BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. ikan laut bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Udang vannamei merupakan salah satu jenis udang yang potensial untuk

I. PENDAHULUAN. budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi ( high economic value) serta

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kelangsungan Hidup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab V Hasil dan Pembahasan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA

I. PENDAHULUAN. Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. pedederan, dan pembesaran. Tahap pembenihan biasanya dimulai dengan. pedederan, merupakan upaya untuk adaptasi benih terhadap lingkungan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Jawa. Budidaya lele berkembang pesat karena permintaan pasar yang tinggi,

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan air tawar yang banyak digemari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan

PEMBAHASAN Aktivitas Penghambatan Isolat Bacillus sp. Terhadap Vibrio sp. Secara In Vitro

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dibudidayakan di air tawar dan disukai oleh masyarakat karena rasanya yang

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi ikan koi (Cyprinus carpio) Ikan koi mulai dikembangkan di Jepang sejak tahun1820, tepatnya di kota

Jl. Soekarno Hatta KM.28 Bergas, Kab. Semarang *

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

MANAJEMEN KUALITAS AIR

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai

Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. KUALITAS BIOLOGIS dan MANIPULASI MIKROBA: Probiotik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. perunggasan merupakan salah satu penyumbang sumber pangan hewani yang

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 2. Ikan Lele Dumbo

BAB I PENDAHULUAN. dari daerah Brasilia (Amerika Selatan). Sejak awal abad ke-17 kacang tanah telah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu spesies yang cukup banyak

PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA PADA BUDIDAYA UDANG PENAEID DI TAMBAK

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

I. PENDAHULUAN. patin (Pangasius hypophthalmus). Peningkatan produksi patin dapat dilakukan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

RINGKASAN LAPORAN KEAHLIAN TEKNIK PEMBESARAN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) DI BAK TERPAL BAPPL STP SERANG, BANTEN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. sejauh mana tingkat industrialisasi telah dicapai oleh satu negara. Bagi

I. PENDAHULUAN. Bidang perikanan memegang peranan penting dalam penyediaan protein

I. PENDAHULUAN. Ikan lele sangkuriang merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah umum

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Balik Diwa Makassar ABSTRAK

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam situasi pasca krisis ekonomi saat ini, sub sektor perikanan merupakan

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TAMBAK MELALUI PENGGUNAAN PROBIOTIK PADA BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR)

3. METODE Penelitian 1: Kecernaan pakan dan kecernaan protein pada pemeliharaan ikan lele.

tepat untuk mengganti pakan alami dengan pakan buatan setelah larva berumur 15 hari. Penggunaan pakan alami yang terlalu lama dalam usaha pembenihan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA Probiotik

EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN ABSTRAK

PENOKOLAN UDANG WINDU, Penaeus monodon Fab. DALAM HAPA PADA TAMBAK INTENSIF DENGAN PADAT TEBAR BERBEDA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Probiotik Penggunaan bakteri untuk kesejahteraan manusia seperti kesehatan dan pertanian sangat menarik perhatian lebih dari satu dekade terakhir. Probiotik sudah digunakan di berbagai produk seperti susu dan makanan tambahan. Di bidang peternakan probiotik sudah diaplikasikan pada pakan, dan di bidang pertanian digunakan sebagai pupuk. Probiotik merupakan mikroba hidup baik dalam bentuk kultur tunggal maupun campuran yang ditambahkan ke dalam makanan hewan atau manusia yang dapat menguntungkan inang dengan menjaga keseimbangan mikrob ususnya (Fuller 1992; Salminem 1998 & Wright 1998). Defenisi ini kemudian dikembangkan lagi oleh Verschuere et al.,(2000) untuk aplikasi probiotik pada budi daya perairan. Deskripsi yang diberikan sesuai dengan modus aksi probiotik tersebut, yaitu mikroba hidup yang menguntungkan bagiinang dengan memodifikasi hubungan komunitas mikroba yang berasosiasi dengan inang atau lingkungannya, meningkatkan penggunaan makanan atau nilai nutrisi, memacu respon inang terhadap penyakit, atau dengan meningkatkan kualitas lingkungan. Probiotik menurut Fuller (1992), merupakan mikroba hidup yang ditambahkan ke dalam pakan yang dapat memberikan efek menguntungkan bagi hewan inang dengan cara memperbaiki keseimbangan mikroba ususnya. Menurut Verschuere et al., (2000), probiotik merupakan agen mikroba hidup yang memberikan pengaruh menguntungkan pada inang dengan memodifikasi komunitas mikroba atau berasosiasi dengan inang, menjamin perbaikan dalam penggunaan pakan atau memperbaiki nutrisinya, memperbaiki respon inang terhadap penyakit, atau memperbaiki kualitas air lingkungan ambangnya, sedangkan dalam usaha budidaya perikanan probiotik diartikan sebagai produk bioteknologi yang ramah lingkungan dan dirancang untuk menyiasati perubahan

kimia, fisika, dan biologi kolam sehingga terbentuk lingkungan yang dibutuhkan oleh ikan untuk memacu pertumbuhan dan kesehatan ikan serta meningkatkan produktivitas kolam (Effendi, 2005). Berbagai produk probiotik untuk aplikasi perikanan telah banyak dipasarkan dengan berbagai variasi penggunaannya, namun secara mendasar model kerja probiotik dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu: 1. Menekan populasi mikroba melalui kompetisi dengan produksi senyawasenyawa antimikroba atau melalui kompetisi nutrisi dan tempat pelekatan di dinding intestinum. 2. Merubah metabolisme mikrobia dengan meningkatkan atau menurunkan aktifitas enzim pengurai (selulase, protease, amilase dan lain-lain) 3. Menstimulasi imunitas melalui peningkatan kadar antibodi organisme akuatik atau aktivitas makrofag. Probiotik sebagai agen pengurai merupakan kelompok mikroorganisme atau mikroba terpilih yang menguntungkan seperti: Bacillus spp. Dalam aplikasinya di dunia perikanan, probiotik sebagai agen pengurai dapat digunakan baik secara langsung dengan ditebarkan ke air atau melalui perantara makanan hidup (live food). Jadi melalui penambahan bakteri yang menguntungkan kekolam atau bak pemeliharaan kualitas air dapat ditingkatkan. Bacillus sp. menghasilkan antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang dominan dan menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi lendir dan biofilm yang dihasilkan oleh bakteri patogen. Bacillus sp. akan berkompetisi dengan bakteri patogen dalam mendapatkan nutrisi dan ruang permukaan dinding usus ikan atau udang. Dengan adanya persaingan ini, bakteri patogen akan terhambat pertumbuhannya (Moriarty, 1998). Menurut Fuller (1989) dan Farzanfar (2006) agen biologis disebut probiotik yang baik apabila: 1. Menguntungkan inangnya

2. Mampu hidup walaupun tidak hidup di intestinum inang 3. Harus dapat hidup dan bermetabolisme di lingkungan usu, resisten pada suhu renndah dan asam organik 4. Dapat disiapkan sebagai produk sel hidup dalam skala besar (industri) 5. Dapat menjaga stabilitas dan sintasanya untuk waktu yang lama baik dalam penyimpanan maupun dilapangan 6. Tidak patogenik dan tidak menghasilkan senyawa toksik. 2.2 Kualitas Air di Perairan Tambak Udang Tingginya permintaan konsumen terhadap produk perikanan terutama udang dari tahun ketahun memacu perkembangan industri budidaya udang yang sangat pesat. Selain itu, tingginya nilai produk udang budidaya dan siklus hidup yang relatif singkat menyebabkan sektor ini menarik minat banyak pengusaha (New, 1999). Pada pengembang budidaya udang skala besar dilakukan sistem budidaya intensif. Pada sistem ini dilakukan pengaturan yang ketat terhadap kondisi kolam seperti sistem pengairan, pakan dan perbenihan. Target utama sistem ini ialah jumlah produksi yang tinggi pada area tambak yang kecil, oleh sebab itu dilakukan padat tebar benih yang tinggi dan pemberian pakan dalam jumlah serta kualitas yang tinggi (Fast, 1992). Berkembangnya budidaya udang sistem intensif, diikuti pula oleh berbagai permasalahan. Masalah yang umum pada sistem budidaya udang ini ialah sedikitnya proporsi pakan yang digunakan oleh hewan, akibatnya sebagian besar pakan tersisa sebagai limbah di air (Antony & Philip, 2006) yang diikuti oleh eutrofikasi dan pengayaan material organik yang tinggi pada dasar kolam. Penurunan kualitas lingkungan seperti ini menurunkan produktivitas tambak, dan meningkatkan tekanan pada udang yang menyebabkan udang rentan terhadap penyakit, sehingga menurunkan produksi di berbagai daerah (Boyd, 1982 : Ghufron et al., 2007). Umumnya pengusaha tambak bergantung kepada pergantian air yang relatif tinggi untuk menjaga kualitas air pada sistem produksi,

akibatnya terjadi pengeluaran material limbah pakan dan berbagai metabolit langsung ke lingkungan terdekat (Ghufron et al., 2007). Kualitas air adalah kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya dinyatakan dalam kisaran nilai tertentu (Boyd, 1990). Beberapa parameter fisika kimia air yang mempengaruhi kelangsungan hidup udang diantaranya adalah suhu, ammonia, nitrit, ph, oksigen terlarut dan karbondioksida (Weatherley, 1972). Di Indonesia kriteria kualitas air untuk tambak memiliki kisaran ph 7.8-9.0, suhu 26-32 o C, kadar nitrat kurang dari 0.3-0.5 ppm, nitrit kurang dari 0.1 ppm dan suspensi terlarut berkisar dari 20-40 ppm (Tabel 1). Daerah yang paling cocok untuk pertambakan udang adalah daerah pasang surut dengan fluktuasi antara lain 2-3 meter (DKP, 2007). Tabel 1. Kriterian kategori kualitas air tambak secara fisik dan kimiawi Parameter kualitas air Satuan Saat penebaran Air dipetakan/ Reservoir Pertengahan dan ahkir pemeliharaan Air pembuangan Suhu 0 C 26-29 27-32 27-32 27-32 DO mg/l 4 >3.5 4.5 3 BOD mg/l 7.8-7.5 7.8-7.5 7.8-7.4 7-9 Ph 90-150 90-150 90-150 100-150 Alkalinitas mg/l 40-50 30-40 30-40 30-40 Transparansi m <30 <20 <40 <30 Suspensi terlarut 10-35 10-35 10-35 10-35 Salinitas ppt <0.5 <0.3 <0.4 <0.5 Amonia mg/l <0.5 <0.3 <0.4 <0.5 Nitrat mg/l <0.1 <0.1 <0.1 <0.1 Nitrit mg/l <0.1 <0.1 <0.1 <0.1 Fosfat mg/l <0.25 <0.30 <0.35 <0.25 Total Vibrio cfu 2 10 10 4-10 10 4-10 4 <10 Sumber: DKP Jepara (2007) Selain berdampak negatif terhadap lingkungan, intensifikasi budidaya udang juga menyebabkan peningkatan resiko penyakit yang potensial terhadap hewan. Penyakit yang berkembang di tambak udang di Indonesia ialah penyakit yang

disebabkan oleh virus White Spot Syndrome (WSS) dan Yellow Head Virus (YHV) dan penyakit bakteri berpendar Vibrio harveyi. Selain itu pemakaian antibiotik menjadi cara yang dianggap efektif untuk menanggulangi bakteri patogen di perairan tambak pada sistem budidaya ini, tetapi dengan ditemukannya residu antibiotik yang tinggi pada udang asal Indonesia, mengakibatkan dikeluarkannya larangan ekspor udang Indonesia ke beberapa negara tujuan (Rangkuti, 2007). Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi pencemaran air dan degradasi kualitas tambak udang di antaranya yang paling populer ialah dengan pemanfaatan mikroba (probiotik) (Devaraja et al., 2002). 2.3 Perkembangan Udang Litopenaeus vannamei Jenis udang yang dikembangkan pada awal perkembangan budidaya udang di Indonesia ialah Penaeus monodon (jumbo tiger prawn) dan Penaeus marquensis (udang putih). Serangan penyakit dan penurunan kualitas air tambak menyebabkan produksi udang tersebut terus menurun dari tahun 1990-an sampai 2000-an. Pada tahun 1992 produksi udang di Indonesia mengalami penurunan secara dramatis yaitu 140.000 mt tahun 1991 menjadi 80.000 mt tahun 1993. Hal ini mungkin disebabkan manajemen air yang tidak baik (Supriyadi & Rukyani, 1992) sehingga dapat meningkatkan terjadinya serangan penyakit vibriosis yang disebabkan oleh beberapa bakteri Vibrio sp. Tahun 1992 total produksi nasional sekitar 98.350 ton, produksi menurun menjadi 83.193 ton pada tahu 1994. Pada tahun 1998 produksi ini turun lagi menjadi 74.824 ton (Departemen Perikanan dan Kelautan, 2002). Masalah utama penurunan produksi udang ialah penurunan kualitas air dan serangan penyakit. Pada budidaya udang secara intensif, penurunan kualitas air dapat terjadi dengan cepat disebabkan oleh faktor internal seperti akumulasi sisa pakan akibat kelebihan pemberian pakan (overfeeding) dan hasil metabolisme hewan peliharaan (Moriarty, 1999). Sisa pakan berupa protein di perairan dapat terurai menjadi senyawa-senyawa toksik bagi hewan air seperti amonia, nitrit dan nitrat (Intan et al., 2005). Boyd (1981) menyatakan bahwa pada budi daya udang,

sebahagian besar nitrogen (±90%) masuk ke kolam sebagai pakan buatan, 22% dikonversi menjadi udang yang dipanen, 14% tersisa pada sedimen, dan sisanya 57% dikeluarkan ke lingkungan. Tahun 2000 para pengusaha mulai beralih pada jenis udang Penaeus vannamei karena dianggap lebih tahan penyakit. Sistem budidaya yang dikembangkanpun lebih kepada sistem semiintensif maupun intensif. Keberhasilan budidaya udang Penaeus vannamei mengalami puncak pada tahun 2005, dengan peningkatan produksi tiga kali lipat (Rangkuti, 2007). Keberhasilan ini juga tidak berlangsung lama karena beberapa tahun terakhir produksi udang ini pun tidak stabil dan cenderung menurun meskipun tidak secara drastis. Dari tahun 2008-2009 produksi udang budidaya turun sebanyak 15% (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2009). 2.4 Pertumbuhan Udang Kelangsungan hidup adalah perbandingan jumlah organisme yang hidup pada akhir periode dengan jumlah organisme yang hidup pada awal periode (Effendie, 2004). Tingkat kelangsungan hidup akan sangat menentukan produksi yang akan diperoleh dan erat kaitannya dengan ukuran udang yang dipelihara. Udang yang berukuran kecil (benih) akan lebih rentan terhadap parasit, penyakit dan penanganan yang kurang hati-hati (Herpher, 1978). Kelangsungan hidup dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dari dalam udang itu sendiri dan faktor lingkungan luar. Faktor dari dalam diantaranya umur udang, ukuran dan kemampuan ikan beradaptasi dengan lingkungan. Sedangkan faktor luar meliputi kondisi fisika-kimia dan media biologi, ketersediaan makanan, kompetisi antar udang dalam mendapatkan makanan apabila jumlah makanan dalam media pemeliharaan kurang mencukupi, serta proses penanganan udang yang kurang baik (Royce, 1972). Pertumbuhan udang dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Faktor internal meliputi keturunan, umur, ketahanan terhadap penyakit dan kemampuan untuk memanfaatkan pakan. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor-faktor

kimiawi lingkungan, suhu, bahan buangan, oksigen dan ketersediaan makanan (Lagler et al., 1962). Pertumbuhan merupakan kriteria yang paling penting untuk pengukuran respon ikan dalam penelitian pakan (Lovell, 1988). Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau bobot dalam kurun waktu tertentu. Pertumbuhan dalam suatu individu disebabkan oleh pertambahan jaringan akibat pembelahan sel secara mitosis. Hal ini terjadi apabila ada kelebihan input energi dan asam amino (protein) yang berasal dari makanan. Makanan tersebut akan digunakan oleh tubuh untuk metabolisme dasar, pergerakan, produksi organ seksual dan perawatan bagian tubuh atau mengganti sel-sel yang rusak (Effendie, 1997). Air sebagai media hidup udang untuk pertumbuhan harus memenuhi persyaratan baik kualitas maupun kuantitasnya. Pengelolahan air tambak merupakan kegiatan penyiapan air hingga mempertahankan mutu air sampai pemeliharaan. Untuk keberhasilan budidaya diperlukan persiapan sebaik-baiknya. Masalah yang dihadapi dalam pengembangan tambak udang di Indonesia adalah kecenderungan penurunan produktivitas dan tingkat mortalitas udang yang tinggi, salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas air (Nganro et al., 1999). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan untuk melihat pengaruh aplikasi probiotik yang berasal dari iklim tropis terhadap kualitas kimiawi perairan tambak udang didapatkan penurunan beberapa parameter kunci dalam budidaya udang seperti nitrat, nitrit, amoniak, sulfat, sulfid dan fosfat yang cukup signifikan. Kualitas air merupakan faktor utama dalam budidaya udang untuk mendukung pertumbuhan yang baik sehingga diperlukan pemeliharaan mutu air yang baik juga (Purwanta et al., 2002). Norvia et al., (2011) dari penelitian yang telah dilakukan terhadap pengujian ikan dengan padat tebar 25 ekor/m 2 dengan 4 perlakuan, pemberian probiotik Effective microorganisme (EM-4) dari pemberian konsentrasi yang berbeda pada media budidaya. Kegunaanya untuk memberikan informasi bagi budidayaan akan pengaruh pemberian probiotik terhadap laju pertumbuhan ikan dan mempercepat fermentasi media dalam memperbaiki mutu air kolam. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan yang paling tinggi pada perlakuan EM-4

dengan dosis probiotik 50 ml / 0.5 m 3 baik dari kematangan media dan kualitas air maupun laju pertumbuhannya.