HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui dengan cara uji kadar asam lemak bebas (uji FFA) dari CPO yang akan digunakan sebagai bahan baku. Berdasarkan kandungan FFA dari CPO tersebut, maka proses pembuatan biodiesel dilakukan melalui reaksi transesterifikasi dengan katalis basa (kalium hidroksida/koh). Proses pembuatan biodiesel dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Proses pembuatan biodiesel Proses pembuatan biodiesel pada penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan gliserol kasar yang akan dimurnikan. Sebanyak 200 gram CPO yang digunakan untuk pembuatan biodiesel menghasilkan gliserol kasar (crude glycerol) sebanyak 120 gram, dan sisanya adalah metil ester yang masih bercampur dengan kotoran (metil ester kasar). Warna gliserol kasar yang dihasilkan dari proses pembuatan biodiesel ini adalah coklat kehitaman, sedangkan metil ester (biodiesel) berwarna coklat kemerahan. Setelah pembuatan biodiesel skala kecil (200 gram CPO) berhasil dilakukan, maka dilakukan pembuatan biodiesel skala 7 kg dengan menggunakan reaktor kapasitas 20 liter. Keberhasilan proses pembuatan
biodiesel dilihat dari terbentuknya dua fasa pada larutan, yaitu biodiesel/metil ester pada lapisan atas dan gliserol kasar pada lapisan bawah. Gliserol kasar kemudian dipisahkan dari metil ester untuk dilakukan proses pemurnian. B. Pemurnian Gliserol 1. Penambahan Asam Fosfat Proses pembuatan biodiesel dari CPO (Crude Palm Oil) menghasilkan produk samping yaitu gliserol dengan tingkat kemurnian yang masih sangat rendah (gliserol kasar). Gliserol kasar yang terbentuk dari reaksi pembuatan biodiesel terlebih dahulu dipisahkan dari metil ester (biodiesel). Teknik pemisahan gliserol yang dilakukan adalah pemisahan secara gravitasi sehingga terbentuk larutan dua fasa. Pemisahan ini terjadi karena gliserol tidak larut dalam biodiesel dan adanya perbedaan densitas antara biodiesel dan gliserol. Biodiesel mempunyai densitas sekitar 0,88 g/ml, dan gliserol mempunyai densitas sekitar 1,05 g/ml, atau lebih. Densitas gliserol ini tergantung dari jumlah metanol, air dan katalis dalam gliserol. Gambar 9. Pemisahan gliserol dari metil ester menggunakan corong pisah
Gliserol kasar masih bercampur dengan pengotor sehingga belum dapat dimanfaatkan. Oleh sebab itu gliserol kasar hanya akan menjadi limbah yang tidak bermanfaat jika tidak dilakukan proses lebih lanjut yaitu mengolahnya menjadi gliserol murni. Gliserol kasar dari hasil samping pembuatan biodiesel masih mengandung pengotor seperti asam lemak, air, metanol, katalis dan warna. Langkah pertama yang dilakukan dalam proses pemurnian gliserol adalah pemisahan gliserin dari crude glycerol dengan penambahan asam fosfat (H 3 PO 4 ). Penambahan asam fosfat mengubah sabun kembali menjadi asam lemak bebas (FFA) dan mengikat sisa katalis yaitu KOH sehingga membentuk garam K 3 PO 4 yang berwujud padat. Akibatnya akan terbentuk tiga lapisan yang tidak saling bercampur yang terdiri dari lapisan atas yaitu FFA, lapisan tengah yaitu gliserol yang masih bercampur dengan metanol, serta lapisan bawah yaitu garam K 3 PO 4. H 3 PO 4 + 3KOH K 3 PO 4 + 3H 2 O Asam fosfat Katalis Garam Air Gambar 10. Mekanisme terbentuknya garam K 3 PO 4 RCOOK + H3PO4 RCOOH + K3PO Sabun Asam fosfat FFA Garam Gambar 11. Mekanisme terbentuknya asam lemak bebas Penambahan asam fosfat ke dalam crude glycerol menyebabkan terbentuknya tiga lapisan dengan distribusi berat rata-rata adalah sebagai berikut : a. Lapisan atas (FFA), berat = 56,2 gram, berwujud cair b. Lapisan tengah (gliserol), berat = 94,8 gram, berwujud cair c. Lapisan bawah (garam K 3 PO 4 ), berat = 38,7 gram, berwujud padat
!" #$%!& # '&!( Gambar 12. Gambar masing-masing lapisan dan rata-rata beratnya Rata-rata fraksi massa lapisan tengah yang diperoleh dalam satu kali batch percobaan adalah sebesar 0,50 bagian dan fraksi atas 0,30 bagian serta fraksi bawah 0,20 bagian. Jadi gliserol yang terkandung dalam crude glycerol setelah penambahan asam fosfat berjumlah 50 % dari total berat crude glycerol. 2. Pemucatan Gliserol Warna gliserol yang gelap (coklat kehitaman) dipisahkan dengan penambahan adsorben berupa campuran arang aktif dan bentonit. Jumlah adsorben yang digunakan bervariasi yaitu 8 % (w/w), 10 % (w/w), 12 % (w/w) dan 14 % (w/w). Jumlah adsorben yang digunakan mengacu pada penelitian Prakoso (2007). Penelitian Prakoso menggunakan arang aktif 10%. Namun pada penelitian ini, adsorben yang digunakan merupakan campuran dari arang aktif dan bentonit dengan konsentrasi arang aktif tetap yaitu 4 %, dan jumlah bentonit berbeda untuk setiap taraf. Konsentrasi bentonit antara lain 4 %, 6 %, 8% dan 10 %. Variasi jumlah arang aktif dan bentonit dilakukan untuk mengetahui pengaruh kombinasi adsorben terhadap pemurnian gliserol dan mendapatkan kombinasi perlakuan yang terbaik. Penambahan adsorben (arang aktif dan bentonit) bertujuan untuk menghilangkan warna dan juga mengikat senyawa organik yang masih terkandung didalam gliserol tersebut. Sebelum penambahan adsorben,
sampel terlebih dahulu diencerkan dengan air dengan perbandingan volume 2 : 3. Penambahan air ini dilakukan untuk memudahkan proses adsorpsi warna dan senyawa organik yang terkandung di dalam larutan gliserol oleh arang aktif. Selain itu penambahan air ini juga ditujukan untuk mempercepat waktu penyaringan setelah proses penambahan adsorben selesai dilakukan karena larutan gliserol merupakan cairan viscous. Bentonit yang digunakan untuk pemucatan terlebih dahulu diaktivasi untuk memperbesar daya adsorpsiya. Aktivasi bentonit dilakukan dengan cara pengasaman menggunakan asam mineral yaitu HCl. Prosedur aktivasi bentonit dapat dilihat pada lampiran 3. Gliserol yang sudah dipucatkan dengan penambahan adsorben, dianalisis dengan analisa warna, kadar air, kadar abu serta bilangan asam. Hasil analisa tersebut dibandingkan dengan analisa awal sebelum gliserol dimurnikan. Dari analisa warna diambil gliserol yang mempunyai warna paling baik diantara gliserol yang lainnya, kemudian dilakukan analisis GC MS untuk melihat komposisi serta kadar gliserol sebelum dimurnikan (crude glycerol) dengan gliserol setelah pemurnian. C. Analisis Gliserol Hasil Pemurnian 1. Analisa Kadar Air Air merupakan kotoran yang tidak diinginkan dalam gliserol karena dapat mengurangi kemurnian gliserol. Nilai kadar air gliserol kasar maupun gliserol hasil pemurnian dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4. Hasil penetapan nilai kadar air Perlakuan (t) Ulangan (n) 1 2 Jumlah (x) Rata-rata nilai kadar air (%) O 1.976 1.805 3.781 1.891 A1 1.380 0.957 2.337 1.169 A2 0.816 1.010 1.826 0.913 A3 0.739 0.715 1.454 0.727
A4 0.530 0.796 1.326 0.663 Keterangan : O : gliserol kasar (crude glycerol) A1 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 8 % A2 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 10 % A3 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 12 % A4 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 14 % Hasil analisis variansi kadar air (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi adsorben berpengaruh nyata terhadap kadar air. Kadar air gliserol sesudah proses pemurnian lebih rendah daripada gliserol sebelum proses pemurnian. Gliserol kasar mempunyai kadar air 1,9 %. Gliserol murni yang kadar airnya terendah terdapat pada gliserol taraf faktor A4, yaitu gliserol yang diadsorpsi menggunakan adsorben dengan jumlah 14 % dengan campuran arang aktif dan bentonit dengan perbandingan 4 : 10, yang kemudian diadsorpsi dilanjutkan menggunakan arang aktif 2 % dari bobot gliserol hasil adsorpsi menggunakan campuran arang aktif dan bentonit, mempunyai kadar air sebanyak 0,6 %. Adapun kelompok gliserol murni yang kadar airnya tertinggi terdapat pada gliserol kelompok A1, yaitu gliserol yang mula-mula diadsorpsi menggunakan adsorben dengan jumlah 8 % dengan campuran arang aktif dan bentonit dengan perbandingan 4 : 4, yang kemudian diadsorpsi dilanjutkan menggunakan arang aktif 2 % dari bobot gliserol hasil adsorpsi menggunakan campuran arang aktif dan bentonit, mempunyai kadar air sebanyak 1,1 %. Menurut Mohtar et al (2001), kadar air gliserol murni (dengan tingkat kemurnian 99 %) adalah sekitar 0,1 0,8%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air gliserol sesudah proses pemurnian yang memenuhi syarat adalah gliserol taraf faktor A3 dan A4, yaitu gliserol
yang diadsorpsi menggunakan campuran arang aktif dan bentonit 4 : 8 (jumlah adsorben 12 %) dan 4 : 10 (jumlah adsorben 14 %), sedangkan gliserol taraf faktor A1 dan A2 yaitu gliserol yang diadsorpsi menggunakan campuran arang aktif dan bentonit 4 : 4 (jumlah adsorben 8 %) dan 4 : 6 (jumlah adsorben 10 %) tidak memenuhi syarat kadar air gliserol murni. Dari hasil uji lanjut Duncan pada taraf uji 5 % untuk konsentrasi adsorben, gliserol pada taraf faktor A1 berbeda nyata dengan A4 dan O, sedangkan konsentrasi adsorben pada taraf faktor A2 dan A3 tidak berbeda nyata. Gliserol sesudah proses pemurnian mempunyai kadar air yang lebih kecil dibandingkan gliserol sebelum pemurnian. Hal ini disebabkan karena terserapnya air oleh adsorben arang aktif dan bentonit. Semakin banyak adsorben yang digunakan, maka kadar air gliserol semakin rendah. Hal ini disebabkan terserapnya air oleh adsorben arang aktif dan bentonit. Adanya air di dalam gliserol membuat kualitas gliserol menjadi turun. Hal ini disebabkan air adalah zat yang tidak diharapkan ada di dalam gliserol yang membuat gliserol berkurang kemurniannya. Hasil yang diperoleh pada penetapan kadar air sebelum dan sesudah proses pemurnian terlihat pada histogram berikut ini : "*))) +*&$+ +*)) +*))) )*)) +*+ $ )*$+' )*("( )* ' )*))) + " ' % Keterangan : O : gliserol kasar (crude glycerol) A1 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 8 % A2 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 10 % A3 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 12 % A4 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 14 %
Gambar 13. Histogram pengaruh jumlah adsorben terhadap kadar air gliserol 2. Analisa Kadar Abu Kadar abu menggambarkan jumlah senyawa anorganik khususnya logam yang terdapat di dalam gliserol dan tetap tertinggal setelah proses pemanasan suhu tinggi (550 0 C). Kadar abu yang tinggi di dalam gliserol tidak diinginkan keberadaanya karena selain berbahaya bagi kesehatan, jika dikonsumsi juga menyebabkan warna gliserol jadi gelap. Tabel 5. Hasil penetapan nilai kadar abu Perlakuan (t) Ulangan (n) 1 2 Jumlah (x) Rata-rata nilai kadar abu (%) O 0.3012 0.2109 0.5121 0.2561 A1 0.1022 0.1287 0.2309 0.1155 A2 0.0992 0.100 0.1990 0.0995 A3 0.0831 0.0802 0.1633 0.0817 A4 0.0539 0.0547 0.1086 0.0543 Hasil analisis variansi kadar abu (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi adsorben berpengaruh nyata terhadap kadar abu. Kadar abu gliserol sesudah proses pemurnian lebih rendah daripada gliserol sebelum proses pemurnian. Kadar abu gliserol murni semakin menurun seiring dengan bertambahnya adsorben. Hal ini karena terserapnya abu oleh adsorben. Adanya abu di dalam gliserol membuat kualitas gliserol menjadi turun. Hal ini disebabkan abu adalah zat yang tidak diharapkan ada di dalam gliserol yang membuat gliserol berkurang kemurniannya. Gliserol kasar mempunyai kadar abu 0,25 %. Gliserol murni yang kadar abunya terendah terdapat pada gliserol taraf faktor A4, yaitu gliserol yang diadsorpsi menggunakan adsorben 14 % dengan campuran arang aktif dan bentonit 4 : 10, yang kemudian diadsorpsi dilanjutkan menggunakan arang aktif 2 % dari bobot gliserol hasil adsorpsi
menggunakan campuran arang aktif dan bentonit, mempunyai kadar abu sebanyak 0,05 %. Adapun kelompok gliserol murni yang kadar abunya tertinggi terdapat pada gliserol taraf faktor A1, yaitu gliserol yang mulaarang aktif mula diadsorpsi menggunakan adsorben 8 % dengan jumlah dan bentonit 4 : 4, yang kemudian diadsorpsi dilanjutkan menggunakan arang aktif 2 % dari bobot gliserol hasil adsorpsi menggunakann campuran arang aktif dan bentonit, mempunyai kadar air sebanyak 0,11 %. Menurut Mohtar et al (2001), kadar abu gliserol murni (dengan tingkat kemurnian 99 %) adalah sekitar 0,054 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu gliserol sesudah proses pemurnian yang memenuhi syarat adalah gliserol taraf faktor A4, yaitu gliserol yang diadsorpsi menggunakan adsorben 14 % dengan jumlah arang aktif dan bentonit 4 : 10, sedangkan gliserol taraf faktor A1, A2 dan A3 yaitu gliserol yang diadsorpsi menggunakan campuran arang aktif dan bentonit 4 : 4, 4 : 6 dan 4 : 8 tidak memenuhi syarat kadar abu gliserol murni. Dari hasil uji lanjut Duncan pada taraf uji 5 %, gliserol taraf faktor A1,A2,A3 dan A4 tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar abu. Hasil yang diperoleh pada penetapan kadar abu sebelum dan sesudah proses pemurnian terlihat pada histogram berikut ini : )*'))) )*" + )*"))) )*+))) )*++ )*)$$ )*)&+( )*)%' )*)))) + " ' % Keterangan : O : gliserol kasar (crude glycerol) A1 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 8 % A2 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 10 %
A3 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 12 % A4 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 14 % Gambar 14. Histogram pengaruh jumlah adsorben terhadap kadar abu gliserol 3. Analisa Bilangan Asam Bilangan asam adalah jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Bilangan asam digunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam gliserol. Hasil analisis variansi bilangan asam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi adsorben tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan asam. Variasi jumlah adsorben tidak mempengaruhi nilai bilangan asam. Menurut Mohtar et al (2001), bilangan asam gliserol murni (dengan tingkat kemurnian 99 %) adalah sekitar 0,10 0,16. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa bilangan asam gliserol sesudah proses pemurnian semuanya memenuhi syarat gliserol murni. Nilai bilangan asam gliserol sesudah proses pemurnian lebih rendah daripada gliserol sebelum proses pemurnian, sehingga gliserol hasil pemurnian memenuhi syarat gliserol murni jika dilihat dari nilai bilangan asam. Namun variasi adsorben tidak berpengaruh nyata terhadap nilai bilangan asam. Hal ini bisa disebabkan pada saat proses degumming (penambahan asam fosfat), asam lemak bebas (FFA) sudah terpisahkan. Disamping itu kemungkinan penurunan bilangan asam juga bisa disebabkan karena terserapnya asam lemak bebas pada gliserol oleh adsorben. 4. Analisa Warna Analisa warna gliserol diuji menggunakan alat spektrofotometer U 2000. Kejernihan gliserol dilihat dari nilai absorbansinya. Jika absorbansi rendah berarti gliserol semakin jernih.
Pada foto gliserol sebelum dan sesudah proses pemurnian, terlihat perbedaan warna, dimana gliserol sesudah proses pemurnian mempunyai warna yang lebih pucat dibandingkan gliserol sebelum proses pemurnian. O A1.1 A1.2 A2.1 A2.2
A3.1 A3.2 Keterangan : A4.1 A4.2 O : gliserol sebelum proses pemurnian (crude glycerol) A1.1 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 8 % (ulangan 1) A1.2 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 8 % (ulangan 2) A2.1 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 10 % (ulangan 1 ) A2.2 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 10 % (ulangan 2) A3.1 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 12 % (ulangan 1) A3.2 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 12 % (ulangan 2) A4.1 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 14 % (ulangan 1) A4.2 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 14 % (ulangan 2) Gambar 15. Foto gliserol sebelum dan sesudah proses pemurnian
Tabel 6. Hasil penetapan nilai absorbansi Perlakuan (t) Ulangan (n) 1 2 Jumlah (x) Rata-rata nilai absorbansi O 4.006 3.998 8.004 4.002 A1 2.003 2.002 4.005 2.003 A2 1.988 2.005 3.993 1.997 A3 1.994 1.987 3.981 1.991 A4 1.973 2.001 3.974 1.987 Hasil analisis varian nilai absorbansi (lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kadar adsorben berpengaruh nyata terhadap nilai absorbansi. Nilai absorbansi gliserol sesudah proses pemurnian lebih rendah daripada gliserol sebelum proses pemurnian. Gliserol sebelum proses pemurnian(crude glicerol) mempunyai nilai absorbansi 4,002. Gliserol setelah proses pemurnian yang mempunyai nilai absorbansi terendah terdapat pada gliserol taraf faktor A4, yaitu gliserol yang diadsorpsi menggunakan campuran arang aktif dan bentonit dengan perbandingan 4 : 10 (jumlah adsorben 14 %), yang kemudian diadsorpsi dilanjutkan menggunakan arang aktif 2 % dari bobot gliserol hasil adsorpsi menggunakan campuran arang aktif dan bentonit. Nilai absorbansi yang dimiliki oleh gliserol tersebut adalah 1,987. Sedangkan gliserol yang memiliki nilai absorbansi tertinggi adalah gliserol taraf faktor A1, yaitu gliserol yang diadsorpsi menggunakan campuran arang aktif dan bentonit dengan perbandingan 4 : 4 (jumlah adsorben 8 %), yang kemudian diadsorpsi dilanjutkan menggunakan arang aktif 2 % dari bobot gliserol hasil adsorpsi menggunakan campuran arang aktif dan bentonit. Nilai absorbansi yang dimiliki oleh gliserol tersebut adalah 2,003. Dari hasil uji lanjut Duncan pada taraf uji 5 %, gliserol taraf faktor A1,A2,A3 dan A4 tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai absorbansi. Jika dilihat dari nilai absorbansi tersebut maka gliserol yang paling jernih dibandingkan yang lainnya adalah gliserol yang diadsorpsi dengan variasi
kadar adsorben arang aktif dan bentonit sebanyak 4 % (w/w) arang aktif dan 10 % (w/w) bentonit, yang dilanjutkan dengan adsorpsi menggunakan arang aktif 2 % (w/w). Hasil yang diperoleh pada penetapan nilai absorbansi gliserol sebelum dan sesudah proses pemurnian terlihat pada histogram di bawah ini : % ' " + ) %*))" "*))' +*$$( +*$$+ +*$&( + " ' % Keterangan : O : gliserol kasar (crude glycerol) A1 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 8 % A2 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 10 % A3 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 12 % A4 : gliserol dengan konsentrasi adsorben 14 % Gambar 16. Histogram pengaruh jumlah adsorben terhadap nilai absorbansi gliserol Gliserol yang digunakan dalam proses ini merupakan hasil samping pembuatan biodiesel yang berbahan baku CPO (Crude Palm Oil) yang memiliki warna kuning kemerahan. Zat warna dalam minyak terdiri dari zat warna alami dan zat warna hasil degradasi zat warna alami. Zat warna alami terdapat secara alami di dalam bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama minyak pada proses ekstraksi minyak. Zat warna ini terdiri dari karoten, xanthofil, khlorofil, gossypol dan antocianin. Zat warna ini menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan dan kemerah-merahan. Warna orange atau kuning disebabkan adanya pigmen karotene yang larut dalam minyak. Zat
warna sebagai hasil degradasi zat warna alami mempunyai warna yang gelap. Warna gelap dapat terjadi selama proses pengolahan dan penyimpanan. Salah satu faktor penyebab warna gelap adalah suhu pemanasan yang terlalu tinggi pada waktu pengepresan dengan cara hidraulik atau expeller, sehingga sebagian minyak teroksidasi. Disamping itu minyak yang terdapat dalam suatu bahan, dalam keadaan panas akan mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam bahan tersebut (Ketaren, 1986). Hasil pengukuran nilai absorbansi gliserol dapat digunakan sebagai indikator kejernihan dan perubahan kadar zat warna yang terkandung di dalam gliserol tersebut. Gliserol sesudah proses adsorpsi mempunyai nilai absorbansi yang lebih rendah dibanding gliserol sebelum proses adsorpsi, hal ini berarti telah berkurangnya intensitas warna gliserol karena terserapnya zat warna dalam gliserol oleh adsorben arang aktif dan bentonit. Selain menyerap zat warna, kombinasi adsorben arang aktif dan bentonit juga dapat menyerap protein, karbohidrat dan fosfatida yang berupa koloid, sehingga gliserol yang telah mengalami proses adsorpsi terlihat lebih jernih. Namun warna gliserol hasil pemurnian tidak sejernih gliserol komersial. Penggunaan arang aktif dan bentonit belum mampu menyerap warna kuning yang ada pada gliserol hasil pemurnian. 5. Analisa GC MS (Gass Chromatograpy Mass Spectrometry) Analisa GC MS dilakukan terhadap gliserol kasar sebagai analisa awal dan gliserol hasil pemurnian sebagai analisa akhir. Berdasarkan hasil GC MS gliserol kasar (crude glycerol) dan gliserol hasil pemurnian terlihat bahwa kandungan gliserol meningkat setelah proses pemurnian. Kandungan gliserol kasar pada awalnya sebesar 0,85 %, kemudian setelah melalui proses pemurnian kandungan gliserol meningkat menjadi 8,74 %. Hasil analisis GC-MS (Gass Chromatograpy Mass Spectometry) untuk gliserol kasar didapatkan komposisi kandungan gliserol antara lain gliserol (0,85%) dan beberapa jenis asam lemak dalam bentuk metil ester seperti metil laurat (0,48%), metil miristat (2,15%), metil stearat (0,19%),
metil oleat (0,11%) dan yang paling banyak adalah metil palmitat (38,80%). Komposisi gliserol murni dari analisis GC-MS antara lain gliserol (8,74 %) dan asam lemak dalam bentuk metil miristat (0,63 %) dan metil palmitat (32,34 %). Dari komposisi kandungan gliserol setelah proses pemurnian, terlihat bahwa gliserol masih terikat dengan metil ester (biodiesel) sehingga tingkat kemurnian gliserol masih sangat rendah. Tabel 7. Komponen-komponen yang terdapat pada gliserol kasar No Ret.Tim Area Dugaan Rumus Berat Qual e ( % ) Komponen Molekul Molekul 1 11.242 0.85 Glycerol C 3 H 8 O 3 92 98 2 14.350 0.48 Methyl laurate C 13 H 26 O 2 214 88 3 17.033 2.15 Methyl myristate C 15 H 30 O 2 242 95 4 17.875 0.19 Palmitinic acid C 16 H 32 O 2 256 85 5 19.208 0.11 Methyl C 17 H 32 O 2 268 84 palmitoleate 6 19.575 38.80 Methyl palmitate C 17 H 34 O 2 270 96 7 20.358 5.81 Palmitinic acid C 16 H 32 O 2 256 94 8 21.500 43.56 7-Octadecanoic C 19 H 36 O 2 296 92 acid, methyl ester 9 21.733 4.26 Methyl C 19 H 38 O 2 298 95 octadecanoate 10 22.167 2.98 9-Octadecenoyl C 39 H 72 O 2 621 90 glycerol 11 22.333 0.12 Myristinic acid C 14 H 28 O 2 228 80 Tabel 8. Komponen-komponen yang terdapat pada gliserol murni No Ret.Time Area ( % ) Dugaan Komponen Rumus Molekul Berat Molek ul 1 10.667 8.74 Glycerol C 3 H 8 O 3 92 98 2 15.375 0.67 Hexadecamethylc yclooctasiloxane C 16 H 48 O 8 Si 8 Qual 592 82 3 17.025 0.63 Methyl miristate C 15 H 30 O 2 242 90 4 19.508 32.34 Methyl palmitate C 17 H 34 O 2 270 96
5 20.300 15.84 Palmitinic acid C 16 H 32 O 2 256 93 6 21.400 27.50 Methyl oleate C 19 H 36 O 2 296 95 7 21.667 0.75 Methyl tetradecanoate C 15 H 30 O 2 242 87 Rendahnya tingkat kemurnian gliserol ini bisa disebabkan oleh reaksi transesterifikasi yang tidak sempurna pada saat proses pembuatan biodiesel. Reaksi transesterifikasi sebenarnya berlangsung dalam tiga tahap yaitu sebagai berikut : Trigliserida dikonversi menjadi digliserida, yang akan terkonversi lagi menjadi monogliserida. Jika reaksi pada saat pembuatan metil ester tidak sempurna selama proses transesterifikasi atau terjadinya reaksi balik antara gliserol dan metil ester, maka akan ada trigliserida, digliserida dan monogliserida yang tertinggal di dalam campuran reaksi (Prihandana et al., 2006). Setiap senyawa ini akan tetap berada dalam molekul gliserol dan tidak bisa dilepaskan. Senyawa ini disebut gliserol terikat. Secara singkat gliserol terikat adalah gliserol yang mengandung molekul mono-, di- dan trigliserida. Reaksi transesterifikasi yang tidak sempurna dapat disebabkan karena kurangnya metanol dalam proses pembuatan biodiesel. Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida, untuk memperoleh 3 mol metil ester dan 1 mol gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8 : 1 dapat menghasilkan konversi 98% (Bradshaw and Meuly, 1944).