BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012)

dokumen-dokumen yang mirip
menunjukkan 19,7% diderita oleh perempuan dewasa perkotaan, 13,1% lakilaki dewasa, dan 9,8% anak-anak. Anemia pada perempuan masih banyak ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang besar di dunia luas dengan prevalensi, dan biaya yang tinggi. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001)

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. pada paru-paru terhadap partikel asing maupun gas (GOLD, 2013).

BAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibutuhkan manusia dan tempat pengeluaran karbon dioksida sebagai hasil sekresi

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB I PENDAHULUAN. asma di dunia membuat berbagai badan kesehatan internasional. baik, maka akan terjadi peningkatan kasus asma dimasa akan datang.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Penyakit Paru Obstruktif Kronik selanjutnya disebut PPOK atau

BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era modern saat ini, gaya hidup manusia masa kini tentu sudah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic

BAB I PENDAHULUAN. (Thomas, 2004). Ada beberapa klasifikasi utama patogen yang dapat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penyakit saluran napas dan paru seperti infeksi saluran napas akut,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sudah mulai menjadi

DEPT PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI- RS PERSAHABATAN

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. mengi, sesak nafas, batuk-batuk, terutama malam menjelang dini hari. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. Sering juga penyaki-penyakit ini disebut dengan Cronic Obstruktive Lung

BAB I PENDAHULUAN. (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Saat ini, ISPA merupakan masalah. rongga telinga tengah dan pleura. Anak-anak merupakan kelompok

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan

BAB I PENDAHULUAN. biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak dikategorikan ke dalam

commit to user BAB V PEMBAHASAN

Saat. penyakit paling. atau. COPD/ Indonesia 1

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. seluruh dunia, yaitu sebesar 124 juta kasus kematian anak terjadi akibat pneumonia

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker,

BAB 1 PENDAHULUAN. hampir sepertiga masa hidup kita dihabiskan dengan tidur (Kryger, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. penyakit tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. 1

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. di seluruh dunia (Halbert et al., 2006). PPOK terjadi karena adanya kelainan

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB I PENDAHULUAN. Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

1. Batuk Efektif. 1.1 Pengertian. 1.2 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia. Derajat kesehatan anak

PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) [2], usia lanjut dibagi

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

BAB 1 PENDAHULUAN. polusi udara baik dalam maupun luar ruangan, serta polusi di tempat kerja. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa penyakit yang dapat menggangu sistem oksigenasi yaitu seperti TBC,

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Lanjut usia (lansia) adalah perkembangan terakhir dari siklus kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN. mood, khususnya gangguan ansietas. 1

BAB I PENDAHULUAN. menular juga membunuh penduduk dengan usia yang lebih muda. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. ATP (Adenosin Tri Phospat) dan karbon dioksida (CO 2 ) sebagai zat sisa hasil

BAB I PENDAHULUAN. PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek

BAB I PENDAHULUAN. pertambahan warga lansia terbesar di seluruh dunia pada tahun yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam otak yang mengakibatkan kematian sel otak. dan ada riwayat keluarga yang menderita stroke (Lewis, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. memberikan gambaran yang jelas tentang gagal jantung. Pada studinya disebutkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem

BAB 1 : PENDAHULUAN. Kanker payudara dapat tumbuh di dalam kelenjer susu, saluran susu dan jaringan ikat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebahagiaan terbesar orang tua adalah adanya kehadiran anak. Anak yang tumbuh sehat merupakan harapan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) telah menjadi suatu keadaan yang membutuhkan perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012) mengatakan bahwa pada tahun 2012 terdapat lebih dari 3 juta orang meninggal karena Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang setara dengan 6 % kematian populasi dunia pada tahun tersebut. Lebih dari itu, sebanyak 90 % Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) terjadi pada negara berkembang yang tersebar di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki prevalensi cukup tinggi terhadap kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003), Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk dalam 10 penyebab tersering kematian di Indonesia, khususnya di daerah Jawa Tengah, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2013) mengatakan bahwa prevalensi penyakit ini sebanyak 3,4 %. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) terdiri dari emfisema, kerusakan dan pembesaran alveoli paru; dan bronkitis kronis, kondisi batuk kronis dan berdahak (Fauci et al., 2012). Pada bronkitis kronis terjadi batuk kronis dan tipe napas yang pendek sedangkan pada emfisema terdapat keterbatasan aktivitas kerja sehari-hari. Meskipun Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) terbagi menjadi dua bagian yaitu bronkitis kronis dan emfisema, American Lung Association (2013) memaparkan bahwa pada commit tahun to 2011 user mengatakan bahwa sebanyak 4,7 juta penduduk Amerika terdiagnosis emfisema dengan rasio 20.2/1000 orang per 1

2 tahun sedangkan bronkitis kronis sebanyak 10 juta orang dengan rasio 43.6/1000 orang per tahun. Indonesia, menurut Suradi (2007), angka kejadian emfisema lebih sering dalam praktiknya, sehingga dapat dikatakan sebagai penyumbang terbesar dalam Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Kelainan pada emfisema berbentuk pelebaran abnormal dan permanen ruang udara distal bronkiolus terminalis yang diakibatkan oleh destruksi difus dinding alveoli tanpa fibrosis yang nyata, bersifat kronik, progresif dan memberikan kecacatan menetap. Hal ini tentu perlu dicermati dan ditindaklanjuti dengan baik agar di kemudian hari Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) prevalensinya semakin menurun khususnya di negara Indonesia itu sendiri. Pada umumnya penyakit organik seperti Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) ini tidak diperhatikan mengenai adanya penyakit psikiatrik seperti depresi. Apabila terdapat penelitian pun, penjelasan mengenai dampak penyakit psikiatrik terhadap penyakit organik yang diderita pasien tidak dipaparkan dengan jelas (Diez et al., 2012). Depresi merupakan gangguan alam perasaan atau mood yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan serta hilangnya kegairahan hidup, rasa bersalah, rendah diri, konsentrasi buruk dan mengalami gangguan tidur, penurunan berat badan bahkan apabila parah dapat memiliki kecederungan ingin bunuh diri (Marcus et al., 2012). Sekitar 40 % pasien yang mengalami PPOK baik tipe bronkitis kronis maupun emfisema mengalami depresi (Stage et al., 2006). Menurut penelitian di Toronto prevalensi depresi pada pasien dengan penyakit paru obstruktif berkisar antara 7 42 % (Hill et al., 2008). Menurut penelitian lain, prevalensi depresi

3 bervariasi yaitu sekitar 10 42 % pada pasien PPOK stabil (Maurer et al., 2008). Pada penelitian di Itali, prevalensi depresi pada pasien PPOK sebesar 18,8 % (Di Marco et al., 2006). Beberapa penelitian menunjukan bahwa kejadian depresi pada PPOK adalah 55 % dari total Pasien PPOK yang diteliti (Ryu et al., 2010) dan 37 71 % dari total yang diteliti (Waseem et al., 2012). Terdapat beberapa penelitian yang menjelaskan bahwa depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK (Fitriani et al., 2006; Agusti et al., 2003). Seringkali depresi tidak terdeteksi oleh karena gejala maupun kondisi klinis yang tumpang tindih antara PPOK sendiri dengan depresi (Stage et al., 2006). Penelitian di Indonesia sendiri pun belum banyak yang meneliti mengenai kejadian depresi pada penyakit bronkitis kronis maupun emfisema. Menurut penelitian di Spanyol, angka kejadian depresi yang terjadi pada orang dengan bronkitis kronis adalah sebanyak 15,9 % (Diez et al., 2012), sementara emfisema, dalam penelitian di Amerika kejadian depresi sebanyak 30 58 % (Kozora et al., 2008). Oleh karena itu penelitian ini disusun untuk menambah informasi mengenai depresi yang terjadi pada penyakit bronkitis kronis maupun emfisema, khususnya di Indonesia. Depresi yang terjadi pada emfisema memiliki kemungkinan yang lebih parah dibandingkan pada bronkitis kronis. Menurut penelitian Amanda (2008) akibat rusaknya parenkim paru pada pasien ini akan menyebabkan elastisitas paru mengalami penurunan dan kehilangan daya rekoilnya. Keadaan ini dapat memungkinkan udara masuk tetapi sulit untuk keluar karena terperangkap pada paru-paru yang rusak. Kondisi ini kemudian akan menyebabkan sesak napas yang berat bahkan lebih parah dari bronkitis kronis dan berlangsung lama. Hal ini akan menjadi stressor yang akan menyebabkan ketidakseimbangan hormon pengendali

4 stress dan akan menyebabkan depresi yang parah. Sedangkan pada bronkitis kronis, keadaan hipoksia akibat obstruksi jalan napas menyebabkan suplai oksigen ke seluruh tubuh mengalami penurunan. Apabila terjadi penurunan suplai oksigen khususnya di daerah otak, maka akan menyebabkan penurunan kondisi pasien. Menurut Areza (2010) akibat hipoksia yang kronis akan menyebabkan kerusakan di daerah subkortikal yang merupakan substansi yang berperan dalam menjaga regulasi beberapa hormon termasuk hormon pengendali stress. Keadaan hipoksia di daerah subkortikal yang kronis ini akan menyebabkan demensia subkortikal yang nantinya akan menyebabkan depresi. Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta merupakan sebuah pelayanan kesehatan yang pada awalnya berfokus pada pemberantasan TB paru di Surakarta. Namun, seiring perkembangan dan kemajuan dunia kesehatan, maka pelayanan nya diperluas lagi tidak hanya sebatas pemberantasan TB paru. Balai Besar Kesehatan Paru masyarakat Surakarta memiliki prestasi yang cukup baik, terbukti dengan didapatkannya Abdi Satya Bhakti yaitu penghargaan sebagai instansi kesehatan dengan pelayanan terbaik pada tahun 1995, 1996, 1997 dan mendapatkan sertifikat ISO terkait mutu pelayanan kesehatan pada tahun 2008. Dengan prestasi ini dan didukung dengan luas tempat yang memadahi serta tenaga kesehatan yang kompeten maka sebagian besar masyarakat di Surakarta melakukan kunjungan untuk konseling maupun terapi kesehatan di Balai Besar Kesehatan Paru masyarakat Surakarta. Oleh karena itu peneliti menggunakan BBKPM Surakarta sebagai tempat untuk pengambilan sampel dengan tujuan agar data yang diperoleh dapat merepresentasikan hasil yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

5 Apabila skrining terhadap penyakit psikiatri dapat dilakukan lebih dini, maka diharapkan dapat dilakukan tatalaksana yang spesifik terhadap pasien yang mengalami PPOK baik tipe bronkitis kronis maupun emfisema sehingga kondisi fisik pasien pun diharapkan mengalami perbaikan. Berdasarkan latar belakang inilah peneliti ingin mengetahui perbedaan tingkat depresi pasien PPOK tipe bronkitis kronis dengan emfisema di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Surakarta. B. Perumusan Masalah Adakah perbedaan tingkat depresi pasien PPOK tipe bronkitis kronis dengan emfisema di BBKPM Surakarta? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat depresi pasien PPOK tipe bronkitis kronis dengan emfisema di BBKPM Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai perbedaan tingkat depresi pasien PPOK tipe bronkitis kronis dengan emfisema di BBKPM Surakarta. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat membantu para klinisi dalam mengetahui adanya depresi pada pasien PPOK dengan tipe bronkitis kronis maupun emfisema serta perbedaan tingkat depresi dari masing-masing penyakit, sehingga dapat dilakukan skrining commit secara to user dini akan terjadinya depresi pada penyakit ini yang kemudian dapat dijadikan pedoman untuk terapi lebih lanjut.