambahan (Taiz dan Zeiger, 1991; Salisbury dan Ross, 1995). Kedelai termasuk tanaman C 3 yang mempunyai tingkat fotorespirasi tinggi yang mengakibatkan hasil bersih fotosintesis lebih rendah dibandingkan tanaman C 4. Radiasi matahari hanya akan mempengaruhi proses fotosintesis tanaman C 3 hingga tingkat tertentu.pada tanaman kedelai, radiasi matahari optimum untuk fotosintesis maksimal sebesar 0,3-0,8 kal/cm 2 /menit. Intensitas cahaya dan lama penaungan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai. Penurunan intensitas cahaya menjadi 40 % sejak perkecambahan mengakibatkan pengurangan jumlah buku, cabang, diameter batang, jumlah polong dan hasil biji (Baharsjah, Suardi dan Las, 1985). Menurut Elfarisna (2000), tinggi tanaman dipengaruhi sangat nyata oleh naungan, semakin tinggi taraf naungan, maka semakin tinggi tanaman. Jumlah cabang utama juga dipengaruhi nyata oleh naungan, semakin tinggi tanaman jumlah cabang semakin berkurang. Cahaya matahari memancarkan spektrum cahaya tertentu yang dapat diserap dan dipantulkan. Tanaman dapat tumbuh pada spektrum cahaya dengan panjang gelombang 400-700 nm, yang biasa disebut photosynthetically active radiation (PAR). Energi cahaya dikonversi ke molekul berenergi tinggi (ATP)

dan NADPH, terjadi di dalam pigmen atau kompleks protein yang menempel pada membran tilakoid yang terletak pada kloroplas. Pigmen tanaman meliputi klorofil a, klorofil b, dan karotenoid termasuk xantofil menyerap PAR terbaik pada panjang gelombang tertentu. Kandungan pigmen-pigmen tersebut pada daun dapat menentukan warna daun (Gambar 1). Klorofil a menyerap cahaya tertinggi pada kisaran panjang gelombang 420nm dan 660nm. Klorofil b menyerap cahaya paling efektif pada panjang gelombang 440nm dan 640nm, sedangkan karotenoid termasuk xantofil mengabsobsi cahaya pada panjang gelombang 425nm dan 470nm (Yahya, 2007). Gambar 1. Spektrum cahaya yang dapat diserap oleh pigmen tanaman (Yahya, 2007) Fotosintesis yang terjadi dalam keadaan ternaungi sangat bergantung pada intensitas cahaya yang ada. Menurut Prawiranata et al., (1995) fotosintesis tidak terjadi dalam keadaan gelap, tetapi dengan meningkatnya intensitas radiasi, laju fotosintesis meningkat. Hale dan Orchutt (1987) menyatakan bahwa reaksi tanaman akan berbeda bila dipindahkan pada intensitas cahaya yang berbeda. Tanaman dapat beradaptasi dengan dua cara, yaitu meningkatkan luas daun untuk mengurangi penggunaan metabolit dan mengurangi kerapatan respirasi agar dapat mempertahankan keseimbangan karbon dan titik kompensasi (kerapatan pengaliran untuk mencapai keseimbangan karbon).

Komponen utama radiasi surya yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman yaitu intensitas, kualitas dan lama penyinaran. Intensitas cahaya merupakan jumlah radiasi per satuan luas per satuan waktu. Menurut Boer et al., (1994) Intensitas Radiasi Surya (IRS) optimum untuk pertumbuhan dan hasil tanaman diperoleh pada kisaran 275-340 kal/cm 2 /hari. Wilayah yang memiliki rata-rata IRS selama musim pertumbuhan kurang dari 275 kal/cm 2 /hari disarankan untuk menanam kedelai dengan jarak tanam jarang agar diperoleh indeks luas daun (ILD) maksimum 3-3,5 dan sebaliknya untuk daerah dengan IRS rata-rata lebih dari 340 kal/cm 2 /hari disarankan menggunakan jarak tanam lebih rapat agar indeks luas daun lebih dari 4. Tanaman kedelai toleran terhadap tingkat radiasi rendah (sampai 223 kal/cm 2 /hari) apabila ILD maksimumnya 3-3,5. Gambar 2. Adaptasi tanaman dalam naungan yang berperan penting dalam avoidance terhadap devisit cahaya (Levitt, 1980) Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah Fahmi (2003) menyatakan bahwa naungan akan mempengaruhi morfologi, anatomi dan fisiologi tanaman sebagai akibat adanya adaptasi tanaman terhadap

kondisi cekaman cahaya rendah. Mekanisme adaptasi tersebut sebagai upaya tanaman untuk dapat melakukan fotosintesa pada kondisi cahaya rendah sehingga dapat terus melangsungkan hidupnya. Levitt (1980) menyatakan bahwa dalam mekanisme adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah, terdapat dua cara yaitu meningkatkan total intersepsi cahaya melalui peningkatan luas daun dan meningkatkan persentase cahaya yang digunakan dalam fotosíntesis melalui penurunan jumlah cahaya yang direfleksikan dan yang ditransmisikan. Penghindaran intensitas cahaya rendah dilakukan dengan tidak mengembangkan kutikula, lilin, dan bulu-bulu rambut pada permukaan daun serta meniadakan pigmen antosianin (Gambar 2). Salisbury dan Ross (1995) menyimpulkan bahwa spesies toleran naungan memiliki ciri khas : (1) laju fotosíntesis yang jauh lebih rendah daripada cahaya penuh, (2) laju fotosíntesis mencapai jenuh pada tingkat radiasi yang jauh lebih rendah, (3) pada tingkat cahaya yang sangat rendah mampu berfotosintesis dengan laju yang lebih tinggi, dan (4) titik kompensasi cahaya sangat rendah. Karakter Morfo-Anatomi dan Kandungan Klorofil Menurut Salisbury dan Ross (1995) lapisan palisade pada daun yang ternaungi akan berkurang jumlahnya jika dibandingkan dengan palisade yang terdapat pada daun yang tidak ternaungi. Cara adaptasi tanaman menurut Fitter dan Hay (1989) adalah dengan meningkatkan kecepatan fotosintesis setiap unit energi cahaya dan luas daun. Oleh karena itu biasanya daun-daun yang ternaungi menjadi lebih tipis dan lebar karena terdapat perubahan di dalam lapisan mesofil dan palisade. Daun tanaman budidaya kebanyakan mempunyai (a) permukaan luar rata dan luas, (b) lapisan pelindung atas dan bawah, (c) beberapa stomata per satuan luas, (d) ruang udara saling berhubungan didalamnya, (e) sejumlah banyak kloroplas, dan (f) saluran pembuluh. Daun yang ideal untuk fotosintesis ialah daun yang bertebal satu sel untuk memaksimumkan intersepsi cahaya per unit volume dan meminimkan jarak yang harus dilalui untuk pertukaran gas (Gardner et al.,1990).

Daun juga perlu perlindungan terhadap lingkungan maka daun perlu beberapa lapis sel dan lapisan permukaan pelindung, lapisan kutikula, dan lilin yang bersifat transparan dan dapat dilalui cahaya, tetapi tidak dapat dilalui CO 2. Karena itu daun mempunyai jendela pada permukaannya berupa stomata (Gardner et al.,1990). Kerapatan stomata daun berbeda-beda. Pada kedelai yang pernah diteliti kerapatan stomata antara 130-316 per mm 2. Banyaknya stomata bisa berkurang bila kedelai ditanam di tempat yang cahayanya kurang (Leirsten dan Carlson,1987). Penelitian Sopandie et al., (2002) menunjukkan bahwa naungan 50% menyebabkan penurunan kerapatan stomata. Dalam hal ini kelompok genotipe toleran mengalami persentase penurunan lebih sedikit dibanding genotipe peka, yaitu masing-masing 12% dan 32%. Taiz dan Zeiger (2002) menyatakan bahwa tumbuhan bisa mengatur letak kloroplas dan mengorientasikan daun sesuai dengan arah dan intensitas cahaya. Dalam situasi ternaungi kloroplas mengumpul ke dekat lapisan epidermis sehingga daun tampak lebih hijau. Pemberian naungan menyebabkan terjadinya perubahan kandungan klorofil daun. Genotipe toleran memiliki kandungan klorofil a yang lebih tinggi dan rasio klorofil a/b yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe yang peka. Naungan meningkatkan kandungan klorofil a sebanyak 20%. Peningkatan kandungan klorofil a dan klorofil b ditunjukkan oleh tanaman yang beradaptasi pada defisit cahaya dengan tujuan memaksimalkan absorsi foton. Pada kondisi naungan 50 % kandungan klorofil pada genotipe peka lebih tinggi namun klorofil b lebih tinggi pada genotipe toleran (Sopandie et al.,2002). Pembentukan klorofil a dipengaruhi oleh adanya cahaya yang mereduksi chlorophylide menjadi klorofil a, yang kemudian dioksidasi menjadi klorofil b. Terbentuknya klorofil b yang lebih banyak pada keadaan ternaungi diduga karena adanya ketidakseimbangan pembentukan klorofil a akibat pengurangan intensitas radiasi. Sementara konversi menjadi klorofil b relatif tidak dipengaruhi oleh intensitas secara langsung, sedangkan pembentukan klorofil a sangat dipengaruhi cahaya (Lawlor, 1987). Klorofil b merupakan bentuk spesial dari klorofil a yang dalam reaksinya membutuhkan O 2 dan NADPH 2. Klorofil menyusun sekitar 4%

bobot kering kloroplas, dan klorofil b berjumlah 1/3 dari klorofil a (Hall dan Rao, 1999). Menurut Elfarisna (2000) peningkatan kandungan klorofil a, klorofil b dan penurunan rasio klorofil a/b merupakan salah satu mekanisme adaptasi tanaman yang mengalami cekaman naungan. Sopandie et al. (2002) menyatakan bahwa genotipe toleran memiliki kandungan klorofil a dan rasio klorofil a/b yang lebih tinggi dibandingkan genotipe peka. Naungan meningkatkan kandungan klorofil a sebanyak 20 % dan 40 50 % klorofil b. Peningkatan klorofil a dan b ditunjukkan oleh tanaman yang beradaptasi pada defisit cahaya dengan tujuan memaksimalkan absorbsi foton. Hidema et al. (1992) menyatakan Penurunan rasio klorofil a/b disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah klorofil b. Penurunan rasio tersebut merupakan upaya untuk memperluas ukuran antena fotosistem II. Lawlor (1987) mengemukakan bahwa antena atau fotosistem menyerupai corong dengan susunan dari pigmen terluar adalah karotenoid, klorofil a dan klorofil b. Taiz dan Zeiger (2002) menyatakan bahwa pigmen yang menyerap cahaya terdapat pada membran tilakoid yang kemudian disusun ke dalam suatu rangkaian yang dinamakan fitosistem. Fotosistem yang berfungsi menyerap cahaya dengan panjang gelombang 400 700 nm mengandung 200 300 molekul klorofil dan 50 molekul karotenoid. Semua pigmen atau molekul yang terdapat pada fotosistem dinamakan antena.

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai Oktober 2007 di kebun percobaan Cikabayan. Analisis klorofil dilakukan di laboratorium Research Group on Crop Improvement (RGCI), Departemen Agronomi dan Hortikultura FAPERTA IPB. Pembuatan preparat paraffin tebal daun dan kerapatan stomata dilakukan di laboratorium Ekofisiologi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAPERTA IPB. Bahan dan alat Bahan tanaman yang digunakan meliputi empat genotipe, yang terdiri dari genotipe toleran (Ceneng) dan genotipe sensitif (Godek) serta genotipe CG 30-10 dan CG 76-10. Dosis pupuk yang diberikan adalah 30 kg N/ha, 100 kg K 2 O/ha dan 100 kg P 2 O 5 /ha. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida yang sesuai kebutuhan. Bahan kimia yang digunakan meliputi aseton 80 % untuk analisis klorofil, alcohol xylol, alcian blue, safranin, formalin dan asam asetat untuk analisis tebal daun serta glyserin dan cat kuku bening untuk pengukuran stomata. Peralatan yang digunakan adalah alat ukur (meteran), timbangan, polybag, paranet 50 % dan alat budidaya. Peralatan lain yang digunakan meliputi Spektrofotometer (UV-1201, UV-VIS SHIM ADZU) (Gambar Lampiran 2), gelas ukur, mortal, eppendorf, mikroskop, micrometer dan preparat untuk analisis tebal daun serta jumlah daun. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan petak terbagi (Split Plot Design) menggunakan tiga ulangan dengan anak petak tersarang pada petak utama digambarkan sesuai denah (Gambar Lampiran 1). Terdapat dua faktor, faktor pertama adalah tingkat intensitas cahaya (Gambar Lampiran 4) dan faktor kedua adalah empat genotipe kedelai yaitu Ceneng, CG 30-10, CG 76-10 dan Godek (Gambar Lampiran 3).

Model aditif linear yang digunakan adalah Y ijk = µ + α i + δ ik + β j + (αβ) ij + ε ijk Keterangan: i = 0,1 (intensitas cahaya) j = 1,2,3 & 4 (genotipe kedelai) k = 1,2 & 3 (ulangan) Y ijk = nilai pengamatan pada ulangan ke-k yang memperoleh taraf dari faktor naungan ke-i dan taraf ke-j dari faktor genotipe kedelai µ = nilai rataan umum α i δ ik β j = pengaruh aditif dari taraf naungan ke-i = pengaruh ulangan ke-k dalam naungan ke-i = pengaruh aditif dari taraf genotipe kedelai ke-j (αβ) ij = pengaruh aditif dari interaksi faktor taraf ke-i dan faktor taraf ke -j ε ijk = Galat percobaan Data dianalisa dengan uji F, untuk mengetahui pengaruh nyata akibat naungan, genotipe kedelai dan interaksi antara keduanya. Uji lanjut dilakukan bila pengaruh perlakuan tunggal atau interaksinya berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur dengan uji DMRT (Duncan s Multiple Range Test) dengan taraf 5 %. Pelaksanaan Penelitian Pupuk kandang ditambahkan ke dalam tanah dengan dosis 20 ton/ha, kemudian tanah dimasukkan ke dalam polybag ukuran sedang. Pembuatan naungan dilakukan satu minggu sebelum penanaman. Rangka terbuat dari bambu dengan arah pemasangan dari timur ke barat untuk mendapatkan sinar matahari yang maksimum. Naungan dibuat dengan menggunakan paranet 55 %. Benih kedelai ditanam dalam polybag dengan tiga benih per lubang tanam, jarak antar polybag 30 cm x 30 cm. Pemupukan dilakukan pada 2 MST mengelilingi tanaman dengan jarak 7-9 cm. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara kimiawi dan manual. Sebelum dilakukan penanaman untuk membersihkan lahan dari gulma dilakukan penyemprotan gramoxon dengan dosis 0.5 cc/liter kemudian dilakukan pengendalian gulma secara manual tiap minggu sekali. Pengendalian hama dan

penyakit dilakukan secara kimiawi yaitu penyemprotan Dursban dengan dosis 2cc/liter dan Decis dengan dosis 0.5cc/liter. Penyiraman dilakukan sesuai kondisi lapang, jika tidak hujan maka dilakukan penyiraman satu kali sehari. Pemanenan dilakukan saat 90 % dari populasi polong per tanaman contoh sudah matang, yang dicirikan dengan warna polong kuning kecoklatan dan daun gugur. Waktu panen berbeda-beda, tergantung pada genotipe masing-masing dan intensitas cahaya yang diterima. Pengamatan Peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi : Pertumbuhan Tanaman 1. Tinggi tanaman Pengukuran tinggi tanaman dilakukan seminggu sekali mulai 2-9 MST. Tinggi tanaman diukur dari kotiledon sampai titik tumbuh yang terletak di ujung batang. 2. Jumlah daun trifoliat Jumlah daun dihitung mulai daun trifoliat pertama sampai daun yang sudah terbuka penuh dan dilakukan seminggu sekali mulai 2-9 MST. 3. Jumlah Buku Jumlah buku dihitung mulai buku yang berada pada ujung tajuk hingga akhir mendekati akar. Pengamatan dilakukan setiap minggu 2-9 MST. Karakter Morfo-Anatomi 1. Tebal daun Dilakukan satu kali pada 9 MST. Daun yang diamati merupakan daun kanan (Gambar 3) dari daun trifoliat ketiga dari pucuk dengan pembuatan preparat parafin. Metode pengukuran tebal daun disajikan pada Gambar Lampiran 1 dan 2. 2. Kerapatan Stomata Dilakukan sesuai prosedur pengukuran kerapatan stomata pada 6 dan 9 MST. Daun yang diamati merupakan daun kiri (Gambar 3) dari daun trifoliat ketiga dari pucuk batang utama. Metode pengukuran kerapatan stomata disajikan pada Lampiran 1.

3. Kerapatan Trikoma Dilakukan sesuai prosedur pengukuran kerapatan Trikoma pada 6 dan 9 MST. Daun yang diamati merupakan daun kiri (Gambar 3) dari daun trifoliat ketiga dari pucuk batang utama. Metode pengukuran kerapatan stomata disajikan pada Lampiran 2. Gambar 3. Pengamatan daun untuk berbagai analisis daun dalam penelitian. 4. Luas daun spesifik Diukur sekali pada saat vegetatif aktif (6 MST). 5. Kandungan klorofil a 6. Kandungan klorofil b 7. Rasio klorofil a/b Karakter fisiologi (Kandungan Klorofil) yang diamati dilakukan dua kali pada 6 dan 9 MST, daun yang diamati adalah daun tengah (Gambar 3) dari daun trifoliet ketiga dari pucuk batang utama. Sampel daun diekstrak dengan menggunakan Dimethyl sulfoxide (DMSO) dan dikuantifikasi menggunakan metode metode Arnon (1949). Metode analisis klorofil disajikan pada Lampiran 3. Karakter Panen Pengamatan karakter panen dilakukan hanya pada tiga genotipe yaitu Ceneng, CG 76-10 dan CG 30-10. Hal ini disebabkan pada saat satu hingga tiga

MST jumlah tanaman genotipe Godek tidak memenuhi ketentuan pada penelitian ini. Genotipe godek mengalami gangguan pertumbuhan karena terserang hama dan penyakit sehingga penanaman kembali dilakukan satu bulan setelah penanaman genotipe lainnya. Hilangnya data panen pada genotipe Godek diakibatkan terjadi musibah disaat pemanenan, juga menjadi penyebab pengamatan karakter panen dilakukan hanya pada tiga genotipe. 1. Jumlah Polong Isi Perhitungan satu kali, yaitu saat panen dengan menghitung jumlah polong isi. 2. Jumlah Polong Hampa Dilakukan pada saat panen dengan menghitung jumlah polong hampa. 3. Jumlah Polong Total Dilakukan pada saat panen dengan menghitung jumlah seluruh polong dari polong isi dan polong hampa. 4. Bobot 100 butir (gram) Dilakukan dengan menimbang 100 butir biji kering pada tiap perlakuan. 5. Bobot Kering Tajuk (gram) Dilakukan saat panen dengan menimbang tajuk yang sudah dikeringkan. 6. Bobot Kering Akar (gram) Dilakukan saat panen dengan menimbang akar yang sudah dikeringkan. 7. Indeks Panen (IP) Dihitung dengan rumus : IP = Bobot basah polong/ (bobot basah brangkasan + polong) x 100 %

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai Oktober 2007, dengan curah hujan rata-rata 219.48 mm/bulan (Tabel 1), sedangkan curah hujan paling optimum menurut Rukmana dan Yuniarsih (1996) yaitu antara 100-200 mm/bulan. Curah hujan tertinggi terdapat pada bulan Juni 2007 ketika benih baru ditanam. Curah hujan terendah terdapat pada bulan Juli 2007 ketika tanaman kedelai sedang berbunga. Jumlah total hari hujan selama penelitian adalah 78 hari hujan. Tabel 1. Data Iklim Lokasi Cikabayan, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor selama Penelitian Berlangsung Intensitas Suhu Suhu Bulan Curah Hujan Cahaya Minimum Maksimum (mm/bulan) (kal/cm 2 /hari) ( o C) ( o C) Juni 274 253 31.4 22.3 Juli 134 272 31.7 21.8 Agustus 248 317 31.9 21.3 September 205.9 322.7 32.6 21.6 Oktober 235.5 309.7 32.7 22.3 Rata-rata 219.48 294.88 32.06 21.86 Sumber : Stasiun Klimatologi, Darmaga (2007) Berdasarkan data dari stasiun klimatologi, intensitas cahaya rata-rata selama penelitian sebesar 294.88 kal/cm 2 /hari (Tabel 1), sedangkan menurut Baharsjah et al. (1985) intensitas cahaya optimum untuk fotosintesis pada kedelai antara 432 1152 kal/cm 2 /hari. Suhu minimum rata-rata selama penelitian adalah 21.86 o C dan suhu maksimum rata-rata selama penelitian sekitar 32.06 o C (Tabel 1). Shanmugasundaram dan Sumarno (1993) menyatakan bahwa suhu yang paling cocok bagi tanaman kedelai 10-30 o C. Menurut Rukmana dan Yuniarsih (1996) kelembaban udara (RH) rata-rata yang baik bagi pertumbuhan tanaman kedelai adalah 65%, sedangkan kelembaban udara (RH) rata-rata selama penelitian berlangsung yaitu 80.2%. Hal ini

memungkinkan mudahnya tanaman terserang hama dan penyakit. Daya kecambah benih keempat genotipe kurang dari 80%, penyulaman dilakukan pada saat tanaman berumur 3 HST dan 6 HST untuk mempertahankan populasi. Kedelai genotipe Godek tidak memenuhi jumlah populasi sehingga dilakukan penanaman ulang pada tanggal 7 Juli 2007. Hal ini disebabkan kedelai genotipe Godek merupakan kedelai yang paling mudah terserang penyakit dan hama benih. Hama dan penyakit yang ditemui selama penelitian berlangsung yaitu lalat bibit, belalang (Oxya sinensis), ulat grayak (Spodoptera litura), ulat perangkai daun (Lamposema indica), kepik hijau (Nezara viridula), kutu daun (Aphis glycine), penghisap polong (Riptortus linearis), penyakit karat dan sapu setan. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan pada tanggal 23 Juni 2007, 10 Juli 2007 dan 16 September 2007 dengan penyemprotan Dursban dan Decis. Dosis yang digunakan 2 cc/liter Dursban dan 0.5 cc/liter Decis. Hama dan penyakit lebih banyak dijumpai pada tanaman kontrol dibandingkan dengan tanaman naungan. Gulma yang ditemui di lapang adalah Boreria laevis, Axonopus compresus, Ageratum conyzoides, Cleome rutidospermae, Mimosa pudica, serta Phyllantus niruri. Pengendalian gulma dilakukan secara manual seminggu sekali. Tanaman yang dinaungi memiliki kondisi fisik; batang lebih tinggi, jumlah daun dan buku lebih sedikit, daun lebih lebar dan tipis dibandingkan dengan tanaman kontrol. Pengajiran dilakukan pada saat tanaman berumur 4 MST (Minggu Setelah Tanam). Hal ini dikarenakan tanaman yang ditanam di dalam paranet 55% dengan intensitas cahaya 50% mengalami pertumbuhan yang kurang baik dan kurang kokoh sehingga batang dapat rebah saat angin bertiup. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh intensitas cahaya, genotipe dan interaksinya terhadap karakter agronomi dan fisiologi tanaman kedelai disajikan pada Tabel 2. Secara umum, tanaman kedelai yang ditumbuhkan di bawah paranet 55% dengan intensitas cahaya 50% menunjukkan gejala etiolasi, hal ini terlihat dari panjang internode selama masa pertumbuhan. Selain itu daun kedelai di bawah naungan memiliki ketebalan daun lebih tipis dan luas daun yang lebih lebar dibandingkan tanaman kontrol. Dilihat dari karakter panen yang diamati, hasil

panen tanaman dengan perlakuan intensitas cahaya 100% lebih baik jika dibandingkan dengan tanaman dengan perlakuan intensitas cahaya 50%. Tabel 2. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Intensitas Cahaya, Genotipe dan Interaksinya terhadap Karakter Agronomi dan Fisiologi Tanaman Kedelai Peubah Umur Tanaman (MST) Intensitas Cahaya (IC) Genotipe (G) IC x G A. Pertumbuhan Tanaman : Tinggi Tanaman 2 ** tn * 21.19 3 ** tn tn 22.97 4 ** tn tn 23.51 5 ** tn tn 25.91 6 ** tn tn 24.97 7 ** tn tn 19.83 8 ** tn tn 18.69 9 ** tn tn 19.62 Jumlah Daun Trifoliat 2 ** * tn 22.64 3 tn * tn 15.71 4 tn * tn 20.01 5 tn * tn 25.38 6 tn * tn 5.50 a) 7 tn ** tn 22.47 8 tn * tn 25.85 9 * ** * 18.76 Jumlah Buku 2 ** tn tn 12.54 3 ** * * 15.23 4 * ** tn 18.85 5 tn * tn 26.69 6 tn * tn 5.65 a) 7 tn ** ** 18.00 8 tn ** tn 24.89 9 ** ** tn 19.57 Luas Daun Spesifik 6 tn * * 11.98 9 ** * tn 19.44 B. Karakter Morfo-Anatomi : Tebal Daun 9 ** ** ** 4.49 Kerapatan Stomata 6 ** ** tn 16.29 9 ** ** tn 11.72 Kerapatan Trikoma 6 tn tn tn 26.90 9 ** * tn 16.16 Keterangan: KK : Koefisien Keragaman a) : Hasil transformasi x ** : Berbeda Nyata pada α = 1% tn : tidak berbeda nyata * : Berbeda Nyata pada α = 5% KK

Lanjutan Tabel 2. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Intensitas Cahaya, Genotipe dan Interaksinya terhadap Karakter Agronomi dan Fisiologi Tanaman Kedelai Peubah C. Karakter Fisiologi : Umur Tanaman (MST) Intensitas Cahaya (IC) Genotipe (G) IC x G Klorofil A 6 * ** tn 16.34 9 tn * tn 22.47 Klorofil B 6 ** * tn 13.41 9 tn tn tn 27.36 Rasio Klorofil 6 tn ** tn 7.54 9 tn tn tn 2.17 a) D. Karakter Panen : Jumlah Polong Isi ** tn tn 25.03 Jumlah Polong Hampa ** tn tn 5.91 a) Jumlah Polong Total ** tn tn 18.16 Bobot 100 Butir tn ** * 9.40 Bobot Kering Tajuk ** tn tn 19.35 Bobot Kering Akar ** tn tn 18.39 Indeks Panen ** tn tn 10.75 Keterangan: KK : Koefisien Keragaman * : Berbeda Nyata pada α = 5% a) : Hasil transformasi x ** : Berbeda Nyata pada α = 1% tn :tidak berbeda nyata KK A. Pertumbuhan Tanaman Tinggi Tanaman Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam (Tabel 2) intensitas cahaya berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada 2 sampai 9 MST, genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada 2 sampai 9 MST, sedangkan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata pada 2 MST. Analisis ragam peubah tinggi tanaman ditampilkan pada Tabel Lampiran 1. Grafik Pertumbuhan tinggi tanaman disajikan pada Gambar 2. Board (2000) menyatakan bahwa pada pertumbuhan fase vegetatif tanaman kedelai, faktor kualitas dan kuantitas cahaya dapat mempengaruhi ukuran panjang, diameter batang dan kepadatan batang. Tanpa meninjau pengaruhnya

terhadap fotosintesis, kedua faktor tersebut mempengaruhi perkembangan dan morfologi tanaman yang disebut dengan istilah fotomorfogenesis. Sebagai contoh, pada satu kapasitas fotosintesa yang sama, bagian batang yang menerima cahaya lebih banyak akan mengalami pertumbuhan pemanjangan yang lebih pendek. Kualitas cahaya lebih banyak ditentukan oleh rasio antara cahaya merah (R) dengan merah jauh (FR) dan radiasi cahaya biru yang dalam hal ini juga mempengaruhi proses pemanjangan batang. Tabel 3. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Tinggi Tanaman Kedelai pada Umur 5 MST Genotipe Intensitas Cahaya % Kontrol Rata-Rata 100% 50%...cm... Ceneng 19.05 d 51.89 ab 272.39 35.47 g CG 30-10 19.67 d 47.22 ab 240.06 33.45 g CG 76-10 17.56 d 55.46 a 315.83 36.51 g Godek 28.86 cd 38.89 bc 134.75 33.88 g Rata-Rata 21.29 k 48.36 j Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %. Genotipe CG 76-10 pada saat tanaman kedelai berumur 5 MST memiliki tinggi tanaman tertinggi dan berbeda nyata dengan ketiga genotipe lainnya, yaitu 55.46 cm. Rataan peningkatan tinggi yang terjadi akibat naungan sebesar 127.21 %, yaitu dari 21.29 cm menjadi 48.36 cm (Tabel 3). Tanaman yang mengalami cekaman intensitas cahaya rendah akan meningkatkan tinggi tanaman untuk meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya. Menurut Goldsworthy dan Fisher (1992) auksin yang tertimbun di sisi batang dengan penangkapan cahaya yang rendah dapat mengakibatkan pemanjangan yang lebih cepat sehingga terjadi etiolasi dalam naungan. Salisbury dan Ross (1995) mengemukakan hal yang serupa. Hal yang sejalan dikemukakan oleh Agusta dan Santosa (2005) kondisi ternaungi membuat tanaman kedelai tumbuh lebih memanjang dibandingkan dengan pada keadaan terbuka. Pemberian naungan pada suatu penambahan kontinu di lapang tidaklah dapat memperbaiki keadaan pertumbuhan tanaman, membuat tanaman menjadi lebih tinggi. Tanaman

yang tumbuh lebih dari 1 m tampak rebah dan tumbuh merayap yang tidak menguntungkan pada penanaman kedelai. Gambar 4. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Empat Genotipe Kedelai pada Intensitas Cahaya 100% (0) dan Intensitas Cahaya 50% (1) selama percobaan G1: Ceneng, G2 : CG 30-10, G3 : CG 76-10, G4 : Godeg Tanaman yang ditumbuhkan di bawah naungan paranet 55% lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kontrol (cahaya 100%) untuk semua genotipe. Hal ini terlihat pada Gambar 4. Perubahan tinggi terbesar terlihat pada umur tanaman 4 hingga 6 MST. Sedangkan di umur 8 MST pertumbuhan tanaman kontrol dan genotipe Godek yang ternaungi sudah mulai terhenti, namun pada tanaman lain yang dinaungi masih mengalami pertambahan tinggi. Walaupun pertambahan tinggi pada tanaman-tanaman tersebut sangat kecil. Hal tersebut diakibatkan adanya proses etiolasi yang terjadi pada saat proses pemanjangan batang. Diduga proses etiolasi yang terus terjadi pada tanaman yang ternaungi, adalah suatu cara agar tanaman dapat menangkap cahaya lebih efisien. Jumlah Daun Trifoliet Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam (Tabel 2) intensitas cahaya berpengaruh sangat nyata pada 2 MST dan berpengaruh nyata pada 9 MST, genotipe berpengaruh sangat nyata pada 7 dan 9 MST serta berpengaruh nyata pada 2-6 dan 8 MST, sedangkan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata

pada 9 MST terhadap jumlah daun trifoliet. Analisis ragam peubah jumlah daun trifoliet ditampilkan pada Tabel Lampiran 2. Grafik pertumbuhan jumlah daun disajikan pada Gambar 5. Kenaikan jumlah daun terjadi saat umur 2 MST dengan persentase peningkatan terbesar yaitu 39.01%, peningkatan jumlah daun kedelai terjadi dari 1.14 daun pada perlakuan kontrol menjadi 1.58 daun pada perlakuan naungan. Sedangkan jumlah daun pada umur 7, 8 dan 9 mengalami persentase penurunan rata-rata jumlah daun sebesar 2.327%, 18.161% dan 42.015 %. Umur Tanaman (MST) Gambar 5. Pertumbuhan Jumlah Daun Empat Genotipe Kedelai pada Intensitas Cahaya 100% (0) dan Intensitas Cahaya 50% (1) selama percobaan G1: Ceneng, G2 : CG 30-10, G3 : CG 76-10, G4 : Godeg Penurunan jumlah daun akibat intensitas cahaya rendah pada tiap genotipe berbeda diduga akibat adanya serangan hama dan penyakit. Tanaman kontrol sangat peka terserang hama dan penyakit sehingga mudah terserang hama dan penyakit. Selain itu, genotipe Ceneng, CG 30-10 dan CG 76-10 merupakan genotipe yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah sehingga tahan terhadap efek yang ditimbulkan akibat adanya cekaman intensitas cahaya rendah. Penelitian Mulyana (2006), Muhuria (2007) dan Kisman (2007) menunjukkan bahwa naungan paranet 55 % menurunkan jumlah daun trifoliat pada tanaman kedelai. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa persentase penurunan jumlah daun rata-rata terbesar 42.02 % terjadi pada umur 9 MST dari 40.73 daun pada perlakuan kontrol menjadi 28.68 daun pada tanaman yang dinaungi. Genotipe godeg mengalami persentase penurunan rata-rata terbesar

(43.44 %), sedangkan genotipe ceneng mengalami persentase penurunan rata-rata terkecil (9.07%). Tabel 4. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Jumlah daun trifoliat Kedelai pada Umur 9 MST Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-Rata Ceneng 27.56bcd 25.06cd 9.07 26.31k CG 30-10 30.00bcd 22.56d 24.80 26.28k CG 76-10 40.33b 30.33bcd 24.80 35.33jk Godek 65.03a 36.78bc 43.44 50.91i Rata-Rata 40.73ij 28.68k Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %. Cahaya sangat besar pengaruhnya terhadap proses fisiologi, seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangannya, penutupan dan pembukaan stomata, berbagai pergerakan tanaman dan perkecambahan (Taiz dan Zeiger, 2002). Salah satu ciri tanaman yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan adalah bertambahnya jumlah daun. Jumlah daun tanaman yang dinaungi lebih sedikit jika dibandingkan dengan tanaman kontrol, hal tersebut merupakan efek dari cekaman intensitas cahaya rendah. Genotipe Godek merupakan tanaman yang peka terhadap intensitas cahaya rendah sehingga pada naungan paranet 55% tanaman ini memiliki jumlah daun yang lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol (Gambar 5). Hal ini disebabkan karena proses penuaan berupa penguningan daun bagian bawah pada masa pertumbuhannya lebih cepat daripada tanaman kontrol sehingga daun lebih cepat gugur. Jumlah Buku Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam (Tabel 2) dapat diketahui bahwa intensitas cahaya berpengaruh sangat nyata pada 2, 3 dan 9 MST serta berpengaruh nyata pada 4 MST, genotipe berpengaruh sangat nyata pada 4, 8 dan 9 MST serta berpengaruh nyata pada 3, 5 dan 6 MST, sedangkan interaksi antara keduanya berpengaruh sangat nyata pada 7 MST serta berpengaruh nyata pada 3

MST terhadap jumlah buku tanaman kedelai. Analisis ragam peubah jumlah buku ditampilkan pada Tabel Lampiran 3. Umur Tanaman (MST) Gambar 6. Rataan Jumlah Buku Empat Genotipe Kedelai pada Kondisi Kontrol (0) dan Naungan 50 % (1) selama Percobaan G1: Ceneng, G2 : CG 30-10, G3 : CG 76-10, G4 : Godeg Pertambahan jumlah buku berbanding lurus dengan pertambahan jumlah daun. Pada percobaan ini terlihat jumlah buku pada semua perlakuan berbanding lurus dengan jumlah daun pada perlakuan yang sama (Gambar 5 dan Gambar 6). Menurut Sundari et al., (2005) hubungan antara Intensitas Cahaya Rendah (ICR) dengan jumlah daun bersifat linear positif, artinya peningkatan ICR diikuti peningkatan jumlah daun. Peningkatan jumlah daun sebanding dengan peningkatan jumlah buku. Pada Gambar 6 terlihat tanaman kedelai umur 3 MST yang ditanam pada intensitas cahaya 100% rata-rata memiliki jumlah buku lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman pada intensitas cahaya 50 %. Persentase kenaikan jumlah buku tersebut sebesar 38.34 % yaitu dari 3.51 buku pada tanaman kontrol menjadi 4.86 buku pada tanaman yang dinaungi. Sedangkan pada genotipe yang peka terhadap intensitas cahaya rendah (Godek) mengalami penurunan jumlah buku dari 5.33 buku pada tanaman kontrol menjadi 5.167 buku pada tanaman yang dinaungi paranet 55%. Pada umur 2, 3, 4, dan 6 MST jumlah buku perlakuan intensitas cahaya 50% lebih banyak jika dibandingkan tanaman pada perlakuan intensitas cahaya

100%, sedangkan pada umur 5, 7, 8, dan 9 MST jumlah buku perlakuan intensitas cahaya 50% lebih sedikit jika dibandingkan tanaman pada perlakuan intensitas cahaya 100% (Gambar 6). Kenaikan jumlah buku pada tanaman ternaungi disebabkan adanya pengaruh reaksi pertumbuhan tiap genotipe berbeda-beda. Genotipe Ceneng, CG 30-10 dan CG 76-10 merupakan genotipe yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah sehingga tahan terhadap efek yang ditimbulkan akibat adanya cekaman intensitas cahaya rendah. Gejala etiolasi sebagai efek cekaman intensitas rendah pada ketiga genotipe tersebut baru terlihat ketika umur 5 MST. Genotipe Godek merupakan genotipe yang peka terhadap intensitas cahaya rendah sehingga sejak umur 2 MST sudah menunjukkan gejala etiolasi. Tabel 5. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Jumlah Buku Tanaman Kedelai pada Umur 9 MST Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-Rata Ceneng 37.92bc 29.00c 23.52 33.46j CG 30-10 34.33bc 26.11c 23.94 30.22j CG 76-10 44.78b 35.83bc 19.99 40.31i Godek 62.67a 44.64b 28.77 53.66i Rata-Rata 44.93i 33.90j Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %. Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa penurunan persentase rata-rata jumlah buku tanaman saat umur 9 MST sebesar 24.55% dari 44.93 buku pada tanaman kontrol menjadi 33.90 buku pada tanaman yang dinaungi. Persentase penurunan jumlah buku akibat intensitas cahaya 50% yang terendah (19.99%) terjadi pada genotipe CG 76-30, sedangkan persentase penurunan jumlah buku tertinggi (28.77%) terjadi pada genotipe godek sehingga dapat disimpulkan tanaman CG 76-30 memiliki daya adaptasi paling tinggi dibandingkan genotipe lainnya, sedangkan genotipe godek merupakan genotipe paling peka terhadap intensitas cahaya 50%. Baharsjah et al. (1985) menyatakan bahwa penurunan intensitas cahaya menjadi 40 % sejak perkecambahan mengakibatkan pengurangan jumlah buku, cabang, diameter batang, jumlah polong dan hasil biji. Penurunan jumlah buku menyebabkan jumlah daun tanaman ternaungi lebih sedikit dibandingkan dengan

kontrol. Hal ini dikarenakan buku merupakan tempat tumbuhnya daun, sehingga perbandingan jumlah daun dan jumlah buku berbanding lurus. Menurut Wirnas et al., (2006) karakter jumlah cabang, jumlah buku total, jumlah polong isi, jumlah polong total, dan persentase polong isi dapat digunakan untuk membentuk indeks seleksi dalam rangka pengembangan kedelai berdaya hasil tinggi. Luas Daun Spesifik Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam (Tabel 2) intensitas cahaya berpengaruh sangat nyata pada 9 MST, genotipe berpengaruh sangat nyata pada 9 MST serta berpengaruh nyata pada 6 MST, sedangkan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap luas daun spesifik pada 6 MST. Luas daun pada tanaman yang ditumbuhkan dalam naungan (intensitas cahaya 50%) terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan tanaman kontrol (intensitas cahaya 100%). Analisis ragam peubah luas daun spesifik ditampilkan pada Tabel Lampiran 4. Tabel 6. Pengaruh genotipe, intensitas cahaya dan interaksinya terhadap luas daun spesifik tanaman kedelai pada umur 9 MST. Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-Rata ------------ (cm 2 /gr)----------- Ceneng 143.49bc 215.35ab 50.08 179.42ij CG 30-10 134.08bc 208.44a 55.46 171.26j CG 76-10 187.63bc 254.04a 35.39 220.84i Godeg 102.79c 149.70bc 45.64 126.25k Rata-Rata 142.00k 206.88j Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %. Peningkatan luas daun spesifik pada perlakuan naungan diduga sebagai respon terhadap cekaman intensitas cahaya rendah. Berdasarkan tabel 6 pada 9 MST peningkatan luas daun spesifik akibat intensitas cahaya 50% terbesar dari 134.08 cm 2 /gr menjadi 208.44 cm 2 /gr (55.46%) terjadi pada genotipe CG 30-10. Sedangkan peningkatan luas daun spesifik terendah terjadi pada genotipe CG 76-10 dari 187.63 cm 2 /gr menjadi 254.04 cm 2 /gr (35.39 % kontrol). Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Muhuria (2007), peningkatan luas daun spesifik tertinggi terjadi pada genotipe toleran ceneng (161% kontrol), sedangkan genotipe godek hanya mencapai 132 % kontrol.

Kisman et al., (2007) menyatakan bahwa pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah, peningkatan luas daun genotipe toleran lebih besar disbanding genotipe peka. Gambar 7. Rataan Luas Daun Spesifik (LDS) empat genotipe kedelai pada kondisi kontrol (intensitas cahaya 100%) dan naungan 55% (intensitas cahaya 50%) pada 6 dan 9 MST Pada masa awal pembentukan polong (6 MST) pada umumnya luas daun spesifik lebih tinggi dibandingkan pada usia 9 MST. Genotipe Ceneng, CG 30-10 dan CG 76-10 mengalami penurunan luas daun spesifik akibat efek intensitas cahaya 50% pada umur 6 MST. Akan tetapi, di umur 9 MST ketiga genotipe tersebut mengalami peningkatan luas daun spesifik. Hal tersebut disebabkan daya adaptasi genotipe Ceneng, CG 30-10 dan CG 76-10 mengalami penurunan pada umur 9 MST. Genotipe godek yang merupakan genotipe yang peka terhadap

intensitas cahaya rendah mengalami peningkatan luas daun spesifik sejak umur 6 MST (Gambar 7). Salah satu karakter morfologi pada tanaman yang ternaungi jika di bandingkan dengan tanaman yang tidak ternaungi adalah luas daun per tanaman lebih lebar (Daubenmire, 1974). Penghindaran terhadap defisit cahaya dapat dicapai dengan menigkatkan efisiensi penangkapan cahaya. Ada dua cara yang dilakukan, salah satunya ialah tanaman meningkatkan intersepsi cahaya dengan meningkatkan area penangkapan cahaya. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan luas daun per unit jaringan tanaman (Levitt, 1980). Salah satu karakter daun dalam naungan adalah meningkatnya nisbah luas daun terhadap berat daun atau luas daun spesifik (Atwell et al., 1999; Awada dan Redmann, 2000; serta Evans dan Poorter, 2001). Luas daun spesifik berbanding terbalik dengan berat daun spesifik (nisbah berat daun terhadap luas daun), karena iu daun berkembang dalam intensitas cahaya rendah memiliki berat daun spesifik yang lebih rendah. Menurut Muhuria (2007) tanaman kedelai merespon intensitas cahaya rendah dengan cara : (1)mengurangi luas daun total, jumlah daun, dan berat kering daun, serta (2)meningkatkan luas daun trifoliate dan spesifik. Kondisi demikian merupakan salah satu mekanisme untuk meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya, sekaligus memelihara fotosintat. B. Karakter Morfo-Anatomi Tebal Daun Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam (Tabel 2) intensitas cahaya, genotipe, dan interaksi antara keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap luas daun spesifik pada 9 MST. Analisis ragam peubah tebal daun ditampilkan pada Tabel Lampiran 5. Tebal daun pada tanaman yang ditumbuhkan dalam naungan terlihat lebih tipis jika dibandingkan dengan tanaman kontrol (Gambar Lampiran 2). Menurut Kisman et al,. (2007) penurunan bobot spesifik daun akibat cekaman intensitas cahaya rendah pada genotipe toleran cenderung lebih besar dibanding genotipe peka, artinya daun genotipe toleran lebih tipis daripada genotipe peka. Intensitas cahaya 50% menyebabkan tanaman CG 76-10 memiliki daun

yang lebih tipis dibandingkan genotipe lain, berbeda nyata dengan genotipe ceneng yang memiliki ketebalan daun terbesar. Godeg memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam mengurangi ketebalan daun yakni mencapai 4.31 % kontrol, sedangkan CG 76-10 memiliki kemampuan tertinggi dalam mengurangi ketebalan daun yakni mencapai 43.02 % kontrol (Tabel 7). Hasil penelitian Sahardi (2000) menunjukkan bahwa daun genotipe toleran lebih tipis dibandingkan dengan genotipe peka sehingga intersepsi cahaya yang terjadi pada genotipe toleran dapat mencapai daun bagian bawah dan tentu saja kemampuan melaksanakan fotosintesis lebih besar. Tabel 7. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Tebal Daun Tanaman Kedelai pada Umur 9 MST Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-Rata.. µm... µm Ceneng 1.82a 1.14b 37.41 1.48j CG 30-10 1.80a 1.10b 39.00 1.45j CG 76-10 1.71a 0.97c 43.02 1.34j Godeg 1.11b 1.06bc 4.31 1.09k Rata-Rata 1.61i 1.07k Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %. Menurut Levit (1980), salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya adalah dengan meningkatkan intersepsi cahaya yang digunakan dalam proses fotosintesis. Hal ini dilakukan dengan menurunkan jumlah cahaya yang direfleksikan, transmisi serta meniadakan substansi pengabsorbisan cahaya yang tidak dapat mentransfer energi cahaya ke pusat reaksi fotosintesis. Selain itu, penghindaran terhadap defisit cahaya dilakukan dengan tidak mengembangkan kutikula, lilin dan bulu bulu rambut pada permukaan daun. Taiz dan Zeiger (1991) menyatakan bahwa daun tanaman ternaungi lebih tipis dan lebih lebar daripada daun pada tanaman yang ditanam pada daerah terbuka, disebabkan oleh pengurangan lapisan lapisan palisade dan sel-sel mesofil. Goldsworthy dan Fisher (1992) berpendapat bahwa penurunan tebal daun akan terjadi pada tanaman naungan. Permukaan daun tanaman kedelai yang ditumbuhkan di dalam naungan lebih licin dan tipis. Hal ini disebabkan oleh

berkurangnya bulu-bulu daun sehingga menurunkan jumlah cahaya yang harus direfleksikan, sedangkan menipisnya daun dilakukan untuk mengurangi jumlah cahaya yang harus ditransmisi. Sulistyono, Chozin dan Rezkiyanti (2002) menyatakan bahwa daun tanaman padi gogo pada keadaan ternaungi akan mengalami perubahan morfologi yaitu lebih luas dan lebih tipis. Kerapatan Stomata Kerapatan stomata dipengaruhi sangat nyata oleh intensitas cahaya dan genotipe, sedangkan interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata pada 6 dan 9 MST (Tabel 2). Analisis ragam peubah kerapatan stomata ditampilkan pada Tabel Lampiran 6. Perbedaan kerapatan stomata empat genotipe kedelai pada kondisi kontrol dan intensitas cahaya 50% disajikan pada Gambar Lampiran 4. Willmer (1983) mengemukakan bahwa pembentukan stomata dikendalikan oleh faktor keturunan dan berbagai faktor lingkungan antara lain intensitas cahaya. Hal ini sejalan dengan penelitian Afriana (2003) dan Mulyana (2006) yang menyatakan kerapatan stomata kedelai menurun seiring dengan bertambahnya taraf naungan serta menurunnya intensitas cahaya. Secara genetik tiap-tiap genotipe memiliki jumlah stomata yang berbeda-beda, dengan meningkatnya luas daun maka jumlah stomata per satuan luas akan berkurang (Tabel 8). Tabel 8. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Kerapatan Stomata Empat Genotipe pada Umur 6 MST Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-Rata ------- (Jumlah stomata/mm 2 )------- Ceneng 469.61 352.71 75.11 411.16h CG 30-10 365.88 328.25 89.72 347.07h CG 76-10 444.27 339.50 76.42 391.89h Godeg 588.23 442.32 75.20 515.28g Rata-Rata 467.00g 365.69h Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %. Berdasarkan Tabel 8, kerapatan stomata tanaman yang dinaungi lebih rendah dan berbeda nyata dengan kontrol. Intensitas cahaya 50% menurunkan

kerapatan stomata 79.11% kontrol yaitu dari 467.00 menjadi 365.69 stomata per mm 2. Penurunan kerapatan stomata masing-masing genotipe berbeda, hal ini terlihat dari persen kontrol pada tiap genotipe. Genotipe CG 30-10 mengalami penurunan kerapatan stomata paling tinggi (89.72 %) dan genotipe Ceneng mengalami penurunan kerapatan stomata terendah (75.11 %). Menurut Sopandie et al. (2002) kondisi naungan paranet 50% menurunkan kerapatan stomata genotipe toleran dan peka. Kerapatan stomata yang lebih tinggi menunjukkan kapasitas difusi CO 2 yang lebih besar pada genotipe toleranlogan et al. (1999) menyatakan penurunan kerapatan stomata pada intensitas cahaya 50% mungkin disebabkan juga oleh suhu pada tempat ternaungi lebih rendah dan kelembaban lebih tinggi. Dalam kondisi demikian, laju transpirasi akan lebih rendah sehingga tanaman mengadaptasikan diri dengan cara menurunkan kerapatan stomata. Menurut Taiz dan Zeiger (2002), semakin banyak dan lebar pembukaan stomata maka semakin tinggi pertukaran gas CO 2, demikian juga dengan konduktansi stomata. Konduktansi stomata merupakan kondisi kemudahan untuk pertukaran gas CO 2 dan tingkat fotosintesis. Kerapatan Trikoma Kerapatan trikoma berpengaruh sangat nyata oleh intensitas cahaya pada 9 MST, genotipe berpengaruh nyata pada 9 MST, sedangkan interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata pada 6 dan 9 MST (Tabel 2). Analisis ragam peubah kerapatan trikoma ditampilkan pada Tabel Lampiran 7. Perbedaan kerapatan stomata empat genotipe kedelai pada kondisi kontrol dan intensitas cahaya 50% disajikan pada Gambar Lampiran 4. Penelitian ini menunjukkan bahwa intensitas cahaya rendah menyebabkan kerapatan trikoma berkurang. Hal ini sejalan dengan penelitian Tyas (2006), dan Muhuria (2007). Levitt (1980) menyatakan bahwa keberhasilan tanaman untuk tumbuh dan berkembang dalam intensitas cahaya rendah adalah mengefisienkan penangkapan cahaya, antara lain dengan mengurangi jumlah trikoma. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Orcutt (1987) dan Atwell et al. (1999) bahwa adanya trikoma akan meningkatkan jumlah cahaya yang direfleksikan. Menurut Taiz dan Zeiger (2002), daun tumbuhan semak gurun pasir dengan kandungan klorofil sama

memiliki kemampuan yang sangat berbeda dalam mengabsorbsi cahaya oleh karena perbedaan jumlah trikoma; cahaya diserap oleh daun dengan trikoma yang banyak berkurang 40% dibanding daun tanpa atau sedikit trikomanya. Berdasarkan Tabel 9, kerapatan trikoma tanaman yang dinaungi lebih rendah dan berbeda nyata dengan kontrol. Intensitas cahaya 50% menurunkan kerapatan trikoma 71.99% yaitu dari 75.25 menjadi 54.28 trikoma per mm 2. Penurunan kerapatan trikoma terendah terdapat pada genotipe Godek (63.16%), sedangkan penurunan kerapatan trikoma tertinggi terdapat pada genotipe CG 76-10 (86.42%). Tabel 9. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Kerapatan Trikoma Empat Genotipe pada Umur 9 MST Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-Rata -------- (Jumlah trikoma/mm 2 )-------- Ceneng 63.25 42.93 67.87 53.09b CG 30-10 73.81 52.02 70.48 62.91ab CG 76-10 80.13 69.25 86.42 74.69a Godeg 83.81 52.94 63.16 68.37a Rata-Rata 75.25g 54.28h Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %. Tyas (2006) menyatakan bahwa perbedaan intensitas cahaya dan genotipe mempengaruhi kerapatan trikoma daun kedelai. Hasil analisis pada Tabel 9 menunjukkan bahwa intensitas cahaya rendah menyebabkan kerapatan trikoma berkurang. Menurut Muhuria (2007) kondisi demikian sangat menguntungkan tanaman karena jumlah cahaya yang akan direfleksikan akan menjadi sedikit, sehingga daun semakin efisien dalam menangkap cahaya. C. Karakter Fisiologi Klorofil a Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam (Tabel 2) intensitas cahaya berpengaruh nyata pada 6 MST, genotipe berpengaruh sangat nyata pada 6 MST dan berpengaruh nyata pada 9 MST, sedangkan interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil a. Analisis ragam peubah klorofil

a ditampilkan pada Tabel Lampiran 8. Berdasarkan Tabel 10 dan Gambar 7, terlihat pada umumnya intensitas cahaya menaikkan kandungan klorofil a pada 6 dan 9 MST. Hal yang sama dilaporkan Anggarani (2005) dan Mulyana (2006). Gambar 8. Rataan kandungan klorofil a empat genotipe kedelai pada kondisi kontrol (intensitas cahaya 100%) dan naungan 55 % (intensitas cahaya 50%) pada 6 MST (A) dan 9 MST (B) Berdasarkan Gambar 8 pada umur 6 MST (masa vegetatif) genotipe Ceneng mengalami peningkatan kandungan klorofil a paling tinggi (54.60%) dibandingkan genotipe lainnya, sedangkan pada genotipe Godek mengalami penurunan kandungan klorofil a (4.00%). Pada umur tanaman 9 MST hanya genotipe CG 76-10 yang mengalami penurunan kandungan klorofi a, sedangkan genotipe lainnya mengalami peningkatan kandungan klorofil a.

Hal ini diduga karena genotipe Ceneng ; CG 30-10 dan CG 76-10 (hasil persilangan F8 antara genotipe Ceneng dan Godek) memiliki daya adaptasi yang berbeda dengan genotipe Godek. Genotipe Ceneng merupakan genotipe yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah sehingga memiliki daya adaptasi lebih besar jika dibandingkan dengan genotipe Godek. Menurut Kisman (2008) adaptasi berdasarkan karakter fisiologi daun (kandungan klorofil) diwariskan dengan nilai heritabilitas tinggi (70-86%) dengan aksi gen epistatik. Pewarisan karakter dengan tindak gen epistatis seperti ini tidak banyak bermanfaat bagi kegiatan pemuliaan karena tidak banyak menghasilkan kemajuan genetik dalam perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Hasil penelitian Mulyana (2006) menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, yakni kandungan klorofil a tanaman kedelai yang ditumbuhkan dalam naungan 55% meningkat 34.57% pada 6 MST dan 67.21% pada 9 MST. Menurut Asadi et al. (1997) naungan dapat meningkatkan kelembaban relatif udara di bawah tajuk, menurunkan suhu, meningkatkan kelembaban tanah, menurunkan fluktuasi suhu pada siang dan malam hari serta meningkatkan kandungan klorofil a. Pada kondisi naungan umur 6 MST, kandungan klorofil a dalam tanaman tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan, kecuali genotipe Godek. Pada genotipe Godek terjadi penurunan kandungan klorofil sebesar 4.00% yaitu dari 0.67 ml/mg pada kontrol menjadi 0.70 ml/mg pada naungan. Sedangkan pada genotipe Ceneng intensitas cahaya 50% menyebabkan kenaikan kandungan klorofil a terbesar yaitu 35.32% dari 1.61 ml/mg menjadi 1.04 ml/mg (Tabel 10). Tabel 10. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Kandungan Klorofil a Kedelai pada Umur 6 MST Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-Rata -------- (ml/mg)-------- Ceneng 1.04bc 1.61a 35.32 1.32j CG 30-10 1.28ab 1.55a 17.34 1.42j CG 76-10 1.18ab 1.22ab 2.90 1.20j Godeg 0.70c 0.67c -4.00 0.68k Rata-Rata 1.05j 1.26j Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %.

Menurut Lawlor (1987), pembentukan klorofil a dipengaruhi oleh adanya cahaya, yaitu yang mereduksi protoklorofilida menjadi klorofil a yang kemudian dioksidasi menjadi klorifil b. terbentuknya klorofil b yang lebih banyak pada keadaan ternaungi diduga karena adanya ketidakseimbangan pembentukan klorofil a akibat pengurangan intensitas radiasi. Klorofil b Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam (tabel 2) intensitas cahaya berpengaruh sangat nyata pada 6 MST, genotipe berpengaruh nyata pada 6 MST dan interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata pada peubah kandungan klorofil b pada umur 6 dan 9 MST. Analisis ragam peubah klorofil b ditampilkan pada Tabel Lampiran 9. Pada Tabel 11 terlihat bahwa jumlah klorofil b pada tanaman naungan lebih tinggi daripada tanaman kontrol. Kandungan klorofil b dalam naungan mengalami peningkatan sebesar 20.22% kontrol dari 0.44 ml/mg menjadi 0.53 ml/mg pada 6 MST dan peningkatan sebesar 11.46% kontrol dari 0.49 ml/mg menjadi 0.55 ml/mg pada 9 MST. Tabel 11. Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Kandungan Klorofil b Empat Genotipe pada Umur 6 dan 9 MST Intensitas Cahaya Umur 6 MST 9 MST ------------ (ml/mg)----------- 50% 0.53h 0.55h 100% 0.44g 0.49g Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %. Penelitian Anggarani (2005) menyatakan bahwa naungan meningkatkan kandungan klorofil b pada umur 6 dan 8 MST. Pada saat tanaman berumur 6 dan 8 MST terlihat bahwa genotipe Ceneng mengalami peningkatan kandungan klorofil b paling tinggi dibandingkan dengan genotipe Pangrango, Godek dan Slamet. Mulyana (2006) menambahkan cekaman naungan akan meningkatkan klorofil b sebesar 23.79% pada 6 MST (fase vegetatif) dan 80.07% pada 9 MST (fase generatif).

Daun yang lebih luas dan lebih tipis pada genotipe toleran memungkinkan jumlah cahaya yang dapat ditangkap menjadi lebih banyak karena bidang tangkapan yang lebih luas. Akibat menipisnya daun, distribusi kloroplas menjadi lebih merata sehingga kandungan klorofil terutama klorofil b (pigmen antena meningkat). Dengan demikian, jumlah cahaya intersep dengan bidang permukaan daun lebih banyak, jumlah cahaya yang diteruskan ke kompleks protein semakin banyak, dan jumlah cahaya yang dilewatkan atau ditransmisi menjadi lebih sedikit (Kisman, 2007). Analisis laju fotosintesis dan respirasi gelap menunjukkan efisiensi yang lebih tinggi pada genotipe toleran naungan. Analisis struktur kloroplas menggunakan TEM (Transmission Electron Mircroscope) menunjukkan bahwa pada keadaan ternaungi, genotipe yang toleran, Ceneng mempunyai stack grana lebih banyak dibanding genotipe yang peka dan masih dapat ditemui butir-butir pati. Hasil analisis isoenzym menunjukkan adanya perbedaan pola pita protein antara genotipe kedelai toleran dan peka terhadap naungan. Genotipe toleran Ceneng memiliki mekanisme efisiensi penggunaan cahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka Godek. Hasil studi analisis enzim pada tahun ke tiga diperoleh informasi bahwa pada genotipe toleran Ceneng aktivitas enzimenzim fotosintetik yakni rubisco dan SPS dipertahankan dalam level yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka Godek. Sebaliknya, genotipe toleran Ceneng dapat menekan aktivitas enzim-enzim respirasi yakni MDH dan AI pada level yang lebih rendah dibandingkan dengan genotipe peka Godek (Sopandie et al., 2006). Peningkatan kandungan klorofil b pada tanaman disebabkan oleh adanya proses konversi klorofil a menjadi klorofil b yang dikatalisatori oleh enzim CAO. Gambar 9 menunjukkan bahwa pada umur 6 MST dan 9 MST terjadi peningkatan kandungan klorofil b pada genotipe Ceneng, CG 30-10 dan CG 76-10. Peningkatan kandungan klorofil b terbesar terjadi pada genotipe ceneng, sedangkan penurunan kandungan klorofil b terjadi pada genotipe godek. Hal ini menunjukkan genotipe ceneng, CG 30-10 dan CG 76-10 merupakan genotipe yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah, sedangkan genotipe godek merupakan genotipe yang peka terhadap intensitas cahaya rendah sehingga

memiliki daya adaptasi yang rendah pula. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Anggarani,2006 ; Mulyana,2006 ; Sopandie et al., 2006 ; Tyas, 2006 ; Kisman, 2007; Muhuria, 2007 ). Gambar 9. Rataan kandungan Klorofil b Empat Genotipe Kedelai pada Kondisi Kontrol (intensitas cahaya 100%) dan Naungan 55 % (intensitas cahaya 50%) pada 6 MST (A) dan 9 MST (B) Berdasarkan bobot, daun yang ditumbuhkan di bawah naungan memiliki klorofil yang lebih tinggi, khususnya klorofil b, karena setiap kloroplas memiliki grana lebih banyak dibandingkan dengan daun tanpa naungan. Daun naungan menggunakan energi yang lebih besar untuk menghasilkan pigmen pemanen cahaya pada saat jumlah cahaya tersebut terbatas (Salisbury dan Ross, 1995). Klorofil b menyerap cahaya pada panjang gelombang 430, 455 dan 640 nm. Peningkatan klorofil b yang lebih banyak dari pada klorofil a merupakan upaya tanaman untuk mengefisienkan penangkapan jumlah cahaya dengan panjang

gelombang yang lebih pendek untuk digunakan dalam proses fotosintesis (Djukri, 2003). Rasio Klorofil a / b Rasio klorofil a/b tidak dipengaruhi oleh intensitas cahaya, dan interaksi antara keduanya, sedangkan genotipe mempengaruhi sangat nyata pada 6 MST (tabel 2). Analisis ragam peubah rasio klorofil a/b ditampilkan pada Tabel Lampiran 10. Hale dan Orchutt (1987) menyatakan bahwa dengan adanya peningkatan konsentrasi klorofil b akibat naungan, rasio klorofil a/b akan menurun. Pendapat ini didukung juga oleh Khumaida (2002) yang menyatakan bahwa rasio klorofil a/b kedelai menurun pada naungan 50% disebabkan oleh biosintesis klorofil b yang tinggi. Rasio klorofil a/b berkorelasi positif dengan ukuran antena dan ekspresi gen lhcp. Berdasarkan Tabel 12 rasio klorofil a/b akan lebih rendah pada kondisi lingkungan dengan intensitas cahaya 50%. Pada umur 6 MST rasio klorofil menurun dari 2.41 ml/mg menjadi 2.34 ml/mg sebesar 2.99% kontrol, sedangkan pada 9 MST penurunan rasio klorofil dari 1.91 ml/mg menjadi 1.56 ml/mg sebesar 18.52% kontrol. Hal ini sejalan dengan penelitian Muhuria (2006) nisbah klorofil a/b menurun oleh perlakuan intensitas cahaya 50% yang berarti bahwa terjadi peningkatan kandungan klorofil b. Anderson (1988) dalam Atwell et al. (1999) dan Pearcy (1999) menyebutkan bahwa rendahnya nisbah klorofil a/b merupakan refleksi dari peningkatan kompleks pemanen cahaya (LHCII) relatif terhadap pusat reaksi ; peningkatan ini akan mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya (Khumaida et al., 2003). Tabel 12. Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Rasio Klorofil a/b Empat Genotipe pada Umur 6 dan 9 MST Intensitas Cahaya Umur 6 MST 9 MST ------------ (ml/mg)----------- 50% 2.41g 1.56h 100% 2.34g 1.91h Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %.

Menurut Hale dan Orchutt (1987), tanaman ternaungi biasanya memiliki rasio klorofl a/b lebih rendah daripada tanaman yang terkena cahaya. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah kloroplas dan konsentrasi klorofil pada kloroplas tanaman ternaungi yang diikuti dengan penurunan pigmen lain yang mengganggu proses penyerapan cahaya. Gambar 10. Rataan rasio klorofil a/b empat genotipe kedelai pada kondisi kontrol (intensitas cahaya 100%) dan naungan 55 % (intensitas cahaya 50%) pada 6 MST (A) dan 9 MST (B) Gambar 10 menunjukkan bahwa intensitas cahaya rendah dapat mengakibatkan penurunan rasio klorofil terjadi pada semua genotipe pada umur 6 MST. Penurunan rasio klorofil tertinggi pada 6 MST (8.09% kontrol) terjadi pada genotipe CG 30-10, sedangkan pada genotipe godek terjadi peningkatan rasio klorofil (1.81% kontrol). Pada umur tanaman 9 MST genotipe ceneng yang mengalami penurunan rasio klorofil tertinggi (41.83% kontrol), sedangkan

genotipe ceneng mengalami penurunan rasio klorofil terendah (0.26 % kontrol). Pada umumnya tanaman kedelai beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah dengan cara menurunkan rasio klorofil a/b. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Anggarani,2006 ; Mulyana,2006 ; Sopandie et al., 2006 ; Tyas, 2006 ; Kisman, 2007; Muhuria, 2007 ). Menurut Muhuria et al, (2007) kandungan klorofil a, b dan klorofil total berbeda antar genotipe baik dalam intensitas cahaya 100% maupun 50%. Pada intensitas cahaya 50%, kandungan klorofil a dan b lebih tinggi sedangkan nisbah klorofil a/b lebih rendah dibandingkan dengan intensitas cahaya 100% tetapi secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil analisis penelitian ini. D. Karakter Panen Jumlah Polong Isi Jumlah polong isi dipengaruhi sangat nyata oleh intensitas cahaya, tetapi tidak dipengaruhi oleh genotipe dan interaksi keduanya (Tabel 2). Analisis ragam peubah jumlah polong isi ditampilkan pada Tabel Lampiran 11. Tabel 13. Pengaruh genotipe, intensitas cahaya dan interaksinya terhadap jumlah polong isi tiga genotipe kedelai Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-Rata Ceneng 69.31ab 44.67bc 35.56 56.99jk CG 30-10 71.83ab 28.66c 60.11 50.24k CG 76-10 99.44a 43.13bc 56.63 71.29j Rata-Rata 80.20g 38.82h Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %. Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa cekaman naungan 55% menurunkan jumlah polong isi sekitar 51.60% yaitu dari 80.20 polong menjadi 38.82 polong. Penurunan jumlah polong isi berbeda pada tiap genotipenya. Penurunan jumlah polong isi akibat naungan terbesar (60.11% kontrol) terjadi pada genotipe CG 30-10, sedangkan penurunan jumlah polong isi terkecil (35.56% kontrol) terjadi pada genotipe ceneng. Hal ini menunjukkan genotipe yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah maka memiliki % kontrol penurunan jumlah polong isi terkecil,

sebab memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap cekaman intensitas cahaya rendah. Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian Afriana (2003), Anggarani (2005) dan Mulyana (2006) yang menunjukkan bahwa intensitas cahaya 50% dapat menurunkan jumlah polong isi. Hasil yang berbeda disampaikan oleh Elfarisna (2000) yang menyatakan bahwa pemberian naungan 50% pada kedelai tidak memberikan pengaruh terhadap pengisisan polong yang dapat dilihat dari persentase polong bernas (88.62% - 100%). Hal ini diduga disebabkan perbedaan genotipe yang diamati dan umur panen. Menurut Wirnas et al. (2006) penambahan umur panen dapat menurunkan bobot biji per tanaman, jumlah polong total dan jumlah polong isi. Chirkov dan Primault (1979) menyatakan bahwa potensi fotosintesis yang maksimum menyebabkan produksi maksimum. Menurut Sulistyono et al. (2002) potensi produksi berkorelasi positif nyata dengan tinggi tanaman (r = 0.56) tetapi berkorelasi negative nyata dengan bobot kering akar (r = -0.38). tinggi tanaman yang tinggi menyebabkan distribusi cahaya merata ke seluruh tajuk sehingga potensi fotosintesis akan maksimum. Jumlah Polong Hampa Jumlah polong hampa dipengaruhi secara nyata oleh intensitas cahaya, tetapi tidak dipengaruhi oleh genotipe dan interaksi keduanya (Tabel 2). Analisis ragam peubah jumlah polong hampa ditampilkan pada Tabel Lampiran 12. Pengaruh interaksi intensitas cahaya dan genotipe terhadap jumlah polong hampa disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Pengaruh genotipe, intensitas cahaya dan interaksinya terhadap jumlah polong hampa tiga genotipe kedelai Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-Rata Ceneng 30.98a 10.94b 64.67 20.96g CG 30-10 35.44a 20.84ab 41.19 24.47g CG 76-10 25.63ab 23.31ab 9.06 28.14g Rata-Rata 30.69j 18.37k Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %.

Cekaman intensitas cahaya rendah menurunkan jumlah polong hampa tiap tanaman dari 30.69 menjadi 18.37 atau sekitar 40.14% kontrol. Penurunan jumlah polong hampa terbesar (64.67% kontrol) terjadi pada genotipe Ceneng yaitu dari 30.98 menjadi 10.94, sedangkan penurunan jumlah polong hampa terkecil (9.06% kontrol) terjadi pada genotipe CG 76-10 yaitu dari 25.63 menjadi 23.31 (Tabel 14). Kondisi lingkungan di ruang terbuka yang memungkinkan tanaman mudah terserang penyakit juga dapat mempengaruhi faktor produksi. Pada kondisi ternaungi, tanaman menggunakan cahaya dengan lebih efisien untuk proses pembentukan polong isi, sehingga mengurangi jumlah polong hampa. Penelitian Anggarani (2005) dan Mulyana (2006) menyatakan hal yang sama bahwa naungan menyebabkan jumlah polong hampa menurun. Jumlah Polong Total Jumlah polong total sangat nyata dipengaruhi oleh intensitas cahaya, tetapi tidak dipengaruhi oleh genotipe dan interaksi keduanya (Tabel 2). Analisis ragam peubah Jumlah Polong Total ditampilkan pada Tabel Lampiran 13. Pengaruh interaksi intensitas cahaya dan genotipe terhadap jumlah polong total disajkan pada Tabel 15. Jumlah polong total merupakan penjumlahan polong isi dan polong hampa. Pada tanaman yang ditanam dengan intensitas cahaya 50% dan 100% memiliki jumlah polong tidak berbeda nyata kecuali CG 76-10 yaitu 66.44 polong pada naungan dan 125.078 polong pada kontrol (Tabel 15). Tabel 15. Pengaruh genotipe, intensitas cahaya dan interaksinya terhadap jumlah polong total tiga genotipe kedelai Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-rata Ceneng 100.29ab 55.61c 44.55 77.95j CG 30-10 107.28ab 49.50c 53.86 78.39j CG 76-10 125.08a 66.44cb 46.88 95.76j Rata-Rata 110.88g 57.19h Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %. Tingkat penurunan yang terjadi pada ketiga genotipe berbeda. Penurunan jumlah polong akibat intensitas cahaya rendah terbesar (53.86% kontrol) terjadi

pada CG 30-10 yaitu dari 107.28 polong menjadi 49.50 (Tabel 15). Elfarisna (2000) menyatakan bahwa kondisi naungan 50% dapat menurunkan jumlah polong isi, polong hampa, ukuran biji (bobot 100 butir), dan bobot biji per tanaman. Anggarani (2005) menambahkan bahwa penurunan jumlah polong total genotipe toleran lebih kecil daripada genotipe peka yang menunjukkan daya adaptasi genotipe toleran lebih baik daripada genotipe peka. Mulyana (2006) berpendapat jumlah polong total merupakan penjumlahan polong isi dan polong hampa karena jumlah polong total merupakan penjumlahan dari kedua peubah tersebut. Menurut Efendi (2008) kelompok galur kedelai toleran yang ditanam pada lahan di bawah tegakan karet mampu beradaptasi dan menghasilkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok galur terseleksi berdasarkan indeks hasil. Bobot 100 Butir Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa bobot 100 butir tidak dipengaruhi secara nyata oleh intensitas cahaya, sedangkan genotipe berpengaruh sangat nyata dan interaksi keduanya berpengaruh nyata. Analisis ragam peubah bobot 100 butir ditampilkan pada Tabel Lampiran 14. Pengaruh interaksi intensitas cahaya dan genotipe terhadap bobot 100 butir disajkan pada Tabel 16. Tabel 16. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Bobot 100 Butir Tiga Genotipe Kedelai Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-Rata Ceneng 8.80b 10.61a -20.57 9.71j CG 30-10 8.49b 7.66b 9.78 8.08k CG 76-10 7.97b 7.50b 5.90 7.74k Rata-Rata 8.42k 8.59j Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %. Berdasarkan Tabel 16, genotipe ceneng mengalami peningkatan bobot 100 butir sebesar 20.57% kontrol, sedangkan genotipe CG 30-10 mengalami penurunan bobot 100 butir sebesar 9.78% kontrol. Hal ini menunjukkan genotipe Ceneng yang bersifat toleran memiliki daya adaptasi terhadap intensitas cahaya rendah lebih tinggi, sedangkan genotipe CG 30-10 memiliki daya adaptasi

terendah dibandingkan genotipe lain. Hal ini disebabkan sifat genetik pada masing-masing genotipe berbeda. Hasnah (2003) menyatakan bahwa nilai persen kontrol dapat digunakan untuk menenukan daya adaptasi dari genotipe-genotipe yang ditanam. Semakin tinggi nilai bobot biji relatif (persen kontrol), maka semakin tinggi pula nilai adaptasi tanaman tersebut. Bobot Kering Tajuk Berdasarkan hasil rekapitulasi sidik ragam (Tabel 2) terlihat bahwa intensitas cahaya berpengaruh sangat nyata, sedangkan genotipe dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk. Analisis ragam peubah bobot kering tajuk ditampilkan pada Tabel Lampiran 15. Penurunan bobot kering tajuk akibat intensitas cahaya rendah terbesar (39.98% kontrol) yaitu dari 28.12 gram menjadi 16.87 gram terjadi pada genotipe CG 76-10. Sedangkan penurunan bobot kering tajuk terkecil (12.37% kontrol) terjadi pada genotipe Ceneng (Tabel 17). Hal ini diduga karena genotipe Ceneng merupakan genotipe yang paling toleran terhadap cekaman intensitas rendah dibandingkan dengan genotipe lain. Menurut Elfarisna (2000), kedelai pada kelompok toleran yang tetap berproduktivitas tinggi pada kondisi naungan maupun tanpa naungan adalah Ceneng. Penelitian Anggarani (2005) dan Mulyana (2006) menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, bahwa intensitas cahaya 50% menurunkan bobot kering tajuk tanaman pada saat panen. Tabel 17. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Bobot Kering Tajuk Tiga Genotipe Kedelai Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-Rata Ceneng 23.74 20.80 12.37 22.27j CG 30-10 26.63 16.49 38.07 21.56j CG 76-10 28.12 16.87 39.98 22.49j Rata-Rata 26.16g 18.06g Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %.

Daubenmire (1974) menyatakan bahwa naungan menyebabkan batang lebih kecil dengan xylem yang kurang berkembang, jumlah cabang yang lebih sedikit, helai daun yang lebih tipis, dan kadar air tinggi. Baharsyah (1980) menambahkan bahwa penurunan cahaya menjadi 40% sejak perkecambahan mengakibatkan penurunan jumlah buku, jumlah cabang dan diameter batang sehingga menyebabkan bobot kering tajuk menurun. Harjadi (1989) menyatakan bahwa xylem dari batang berkayu berfungsi untuk gerakan ke atas (tajuk) dari N-organik. Menurut Wachjar et al. (2002) keterbatasan media tanam dalam polybag mempengaruhi jumlah mikroorganisme dan ketersediaan bahan organik dalam tanah tersebut telah berkurang. Fakta tersebut diduga menjadi penyebab meningkatnya bobot basah tajuk dan bobot kering tajuk yang tidak diikuti dengan peningkatan bobot basah akar dan bobot kering akar. Menurut Salisbury dan Ross (1995), daun-daun muda bibit sedang tumbuh berperan sebagai sink (wadah penampung) fotosintat. Hal tersebut mengakibatkan penggunaan fotosintat di tajuk lebih besar sehingga hanya sejumlah kecil fotosintat yang diangkut ke bagian akar. Bobot Kering Akar Berdasarkan hasil rekapitulasi sidik ragam (Tabel 2) terlihat bahwa intensitas cahaya berpengaruh sangat nyata, sedangkan genotipe dan interaksi keduanya tidak berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering akar pada ketiga genotipe kedelai. Analisis ragam peubah bobot kering akar ditampilkan pada Tabel Lampiran 16. Pengaruh interaksi intensitas cahaya dan genotipe terhadap bobot 100 butir disajkan pada Tabel 18. Tabel 18. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Bobot Kering Akar Tiga Genotipe Kedelai Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-Rata Ceneng 2.33a 1.45a 37.63 1.89g CG 30-10 2.34a 1.58a 32.74 1.96g CG 76-10 2.42a 1.93a 20.16 2.17g Rata-Rata 2.36h 1.65h Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %.

Dari tabel 18 terlihat bahwa semua genotipe mengalami penurunan bobot kering akar akibat intensitas cahaya rendah. Pemberian naungan pada tanaman kedelai menyebabkan penurunan bobot kering akar terbesar (37.64% kontrol) pada genotipe ceneng, sedangkan penurunan bobot kering akar terkecil (20.16% kontrol). Hal ini diduga karena tanaman yang ditanam pada kondisi intensitas cahaya rendah akan memanfaatkan cahaya yang diserap untuk pertumbuhan tajuk. Sulistyono et al. (2002) menyatakan bahwa galur dengan potensi tinggi selain memiliki pertumbuhan tajuk yang tinggi, juga perakarannya lebih baik daripada galur dengan potensi produksi rendah selain itu, galur dengan potensi produksinya tinggi mengembangkan perakaran lebih tinggi daripada tajuknya. Penelitian Anggarani (2005) dan Mulayana (2006) menyatakan hal yang sama, bahwa naungan paranet 55% menurunkan bobot kering akar pada saat panen. Daubenmire (1974) menyatakan bahwa naungan menyebabkan kadar air tinggi, dan penurunan panjang akar sehingga bobot kering akar mengalami penurunan. Indeks Panen Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa indeks panen sangat nyata dipengaruhi oleh intensitas cahaya, tetapi tidak dipengaruhi secara nyata oleh genotipe dan interaksi keduanya. Analisis ragam peubah indeks panen ditampilkan pada Tabel Lampiran 17. Tabel 19. Pengaruh Genotipe, Intensitas Cahaya dan Interaksinya terhadap Indeks Panen Tiga Genotipe Kedelai Genotipe Intensitas Cahaya 100% 50% % Kontrol Rata-rata Ceneng 0.44a 0.26b 59.34 0.35j CG 30-10 0.45a 0.26b 57.46 0.35j CG 76-10 0.46a 0.24b 51.15 0.35j Rata-Rata 0.45j 0.25k Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom intensitas cahaya dan ratarata serta baris rata-rata tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5 %. Pada Tabel 19 terlihat bahwa indeks panen tertinggi (59.34% kontrol) pada genotipe ceneng, sedangkan indeks panen terendah (51.15% kontrol). Besar

kecilnya indeks panen dipengaruhi oleh faktor pembaginya, yaitu bobot kering akar dan bobot kering tajuk. Hal ini menunjukkan genotipe Ceneng merupakan genotipe yang toleran terhadap cekaman intensitas cahaya rendah dibandingkan genotipe lain. Potensi produksi berkorelasi positif nyata dengan luas daun (r = 0.37). daun tanaman padi gogo pada keadaan ternaungi akan mengalami perubahan morfologi pada daun (Sulistyono et al., 2002). Perubahan pada morfologi daun akan mempengaruhi bobot kering tajuk pada kedelai sehingga mengakibatkan perubahan indeks panen pada tanaman kedelai. Anggarani menyatakan bahwa penurunan indeks panen disebabkan oleh menurunnya bobot biji per tanaman, bobot kering akar dan bobot kering tajuk. Mulyana (2006) menambahkan indeks panen menunjukkan banyaknya biji yang dipanen dari tanaman tersebut. Pada penelitiannya naungan tidak berpengaruh terhadap indeks panen, diduga akibat adanya penurunan bobot biji per tanaman yang diimbangi penurunan bobot kering biomassa tanaman akibat cekaman naungan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kondisi cekaman intensitas cahaya rendah mempengaruhi pertumbuhan dan karakter morfo-anatomi tanaman kedelai. Intensitas cahaya 50 % meningkatkan tinggi tanaman, luas daun spesifik, klorofil a dan klorofil b pada 6 dan 9 MST, bobot 100 butir. Akan tetapi, menurunkan jumlah daun, jumlah buku, tebal daun, rasio klorofil, kerapatan stomata, kerapatan trikoma, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong total, bobot kering tajuk, bobot kering akar, serta indeks panen. 2. Genotipe Godek merupakan genotipe yang sangat peka terhadap kondisi cekaman intensitas cahaya rendah di masa pertumbuhan melalui penurunan jumlah daun dan buku yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lain, peningkatan luas daun spesifik yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lain, penurunan tebal daun paling rendah, tingkat penurunan kandungan klorofil a dan b lebih tinggi dari genotipe lain, tingkat penurunan kerapatan stomata dan trikoma yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lain. 3. Dalam karakter panen, genotipe ceneng merupakan genotipe yang paling toleran terhadap intensitas cahaya rendah dibandingkan genotipe CG 30-10 dan CG 76-10. Hal ini terlihat dari penurunan jumlah polong isi, bobot kering tajuk dan indeks panen yang lebih rendah, tingkat peningkatan bobot 100 butir yang lebih tinggi. Saran Penelitian sebaiknya dilakukan dalam rumah kaca sehingga faktor lingkungan seperti iklim serta hama dan penyakit dapat lebih dikendalikan. Diperlukan sampel dan genotipe yang lebih banyak untuk mendapatkan data yang lebih akurat pada analisis tebal daun, kerapatan stomata, kerapatan trikoma dan kandungan klorofil.

DAFTAR PUSTAKA Afriana, M. 2003. Studi Karakter Morfologi dan Anatomi Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) pada Beberapa Taraf Naungan Buatan. Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Agribisnis.2007. http://www. agribisnis.net /Pustaka/ Kinerja. Diakses tanggal 1 Februari 2007. Agusta, H dan Santosa, Imam. 2005. Indeterminasi Sekuensial Pembungaan dan Ketidakmampuan Produksi Kedelai di Lapang akibat Penambahan Cahaya Kontinu pada Kondisi Terbuka dan Ternaungi. Buletin Agronomi (33) (3) 24-32. Anggarani, Siska.D. 2005. Analisis Aspek Agronomi dan Fisiologi Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) pada Kondisi Cekaman Intensitas Cahaya Rendah. Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Arnon, D. I.1949. 3 Copper enzymes in isolated chloroplast polyphenol oxidase in Beta vulgaris. Plant Physiology. 24:1-15. Arsyad, D.M. dan Syam. 1998. Kedelai : Sumber Pertumbuhan, Produksi dan Budidaya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Bogor. Asadi, B., M. Arsyad, H. Zahara dan Darmijati. 1997. Pemuliaan Kedelai untuk Toleran Naungan dan Tumpangsari. Bul. Agrobio. 1 (2):15-20. Awada, T dan Redman, R. 2000. Spatial, Functional And Genetic Characteristics Of Field-Planted And Naturally-Regenerated Populations Of White Spruce (Picea glauca (Moench) Voss). University of Saskatchewan Library Electronic Theses & Dissertations Badan Pusat Statistik. 2009. http:// www.kompas.com /Nusantara. htm. Diakses tanggal 1 November 2009 Baharsyah, J.s., D. Suardi dan I. Las. 1985. Hubungan Iklim dan Pertumbuhan Kedelai, hal 87-102. Dalam S.Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam S. O. Manurung dan Yuswadi (eds). Kedelai. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. 506 hal. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Litbang. Deptan. go.id. Galur Kedelai Toleran Naungan. Diakses tanggal 25 Januari 2010.

Boer, R., I. Las, J.S. Baharsjah dan A. Bey. 1994. Pertumbuhan Tanaman Kedelai pada Tanah PMK pada 4 Tingkat radiasi surya dan 3 tingkat pengapuran. Jour. Agromet. 10 (1 dan 2) : 1-7. Chirkov Y.I., B. Primault. 1979. Agrometeorologi. Springer-Verlag. New York. 324 p. Daubenmire, S. 1974. Plant Environment: a Textbook of Plant Autecology. 3 rd edition. New York. 422p. Departemen Kehutanan.1992. Manual Kehutanan. Jakarta. 76 halaman ( Tidak dipublikasikan). Djukri dan Purwoko B S. 2003. Pengaruh Naungan Paranet terhadap Sifat Toleransi Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott). Ilmu Pertanian, Vol. 10 No. 2, 2003 : 17-25. Elfarisna. 2000. Adaptasi kedelai terhadap naungan : studi morfologi dan anatomi. Tesis, Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 88 hal. Fahmi, Z.I. 2003. Studi karakteristik Iklim Mikro dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan, Produksi dan Daya Adaptasi Genotipe-genotipe Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) pada Empat Tingkat Naungan. Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 74 hal. Fitter, A. H. dan R. K. Hay. 1989. Environmental Physiology of Plants. Academic Press. London. 423 p.. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Terjemahan S. Andani dan E.D, Purbayanti. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 421 hal. Gardner, F.P,R.B. Pearce, and R.L. Mitchell.1990. Physiologi of Crop Plant. Iowa State Univ Pr.Ames. Goldsworthy, P. R. and N. M. Fisher.1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Terjemahan Tohari. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 874 hal. Hale, M. G. And D. Orchutt. 1987. The Physiology of Plants Under Stress. John Willey Sons, New York. 206 p. Hall, DO dan Rao KK. 1999. Photosynthesis. 6 th Cambridge Univ. edn. 214 pp. Cambridge. Harjadi, S.S. 1989. Dasar-dasar Hortikultura. Jurusan Budidaya Pertanian, fakultas Pertanian. IPB, Bogor. 500 hal. Hidajat. O. O. 1985. Morfologi Tanaman Kedelai. hal 73-86. Dalam S. Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung dan

Yuswadi (eds). Kedelai. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Hidema, J.A. Makino, Y. Kurita, T. Mae and K. Ojiwa. 1992. Changes in The Levels of Chlorophyll and Light-harvesting Chlorophyll a/b Protein of PS II in Rice Leaves Aged Under Difference Irradiance from full Expansion trough Senescence. Plant Cell Physiol. 33:1209-1214. Kisman. 2007. Analisis Genetik dan Molekuler Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah Berdasarkan Karakter Morfo-Fisiologi Daun. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.. 2007. Karakter Morfo-Fisiologi daun, Penciri Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Buletin Agronomi (35) (2) 96-102. Kisman. 2008. Pola Pewarisan Adaptasi Kedelai (Glycine max L. Merrill) terhadap Cekaman Naungan berdasarkan Karakter Morfo-Fisiologi Daun.. Buletin Agronomi (36) (1) 1-7. Lawlor,D.W. 1987. Photosynthesis: Metabolism, control and physiology. John Wiley Sons. New York.262p. Lersten, N.K. and J.B. Carlson. 1987. Vegetative Morphology in J.R. Wilcox (ed). Pp 51-94. Soybean Improvement, Production, and Uses. Am. Soc. Agron. Madison. Levit.J. 1980. Responsesof Plants to Environmental Stress. Academic Press. New York. 67 p. Marwoto, P. 2005. Pengembangan Kedelai di Lahan Sub-Optimal. Prosiding Lokakarya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Muhuria, L. et al. 2006. Adaptasi Tanaman Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah : karakter Daun untuk Efisiensi Penangkapan Cahaya. Buletin Agronomi (34) (3) 133-140. Muhuria, L. 2007. Mekanisme Fisiologi dan Pewarisan Sifat Toleransi Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Mulyana, N. 2006. Adaptasi Morfologi, Anatomi, dan Fisiologi Empat Genotipe Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) pada Kondisi Cekaman Naungan. Program Studi Agronomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Orcutt, J C; Kinyoun J L. 1987. Radiation Retinopathy. University of Washington School of Medicine Seattle.

Prawiranata, W., S. Harran dan P. Tjondronegoro. 1995. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Departemen Botani. Fakultas Matematika dan IPA, IPB. Bogor. 341 hal. Putisari, M. 2001. Kandungan karotenoid, pertumbuhan dan produksi beberapa genotipe kedelai (Glycine max (L) Merr.) pada intensitas cahaya rendah. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, IPB. Bogor. Rukmana, R dan Y. Yuniarsih. 1996. Kedelai. Budi Daya dan Pasca Panen. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. 92 hal. Sahardi. 2000. Adaptasi Fisiologi Tanaman Padi Gogo terhadap Naungan: Laju Pertukaran Karbon, Respirasi, dan Konduktansi Stomata. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.73 hal. Salisbury, F.B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3 edisi ke-4. (Terjemahan Bahasa Inggris). ITB. Bandung. 343 hal. Shanmugasundaram, S dan Sumarno. 1993. Glycine Max (L.) Merr., p 43-50. Dalam Maesen, L.J.G. Van Der dan S. Somaatmadja (eds.). PROSEA Sumber Daya Nabati Asia Tenggara I.PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sopandie, D., M. A. Chozin, A. P. Lontoh dan Suwarno. 1998. Pengembangan padi gogo toleran naungan sebagai tanaman sela : pendekatan fisiologi dan genetik. Kumpulan Hasil Penelitian Pusat Studi Pemuliaan Tanaman. Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Balitpa. Bogor. ( Tidak dipublikasikan ). Sopandie, D., Trikoesoemaningtyas, E.Sulistyono, dan N.Heryani. 2002. Pengembangan Kedelai sebagai Tanaman Sela : Fisiologi dan Pemuliaan untuk Toleransi terhadap Naungan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing X. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sopandie, D., Trikoesoemaningtyas dan Khumaida, N. 2005. Fisiologi, Genetik dan Molekular Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah : Pengembangan Varietas Unggul Kedelai sebagai Tanaman Sela. Usulan Penelitian Hibah Penelitian Tim Pascasarjana-HPTP (Hibah Pasca). Fakultas Pertanian. IPB. Stasiun Klimatologi Darmaga. 2007. Data Iklim Lokasi Cikabayan, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor. Sumarno dan Hartono. 1983. Kedelai dan Cara Bercocok Tanam. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Taiz, L.and E. Zeiger. 2002. Plant Physiology. Benyamin Cumming. Redwood.

Tjitrosoepomo, G. 2000. Taksonomi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 477 hal. Wachjar, A. Setiadi, Y. Dan Wahyuni, Lies. 2002. Pengaruh pupuk organik dan intensitas naungan terhadap pertumbuhan bibit kopi robusta (Coffe canephora Pierre ex. Froehner). Buletin Agronomi (30) (1). 6-11. Willmer, C.M. 1983. Stomata. Longman. London. 165 p. Wirnas, D. et al. 2006. Pemilihan Karakter Agronomi untuk Menyusun Indeks Seleksi pada 11 Populasi Kedelai Generasi F6. Buletin Agronomi. (34) (1) 19-24. Yahya, Harun. 2007. Photosynthesis: The Green Miracle. English Edition. Global Publishing. Bookwork. Norwich. UK. 228 p.

LAMPIRAN

Gambar 1. Denah Percobaan dengan tiga Ulangan (U) dan empat Genotipe Ceneng (G1), CG30-10 (G2), CG 76-10 (G3), Godek (G4) 1 2 3 4 Gambar 2. Alat yang digunakan dalam penelitian; Mikroskop (1), Timbangan (2), Oven (3) Spektrofotometer (UV-1201, UV-VIS SHIM ADZU) (4) G1 G2 G3 G4 Gambar 3. Benih keempat Genotipe : Ceneng (G1), CG30-10 (G2), CG 76-10 (G3), Godek (G4)

IC 100% IC 50% Gambar 4. Kondisi umum percobaan pada 2 MST dengan Intensitas Cahaya 100% (N0) dan Intensitas Cahaya 50 % (N1) 50 Cm 50 Cm 50 Cm 50 Cm Gambar 5. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Kedelai Genotipe : Ceneng (G1), CG30-10 (G2), CG 76-10 (G3), Godek (G4) pada 6 MST dengan Intensitas Cahaya 100% (N0) dan Intensitas Cahaya 50 % (N1)

G1N0 G1N1 G2N0 G2N1 G3N0 G3N1 G4N0 G4N1 1 Bar = 10 µm Gambar 6. Kerapatan Stomata pada Genotipe : Ceneng (G1), CG30-10 (G2), CG 76-10 (G3), Godek (G4) pada 6 MST dengan Intensitas Cahaya 100% (N0) dan Intensitas Cahaya 50 % (N1)

G1N0 G1N1 G2N0 G2N1 G3N0 G3N1 G4N0 G4N1 1 Bar = 10 µm Gambar 7. Kerapatan Trikoma pada Genotipe : Ceneng (G1), CG30-10 (G2), CG 76-10 (G3), Godek (G4) pada 6 MST dengan Intensitas Cahaya 100% (N0) dan Intensitas Cahaya 50 % (N1)

G1N0 G1N1 G2N0 G2N1 G3N0 G3N1 G4N0 G4N1 1 Bar = 0.1 mm Gambar 8. Tebal Daun pada Genotipe : Ceneng (G1), CG30-10 (G2), CG 76-10 (G3), Godek (G4) pada 6 MST dengan Intensitas Cahaya 100% (N0) dan Intensitas Cahaya 50 % (N1)