VIII. DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM Dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi, penting artinya pembahasan mengenai perdagangan, mengingat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia memerlukan orang lain untuk menghasilkan apa yang dibutuhkan. Tidak hanya merujuk pada ketidakmampuan individu dalam menghasilkan setiap barang yang dibutuhkan, tetapi lebih kepada efisiensi. Perdagangan internasional merupakan bagian dari ekonomi internasional yang mana dalam hal ini perdagangan dilakukan dalam lintas negara yang berdasarkan pada kesepakatan bersama (Oktaviani dan Novianti, 2009). Perdagangan internasional yang tercermin dalam kegiatan ekspor dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB. Menghadapi era globalisasi saat ini, menjadikan pergerakan lintas negara semakin terbuka. Pergerakan tersebut dalam kenyataannya tidak hanya menimbulkan keterkaitan dan ketergantungan antarnegara, tetapi juga menimbulkan efek persaingan global yang semakin ketat. Siswanto (2004) mendefinisikan persaingan sebagai perebutan atau kompetisi antara dua atau lebih orang atau badan untuk objek yang sama. Persaingan inilah yang kemudian melahirkan konsep daya saing, di mana konsep ini melihat kepada kemampuan bertahan produk terhadap tantangan yang ada dalam persaingan itu sendiri. Daya saing ekspor adalah kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk bertahan dalam pasar itu. Daya saing suatu komoditi dapat diukur atas dasar perbandingan pangsa pasar komoditi tersebut pada kondisi pasar yang tetap. Amir (2004) dalam hal ini menyatakan 82
RCA bahwa suatu produk dikatakan memiliki daya saing apabila produk tersebut mampu bertahan dalam suatu pasar meskipun dengan mengalami guncangan. Hal ini pula yang dihadapi dalam perdagangan karet alam di pasar internasional. Konsep globalisasi menuntut adanya persaingan. Persaingan yang dihadapi tidak hanya mengacu pada keunggulan komparatif produk, tetapi lebih kepada keunggulan kompetitifnya, dengan melihat trend daya saing yang dimiliki komoditas karet alam Indonesia terhadap lingkungan internasional. 8.1. Analisis Revealed Comparatif Advantage Alat analisis yang digunakan untuk mengetahui keunggulan komparatif pada penelitian ini untuk masing-masing negara eksportir karet alam yaitu Revealed Comperative Advantage. Indeks RCA merupakan indikator yang menunjukkan perubahan keunggulan komparatif atau perubahan tingkat daya saing industri suatu negara di pasar global. Trend perubahan RCA untuk masingmasing negara eksportir utama karet alam disajikan pada Gambar 8 berikut ini. 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2000 2002 2004 2006 2008 2010 Tahun RCA Thailand RCA Indonesia RCA Malaysia Sumber: International Trade Statistics (diolah), 2010 Gambar 8. Perbandingan Nilai RCA Negara Eksportir Utama Karet Alam 83
Berdasarkan pada hasil perhitungan nilai indeks RCA tersebut, dapat dilihat bahwa secara umum ketiga negara eksportir karet alam masing-masing memiliki nilai RCA di atas nol. Hal ini mengindikasi bahwa baik Thailand, Indonesia, maupun Malaysia masing-masing memiliki keunggulan komparatif terhadap karet alam dalam perdagangannya di pasar internasional. Hasil pengolahan data untuk RCA negara-negara eksportir karet alam dapat dilihat pada Lampiran 4. Keunggulan komparatif yang dimiliki Thailand sebagai produsen terbesar cenderung tinggi. Indeks terbesar yang dimiliki Thailand terjadi pada tahun 2003 di mana nilai ini mencapai angka 39. Namun dalam perkembangannya, nilai RCA Thailand cenderung mengalami penurunan. Penurunan nilai RCA Thailand dari tahun ke tahun disebabkan menurunnya nilai ekspor karet alam karena ekspor dikurangi akibat meningkatnya konsumsi dalam negeri dan belum maksimalnya hasil perkebunan yang baru mulai direvitalisasi pada tahun 2000. Tahun 2003 total konsumsi dalam negeri Thailand mencapai 298.699 ton meningkat drastis menjadi 397.595 ton (Soekarno, 2009). Penurunan nilai indeks Thailand terus terjadi sejak tahun 2004. Bahkan pada tahun 2006, indeks RCA negara ini sudah berada di bawah Indonesia. Hal ini dikarenakan kinerja ekspor karet alam Thailand pada tahun 2006 mengalami peningkatan pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia, di mana pertumbuhannya hanya 47%, sedangkan Indonesia mencapai 67% dari tahun sebelumnya. Selain itu, pertumbuhan ekspor karet alam dunia mengalami peningkatan yang juga lebih besar (52%) sehingga nilai ini kemudian berpengaruh 84
terhadap kinerja ekspor karet alam Thailand, terlebih terhadap daya saing komparatifnya. Indonesia memiliki nilai RCA yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menggambarkan bahwa kinerja ekspor karet alam Indonesia yang semakin membaik dalam perkembangannya. Penambahan luas areal tanam tiap tahun dengan perbaikan sistem tanam yang menggunakan klon-klon unggul membuat peningkatan produktivitas semakin membaik. Peningkatan ini seiring dengan target pemerintah Indonesia di mana Indonesia akan menjadi eksportir terbesar karet alam pada tahun 2010. Berbeda dengan Thailand dan Indonesia, Malaysia yang juga merupakan eksportir terbesar karet alam dunia memiliki nilai Indeks RCA yang lebih kecil. Meskipun demikian, Malaysia juga masih memiliki keunggulan komparatif dalam ekspor karet alam. Nilai indeks RCA karet alam Malaysia cenderung stabil. Rendahnya nilai yang dimiliki Malaysia karena kuantitas ekspor yang juga relatif rendah. Salah satu penyebabnya adalah adanya alih fungsi lahan untuk tanaman perkebunan lain yang yang lebih prospektif dibandingkan dengan karet, utamanya kelapa sawit. Keterbatasan lahan yang dimiliki Malaysia menyebabkan tidak adanya penambahan luas areal tanam perkaretan negara ini selama beberapa tahun terakhir (Association of Natural Rubber Countries, 2010). Selain itu, hasil produksi karet alam domestik Malaysia lebih banyak digunakan untuk kegiatan industri dalam negeri dibandingkan untuk ekspor, karena nilai ekspor untuk barang dari karet lebih tinggi dibanding nilai ekspor karet mentah, sehingga mendorong pengembangan industri pengolahan karet. 85
Krisis global yang terjadi pada kuartal ke 3 tahun 2008 membawa dampak pada ekspor karet alam Indonesia. Hal ini terlihat dari penurunan indeks RCA yang terjadi pada tahun 2009, di mana pada tahun ini indeks RCA karet alam Indonesia menurun drastis dari 35,37 pada tahun 2008 menjadi hanya sebesar 30 pada tahun 2009. Indeks ini kembali berada di bawah indeks Thailand yang pada saat yang sama memiliki nilai sebesar 30,44. Penurunan nilai ini terjadi karena akibat dari penurunan kuantitas ekspor karet alam berdasarkan kesepakatan dari ITRC yang merupakan gabungan tiga eksportir terbesar karet alam, di mana persentase penurunan kuantitas ekspor Indonesia pada kuartal pertama tahun 2009 yang lebih besar dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. Jika dilihat dari pembagian penurunan kuantitas ekspor karet alam, Indonesia pada kesepakatan ini mengalami penurunan mencapai 6%, sementara Thailand 5% dan Malaysia 3% dari total kuantitas ekspor tahun sebelumnya (AntaraNews (diolah), 2008). Sementara jika dilihat dari pertumbuhan kuantitas ekspor karet alam Indonesia, maka pada tahun tersebut, total penurunan terjadi hingga 13,3% dari tahun 2008, sementara Thailand mengalami penurunan total sebesar 3,2% dari tahun sebelumnya (International Trade Statistic (diolah), 2010). 8.2. Analisis Export Competitiveness Index Analisis Export Competitiveness Index dalam penelitian ini digunakan untuk melihat apakah negara-negara eksportir karet alam dunia memiliki keunggulan kompetitif dan daya saing yang cukup kuat terhadap komoditas karet alam. Nilai yang diperoleh menggambarkan kecenderungan trend pertumbuhan 86
ECI yang meningkat atau menurun. Gambar 9 memperlihatkan hasil perhitungan nilai ECI untuk negara eksportir utama karet alam. 1,2 1,15 1,1 1,05 1 0,95 0,9 0,85 0,8 2000 2002 2004 2006 2008 2010 Tahun ECI Thailand ECI Indonesia ECI Malaysia Sumber: International Trade Statistics (diolah), 2010 Gambar 9. Hasil Perhitungan ECI Negara Eksportir Karet Alam Export Competitiveness Index merupakan suatu indeks yang menggambarkan keunggulan kompetitif suatu komoditi pada suatu negara dibandingkan dengan negara pesaingnya. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan terhadap komoditi karet alam pada tiga negara eksportir terbesar dunia, diperoleh bahwa pada periode 2002-2008, ECI Thailand memiliki nilai kurang dari 1. Hal ini mengindikasi bahwa komoditi karet alam Thailand mengalami penurunan pangsa pasar atau trend daya saing yang semakin melemah di pasar internasional. Penurunan daya saing ini bisa jadi disebabkan karena pertumbuhan ekspor karet alam Thailand yang masih dibawah pertumbuhan ekspor karet alam dunia, sehingga nilai yang diperoleh menjadi lebih kecil. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir ini, Thailand lebih memfokuskan diri pada peralihan penanaman tanaman karet menjadi kelapa sawit, tanaman buah, dan kayu. Pengembangan karet secara substansial juga telah digerakkan di wilayah-wilayah 87
timur laut, tetapi pengembangan tersebut masih berjalan lambat (Dongguan Wanlixing Rubber, 2010). Indonesia pada periode yang sama jika dibandingkan dengan negara eksportir lain memiliki nilai ECI yang lebih dari satu. Hal tersebut berarti bahwa komoditi karet alam Indonesia mengalami trend daya saing yang meningkat. Peningkatan tersebut seiring dengan usaha pemerintah Indonesia dalam hal perbaikan kinerja ekspor karet alam di pasaran dunia dengan pengadaan revitalisasi dan peremajaan pohon karet yang telah tua dan tidak produktif lagi. Selain itu, potensi lahan yang masih cukup luas memungkinkan bagi Indonesia untuk meningkatkan luas areal tanamnya, sehingga produksi masih memiliki potensi untuk ditingkatkan. Perkembangan dalam keunggulan kompetitif karet alam Indonesia semakin mengalami trend pertumbuhan yang menurun sejak tahun 2007. Bahkan pada tahun 2009, nilai ECI Indonesia sudah berada di bawah 1, yang berarti trend daya saing karet alam Indonesia mengalami penurunan daya saing. Hal ini dapat diindikasi sebagai akibat dari jatuhnya harga karet alam di pasar internasional karena krisis gobal yang mengakibatkan penurunan terhadap permintaan karet dunia. Berbeda dengan Indonesia, Thailand justru mengalami trend daya saing yang meningkat sejak tahun 2005. Hal ini dapat terlihat dari nilai ECI Thailand yang berada di atas 1 pada tahun 2009. Hal demikian terjadi karena pada tahun 2009 tersebut, Indonesia mengalami penurunan nilai ekspor karet alam hingga 46,45%, sementara Thailand mengalami penurunan nilai ekspor sebesar 35,79%. Penurunan yang terjadi pada pertumbuhan karet alam dunia (43,54%) yang lebih 88
kecil dibanding penurunan yang terjadi pada pertumbuhan nilai ekspor karet alam Indonesia juga turut berpengaruh terhadap perhitungan nilai ECI yang dilakukan. Sementara itu, tidak jauh berbeda dengan Thailand, Malaysia juga memiliki nilai ECI kurang dari satu. Hal ini mengindikasi adanya penurunan pangsa pasar atau daya saing yang semakin melemah. Penyebab penurunan daya saing Malaysia ini karena saat ini, selain sebagai eksportir terbesar dunia, Malaysia juga bertindak sebagai importir terbesar terhadap komoditas karet alam. Sejauh ini, Malaysia lebih fokus terhadap ekspor barang olah karet dengan pengembangan industri produk karet yang semakin meningkat, dibanding dengan ekspor karet mentah, karena nilainya yang juga jauh lebih tinggi. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2001) mencatat bahwa perkembangan ekspor karet alam Malaysia diperkirakan akan tertahan oleh adanya keterbatasan sumberdaya lahan dan tingginya upah pekerja, di samping perubahan orientasi ke arah industri hilir. Kondisi ini jelas berbeda dengan Indonesia dan Thailand yang masih memiiki potensi pengembangan karena adanya ketersediaan lahan dan dukungan biaya produksi yang lebih rendah (Dradjat, 2003). 89